Beranda / Romansa / Di Balik Pintu Gelap Diplomat / Bagian 2 - Keberangkatan

Share

Bagian 2 - Keberangkatan

Penulis: Daisy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 23:55:41

Pagi itu bandara Soekarno–Hatta terasa lebih bising dari biasanya atau mungkin hanya perasaan Maira saja. Trolley-nya berderit pelan ketika ia mendorongnya menuju area keberangkatan internasional, sementara matanya sibuk mencari tanda penerbangan menuju Abu Dhabi. Perutnya terasa seperti diikat simpul. Antara gugup, bersemangat, dan sedikit takut.

Mela berjalan di sampingnya, sibuk menahan diri untuk tidak tampak sedih. “Lo yakin udah siap?”

Maira mengangguk tanpa ragu. “Ini cuma riset, Mel. Bukan perang dunia.”

“Justru itu yang bikin gue khawatir,” balas Mela cepat. “Lo suka negeremehin hal-hal yang kelihatannya simpel.”

Maira terkekeh pendek, meski hatinya tidak benar-benar ringan. “Gue siap kok.”

Mela menghentikan langkahnya, memegang lengan Maira. “Lo siap secara akademik, ya. Tapi secara... entah, gimana ya... secara insting? Lo kadang terlalu fokus sampai gak liat bahaya.”

Baru mau menjawab, nada pemberitahuan bandara memecah percakapan.

“Passengers on flight EY475 to Abu Dhabi, please proceed to gate.”

Maira menarik napas panjang. “Itu gue sudah dipanggil.”

“Mai,” Mela menatapnya serius, “lo tau gue dukung lo seratus persen. Tapi tolong, jangan terlalu percaya sama orang. Bahkan yang keliatan baik atau yang keliatan jenius. Gue tahu lo nggak bego, lo lebih cerdas dari yang gue yakini.”

Untuk sesaat, keraguan kecil menyelip masuk ke dada Maira. Kata-kata profesor, tatapannya, pesan samar yang seperti meminta lebih dari sekadar riset budaya, semuanya tercium samar-samar sebagai peringatan. Tapi ia mengusirnya pergi.

“Gue bukan anak kecil, Mel,” ucap Maira, suaranya mantap. “Gue tau apa yang gue kejar dan gue nggak akan lupa omongan lo.”

Mela memeluknya erat, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan dengan kata-kata. “Lo keras kepala banget.”

“Ambisius,” koreksi Maira sambil tersenyum. “Itu beda.”

“Kadang bedanya tipis, Mai.”

Maira hanya membalas dengan senyum yang lebih tipis. Lalu berjalan menuju boarding gate, antrean sudah mulai memanjang. Orang-orang dari berbagai negara bercampur, wisatawan, ekspatriat, pebisnis. Maira menarik koper kecilnya, merasakan degup jantungnya semakin cepat.

Ketika ia menyerahkan boarding pass, petugas bandara tersenyum ramah. “Selamat jalan. Semoga perjalanannya menyenangkan.”

Maira mengangguk, tapi suara itu hanya lewat di telinga. Fokusnya sudah tertuju pada satu hal, Abu Dhabi. Kota pasir dan langit biru. Kedutaan besar dengan protokol ketat. Lingkungan diplomatik yang formal, dingin, dan penuh rahasia.

Maira sudah membayangkan semuanya, tapi tidak satu pun bayangan itu mendekati kenyataan yang menunggunya. Di dalam pesawat, Maira duduk di dekat jendela. Ketika pesawat mulai bergerak di landasan, ia menatap keluar, menelan ludah pelan.

“Ini awal,” bisiknya pada diri sendiri.

Perjalanan menghabiskan kurang lebih 8 jam dan itu sangat melelahkan bagi Maira yang jarang sekali bepergian ke luar negeri. Saat kakinya menapaki tanah Abu Dhabi, semuanya terasa begitu berbeda. Apalagi, saat ada selebaran nama lengkapnya terpampang yang diangkat seorang pria bersetelan rapi.

“MAIRA PERMATA RASTANTI – INDONESIAN EMBASSY”

Pria itu menghampirinya dengan sopan. “Miss Maira? We’ve been informed of your arrival. Please, follow me.”

Bahasa Inggrisnya lancar, formal, dan tanpa senyum. Tipikal staf diplomatik.

Maira mengangguk kaku. “Y-yes.”

Benar-benar wujud dari kemewahan Abu Dhabi. Mulai dari mobil hitam mengilap yang membawanya, pemandangan gedung-gedung tinggi yang seolah memantulkan cahaya matahari gurun, hingga boulevard panjang yang dipenuhi lampu-lampu modern. Maira menatap keluar jendela, nyaris lupa bernapas.

Sepanjang perjalanan ia seperti dipaksa melihat dunia yang tidak pernah ia bayangkan untuk disentuh. Ketika mobil berbelok menuju area kedutaan, sebuah gedung besar menjulang dengan arsitektur kokoh bercampur sentuhan Timur Tengah.

Tidak berlebihan jika dibilang memukau. Dinding kaca memantulkan langit yang biru sempurna, dan bendera merah-putih berkibar anggun di tengah terik matahari. Sebelum Maira sempat menata napas, seseorang sudah berada di sisi pintu mobil, membukanya dengan gerakan rapi dan formal.

“Silakan turun, Anda diharuskan bertemu dengan petinggi Abu Dhabi untuk penyambutan Anda,” ucap pria itu dengan suara rendah, tenang, dan sangat profesional, seolah ia sudah berdiri di sana beberapa menit sebelum mobil itu benar-benar tiba.

Perut Maira seketika mencelos.

‘Petinggi Abu Dhabi? Untuk penyambutan? Aku?’

Itu terdengar jauh melampaui lingkup seorang peneliti yang baru datang untuk riset budaya.

Maira menatap pria itu, bingung. “Maaf, saya? Bertemu petinggi?”

Pria itu menundukkan kepala sedikit, sikapnya sopan tapi tegas. “Benar. Atas instruksi pihak internal kedutaan. Silakan ikut saya.”

Instruksi internal.

Dari siapa?

Untuk apa?

Degup jantung Maira meningkat tanpa izin. Ada sesuatu yang terasa tidak sepenuhnya wajar entah dirinya yang terlalu rendah hati, atau situasi yang memang di luar kebiasaan. High heels hitam itu menapakkan kaki ke anak tangga kedutaan yang dingin dan padat. Bangunan itu berdiri seperti raksasa yang sedang mengawasi siapa pun yang masuk, termasuk dirinya.

Ketika ia masuk ke dalam lobi, hawa AC langsung menyergap kulitnya. Marmer putih mengilap memantulkan langkahnya. Ruangan itu seakan berbisik tentang kekuasaan, protokol, dan rahasia yang tidak pernah tercatat di buku teks mana pun.

“Petinggi tersebut sedang menunggu di ruang pertemuan utama,” ucap pria tadi berjalan di depannya, langkahnya mantap.

Maira menelan ludah. “Boleh saya tahu siapa?”

Pria itu berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi netral namun tajam.

“Tuan Wisnutama Adnan Bin Malik.”

Nama itu bergema di kepala Maira, membawa sensasi dingin yang tidak ia mengerti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 8 - Semakin Tidak Terkendali

    Sebuah batu menghantam kaca samping kanan. Retakan halus menjalar cepat seperti jaring laba-laba. Maira menjerit kecil, tubuhnya refleks menciut.“Jangan bergerak,” perintah Wisnutama.Kerumunan semakin dekat. Beberapa orang memukul bodi mobil dengan tangan dan tongkat. Dentuman beruntun membuat ruang di dalam mobil terasa sesak.BRAK! Retakan kaca melebar dan serpihan kaca mulai runtuh ke dalam. Wisnutama langsung menarik tubuh Maira dengan satu gerakan cepat dan kuat. Lengan besarnya melingkar di bahu dan punggung Maira, menariknya ke dalam dadanya, menekan kepalanya ke sisi tubuhnya sendiri. Tubuhnya membentuk perisai penuh untuk melindungi mahasiswa risetnya.“Tutupi kepalamu,” ucapnya dekat telinganya.Panas tubuhnya langsung terasa. Detak jantungnya begitu stabil, konstan berlawanan dengan jantung Maira yang nyaris meledak. Bau khasnya yang maskulin, bersih, sedikit logam mencampur dengan debu dan ketegangan.PRANG! Kaca pecah sepenuhnya dan beberapa menghantam bahu Wisnutama.

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 7 - Aksi Demontrasi

    Maira menelan ludah. “Takut salah,” lanjutnya cepat sebelum keberaniannya runtuh. “Takut mengganggu pekerjaan Bapak. Takut dianggap tidak layak ada di sini.”Itu bukan pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang sarat akan ketakutan. Maira menggenggam erat tangannya di pangkuan dan entah bagaimana mobil terasa semakin sempit.“Maira, ketakutan akan membuat seseorang bekerja lebih lambat. Dan kelambatan adalah musuh terbesar dalam pekerjaan saya.”Maira mengangguk kecil. “Iya, Pak.”“Cukup berikan saya rasa hormat, bukan ketakutan. Lihat saya sebagai mentor kamu selama riset di sini. Jangan sampai ketakutan itu merusak kinerja kamu yang saya ingin saksikan dari peserta riset.”Pria itu membuka kembali catatan itu, membalik satu halaman, lalu halaman lain. Pensil mekanisnya berhenti di satu baris, mengetuk sekali, sebuah kebiasaan yang kini Maira kenali sebagai tanda ia sedang berpikir.“Struktur catatanmu sebenarnya cukup baik,” ucap Wisnutama tanpa menoleh. “Kamu menangkap konteks sos

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 6 - Takut Pada Saya?

    Maira langsung menyesal telah mengatakan pikiran otaknya. Pria itu menatapnya dengan biasa saja, tapi entah mengapa membuat Maira merinding karena Wisnutama hanya diam. Pria itu memiringkan kepala seolah memastikan bahwa apa yang didengarnya memang benar.“Ma-maksud saya, saya haus dan mau beli- iya mau beli minum hehe.”Rasyid segera menunduk, jelas berusaha menyembunyikan ekspresi geli. Sementara Maira ingin menghilang ke pasir gurun saat itu juga. Wisnutama tidak langsung menjawab, hanya tatapan tak bergeming.“Kamu pikir saya akan keberatan memberi kamu air?” suara rendah, tenang, hampir tidak berubah dari nadanya.“S-saya tidak bermaksud-”“Yang saya tanyakan sederhana.” Wisnu mengangkat botol sedikit. “Apakah kamu mau minum?”Maira merasa wajahnya memanas, bukan karena matahari. Melainkan rasa malu yang menyambutnya dengan kencang, perkara botol saja sudah membuat Maira ketakutan.“I-iya Pak.”Wisnu menyodorkan botolnya tanpa drama. Sangat natural dan seolah-olah permintaan Mair

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 5 - Hukuman

    Maira mematung. Kata hukuman meluncur terlalu cepat dari mulut pria itu dan membuat Maira ketakutan. Sial sekali, hari pertama sudah mendapat hukuman saja yang bahkan Maira sendiri pun belum duduk.Wisnutama bersandar ke kursinya, kedua tangan terlipat di atas meja, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Maira. Sorot itu menunjukkan bahwa pria itu sedang mengukur, menimbang, dan memutuskan apakah dirinya layak berada di ruangan ini.“Duduk.”Perintah itu membuat kaki Maira otomatis bergerak dan menarik kursi di depan meja. Berusaha tidak menunjukkan kegugupannya. Begitu ia duduk, Wisnutama kembali berbicara.“Sebelum saya menentukan hukuman apa yang pantas, saya ingin tahu sesuatu,” pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “ceritakan pada saya. Mengapa kamu terlambat?”Maira membuka bibir, menutupnya, lalu membuka lagi. Suaranya hampir tenggelam.“Saya... saya nyasar, Pak. Saya pikir ruangan Bapak berada di lantai yang sama seperti kemarin. Ditambah saya juga lupa ber

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 4 - Terlambat

    Rasanya ada hawa mengerikan saat menyebut dan mendengar nama pria itu. Wisnutama, Maira tidak menyangka bahwa pria itu begitu besar dengan sorot mata cokelatnya. Maira perkirakan tinggi pria itu 190 an, mengingat ia merasa begitu kecil di hadapannya yang hanya memiliki tinggi 155 cm ini.“Jika Anda membutuhkan apa pun, tekan tombol ini. Staf akan datang dalam waktu kurang dari lima menit. Dan ini kartu ID ruangan Anda.”Maira kembali mengingat ucapan Nadra yang memberinya informasi penting. Benar-benar luar biasa dan Maira tidak berhenti mengagumi lantai tiga selama melangkah ke kamarnya yang terasa berbeda dari lantai bawah. Lebih hangat, lampu kuning lembut, interior modern dengan sentuhan beige dan cokelat pasir. Karpet tebal meredam langkah kaki mereka.“Wah, ini sih setara hotel bintang lima,” gumam Maira yang mulai melangkah mengelilingi kamarnya yang baru.Kasur queen dengan linen putih bersih, meja kerja minimalis, TV besar yang terpasang di dinding, jendela lebar yang memperl

  • Di Balik Pintu Gelap Diplomat   Bagian 3 - Di Bawah Pengawasan Diplomat

    Ruang pertemuan utama benar-benar sesuai ekspektasinya dengan luasnya yang Maira perkirakan seperti dua rumah studionya. Lampu gantung modern memantulkan cahaya ke dinding marmer gading. Sebuah meja panjang dari kayu gelap memisahkan ruangan, ditemani satu set kursi kulit hitam yang tampak lebih cocok untuk negosiasi tingkat tinggi daripada penyambutan mahasiswa riset.Pria yang mengantarnya berhenti di depan pintu, mengetuk sekali, kemudian membukanya perlahan.“Silakan masuk.”Maira menarik napas, yang tidak memberi efek menenangkan sama sekali, lalu melangkah. Dan di sanalah, seseorang berdiri di sisi meja, membelakanginya, menatap jendela besar yang memperlihatkan bentangan kota Abu Dhabi. Siluetnya tegap, bahunya lebar, tubuhnya menunjukkan kedisiplinan yang tidak pernah membiarkan detail kecil terlewat. Saat ia menoleh, cahaya ruangan membingkai tatapannya yang cokelat gelap yang tenang, tajam, dan tatapan itu mendarat pada Maira.“Selamat datang di Abu Dhabi, Maira Permata Ras

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status