Masuk
Maira sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan mengubah hidupnya. Ruang dosen itu sepi, hanya ada bunyi AC yang berdengung dan aroma kopi yang baru diseduh. Di meja kerjanya, berkas-berkas menumpuk seperti biasa, tapi ada satu map berlogo universitas yang diletakkan paling atas, seolah sengaja dipamerkan.
Prof. Hamdani, salah satu dosen yang paling beken dan dikagumi banyak maahsiswa menatapnya dengan senyum yang sangat hangat seperti biasa.
“Maira,” panggilnya, nada suaranya rendah tapi membawa kesan penting. “Duduklah.”
Maira duduk, menahan diri agar tidak terlihat terlalu tegang. Jari-jarinya saling meremas secara refleks. Di balik wajah manisnya, pikirannya berputar, kenapa aku dipanggil? Ada yang salah dengan proposal prngajuan risetku?
Prof. Hamdani membuka map itu perlahan, seolah ingin membangun suasana dramatik.
“Seperti yang kamu tahu,” katanya sambil menautkan kedua tangannya, “setiap tahun kita hanya memilih satu mahasiswa untuk riset lapangan di luar negeri. Tempatnya terbatas, aksesnya pun tidak mudah.”
Maira mengangguk, memahami betul akan program bergengsi itu. itu sebabnya, Maira mengikuti prosesnya, bersaing dan sangat berambisi untuk bisa terpilih. Tapi ia tidak berani berharap terlalu jauh.
Prof. Hamdani menatapnya lama, sampai-sampai Maira merasa seperti sedang dilihat tembus ke dalam dirinya.
“Kamu terpilih, Maira.”
Jantungnya terhenti sepersekian detik.
“Ter- terpilih?” suaranya nyaris pecah, meski ia berusaha menahan ekspresinya tetap profesional.
“Ya,” jawab sang profesor sambil tersenyum puas. “Kamu akan berangkat ke Abu Dhabi. Kamu akan melakukan riset langsung di Kedutaan Besar. Tidak semua orang punya kesempatan ini.”
Tubuh Maira menegang, bukan karena takut, melainkan karena kegembiraan yang coba ia kendalikan. Riset di kedutaan adalah batu loncatan besar, lebih besar dari yang ia bayangkan. Bisa mengubah karier akademiknya, bahkan masa depannya.
“Terima kasih banyak, Prof. Saya, saya sangat menghargai kesempatan ini.”
“Kesempatan ini harus kamu manfaatkan sebaik mungkin.” Nada suara Prof. Hamdani berubah tipis, bukan mengancam, tapi mengikat.
Maira mengangguk cepat. “Tentu, Prof. Saya akan bekerja keras.”
Sang profesor kemudian bersandar, matanya menyipit seperti sedang menilai sesuatu.
“Ada hal-hal yang mungkin tidak akan dicatat dalam laporan resmi mereka,” katanya pelan. “Budaya kerja, dinamika internal, bagaimana diplomat berinteraksi. Hal-hal yang tidak bisa kamu dapatkan dari buku.”
Maira mencoba menangkap arah ucapannya. Ada sesuatu yang berbeda.
“Observasi kecil itu, kadang jauh lebih berharga,” ucap Professor dengan menutup map itu dengan lembut namun tegas.
“Kamu paham maksud saya?”
Maira terdiam. Ia paham atau ia pikir ia paham. Bagaimanapun, dosennya tak pernah memberikan instruksi secara gamblang. Dosennya selalu menyelipkan makna, meminta muridnya membaca di antara baris. Dan karena Maira ambisius, terlalu ambisius, mahasiswi itu selalu mencoba memenuhi ekspektasi itu.
“Baik, Prof,” ucapnya akhirnya. “Saya akan mengamati semuanya.”
Profesor Hamdani tersenyum puas, lalu menyodorkan map itu padanya.
“Berangkat minggu depan. Persiapkan diri, dan,” matanya menatap lebih dalam, “jangan ceroboh, Maira. Kedutaan bukan tempat yang bisa kamu perlakukan seperti ruang penelitian biasa.”
Ada sesuatu pada cara ia mengucapkannya yang membuat bulu kuduk Maira berdiri. Namun ia mengabaikannya. Fokusnya hanya satu yaitu peluang yang tidak boleh ia lewatkan. Ambisi itu menutup rapat semua kemungkinan bahaya yang tersembunyi.
“Terima kasih, Prof,” ucapnya sekali lagi, kali ini dengan suara lebih mantap. “Saya tidak akan mengecewakan.”
Saat ia keluar dari ruangan menuju kelasnya, map di tangannya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Bukan hanya karena dokumen-dokumen di dalamnya, tapi karena tanggung jawab, ekspektasi, dan sesuatu yang belum ia sadari sepenuhnya.
Suasana ruang kelas sudah sepi. Hanya terdengar bunyi gesekan kursi dan kertas yang dilipat tergesa. Maira masih membereskan buku-bukunya, matanya fokus pada tumpukan catatan yang berantakan. Ia hampir melonjak kaget ketika suara seseorang memecah kesunyian.
“Lo kepilih riset ke kedutaan di Abu Dhabi?!”
Maira menoleh cepat. Mela berdiri beberapa langkah darinya, mata terbelalak seperti habis mendengar gosip paling gila seantero kampus. Maira mengatupkan bibir, sedikit menahan senyum.
“Kok lo tau?”
“Prof Hamdani kan pasti keliatan banget kalau ada yang berhasil ikut program limited begini,” desis Mela sambil mendekat. “Terus dia nyari lo tado. Gue udah curiga.”
Maira mendesah, memasukkan satu map terakhir ke tas. “Iya. Gue kepilih.”
Mela langsung menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. “Gila. Lo. Sumpah.”
Ada kekaguman di suaranya, tapi juga sesuatu yang terdengar seperti kekhawatiran. Maira pura-pura tidak mendengarnya.
“Ini kesempatan bagus, Mel. Sekali seumur hidup.”
“Ya jelas bagus,” balas Mela cepat. “Tapi lo sadar kan, ini bukan kayak riset biasa? Itu kedutaan, Mai. Aksesnya terbatas, protokolnya ribet, dan-”
Maira memotong, “dan justru itu yang bikin ini berharga.”
Mela menatapnya lama, seolah sedang mencoba menerobos lapisan ambisi yang begitu tebal di mata sahabatnya itu.
“Lo sadar gak,” katanya pelan, “kalau Prof Hamdani itu suka banget nitip hal-hal ‘tambahan’? Kayak yang waktu riset di perbatasan itu. Lo yang jungkir balik sendirian, dia tinggal nunggu hasil.”
Maira berhenti mengancingkan tasnya. Ada jeda kecil, tipis, sebelum ia tersenyum tipis.
“Itu bagian dari proses belajar.”
“Serius?” Mela memicingkan mata, “atau lo cuma terlalu percaya sama beliau? Selalu iya-iya aja karena lo pengen perform?”
Pernyataan itu menusuk lebih dalam dari yang Maira harapkan. Ia berdiri, menutup resleting tasnya dengan sedikit terlalu keras. “Gue tau batasan, Mel. Gue tau apa yang gue kerjain.”
“Lo pikir lo tau,” gumam Mela, hampir tidak terdengar.
Tapi Maira mendengarnya. Dan entah kenapa, kata-kata itu membuat dadanya terasa berat, seolah memang ada kemungkinan kecil bahwa Mela bisa saja benar.
Maira menepis perasaan itu. “Gue cuma butuh fokus. Ini kesempatan emas.”
Mela mengembuskan napas panjang, lalu berdiri dan meraih bahu Maira. “Gue bangga sama lo. Beneran. Lo kerja keras banget selama ini. Tapi janji satu hal.”
Maira mengangkat dagu. “Apa?”
“Jangan jadi alat. Bahkan buat orang yang lo hormatin.”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Maira tersenyum kecil, tapi matanya tidak sepenuhnya tenang. “Gue tau apa yang gue lakuin.”
Mela tidak membalas. Dia hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan yang sulit, seperti seseorang yang sedang melihat seseorang lain berjalan menuju tempat yang tidak benar-benar ia pahami.
Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.
Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos
Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair
Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber
Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl
Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras







