Home / Romansa / Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali / BAB 2 : Bukan Lagi Tempatnya

Share

BAB 2 : Bukan Lagi Tempatnya

Author: reefisme
last update Last Updated: 2025-02-10 19:38:35

Catelyn turun dari taksi dengan tergesa-gesa, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang menggelayuti sejak meninggalkan kantor Nielson tadi.

Hari ini bukan hari yang baik, ia mendapatkan patah hati yang amat buruk, namun ia tak pernah menduga hal buruk lain tengah menunggunya.

Dengan langkah cepat, ia memasuki gedung apartemen, berharap ruangan kecilnya bisa memberikan sedikit ketenangan dari dunia luar yang semakin menyempitkan napasnya.

Namun, begitu pintu apartemen terbuka, langkahnya terhenti. Matanya membelalak melihat isi apartemennya berantakan.

Pakaian-pakaian yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berserakan di lantai. Beberapa pigura foto kecil bergeletakan di sudut ruang, pecahannya berserakan di karpet.

“Apa yang terjadi di sini?” gumamnya dengan napas tercekat.

Suaranya terputus ketika ia melihat sosok wanita paruh baya yang tengah menghempas sekotak barang keluar dari kamar tidur.

“Nyonya Stokes?” Catelyn melangkah maju dengan kebingungan. Nyonya Stokes adalah ibu Nielson, lelaki yang baru saja menjadi mantannya.

Wajah bingung Catelyn tercetak nyata, bagaimana ibu mantannya itu bisa berada di kota Denver ini?

Wanita yang dipanggil Catelyn itu menoleh, dengan mata menyipit penuh kebencian. “Kau! Apa yang kau lakukan di sini?”

Kening Catelyn berkerut. “Ini apartemenku. Apa yang Anda lakukan? Kenapa barang-barangku berserakan?”

Nyonya Stokes tertawa sinis. “Apartemenmu? Jangan bermimpi, Catelyn. Nielson sudah memutuskanmu, dan aku takkan membiarkanmu terus menempel padanya seperti lintah!”

Catelyn berdiri terpaku, terkejut oleh kata-kata wanita itu. “Dari mana Anda mendengar itu, Nyonya Stokes? Nielson dan aku baik-baik saja. Hanya ada kesalahpahaman antara kami dan―”

“Apa kau pikir aku bodoh?! Aku tahu Nielson sudah memutuskanmu! Lagipula untuk apa dia bertahan denganmu, sementara ada gadis yang jauh lebih baik untuknya?”

Catelyn membeku. Hatinya terasa perih kembali.

‘Secepat itu Nielson memberitahukan ibunya tentang mereka. Bahkan membuat ibunya datang dari kota Basalt ke ibukota Colorado ini hanya untuk mengusirnya? Apakah Nielson benar-benar serius mengakhiri hubungan ini?’

“Tunggu apalagi! Pergilah dan bawa barang-barangmu keluar!”

Bagai disiram air, Catelyn kembali tersadar.

Dengan suara menahan amarah, ia berkata, “Sekalipun kami putus, tapi ini tidak ada hubungannya dengan apartemen ini. Aku yang membayar sewanya.”

“Kau? Membayar sewa?” Nyonya Stokes menutup mulutnya seakan menahan tawa. “Sudahlah, Catelyn. Kau hanya bermimpi. Nielson-lah yang membayar semua ini. Bagaimana mungkin kau mampu membayar apartemen di downtown Denver ini? Kau sebelumnya bahkan hanya bekerja serabutan.”

Wajah Catelyn memerah karena emosi. “Anda yang bermimpi. Akulah yang membayar uang muka dan sewanya selama ini. Tanyakan pada Nielson kalau Anda tidak percaya!”

“Oh, aku sudah bicara dengan Nielson, Sayang. Dan dia yang memintaku datang ke sini untuk memastikan kau keluar dari hidupnya. Dia akan segera bertunangan dengan gadis dari keluarga kaya. Jadi kemasi barang-barangmu dan pergi!”

Darah Catelyn mendidih. Tidak percaya, ia merogoh ponselnya dan menelepon Nielson. Butuh beberapa saat sebelum panggilan itu dijawab.

‘Ada apa?’ Suara pria di seberang terdengar dingin.

“Nielson, apa-apaan ini? Kenapa ibumu ada di apartemenku dan membuang barang-barangku?”

Hening sesaat sebelum suara Nielson terdengar lagi. ‘Catelyn, aku pikir aku sudah cukup jelas saat terakhir kita bicara. Aku tidak mau ada lagi urusan apa pun denganmu. Lagipula, apartemen itu adalah milikku. Kau seharusnya sudah pergi sejak kemarin.’

“Apa maksudmu?” Suara Catelyn bergetar. “Aku yang membayar sewa apartemen ini! Uang mukanya juga dari tabunganku!”

‘Itu memang benar, tapi perjanjian sewanya atas namaku. Kau sendiri tahu, jika pengajuan atas namamu, mereka akan menolaknya. Karena kau hanya pengangguran. Jadi, ya, secara hukum ini adalah apartemenku.’

Kata-kata itu seperti tamparan di wajahnya. Catelyn terdiam, merasakan dadanya sesak. Ia menggenggam ponsel erat-erat, mencoba menahan air mata yang mengancam tumpah.

“Kau tahu dengan jelas, mengapa aku berhenti bekerja. Kau yang memintaku. Kau juga bilang, saat kau bekerja di ADG, kau akan membahagiakanku dan menanggung semuanya!”

Terdengar dengkus jengkel dari lawan bicara Catelyn. ‘Sekalipun kau tidak berhenti bekerja, apa kau pikir pengajuan sewa dari gadis pelayan toko atau kurir sepertimu akan dikabulkan mereka? Jangan mimpi!’

“Nielson―”

‘Aku ingin kau pergi dari sana. Jangan buat semuanya lebih sulit, Catelyn.’

“Itu tabunganku! Nielson... aku tidak percaya kau akan setega ini. Setelah semua yang kulakukan untukmu―”

‘Sadarlah Catelyn. Mulai saat ini kau perlu menyadari diri sendiri. Ini sudah keputusan yang terbaik untuk kita berdua. Sekarang pergilah dan jangan membuat keributan.’

Klik. Sambungan telepon terputus.

Catelyn berdiri termangu, ponsel di tangannya terasa berat. Ia merasa seperti orang bodoh, seperti boneka yang dipermainkan.

Sementara itu, Nyonya Stokes mendekat dengan senyum kemenangan di wajahnya.

“Kau dengar sendiri, kan? Aku sudah bilang. Sekarang, cepatlah kemasi barang-barangmu. Jangan membuatku harus memanggil keamanan.”

Catelyn memandang wanita itu dengan tatapan penuh luka dan kemarahan.

Ingin rasanya ia melawan, membalas perlakuan keji itu. Namun ia tahu, ia tak punya kekuatan apa pun. Saat ini.

Dengan berat hati, ia mulai mengemas barang-barang miliknya yang tersisa.

Setiap barang yang dimasukkan ke dalam koper terasa seperti memotong sedikit demi sedikit harga dirinya. Ia segera menyusut airmata yang sempat menetes, ia tidak mau memberikan kepuasan kepada Nyonya Stokes.

Ketika akhirnya koper tertutup, Catelyn menarik napas panjang.

Ia menatap apartemen itu untuk terakhir kalinya. Tempat yang selama ini ia anggap rumah, kini menjadi tempat yang paling asing dan penuh luka.

“Aku sudah selesai,” katanya dengan suara pelan namun tegas.

“Bagus,” jawab Nyonya Stokes. “Kau hanya perlu menemukan tempat yang lebih sesuai dengan statusmu.”

Catelyn tidak menanggapi.

Ia berjalan keluar dengan kepala tegak, membawa semua barang miliknya di kedua tangannya.

Sementara itu di luar.

Sebuah Rolls-Royce Phantom—mobil yang hanya dimiliki segelintir miliarder Amerika—berhenti tepat di belakang taksi yang tampaknya sejak tadi berdiam di tepi jalan tepat di seberang apartemen.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 195 : Mengikuti Rencana

    Suara itu terdengar seperti keluar dari segala arah sekaligus, memantul di antara dinding logam dan baja.Ethan mendengus. “Aku tidak datang untuk bermain-main. Tunjukkan dia.”“Sabar,” Suara itu menggoda. “Pertama, letakkan semua senjatamu. Termasuk senjata di bawah jaketmu. Begitu pula anak buahmu.”Axel menoleh cepat ke Ethan, tapi Ethan hanya mengangkat tangan, tenang namun tajam.“Lakukan.”Keduanya meletakkan senjata di lantai, satu per satu. Suara logam jatuh menggema keras di ruangan sepi itu.“Bagus. Sekarang, berjalanlah mengikuti pemandumu.”Dari balik bayangan muncul seorang pria berpakaian serba gelap, membawa senter. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberi isyarat agar Ethan mengikutinya.Lorong yang mereka lewati sempit dan panjang. Bau lembap dan karat makin menusuk.Di ujung lorong, terdengar samar suara rintihan.Jantung Ethan berdegup keras. Ia mengenali suara itu.“Catelyn…”Ia berlari cepat ke depan—mendorong pintu baja besar dan menerobos masuk.Namun begitu cahaya

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 194 : Dia Sudah Datang

    Di atas langit Denver – dalam helikopter.Dini hari, angin dingin memukul keras badan helikopter yang sedang melaju ke arah timur.Rotor berputar cepat, menggema di langit gelap.Ethan duduk di kursi depan, wajahnya dingin menatap layar tablet di pangkuannya. Matanya menyorot peta digital yang menampilkan rute menuju St. Louis.Rodney duduk di seberang, headset di telinga, mengatur komunikasi dengan pilot dan tim keamanan yang berada di helikopter lain.Tiba-tiba—layar tablet Ethan berkedip.Sebuah panggilan masuk. Tidak terdeteksi. Tidak ada nomor. Tidak ada sumber jaringan.Rodney menoleh cepat. “Tuan, sinyal itu—”“Diam.” Ethan mengangkat tangannya, matanya menajam. Ia menerima panggilan itu.Layar berubah—dan seketika napas Ethan tercekat.Catelyn.Terikat di kursi besi, tangannya diikat kasar dengan tali nilon. Mulutnya ditutup lakban. Cahaya remang menyoroti wajahnya yang pucat, dengan rambut berantakan menutupi sebagian pipi. Mata Catelyn membesar, bergetar ketakutan.Darah Eth

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 193 : Menuju St. Louis

    Langit Madison masih pekat.Di kamar utama Mansion Wayne, keheningan nyaris total—hanya terdengar detak halus jam antik di dinding.James Wayne terlelap di sisi Liliana, hingga getar lirih ponselnya di atas nakas memecah ketenangan.Dengan mata separuh terbuka, James meraba perangkat itu. Ia sempat ragu sejenak sebelum melihat nama yang muncul di layar.Rodney.James langsung bangun setengah duduk. Ia tahu, jika sampai ketua tim pengawal Ethan menghubungi dirinya —saat matahari bahkan belum benar-benar terbit, sesuatu yang penting pasti telah terjadi.“Rodney? Ada apa?” Suara James serak, tapi nada tegasnya masih terdengar jelas.Dari seberang, suara Rodney terdengar cepat dan berat napas. ‘Tuan Wayne, saya harus melapor segera. Saat ini saya bersama Tuan Wayne muda... kami bersiap lepas landas menuju St. Louis.’James mengerutkan alis. “St. Louis? Untuk apa?”‘Dia ba

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 192 : Berikan Pesta Untuk Mereka

    Langit sore di atas Denver tampak kelabu, berat oleh awan dan sisa debu badai yang menggantung di udara. Dari jendela lebar penthouse Four Seasons, panorama kota yang biasanya megah kini tampak muram.Di dalam, ruangan utama lantai atas itu telah berubah total—bukan lagi ruang elegan tempat seorang miliarder menikmati senja, melainkan markas darurat pencarian yang tegang dan penuh tekanan.Beberapa layar besar menampilkan peta wilayah Amerika Tengah: garis-garis merah menandai jalur pergerakan, titik-titik biru berkelap-kelip menandai lokasi tim lapangan.Suara perangkat komunikasi dan langkah-langkah cepat bergema di udara. Di tengah ruangan itu, Ethan Wayne, berdiri tegak di depan meja besar yang dipenuhi dokumen dan peta digital.Wajahnya keras, mata birunya tajam seperti baja dingin, nyaris tanpa ekspresi—namun dari gerakan jarinya yang mengepal, amarah dan keputusasaan terselubung begitu jelas.Dua puluh jam telah berlalu sejak Cat

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 191 : Satu Nama

    Malam menyelimuti tepian sungai. Kabut tipis melayang di atas permukaan air, memecah sinar lampu dermaga menjadi pita-pita oranye yang bergetar.Di kejauhan, siluet jembatan dan kontur kota St. Louis berdiri seperti bayangan kenangan—terlihat megah, tapi jauh. Tak satu pun menyadari apa yang berlangsung di bawahnya.Helikopter menderu rendah, lampu sorotnya menumpuk pada lembaran gelap gudang tua. Suara rotor menghembuskan angin yang keras, mengoyak dedaunan kering di tepi dermaga dan mengirim serpihan kertas yang tertinggal melayang.Di bawah bayangan mesin itu, tiga sosok berwajah tegang bergerak cepat, menurunkan sebuah keranda kecil berlapis kain dari kabin yang remang.Salah satu dari mereka—lebih tua, bergerak sigap namun terlihat lelah—menggotong tubuh yang tak berdaya dan rapuh: Catelyn.Catelyn terjaga dengan separuh penglihatan; rambutnya menempel lembap di pelipis. Napasnya tersengal, terombang-ambing antara kebingungan

  • Di Balik Kemudi Sang Pemegang Kendali   BAB 190 : Pencarian

    Ethan kembali melangkah menuju ruangan lain di penthouse, yang telah disulap menjadi seperti ruang kontrol.Ruangan itu terasa seperti pusat komando kecil yang terangkat dari film—dinding dipenuhi layar datar, peta digital Denver membentang di satu monitor besar, kamera-kamera CCTV menampilkan ubin-ubin mall, koridor, dan beberapa titik kejadian.Lampu redup di langit-langit memberi kesan operasi darurat; layar-layar berkelip, angka dan koordinat bergerak tak henti.Ethan berdiri di depan salah satu layar, jasnya masih terangkat di bahu, wajahnya pucat oleh amarah yang tertahan kecemasan. Matanya yang biru menatap setiap feed dengan intensitas pemburu.Di belakangnya, Rodney dan beberapa anggota tim duduk di meja konsol, mengetik perintah, memindai ulang rekaman, memanggil kontak, menghubungi pihak-pihak terkait.“Sampai sekarang, tidak ada jejak kendaraan yang teridentifikasi membawa nona,” laporan salah satu operator terdengar d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status