POV Fendi Aku bergegas menuju rumah Aina, akan terasa lama jika jalan kaki, aku segera mencari pimpinan proyek untuk meminjam motornya. "Mas Yikin, aku pinjam motornya." "Lama apa sebentar? Akan kupakai ke rumah Pak Dayat, menyelesaikan pembayaran upah," jawabnya. "Kalau lama, kuantar saja," lanjutnya. Dengan senang hati aku terima tawarannya, tidak sampai sepuluh menit sudah sampai depan rumah Aina. "Inikan rumah Pak Syarif menejer perusahaan?" ujar Mas Yikin "Iya, Mas Yikin kenal sama Pak Syarif?" "Kenal, tapi karena aku ada keperluan malam ini jadi tidak bisa mampir, salam ya buat Pak Syarif." Lelaki itu langsung tancap gas meninggalkan aku sendiri, bergegas aku menaiki tangga teras dan mengetuk pintunya. "Assalamualaikum." "Walaikumsalam, sebentar ya!" Terdengar suara keras seorang perempuan dari dalam, suaranya memang selalu selantang itu, walaupun penuh ketegasan, tetapi tetap mengandung kehangatan. "Fendi? Masuk!" Aku mengikutinya dan duduk di sofa ruang tamu. G
POV AinaPagi ini setelah salat subuh aku kembali tidur malas-malasan, namun aku yang tidak biasa tidur setelah subuh tidak bisa tidur, aku hanya bolak-balik sambil termenung menatap langit-langi kamar. Pembicaraan dengan Fendi tadi malam benar-benar mempengaruhi perasaanku, aku tahu kenapa Fendi begitu keras kepala menolak gadis bernama Farida itu, semua itu karena aku.Entah sejak kapan pemuda yang sudah bertransformasi menjadi seorang pria sejati itu memiliki perasaan khusus untukku, dari tatapan matanya, senyumannya, dan kemarahannya, semuanya memiliki perasaan penuh terhadapku. Aku bukan gadis bodoh yang tidak bisa menangkap gelagat itu, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku menghadapinya? Aku sudah mengakui jika ada lelaki lain di hatiku. Aku tahu hatinya sakit, sangat sedih sebenarnya menyakitinya seperti itu, tetapi aku harus jujur padanya.Akhirnya aku terbangun dan menuju dapur, di meja makan bang Syarif sudah duduk sambil membaca berkas-berkas kantor."Abang mau minum ko
POV Hasan Seminggu yang lalu ...Aku memasuki sebuah kedai kopi Starbucks di jalan Gatot Subroto, suasana cafe masih agak sepi, karena sekarang masih jam kantor. Beberapa menit menunggu, akhirnya seseorang muncul dengan tergesa-gesa."Sudah lama, Bang?" Anak itu segera mengambil tempat di hadapanku. Aku tidak menanggapi pertanyaannya, hanya meliriknya dengan sedikit malas."Maaf, kalau aku terlambat. Di perkebunan tidak ada sinyal, kalau mau membuat janji dengan Abang harus ke kota kabupaten dulu mencari sinyal atau telepon rumah," keluhnya."Semua berkas sudah ku-revisi, coba Abang periksa lagi," lanjutnya sambil mengambil setumpuk berkas dari tas kerjanya."Haruskah kantor menejer di pindah ke kota kabupaten saja?" tawarku."Itu belum terlalu perlu, Bang. Pengeluaran awal kita sudah terlalu membengkak, aku harus menekan pengeluaran.""Kau harus menempatkan orang yang terpercaya untuk menjaga gudang, biasanya daerah itu rawan kebocoran," ujarku mengingatkannya."Iya, cuma aku belum
POV Hasan Sore ini, aku segera masuk kamar hotel setelah rapat yang cukup alot dengan pihak bank sebagai investor pendanaan, syukurlah ajuan proposal itu berhasil, kucuran dana segera akan digelontorkan dengan persyaratan dan perjanjian yang cukup adil untuk kedua belah pihak. Harusnya aku senang dengan kemajuan bisnis ini, tapi kenapa aku masih tidak senang? Aku menatap pemandangan gedung-gedung pencakar langit di kala senja di balkon kamar hotel, suasana begitu sepi, sudut hatiku selalu seperti ini, biarpun sudah terbiasa mengalami seperti ini, namun rasa sakit dan kesepian tak bisa kuhindari. Segera kuambil sebungkus rokok di saku celana, mengambil sebatang, menyalakan dan menghisapnya. Asap mengepul mengaburkan pemandangan. Beberapa menit sudah berlalu, sebungkus rokok sudah kuhisap habis, putungnya bahkan berceceran di lantai balkon, kenapa galau di hati ini tak kunjung hilang? Mungkin hal seperti ini yang menyebabkan seseorang mencari pelampiasan ke minuman keras atau narkob
POV Hasan Kulihat rumah itu tampak sepi, tidak ada tanda-tanda Aina ada di dalamnya, sebelum aku melangkahkan kaki menuju tangga, aku mendengar seseorang berteriak dari belakang, aku spontan menoleh, terlihat seorang wanita tengah menyeimbangkan tubuhnya, tetapi sontak terjatuh ke dalam danau. Aina? Bukankah itu Aina? "TOLONG!!" Wanita itu berteriak dengan kencang. Aku tidak berpikir dua kali langsung berlari menuju danau, tempat ini dulunya rawa, namun untuk membuat perumahan terpaksa digali lagi menjadi danau, aku tahu kedalamannya berapa, yang paling dangkal saja kedalamannya dua meter. "Tolong ... Tolong ...." Wanita itu hilang timbul di atas permukaan air. Tanpa pikir panjang aku langsung menanggalkan pakaian atas dan sepatu, dengan hanya mengenakan celana panjang, aku langsung terjun ke danau. Menyelam dan meraih tangan wanita itu yang hampir tenggelam agar tetap di permukaan air. Tanganku yang cukup kokoh, mendekap dadanya. Hingga mencapai air dangkal, aku membopong tubuh
POV Hasan "Bagaimana? Bagaimana kau akan mempertanggung jawabkan semua ini?" Apakah aku bermimpi? Tetapi semua ini nyata, gadis di hadapanku ini Aina. Seoalah ini hanya terjadi pada hayalan semata, kusussuri kembali wajah ini, bahkan jemariku tampak bergetar. Wajah ini tidak jauh lebih kecil dari telapak tanganku. Alis ini, terlihat lebat namun kecil, melengkung dan memanjang, bagaikan di lekis dengan sempurna. Mata yang kini menatapku tanpa berkedip ini, warnanya coklat terang, sebuah lensa mata yang jarang dimiliki oleh penduduk negeri ini, tatapannya hangat dan menghanyutkan.Jemariku turun ke hidung, sebuah hidung kecil dan mancung, yang sangat pas dengan bentuk wajahnya. Bibirnya, aku mengusap lebih lama di area ini, tidak kusangka sebuah bibir akan selembut ini, bentuknya yang mungil dengan warna merah muda itu sungguh membuatku sangat tertarik untuk merasakan sensasinya.Tanpa berpikir lama, kukecup bibir mungil itu, rasanya lembut dan manis dan membuatku ketagihan. Tak cukup
POV Aina "Panggilan yang mesra itu biasanya 'sayang, honey, atau baby'. Terserah Ai, maunya yang mana," lelaki itu bicara sambil memainkan ujung rambutku."Apa?"Aku cukup tercengang, tidak menyangka lelaki itu ingin dipanggil dengan panggilan yang alay dan norak seperti itu, apakah lelaki di depanku ini masih Hasan Basri Latif, S.IP si lelaki es yang kata orang sulit didekati? Aku hampir saja muntah mendengar dia menyebut tiga kata itu.Sayang, honey, baby? "Kenapa? Apa kau keberatan memilih salah satu?" tanyanya ketika aku hanya terbengong tidak memberikan respon."Atau dikombinasi saja, bagaimana kalau 'Ayang Bebeb'?" lanjutnya.Spontan aku tertawa tak tertahan, wajahku bahkan memanas mendengar dia menyebut panggilan alay seperti itu. Itu sangat menggelikan."Sudahlah, Tuan. Jangan aneh-aneh," ujarku masih terkekeh."Bukankah panggilan ini sedang trend di kalangan anak muda? Kenapa kau yang jauh lebih muda dariku justru pemikirannya lebih kolot?" Protesnya, ini sangat mengejutkan
POV Aina"Aku harus ke kantor dulu, Bang. Ijin sebentar," ujarku setelah membereskan cucian.Lelaki itu sudah memakai pakaian bang Syarif, aku pikir ukuran baju mereka sama, ternyata baju bang Syarif sedikit kekecilan, sehingga kemeja yang biasanya pas dipakai bang Syarif agak kesempitan ditubuh bang Hasan. Namun demikian tubuh seksi lelaki itu justru terlihat menonjol dan menggoda."Gak usah ke kantor saja, masak Abang datang malah ditinggal," ujarnya dengan nada kecewa."Sebentar saja kok, Bang. Rencana Abang mau menginap tidak di sini?""Iya, besok sore aku baru kembali.""Kalau begitu aku akan ijin dua hari sekalian. Apa Abang senang?" Aku mencoba menggodanya."Tidak, aku maunya kau libur selamanya, selamanya berada di dekatku," ujarnya sambil memelukku dari belakang."Aish, dasar serakah. Lepaskan aku, ini sudah jam sepuluh, gak enak sama pak Faisal," aku memberontak dan segera keluar rumah.Lelaki itu membuntutiku hingga turun ke bawah tangga, aku segera mengambil motor dan mend