LOGIN
"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.
Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.
Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.
Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.
Catelyn masih tertegun.
Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.
Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.
“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.
Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.
“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa datar.
“Aku kini bekerja di Aurora Development Group, perusahaan yang bonafide di Denver. Karirku tidak bisa ditunjang oleh gadis miskin dari kota terpencil. Keluarga Beckett memiliki kekuatan dan kekayaan yang bisa membantuku membangun masa depan. Bahkan jabatan manager bisa segera kudapatkan setelah pertunangan aku dan Molly Beckett nanti diresmikan.”
“Nielson…”
“Kau tak punya apa-apa. Dan aku tak butuh siapapun yang bisa menghalangi jalanku menuju sukses—termasuk kamu."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti duri yang menusuk tanpa ampun.
Catelyn hanya berdiri di sana, tak mampu berkata apa-apa.
Sementara itu, mantan kekasihnya bangkit dan melangkah mendekat, menatapnya dengan pandangan dingin dan mengancam.
"Dan satu hal lagi," ujar Nielson, mendekat ke wajah Catelyn dengan tatapan penuh tuntutan. "Jangan berani-berani mengungkapkan pada siapapun kalau kita pernah memiliki hubungan. Kalau sampai aku mendengar kau mengatakan sesuatu… kau akan sangat menyesal."
Amarah berkobar dalam diri Catelyn. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar menahan emosi. "Aku akan membongkar siapa dirimu sebenarnya. Aku tidak akan diam saja!"
Pria itu mendengkus kesal. “Silakan saja kau berbuat macam-macam, aku pastikan hidupmu mengalami kesulitan di sini! Kau bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa-siapa di kota ini! Jangan mengujiku, Catelyn!”
Ia melakukan satu panggilan dan berkata pada seseorang di sana, “Panggil keamanan untuk ke ruanganku.”
Catelyn membelalakkan mata, tak percaya mantan kekasihnya berniat mengusir dirinya dari kantor dengan kasar.
“Nielson, kau benar-benar kejam! Setelah empat tahun bersama dan setelah semua yang aku korbankan untukmu, kau buang aku?!”
Belum sempat Catelyn menyemburkan kemarahan lainnya, dua orang berseragam masuk ke ruangan Nielson.
“Bawa wanita ini. Ingat baik-baik wajahnya dan jangan pernah izinkan dia masuk ke kantor lagi!” perintah Nielson tanpa sedikit pun perasaan bersalah.
“Kau keterlaluan!!” Saat Catelyn berusaha mendekati Nielson untuk menuntaskan kemarahannya, dua petugas keamanan itu menghadangnya dan tanpa ampun mengusirnya keluar gedung.
Catelyn terpaku di luar, merasakan rasa sakit dan penghinaan yang mendalam.
Namun, ia menegakkan tubuhnya, menatap kosong ke arah gedung megah di depannya, beberapa saat tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Tidak ada airmata, Catelyn hanya terus menatap ke sana.
Tidak pernah terbayang bahwa lelaki yang begitu ia percaya dan membuat dirinya mengorbankan banyak hal, kini mendepaknya seperti barang tak berharga.
Bahu gadis itu berguncang pelan.
Ia bukan menangis, melainkan justru terkekeh. Itu tawa kecil penuh kepahitan.
“Bodoh.”
Umpatan itu pun untuk dirinya sendiri.
Setelah menarik napas dalam-dalam dengan kepedihan, Catelyn berbalik dengan masih menyimpan sakit dan bara dalam dada.
Ia melangkah cepat menuju pinggir jalan, dengan tatapan yang seketika terhenti pada satu taksi yang tengah parkir di satu sudut.
Dengan cepat, ia berjalan ke arah taksi tersebut dan langsung membuka pintu belakang dan masuk.
"Cepat, antar aku," ujarnya, tanpa menyebut alamat pasti, dengan nada putus asa.
Pria yang duduk di kursi depan, kursi samping sopir, tampak terkejut dengan kedatangan Catelyn yang tiba-tiba.
“Nona―” Ia hendak protes, namun terpotong oleh tatapan tajam dan suara bentakan Catelyn yang penuh emosi.
"Cepat jalan!! Aku akan membayarmu, jadi shut the fuck up, and drive!"
Pria itu terdiam, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang mendalam.
Sadar dengan kondisi gadis itu yang tampak kacau dan begitu emosional, pria tersebut mengurungkan niatnya untuk membantah.
Catelyn kini tertunduk, menahan agar air mata yang menggenang di sana, tak sampai jatuh. Hatinya hancur, dan kesedihannya tak mampu ia sembunyikan.
Pria di depan, hanya bisa menatapnya lewat kaca spion. Kedua manik birunya terpancar dengan tatapan simpati.
Melihat gadis di belakang yang tengah berjuang menahan tangis, membuat hatinya terasa berat untuk mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya, ia memutuskan untuk beraksi tanpa banyak bicara.
Pria bermanik biru itu membuka pintu samping, keluar dari kursi penumpang depan, dan berjalan mengitari mobil. Dengan gerakan tenang, ia membuka pintu sopir dan duduk di belakang kemudi, siap membawa Catelyn ke tempat yang gadis itu inginkan.
“Mau ke mana?” tanyanya dengan suara rendah yang pelan dan penuh ketenangan.
Catelyn menyebutkan sebuah alamat, dan pria bermata biru itu hanya mengangguk meskipun terlihat kurang paham.
Dengan segera ia menyetel ponselnya dalam posisi penelusuran alamat. Setelah sekilas melihat, pria itu menyalakan mesin mobil dengan kunci yang masih terpasang di sana.
Di belakang, Catelyn menghela napas kasar.
Bulir-bulir bening yang berusaha ia tahan sejak awal, kini lolos dari tempatnya. Rasa sesak dan sakit itu ia biarkan menghunjam dadanya yang terasa kian sesak oleh setiap kata Nielson yang terngiang dalam kepala.
Tangis pun pecah, Catelyn tidak menahan diri dan tanpa menutupi wajah, ia membiarkan semua rasa sakit yang menyesakkan itu keluar dengan sesenggukan pilu.
Mesin taksi yang menderu, tidak berhasil meredam isak tangis gadis itu.
Pria dibalik kemudi melirik spion lagi.
Gadis di belakangnya, tampak menyedihkan. Maskara juga eyeliner yang rembes karena airmata, membuat penampilan gadis itu kian berantakan.
Pria itu menghela napas dengan tertahan.
Dorongan simpati terhadap gadis itu, membuatnya mengikuti permintaan sang gadis tanpa banyak berkomentar.
* * *
Suara itu terdengar seperti keluar dari segala arah sekaligus, memantul di antara dinding logam dan baja.Ethan mendengus. “Aku tidak datang untuk bermain-main. Tunjukkan dia.”“Sabar,” Suara itu menggoda. “Pertama, letakkan semua senjatamu. Termasuk senjata di bawah jaketmu. Begitu pula anak buahmu.”Axel menoleh cepat ke Ethan, tapi Ethan hanya mengangkat tangan, tenang namun tajam.“Lakukan.”Keduanya meletakkan senjata di lantai, satu per satu. Suara logam jatuh menggema keras di ruangan sepi itu.“Bagus. Sekarang, berjalanlah mengikuti pemandumu.”Dari balik bayangan muncul seorang pria berpakaian serba gelap, membawa senter. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberi isyarat agar Ethan mengikutinya.Lorong yang mereka lewati sempit dan panjang. Bau lembap dan karat makin menusuk.Di ujung lorong, terdengar samar suara rintihan.Jantung Ethan berdegup keras. Ia mengenali suara itu.“Catelyn…”Ia berlari cepat ke depan—mendorong pintu baja besar dan menerobos masuk.Namun begitu cahaya
Di atas langit Denver – dalam helikopter.Dini hari, angin dingin memukul keras badan helikopter yang sedang melaju ke arah timur.Rotor berputar cepat, menggema di langit gelap.Ethan duduk di kursi depan, wajahnya dingin menatap layar tablet di pangkuannya. Matanya menyorot peta digital yang menampilkan rute menuju St. Louis.Rodney duduk di seberang, headset di telinga, mengatur komunikasi dengan pilot dan tim keamanan yang berada di helikopter lain.Tiba-tiba—layar tablet Ethan berkedip.Sebuah panggilan masuk. Tidak terdeteksi. Tidak ada nomor. Tidak ada sumber jaringan.Rodney menoleh cepat. “Tuan, sinyal itu—”“Diam.” Ethan mengangkat tangannya, matanya menajam. Ia menerima panggilan itu.Layar berubah—dan seketika napas Ethan tercekat.Catelyn.Terikat di kursi besi, tangannya diikat kasar dengan tali nilon. Mulutnya ditutup lakban. Cahaya remang menyoroti wajahnya yang pucat, dengan rambut berantakan menutupi sebagian pipi. Mata Catelyn membesar, bergetar ketakutan.Darah Eth
Langit Madison masih pekat.Di kamar utama Mansion Wayne, keheningan nyaris total—hanya terdengar detak halus jam antik di dinding.James Wayne terlelap di sisi Liliana, hingga getar lirih ponselnya di atas nakas memecah ketenangan.Dengan mata separuh terbuka, James meraba perangkat itu. Ia sempat ragu sejenak sebelum melihat nama yang muncul di layar.Rodney.James langsung bangun setengah duduk. Ia tahu, jika sampai ketua tim pengawal Ethan menghubungi dirinya —saat matahari bahkan belum benar-benar terbit, sesuatu yang penting pasti telah terjadi.“Rodney? Ada apa?” Suara James serak, tapi nada tegasnya masih terdengar jelas.Dari seberang, suara Rodney terdengar cepat dan berat napas. ‘Tuan Wayne, saya harus melapor segera. Saat ini saya bersama Tuan Wayne muda... kami bersiap lepas landas menuju St. Louis.’James mengerutkan alis. “St. Louis? Untuk apa?”‘Dia ba
Langit sore di atas Denver tampak kelabu, berat oleh awan dan sisa debu badai yang menggantung di udara. Dari jendela lebar penthouse Four Seasons, panorama kota yang biasanya megah kini tampak muram.Di dalam, ruangan utama lantai atas itu telah berubah total—bukan lagi ruang elegan tempat seorang miliarder menikmati senja, melainkan markas darurat pencarian yang tegang dan penuh tekanan.Beberapa layar besar menampilkan peta wilayah Amerika Tengah: garis-garis merah menandai jalur pergerakan, titik-titik biru berkelap-kelip menandai lokasi tim lapangan.Suara perangkat komunikasi dan langkah-langkah cepat bergema di udara. Di tengah ruangan itu, Ethan Wayne, berdiri tegak di depan meja besar yang dipenuhi dokumen dan peta digital.Wajahnya keras, mata birunya tajam seperti baja dingin, nyaris tanpa ekspresi—namun dari gerakan jarinya yang mengepal, amarah dan keputusasaan terselubung begitu jelas.Dua puluh jam telah berlalu sejak Cat
Malam menyelimuti tepian sungai. Kabut tipis melayang di atas permukaan air, memecah sinar lampu dermaga menjadi pita-pita oranye yang bergetar.Di kejauhan, siluet jembatan dan kontur kota St. Louis berdiri seperti bayangan kenangan—terlihat megah, tapi jauh. Tak satu pun menyadari apa yang berlangsung di bawahnya.Helikopter menderu rendah, lampu sorotnya menumpuk pada lembaran gelap gudang tua. Suara rotor menghembuskan angin yang keras, mengoyak dedaunan kering di tepi dermaga dan mengirim serpihan kertas yang tertinggal melayang.Di bawah bayangan mesin itu, tiga sosok berwajah tegang bergerak cepat, menurunkan sebuah keranda kecil berlapis kain dari kabin yang remang.Salah satu dari mereka—lebih tua, bergerak sigap namun terlihat lelah—menggotong tubuh yang tak berdaya dan rapuh: Catelyn.Catelyn terjaga dengan separuh penglihatan; rambutnya menempel lembap di pelipis. Napasnya tersengal, terombang-ambing antara kebingungan
Ethan kembali melangkah menuju ruangan lain di penthouse, yang telah disulap menjadi seperti ruang kontrol.Ruangan itu terasa seperti pusat komando kecil yang terangkat dari film—dinding dipenuhi layar datar, peta digital Denver membentang di satu monitor besar, kamera-kamera CCTV menampilkan ubin-ubin mall, koridor, dan beberapa titik kejadian.Lampu redup di langit-langit memberi kesan operasi darurat; layar-layar berkelip, angka dan koordinat bergerak tak henti.Ethan berdiri di depan salah satu layar, jasnya masih terangkat di bahu, wajahnya pucat oleh amarah yang tertahan kecemasan. Matanya yang biru menatap setiap feed dengan intensitas pemburu.Di belakangnya, Rodney dan beberapa anggota tim duduk di meja konsol, mengetik perintah, memindai ulang rekaman, memanggil kontak, menghubungi pihak-pihak terkait.“Sampai sekarang, tidak ada jejak kendaraan yang teridentifikasi membawa nona,” laporan salah satu operator terdengar d







