Pagi itu, Clara merasa seolah-olah dunia berjalan lebih cepat dari yang bisa dia kejar. Setelah rapat kemarin dengan Kieran, perasaan yang membebani dirinya belum juga menghilang. Kata-kata Kieran tentang bagaimana dia "memiliki potensi besar" dan "bisa melakukannya" terus terngiang-ngiang di kepala Clara. Namun, meskipun kata-kata itu memberikan dorongan, ada sesuatu yang lain yang semakin menyelimuti dirinya. *Perasaan itu.* Perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan. Clara mengatur napasnya dan mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia memiliki lebih banyak laporan yang harus diselesaikan sebelum rapat besar dengan tim riset. Namun, semakin lama dia duduk di depan komputernya, semakin ia merasakan perasaan lain yang mengusik dirinya. Setiap kali dia memikirkan proyek besar ini, jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Bukan hanya karena tanggung jawab yang berat, tetapi karena ada satu sosok yang selalu muncul dalam pikirannya—Kieran. *Kenap
Hari-hari setelah pertemuan dengan Kieran semakin terasa panjang bagi Clara. Setiap kali dia memasuki ruang kerjanya, ada perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan. Ketegangan antara dia dan Kieran semakin menguat. Setiap pertemuan, setiap percakapan, terasa lebih intens dari sebelumnya. Clara tahu bahwa hubungan mereka sudah berubah, tetapi dia belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa perasaan ini lebih dari sekadar rasa profesionalisme. Pagi itu, Clara duduk di kursinya, menatap layar laptopnya yang penuh dengan spreadsheet dan laporan. 'Saya harus fokus,' pikirnya. 'Ini bukan saatnya untuk berpikir tentang Kieran.' Namun, semakin dia mencoba untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, semakin perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali dia menatap layar, pikirannya selalu kembali kepada Kieran—kepercayaan yang diberikan padanya, kata-kata yang terus berputar di kepala Clara, dan yang terpenting, tatapan mata Kieran yang penuh perhatian, yang selalu membuat
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang memantulkan cahaya putih yang dingin. Pekerjaan menumpuk di mejanya, tetapi pikirannya jauh dari spreadsheet dan laporan yang harus diselesaikan. Tatapan matanya kosong, fokusnya terbagi antara pekerjaan yang harus segera selesai dan perasaan yang semakin menguasai dirinya. 'Apa yang saya lakukan?' Clara menggosok wajahnya dengan telapak tangan, mencoba untuk mengusir rasa cemas yang menggelayuti dirinya. Proyek besar yang diberikan oleh Kieran adalah kesempatan emas yang tidak bisa disia-siakan. Namun, semakin dia tenggelam dalam pekerjaan, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya yang mengintai di balik semua itu—perasaan yang berkembang untuk Kieran. Clara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. 'Ini bukan waktu untuk itu.' Dia harus tetap fokus, menyelesaikan laporan yang harus diserahkan minggu depan. Namun, di balik pikirannya yang berputar-putar, ada
Clara duduk di ruang kerjanya, menghadap layar komputer yang penuh dengan angka-angka dan laporan yang harus segera diselesaikan. Namun, meskipun semuanya tampak seperti pekerjaan biasa, perasaan yang menggelayuti dirinya semakin sulit untuk dihindari. Apa yang terjadi pada saya?' Clara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 'Kenapa rasanya semakin sulit untuk fokus?' Dia sudah berusaha keras untuk menekan perasaan itu, untuk tetap menjaga jarak profesional dengan Kieran. Namun, setiap kali mereka berbicara, setiap kali Kieran memberikan arahan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang terasa begitu jelas. Tatapan matanya yang tajam, kata-kata yang penuh harapan, bahkan senyum tipis yang terkadang muncul di wajahnya—semua itu membuat Clara merasa semakin terperangkap. ' 'Apakah ini hanya perasaan saya, atau apakah ada sesuatu yang lebih?' Clara menghela napas panjang dan kembali menatap laporan yang harus diselesaikannya. 'Ini bukan waktunya untuk berpikir t
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan pekerjaan di mejanya. Hari itu, tugasnya semakin berat. Namun, meskipun dia mencoba fokus pada laporan yang harus diselesaikan, pikirannya terus melayang. 'Kieran.' Perasaan itu semakin kuat dan semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali dia memikirkan Kieran, ada campuran perasaan—rasa hormat yang mendalam, ketertarikan yang semakin besar, dan kebingungan yang tak terucapkan. 'Kenapa saya harus merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri. 'Saya seharusnya bisa mengendalikan diri.' Tapi semakin lama dia bekerja dengan Kieran, semakin dia merasa terperangkap. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang tak bisa dihindari. Clara berusaha keras untuk tetap profesional, tetapi perasaan itu semakin kuat, semakin menguasai dirinya. Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan yang menyelimuti ruang kerjanya. Sebuah pesan dari Kieran. "Clara, kita perlu bertemu lagi setel
Clara berjalan dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya menuju ruang kerjanya. Hari ini, semua terasa seperti tantangan. Setiap detik yang berlalu semakin menguatkan perasaan yang telah dia coba untuk tekan. 'Perasaan itu semakin sulit untuk dihindari.' Setiap kali dia bertemu dengan Kieran, setiap kali mereka berbicara tentang pekerjaan, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang melampaui batas profesional yang selama ini mereka jaga. 'Kenapa saya merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban yang tidak kunjung datang. 'Saya harus bisa mengendalikan diri. Ini hanya pekerjaan.' Namun, meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada laporan dan tugas yang ada di mejanya, Clara tahu bahwa ada hal yang lebih besar yang harus dihadapi. Perasaan yang semakin kuat terhadap Kieran tidak bisa lagi disangkal. Setiap tatapan, setiap senyum yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa semakin terperangkap. 'Apa yang akan terjadi jika sa
Clara duduk di ruang kerjanya, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan laporan dan data yang harus segera diselesaikan. Namun, meskipun tugas-tugas itu menumpuk di mejanya, pikirannya tidak bisa berhenti berputar pada satu hal—Kieran. 'Kenapa saya terus memikirkan dia?' Clara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 'Apa yang terjadi padaku?' Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan, setiap kali dia melihat Kieran, perasaan itu semakin kuat. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap tatapan yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. 'Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?' Clara tidak tahu jawabannya, tetapi yang dia tahu adalah semakin lama dia berusaha untuk menjaga jarak, semakin perasaan itu semakin sulit untuk ditekan. 'Saya harus mengendalikan diri,' Clara memutuskan, meskipun suara di dalam hatinya terus berteriak bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. 'Ini bukan waktu u
Clara berdiri di depan cermin di ruang kerjanya, menatap refleksinya dengan mata yang kosong. Hari itu, perasaannya terasa lebih berat dari sebelumnya. 'Apa yang saya lakukan?' Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya. 'Apa yang sebenarnya saya rasakan terhadap Kieran?' Setiap kali dia berada di dekat Kieran, perasaan yang semakin kuat itu semakin sulit untuk dihindari. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap tatapan yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. Apa yang sebenarnya saya rasakan?' Clara bertanya pada dirinya sendiri, tetapi jawabannya tak kunjung datang. 'Saya harus bisa mengendalikan diri,' Clara memutuskan, meskipun suara di dalam hatinya terus berteriak bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. 'Ini bukan waktu untuk perasaan. Ini tentang pekerjaan.' Namun, meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan, perasaan itu semakin mendalam. Ponselnya berbunyi
Keterang hijau dawn lampu kota memudar perlahan ketika Clara dan Kieran menutup pintu ruang komando untuk malam terakhir mereka. Dua raga yang lelah, dua hati yang penuh luka—namun juga dua jiwa yang tumbuh lebih kuat oleh cinta dan persatuan.Mereka berjalan bergandengan menuju balkon atap, tempat bintang dan langit pagi menyambut. Aroma kopi hangat dan uap hujan semalam masih terasa, menambah kesyahduan momen."Kita berhasil," ucap Clara pelan, menatap wajah Kieran yang terpantul oleh kilau lampu jalan."Ya," jawab Kieran sambil membelai rambut Clara. "Ini hari terakhir konflik besar yang kita hadapi bersama. Sekarang kita punya kehidupan baru."1. Lambang Cincin Batu LautClara mengeluarkan kotak kecil berisi sepasang cincin sederhana: cincin Kieran terukir peta pulau tempat mereka berbulan madu, cincin Clara berhiaskan kelopak bunga liar yang mereka kumpulkan di dermaga malam itu."Ini lambang kisah kita," Clara berkata sambil menyematkan cincin pada jari Kieran. "Petualangan, ba
Senja malam merayap cepat di cakrawala ketika Kieran, Clara, dan Samantha kembali ke ruang komando. Peta tiga dimensi Veritas terpancar di layar hologram—jalur pelayaran, lokasi gudang distribusi, dan rute pengiriman vektor biologis. Aretha mengatur status pra-serangan."Data Samantha sangat akurat," ucap Clara sambil menunjuk titik koordinat pelabuhan gelap. "Jika kita potong jalur itu, kita hentikan penyebaran sebelum dimulai."Kieran memekikkan jempol. "Kita butuh tim laut dan tim darat bekerja serentak. Clara, kamu dan Samantha tangani tanah: infiltrasi gudang distribusi. Aku pimpin tim laut ke kapal yang akan dipakai Veritas."Samantha menarik napas dalam. "Aku akan bawa logistik. Aku tahu rutenya—dari gudang mereka ke kapal selam kecil yang tersembunyi di Teluk Barat."1. Persiapan Dua FronDua tim bergerak:Tim Darat (Clara & Samantha): Menyusup ke gudang tersembunyi di pelabuhan tua, mengambil sample vektor, dan menanam perangkat remote dieback.Tim Laut (Kieran): Mengikuti
Bayang malam masih menempel di kaca jendela, tetapi di hati Clara dan Kieran, ada kilatan cahaya baru yang menuntun mereka melewati lorong gelap. Setelah ujian kepercayaan dengan Arion, dua insan ini memerlukan waktu untuk sekadar berdua—melepaskan beban dan mengingat kembali janji yang pernah mereka ukir.1. Senandung Hening di BalkonMereka kembali ke balkon markas, memandangi kota yang gemerlap oleh lampu. Angin malam menyapu pelan—seperti menggoda daun-daun malu untuk menari.Clara menggenggam secangkir cokelat hangat, nafasnya mengepul di udara dingin. Kieran duduk di sampingnya, merangkul bahu Clara dengan lembut. “Aku tahu malam ini berat,” bisiknya. “Tapi aku senang kau di sini bersamaku.”Clara menoleh, tersenyum kecil di balik kerlip lampu kota. “Aku juga. Rasanya, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa kita tidak sendirian dalam pertarungan ini.”2. Jejak Pelukan di Tengah KekalutanKieran meraih tangan Clara—sentuhan yang sederhana, namun penuh makna. “Clara,” ka
Setelah ledakan bawah laut menghancurkan terowongan Genesis dan paket data palsu mengguncang Nexus, Kieran dan Clara kembali ke markas. Namun suasana di ruang komando terasa berbeda—tegang, penuh tatapan curiga. Clara menatap layar besar di dinding yang menampilkan alur operasi. Lampu-lampu hijau yang sebelumnya menandai keberhasilan, kini beberapa berkedip merah. Aretha tiba-tiba bersuara: > “Terdeteksi manipulasi data internal. Jejak akses terakhir oleh user Arion. Hasil autentikasi: user terverifikasi sebagai bagian tim inti Anda.” Kieran menahan napas. Arion—nama itu milik letnan lapangan yang selama ini paling setia. Ia menoleh ke Clara, mata mereka bertemu penuh kecemasan. “Arion?” gumam Clara. “Dia tidak mungkin…” Mereka segera menyusuri jejak digital. Aretha memproyeksikan peta pola jaringan: Arion mengirim sinyal enkripsi kuat ke server Veritas tepat setelah mereka menutup tambang Genesis. Lebih mengejutkan, ia mencabut modul komunikasi tim, memotong akses drone peny
Fajar menyingsing perlahan ketika Kieran dan Clara tiba di markas rahasia mereka, membawa Sierra yang masih terguncang. Di lorong berpendar lampu putih, mereka berjalan serempak menuju ruang interogasi kecil—meja logam, tiga kursi, dan satu kursi roda.Clara membuka borgol Sierra dengan hati-hati. Sierra menatap kelelahan, matanya merah, bibirnya retak. Kieran dan Clara duduk berhadap-hadapan, menunggu Sierra bicara."Aku... tak bermaksud menghancurkan semuanya," suara Sierra gemetar. "Aku butuh uang untuk melarikan diri. Mereka menjanjikan kebebasan."Clara mencondongkan badan. "Siapa yang menjanjikan? Nexus Corp? Atau tangan bayangan lain?"Sierra menunduk. "Bukan hanya Nexus. Ada inisiator baru—organisasi yang membeli data Nexa untuk kemudian memanipulasi sisa-sisa penelitian. Mereka menyebut diri mereka Veritas.""Mereka kebal hukum, beroperasi di balik korporasi sah."Kieran meremas pegangan kursi. "Veritas... nama yang menipu. Mereka klaim menegakkan kebenaran, tapi ini cuma ke
Langit sore mulai berubah jingga ketika Kieran berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Matanya menatap jauh, namun pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhir dengan Clara. Wajah gadis itu, dengan tatapan penuh keteguhan dan luka yang tersembunyi, terus membayanginya.Pintu diketuk pelan. Kieran membalikkan tubuhnya. Clara masuk dengan langkah hati-hati, membawa sebuah map berisi dokumen yang diminta Kieran siang tadi."Ini berkas laporan keuangan yang Anda minta," ucap Clara, menyerahkan map itu dengan tatapan profesional, tapi mata mereka sempat bertaut, dan keheningan sesaat menyergap.Kieran menerima map itu tanpa membuka, justru menatap Clara lebih lama dari yang seharusnya. "Kamu masih marah padaku?"Clara terdiam. Hembusan napasnya terdengar jelas di ruangan senyap itu. "Aku tidak marah. Aku hanya... belajar menjaga jarak.""Karena aku menyakitimu?" suara Kieran rendah, tapi jujur. "Karena aku terlalu pengecut untuk mengakui apa yang aku rasakan lebih awal?"Clar
Pagi berikutnya, matahari memantul cerah di permukaan laut, menandai awal tugas baru bagi Clara dan Kieran—meski keduanya masih tersisa sisa euforia bulan madu. Sebuah perahu nelayan kecil siap melaju menuju titik koordinat X4Y7, tempat Aretha mendeteksi residu laboratorium bawah laut.Clara mengenakan wetsuit biru gelap, ia menarik napas dalam melihat ombak yang menari-nari. “Kamu yakin siap?” tanya Kieran, merapikan snorkel di wajahnya.Clara membalas senyum, “Seperti biasa—bersamamu, aku siap.”Mereka menyelam bersama dua teknisi biologi dan satu penyelam penyelamat. Di kedalaman sepuluh meter, aria bawah laut memikat—karang warna-warni, ikan tropis berkelompok, tetapi semakin jauh mereka menjelajah, air tiba-tiba mendingin dan kerang-kerangan berlumut memudar.Aretha memancarkan sinyal: “Clara, sorot lampu di sebelah kanan, koordinat 10.672°N, 123.456°E. Ada struktur logam.”Di antara terumbu, nampak puing-puing rangka baja—pintu laboratorium kecil setengah terkubur, kaca panel
Udara sore terasa lebih hangat daripada biasanya. Di teras rumah besar itu, suara tawa kecil terdengar sesekali, membaur dengan aroma teh hangat dan kudapan yang baru saja disajikan.Angel duduk di samping Harry, menatap halaman depan yang kini penuh bunga musim semi bermekaran. Di antara mereka, Arka dan Naya sibuk bermain dengan puzzle besar di lantai kayu. Setiap tawa dan teriakan kecil anak-anak itu terasa seperti melengkapi kehidupan baru yang kini mulai tertata."Aku masih merasa ini semua seperti mimpi," kata Angel, menggenggam cangkir teh di tangannya. "Semua berubah begitu cepat."Harry menoleh, menatap wajah Angel dengan penuh kasih. "Kadang-kadang, hidup memang suka memberi kejutan," ujarnya lembut. "Tapi aku bersyukur kejutan itu membawamu ke hidupku."Angel tersenyum malu, pipinya bersemu merah. Ia tahu, segala luka masa lalu perlahan mulai sembuh. Ia tak lagi sendirian. Ia memiliki mereka—Harry, Arka, dan Naya. Sebuah keluarga yang ia impikan, kini menjadi nyata.Tak j
Persiapan pernikahan Clara dan Kieran berjalan jauh lebih sibuk daripada yang mereka bayangkan. Sejak pagi, apartemen kecil mereka dipenuhi dengan tumpukan undangan, contoh dekorasi, hingga kain-kain gaun yang dipilih Clara dengan penuh semangat.Di ruang tamu, Lena sedang membolak-balik katalog kue sambil sesekali mengunyah biskuit. Sementara Victor dan Kieran sibuk memasang lampu-lampu gantung kecil yang akan digunakan untuk pesta kebun di hari pernikahan mereka."Aku masih tidak percaya Kieran yang biasanya dingin itu sekarang rela mengurusi lampu-lampu dan pita," ejek Victor, tertawa sambil mengangkat sebelah alis.Kieran hanya mendengus tanpa menoleh. "Semua ini untuk Clara. Jangan iri."Victor tertawa lebih keras, membuat Lena ikut tergelak. Clara, yang dari tadi duduk di lantai sambil menulis daftar tamu, hanya menggelengkan kepala dengan senyum penuh kasih.Suasana menjadi hangat. Tidak ada tekanan, tidak ada ketakutan akan masa lalu—hanya orang-orang yang mereka cintai berk