Clara, asisten pribadi CEO Kieran Damaris, merasa nyaman dengan rutinitas pekerjaannya yang padat. Namun, semuanya berubah ketika Kieran memberinya tanggung jawab besar: memimpin proyek penting yang dapat mengubah kariernya. Meskipun ini adalah kesempatan emas, Clara merasa tidak siap dan takut gagal. Di sisi lain, hubungan mereka yang selama ini profesional mulai terasa lebih rumit. Ketegangan yang berkembang antara keduanya menumbuhkan perasaan yang tak terucapkan. Clara mulai bertanya-tanya apakah ketertarikannya pada Kieran hanya terkait pekerjaan, atau ada sesuatu yang lebih pribadi yang tak bisa dihindari.
View MoreClara duduk di mejanya, menatap layar komputernya dengan pandangan kosong. Email dari Kieran itu masih terbuka di layar, subjek yang singkat dan penuh arti: 'Pertemuan Pribadi - Kieran Damaris.' Sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda kali ini.
Selama dua tahun bekerja di bawah Kieran, Clara sudah terbiasa dengan rapat-rapat rutin, instruksi yang jelas, dan peranannya yang lebih banyak di belakang layar. Tetapi hari ini, ada yang mengusik. Ada ketegangan yang lebih dalam. Tugas-tugas hariannya selalu datang dengan tumpukan file dan jadwal yang padat. Mengatur rapat, mempersiapkan laporan, menyaring email, itu adalah rutinitas yang sudah sangat dikuasainya. Namun, memimpin proyek besar yang melibatkan seluruh tim? Itu sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan. Clara menatap email itu lagi. "Saya ingin kamu memimpin proyek besar ini," kata Kieran dalam pesan singkatnya. Perasaan cemas mulai merayap dalam dirinya. Clara tahu bahwa ini adalah kesempatan yang besar, kesempatan untuk menunjukkan potensinya. Tetapi, di sisi lain, perasaan takut mulai menguasainya. 'Apakah saya benar-benar siap untuk ini?' Di ruang rapat beberapa jam kemudian, tatapan Kieran yang tajam kembali menghantui pikirannya. Kieran sudah duduk di kursinya, dengan ekspresi serius yang selalu dia kenakan saat rapat. Begitu Clara masuk, dia merasa seperti ada tekanan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Kieran tidak langsung berkata apa-apa. Dia hanya menatapnya, menunggu Clara berbicara. "Clara," Kieran akhirnya memulai, suaranya seperti biasa—tenang dan penuh wibawa. "Saya ingin kamu memimpin proyek besar ini. Saya percaya kamu bisa." Clara merasa pipinya memanas. "P-pemimpin? Saya... saya tidak yakin jika saya siap untuk itu, Pak." Kieran hanya mengamati, matanya tetap tajam. "Jangan meragukan dirimu sendiri. Kamu sudah bekerja di sini cukup lama. Saya tahu kamu bisa." Clara menelan ludah. 'Saya sudah bekerja di sini cukup lama, tapi bukan berarti saya siap memimpin proyek besar ini.' Dalam dua tahun terakhir, dia telah melihat betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin. Semua keputusan besar, semua tekanan—semua itu harus dihadapi sendirian. Dan saya takut gagal.' "Pak... ini terlalu besar bagi saya," kata Clara, suara bergetar. "Saya tidak ingin mengecewakan Anda." Kieran mengerutkan kening, namun tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Clara, seolah menunggu lebih banyak penjelasan. Clara merasakan perasaan tidak layak itu semakin menguat—seperti ada suara di dalam dirinya yang mengatakan bahwa dia hanya pantas berada di belakang layar, bukan di depan. 'Saya hanya seorang asisten. Saya bukan pemimpin.' "Kamu tidak akan tahu sampai kamu mencoba," kata Kieran akhirnya, suaranya lebih lembut, namun tetap tegas. "Saya percaya padamu, Clara." Clara mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. "Baik, Pak. Saya akan coba." Ketika rapat berakhir dan Kieran meninggalkan ruangan, Clara tetap duduk di kursinya, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan. Dia merasa seperti ada beban besar yang diletakkan di pundaknya. 'Apa yang akan terjadi jika saya gagal?' Perasaan itu terus menghantuinya. Namun, satu hal yang pasti—kesempatan ini tidak datang dua kali. 'Saya harus mencobanya.' Clara duduk di mejanya, jari-jarinya terhenti di atas keyboard, matanya menatap layar yang kini tampak kabur. Ketegangan yang mengalir di dalam dirinya seolah semakin kuat seiring berjalannya waktu. Kieran Damaris telah memberinya tanggung jawab besar, lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Memimpin proyek besar? Itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan dengan mudah. Tapi di sisi lain, dia tahu ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Dia memalingkan pandangannya dari layar komputer, menatap pemandangan kota yang terlihat dari jendela ruang kerjanya. Gedung pencakar langit, lalu lintas yang sibuk, dan langit biru yang hampir tak terlihat di balik tumpukan awan. Semua itu tampak begitu jauh. 'Begitu jauh dari rasa cemas yang menggerogoti dirinya.' Dia memijat pelipisnya. 'Kenapa aku merasa begitu takut?' Dalam dua tahun bekerja di bawah Kieran, Clara sudah terbiasa dengan beban pekerjaan yang datang dengan cepat dan sering kali mendesak. Mengatur jadwal, menjawab telepon, menyiapkan dokumen, semuanya sudah menjadi rutinitas. Namun, memimpin tim? Mengambil keputusan besar yang bisa memengaruhi seluruh perusahaan? Itu adalah dunia yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan. Sebuah suara keras terdengar dari luar ruangannya, suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang mantap. Clara menoleh, dan jantungnya langsung berdebar lebih cepat. Kieran. Langkahnya yang pasti terdengar jelas bahkan sebelum ia muncul di ambang pintu. Clara berusaha untuk tetap tenang, menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap layar komputernya. Namun, saat Kieran masuk ke ruangan, atmosfer langsung berubah. Ada ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Kieran, dengan tubuh tegap dan wajah yang sulit dibaca, berdiri di depan meja Clara. "Clara," suaranya datar, namun ada nada yang sedikit berbeda—lebih lembut, lebih intens dari biasanya. "Apakah kamu sudah mempersiapkan laporan untuk proyek besar ini?" Clara menatapnya, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. "Ya, Pak. Semua sudah siap." Suaranya terdengar sedikit lebih tinggi dari biasanya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar-benar siap. Kieran mengangguk pelan, namun matanya tetap menatap Clara dengan intens. "Bagus. Saya ingin proyek ini berjalan sempurna. Dan saya ingin kamu memimpin tim riset ini." Clara merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak. 'Memimpin?' Suara itu bergema dalam pikirannya. 'Saya?' "Pak...," Clara menelan ludah, mencoba untuk tidak memperlihatkan betapa terkejutnya dia. "Saya... saya tidak yakin saya siap untuk itu." Kieran tetap diam, memandangi Clara dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada jeda yang panjang, terlalu panjang bagi Clara. 'Apakah dia kecewa dengan saya? Apakah dia merasa saya tidak mampu?' Rasa cemas itu semakin menggerogoti dirinya, dan dia bisa merasakan pipinya mulai memanas, cemas apakah Kieran bisa melihat kegugupannya yang semakin jelas. "Clara," suara Kieran akhirnya memecah keheningan. "Kamu sudah bekerja di sini cukup lama. Kamu tahu betul bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik." Ia beralih ke dokumen yang terletak di atas meja Clara, mengambil beberapa lembar laporan yang sudah dipersiapkan. "Saya percaya kamu bisa melakukannya." Clara menatap Kieran, bibirnya sedikit terkatup. 'Kamu percaya padaku?' Bagaimana mungkin? Dia hanya seorang asisten, bukan seorang pemimpin. Selama ini, perannya hanya sebagai pendukung—mengatur jadwal, menyaring email, memastikan semuanya berjalan lancar. 'Tapi memimpin proyek besar?' Itu bukan sesuatu yang bisa ia lakukan dengan mudah. "Kami bekerja bersama, Clara," lanjut Kieran dengan nada yang lebih lembut, namun tetap penuh kepastian. "Saya tidak akan membiarkanmu sendirian. Kamu akan mendapatkan dukungan penuh." Clara mengangguk, meskipun rasa ragu dan cemas masih melingkupi pikirannya. 'Dukungan penuh? Tapi apakah saya benar-benar siap?' Perasaan tidak layak itu semakin menguasai dirinya. Dia merasa seolah-olah dunia akan mengamatinya, menilai setiap langkah yang dia ambil. Jika dia gagal, semua orang—terutama Kieran—akan melihatnya sebagai kegagalan. 'Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa saya tanggung.' Namun, Kieran tampaknya tidak melihat keraguan itu. Dia melangkah ke arah pintu, menoleh ke belakang dan menatap Clara dengan senyum tipis yang sulit diartikan. "Saya berharap kamu bisa mengambil kendali, Clara. Saya percaya padamu." Clara hanya bisa mengangguk dengan kaku, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tetap profesional. 'Saya harus melakukannya. Saya harus menunjukkan bahwa saya bisa.' Setelah Kieran meninggalkan ruangan, Clara duduk kembali di kursinya, mencoba untuk meredakan ketegangan yang masih menguasai tubuhnya. Tangannya sedikit gemetar saat dia memegang pena, matanya menatap dokumen yang ada di meja. 'Proyek besar ini. Saya akan memimpin tim riset. Saya harus melakukannya.' Namun, di dalam dirinya, perasaan itu tetap ada. Perasaan cemas dan tidak yakin. 'Apa yang akan terjadi jika saya gagal?' Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari. Clara menatap pemandangan kota dari jendela, mencoba menenangkan diri. Tetapi, semakin dia berpikir, semakin kuat perasaan bahwa ini adalah titik balik dalam kariernya—sesuatu yang akan mengubah arah hidupnya, entah itu menjadi peluang besar atau kegagalan yang menghancurkan. 'Saya harus melakukannya. Untuk diri saya sendiri.' Meskipun ketakutan itu terus mengguncang, Clara tahu satu hal: kesempatan ini tidak datang dua kali. 'Saya harus membuktikan bahwa saya bisa.'Keterang hijau dawn lampu kota memudar perlahan ketika Clara dan Kieran menutup pintu ruang komando untuk malam terakhir mereka. Dua raga yang lelah, dua hati yang penuh luka—namun juga dua jiwa yang tumbuh lebih kuat oleh cinta dan persatuan.Mereka berjalan bergandengan menuju balkon atap, tempat bintang dan langit pagi menyambut. Aroma kopi hangat dan uap hujan semalam masih terasa, menambah kesyahduan momen."Kita berhasil," ucap Clara pelan, menatap wajah Kieran yang terpantul oleh kilau lampu jalan."Ya," jawab Kieran sambil membelai rambut Clara. "Ini hari terakhir konflik besar yang kita hadapi bersama. Sekarang kita punya kehidupan baru."1. Lambang Cincin Batu LautClara mengeluarkan kotak kecil berisi sepasang cincin sederhana: cincin Kieran terukir peta pulau tempat mereka berbulan madu, cincin Clara berhiaskan kelopak bunga liar yang mereka kumpulkan di dermaga malam itu."Ini lambang kisah kita," Clara berkata sambil menyematkan cincin pada jari Kieran. "Petualangan, ba
Senja malam merayap cepat di cakrawala ketika Kieran, Clara, dan Samantha kembali ke ruang komando. Peta tiga dimensi Veritas terpancar di layar hologram—jalur pelayaran, lokasi gudang distribusi, dan rute pengiriman vektor biologis. Aretha mengatur status pra-serangan."Data Samantha sangat akurat," ucap Clara sambil menunjuk titik koordinat pelabuhan gelap. "Jika kita potong jalur itu, kita hentikan penyebaran sebelum dimulai."Kieran memekikkan jempol. "Kita butuh tim laut dan tim darat bekerja serentak. Clara, kamu dan Samantha tangani tanah: infiltrasi gudang distribusi. Aku pimpin tim laut ke kapal yang akan dipakai Veritas."Samantha menarik napas dalam. "Aku akan bawa logistik. Aku tahu rutenya—dari gudang mereka ke kapal selam kecil yang tersembunyi di Teluk Barat."1. Persiapan Dua FronDua tim bergerak:Tim Darat (Clara & Samantha): Menyusup ke gudang tersembunyi di pelabuhan tua, mengambil sample vektor, dan menanam perangkat remote dieback.Tim Laut (Kieran): Mengikuti
Bayang malam masih menempel di kaca jendela, tetapi di hati Clara dan Kieran, ada kilatan cahaya baru yang menuntun mereka melewati lorong gelap. Setelah ujian kepercayaan dengan Arion, dua insan ini memerlukan waktu untuk sekadar berdua—melepaskan beban dan mengingat kembali janji yang pernah mereka ukir.1. Senandung Hening di BalkonMereka kembali ke balkon markas, memandangi kota yang gemerlap oleh lampu. Angin malam menyapu pelan—seperti menggoda daun-daun malu untuk menari.Clara menggenggam secangkir cokelat hangat, nafasnya mengepul di udara dingin. Kieran duduk di sampingnya, merangkul bahu Clara dengan lembut. “Aku tahu malam ini berat,” bisiknya. “Tapi aku senang kau di sini bersamaku.”Clara menoleh, tersenyum kecil di balik kerlip lampu kota. “Aku juga. Rasanya, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa kita tidak sendirian dalam pertarungan ini.”2. Jejak Pelukan di Tengah KekalutanKieran meraih tangan Clara—sentuhan yang sederhana, namun penuh makna. “Clara,” ka
Setelah ledakan bawah laut menghancurkan terowongan Genesis dan paket data palsu mengguncang Nexus, Kieran dan Clara kembali ke markas. Namun suasana di ruang komando terasa berbeda—tegang, penuh tatapan curiga. Clara menatap layar besar di dinding yang menampilkan alur operasi. Lampu-lampu hijau yang sebelumnya menandai keberhasilan, kini beberapa berkedip merah. Aretha tiba-tiba bersuara: > “Terdeteksi manipulasi data internal. Jejak akses terakhir oleh user Arion. Hasil autentikasi: user terverifikasi sebagai bagian tim inti Anda.” Kieran menahan napas. Arion—nama itu milik letnan lapangan yang selama ini paling setia. Ia menoleh ke Clara, mata mereka bertemu penuh kecemasan. “Arion?” gumam Clara. “Dia tidak mungkin…” Mereka segera menyusuri jejak digital. Aretha memproyeksikan peta pola jaringan: Arion mengirim sinyal enkripsi kuat ke server Veritas tepat setelah mereka menutup tambang Genesis. Lebih mengejutkan, ia mencabut modul komunikasi tim, memotong akses drone peny
Fajar menyingsing perlahan ketika Kieran dan Clara tiba di markas rahasia mereka, membawa Sierra yang masih terguncang. Di lorong berpendar lampu putih, mereka berjalan serempak menuju ruang interogasi kecil—meja logam, tiga kursi, dan satu kursi roda.Clara membuka borgol Sierra dengan hati-hati. Sierra menatap kelelahan, matanya merah, bibirnya retak. Kieran dan Clara duduk berhadap-hadapan, menunggu Sierra bicara."Aku... tak bermaksud menghancurkan semuanya," suara Sierra gemetar. "Aku butuh uang untuk melarikan diri. Mereka menjanjikan kebebasan."Clara mencondongkan badan. "Siapa yang menjanjikan? Nexus Corp? Atau tangan bayangan lain?"Sierra menunduk. "Bukan hanya Nexus. Ada inisiator baru—organisasi yang membeli data Nexa untuk kemudian memanipulasi sisa-sisa penelitian. Mereka menyebut diri mereka Veritas.""Mereka kebal hukum, beroperasi di balik korporasi sah."Kieran meremas pegangan kursi. "Veritas... nama yang menipu. Mereka klaim menegakkan kebenaran, tapi ini cuma ke
Langit sore mulai berubah jingga ketika Kieran berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Matanya menatap jauh, namun pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhir dengan Clara. Wajah gadis itu, dengan tatapan penuh keteguhan dan luka yang tersembunyi, terus membayanginya.Pintu diketuk pelan. Kieran membalikkan tubuhnya. Clara masuk dengan langkah hati-hati, membawa sebuah map berisi dokumen yang diminta Kieran siang tadi."Ini berkas laporan keuangan yang Anda minta," ucap Clara, menyerahkan map itu dengan tatapan profesional, tapi mata mereka sempat bertaut, dan keheningan sesaat menyergap.Kieran menerima map itu tanpa membuka, justru menatap Clara lebih lama dari yang seharusnya. "Kamu masih marah padaku?"Clara terdiam. Hembusan napasnya terdengar jelas di ruangan senyap itu. "Aku tidak marah. Aku hanya... belajar menjaga jarak.""Karena aku menyakitimu?" suara Kieran rendah, tapi jujur. "Karena aku terlalu pengecut untuk mengakui apa yang aku rasakan lebih awal?"Clar
Pagi berikutnya, matahari memantul cerah di permukaan laut, menandai awal tugas baru bagi Clara dan Kieran—meski keduanya masih tersisa sisa euforia bulan madu. Sebuah perahu nelayan kecil siap melaju menuju titik koordinat X4Y7, tempat Aretha mendeteksi residu laboratorium bawah laut.Clara mengenakan wetsuit biru gelap, ia menarik napas dalam melihat ombak yang menari-nari. “Kamu yakin siap?” tanya Kieran, merapikan snorkel di wajahnya.Clara membalas senyum, “Seperti biasa—bersamamu, aku siap.”Mereka menyelam bersama dua teknisi biologi dan satu penyelam penyelamat. Di kedalaman sepuluh meter, aria bawah laut memikat—karang warna-warni, ikan tropis berkelompok, tetapi semakin jauh mereka menjelajah, air tiba-tiba mendingin dan kerang-kerangan berlumut memudar.Aretha memancarkan sinyal: “Clara, sorot lampu di sebelah kanan, koordinat 10.672°N, 123.456°E. Ada struktur logam.”Di antara terumbu, nampak puing-puing rangka baja—pintu laboratorium kecil setengah terkubur, kaca panel
Udara sore terasa lebih hangat daripada biasanya. Di teras rumah besar itu, suara tawa kecil terdengar sesekali, membaur dengan aroma teh hangat dan kudapan yang baru saja disajikan.Angel duduk di samping Harry, menatap halaman depan yang kini penuh bunga musim semi bermekaran. Di antara mereka, Arka dan Naya sibuk bermain dengan puzzle besar di lantai kayu. Setiap tawa dan teriakan kecil anak-anak itu terasa seperti melengkapi kehidupan baru yang kini mulai tertata."Aku masih merasa ini semua seperti mimpi," kata Angel, menggenggam cangkir teh di tangannya. "Semua berubah begitu cepat."Harry menoleh, menatap wajah Angel dengan penuh kasih. "Kadang-kadang, hidup memang suka memberi kejutan," ujarnya lembut. "Tapi aku bersyukur kejutan itu membawamu ke hidupku."Angel tersenyum malu, pipinya bersemu merah. Ia tahu, segala luka masa lalu perlahan mulai sembuh. Ia tak lagi sendirian. Ia memiliki mereka—Harry, Arka, dan Naya. Sebuah keluarga yang ia impikan, kini menjadi nyata.Tak j
Persiapan pernikahan Clara dan Kieran berjalan jauh lebih sibuk daripada yang mereka bayangkan. Sejak pagi, apartemen kecil mereka dipenuhi dengan tumpukan undangan, contoh dekorasi, hingga kain-kain gaun yang dipilih Clara dengan penuh semangat.Di ruang tamu, Lena sedang membolak-balik katalog kue sambil sesekali mengunyah biskuit. Sementara Victor dan Kieran sibuk memasang lampu-lampu gantung kecil yang akan digunakan untuk pesta kebun di hari pernikahan mereka."Aku masih tidak percaya Kieran yang biasanya dingin itu sekarang rela mengurusi lampu-lampu dan pita," ejek Victor, tertawa sambil mengangkat sebelah alis.Kieran hanya mendengus tanpa menoleh. "Semua ini untuk Clara. Jangan iri."Victor tertawa lebih keras, membuat Lena ikut tergelak. Clara, yang dari tadi duduk di lantai sambil menulis daftar tamu, hanya menggelengkan kepala dengan senyum penuh kasih.Suasana menjadi hangat. Tidak ada tekanan, tidak ada ketakutan akan masa lalu—hanya orang-orang yang mereka cintai berk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments