"Kami sedang bekerja keras mencari investor untuk membangun pabrik, jika bang Hasan belum juga menemukan investor, kemungkinan dia harus menikah dengan anak wakil bupati Jambi timur, demi perusahaan, demi para pekerja yang menggantungkan hidupnya di sini." Perkataan Syarif membuat Aina berhenti, ini bukan hanya sekedar naik wahana halilintar, ini sebuah bom yang tepat menghantam tubuhnya. Menikah demi perusahaan? Abang Hasan mau menikah? Perasaannya kini tidak baik-baik saja, wajahnya bahkan memucat, namun dia dengan cepat dapat menguasai diri, bukankah lelaki itu sudah mengirim pesan untuk menunggu dan mempercayainya? Tidak ada hubungan yang bisa langgeng jika tidak saling percaya. Aina berusaha mempercayai lelaki itu dan menekan semua rasa cemas dan takut kehilangan di hatinya. Yah, jika memang jodoh, Allah pasti mempertemukannya dengan lelaki pujaannya. Sekali lagi dia menggantungkan semua nasib hidupnya hanya kepada Allah. Memikirkan semua itu, senyum di bibirnya yang sempat me
"Tuan muda, Aina ... Apa yang kalian lakukan di sini?" ujar Bik Nur dengan perasaan yang mencelos menyaksikan apa yang mereka lakukan."Bik Nur ... Mari kita bicara," ujar Hasan sambil memegang tangan Aina dan mendudukkannya di tepi ranjang.Bik Nur segera menghampiri mereka dan duduk di kursi meja rias."Bik Nur ... Saya mencintai anak Bik Nur ...," ujar Hasan dengan suara lemah lembut. Nur yang mendengar perkataan Hasan terperangah, dia senang bahwa laki-laki muda dihadapannya memiliki perasaan khusus terhadap anaknya, lelaki ini lelaki yang bertanggung jawab, dia juga merasa sangat berhutang Budi pada lelaki ini, karena lelaki ini yang telah menemukan Aina ketika diculik."Sejak kapan tuan muda menyukai Aina?""Sejak lama.""Apakah sejak tuan muda tahu jika paras Aina rupawan?""Saya baru mengetahui wajah asli Aina dua Minggu yang lalu ketika saya pergi ke perkebunan, menurut Bik Nur, untuk apa saya pergi ke perkebunan?" ujar Hasan, nada bicaranya masih lemah lembut."Memangnya un
Tak jauh dari mereka, seorang lelaki gagah memakai baju batik lengan panjang pres body tengah memasuki lokasi acara dengan menggandeng gadis cantik yang memakai gaun brokat warna silver, rambut gadis itu di sanggul dengan anak rambut yang menjuntai di dekat telinganya, gadis itu memakai riasan tipis, namun wajah cantiknya bersinar bagai bulan, tak pelak pasangan ini sangat menarik perhatian. Pandangan Nurma nanar menatap gadis yang digandeng Hasan, bukankah gadis itu yang diaku Hasan sebagai istrinya dari Jakarta? Sehebat apa wanita itu? Aina hanya mampu menundukkan pandangannya, dia sungguh tidak berani menatap orang di sekitarnya. Dia sangat takut jika dikenali oleh orang lain. Hasan membawa Aina menuju meja ayahnya, di meja itu duduk juga ibu tirinya, Ayuni dan Nurma, masih ada satu bangku yang kosong. Acara tukar cincin sudah dilaksanakan, sekarang di panggung diisi dengan suara nyanyian tim organ tunggal, suara soundsystem-nya terdengar sangat nyaring. "Hei, sini ... Sini .
Aina melangkah dengan gontai, dia sudah mendekati tempat acara, ketika seseorang menegurnya."Hai, cantik."Aina terkesima, pemuda itu tersenyum dengan seringai menggoda. Aina hanya bisa menghela napas berat, pemuda itu mendekatinya dengan jarak yang semakin dekat."Halo, aku Haris Latief. Aku melihatmu bersama abangku tadi," ujarnya sambil mengulurkan tangan."Naina," balas Aina dengan cepat menarik tangannya yang menjabat Haris.Aina tahu seberapa bajingannya pemuda di depannya, dia tentu sudah tahu karakter pemuda ini yang sebenarnya, entah berapa gadis yang sudah digodanya, rata-rata para gadis itu menyerahkan dirinya dengan suka rela setelah mendengar rayuan gombal lelaki itu."Naina? Hmm, nama yang cantik, secantik orangnya. Ada hubungan apa kau dan abangku?" Pemuda itu bicara dengan jarak yang terlalu dekat, membuat Aina merasa tidak nyaman."Menurutmu?" tanya Aina dengan memundurkan langkah."Abangku itu akan bertunangan, mungkin kau hanya dijadikan selir. Daripada dijadikan s
Hasan mendorong Nurma dengan kuat sehingga perempuan itu terlepas darinya, dengan perasaan jijik dia lap bibirnya dengan lengan bajunya, wajahnya sudah merah padam karena emosi yang membludak. Nurma terhuyung hampir terjatuh untung saja dia mampu menyeimbangkan tubuhnya karena dari remaja rajin latihan fisik. "Nurma! Apa kau tidak punya malu? Berani benar kau menciumku di depan umum. Di mana harga dirimu sebagai perempuan? Perempuan tak tahu malu sepertimu ingin menjadi istriku? Mimpi saja kau!" hardik Hasan dengan suara keras. Suasana acara yang penuh kegembiraan tiba-tiba menjadi hening karena peristiwa itu, Hasan bukan lelaki yang bisa menahan amarahnya, dia akan spontan memaki jika dia merasa tidak senang, dia sebenarnya sudah cukup sabar ketika ayahnya menjodoh-jodohkannya dengan sengaja di panggung tadi, namun melihat keagresifan gadis itu, dia tidak bisa menyembunyikan rasa jijik di hatinya. Sebenarnya sikap Hasan yang temperamen itu sangat mirip dengan ayahnya, makanya kedua
Setelah beristirahat, Aina kembali menyusuri jalan, berusaha mencari kendaraan umum menuju rumah besar keluarga Latief. Namun ternyata tidak ada satu angkotpun yang terlihat, dia harus berjalan lebih jauh menuju jalan utama. Tin ... tin ... Terdengar suara klakson mobil dari samping, sebuah mobil Mitsubishi Triton terlihat menepi, jendela pengemudi terbuka. "Aina! Kau mau ke mana?" Aina menoleh dan menghembuskan napas lega ketika melihat pemuda itu. "Mau pulang," jawab Aina singkat. "Masuk!" ujar Fendi sambil mengkode dengan gerakan kepala. Aina langsung menuju pintu penumpang di sebelah pengemudi, menghenyakkan bobot tubuh lelahnya di jok depan. Dia bersyukur ternyata Fendi datang di saat yang tepat selagi dia mencari kendaraan pulang. "Kenapa kau jalan kaki ke sini? Mau ke mana sebenarnya? Kau kenapa menghilang-hilang terus di acara tadi, sebenarnya kau punya masalah apa sih, Ai?" Fendi langsung saja mencerca aian dengan pertanyaan, dia sungguh tidak mengerti dengan sikap
"Jadi itu yang kau mau? Mengakhiri hubungan kita yang baru sebentar ini?" Hasan sudah kehabisan kata menghadapi gadis ini, dia hanya menghela napas dengan dada yang terasa sesak, kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Ai? Jangan harap itu!"Iya, lebih baik menikahlah dengan wanita yang memiliki keluarga yang terpandang, kulihat Nurma begitu cinta pada Abang, ayahnya juga bisa membantu Abang menyelesaikan hutang-hutang Abang," ujar Aina dengan suara bergetar.Bagaimanapun dia mencoba mengatakan hal ini dengan tegar, namun hatinya tetap terasa sakit seperti tersayat sembilu, siapa yang rela membiarkan seorang kekasih yang sangat dicintai menikah dengan wanita lain? Mungkin hanya dia yang bertindak bodoh seperti itu, ah biarlah ... Lagi pula lelaki ini baru menjadi kekasihnya, bukan suaminya, tidak ada ikatan hukum yang melarang dia melakukannya, soal perasaannya, biarlah dia tanggung sendiri. Tanpa terasa mata Aina memanas, bulir bening mengalir dari sudut matanya."Jadi, kau menyuruh
"Apakah kau mau menikah denganku?" Fendi terperangah mendengar perkataan Aina, siapa yang tidak mau menikah dengan gadis ini? Bukankah selama ini hal itu yang didambakannya? Namun Fendi bukanlah buta, dia dapat melihat sorot mata putus asa dari gadis itu, tidak ada cinta dan kebahagiaan di sana, untuk apa dia memaksakan hal ini? Dia hanya ingin melihat gadis ini ceria dan bahagia walau tiap hari mereka akan terus bertengkar, dia tidak ingin melihat gadis ini seperti sekarang, lesu dan sedih. Tidak ada gairah yang berkobar di matanya seperti biasanya. "Kau kenapa? Apa yang terjadi? Bukannya aku tidak ingin menikah denganmu, aku justru senang menikah denganmu, tetapi kau kenapa? Kau bilang kau cinta pada laki-laki yang menolongmu. Katakan, apa yang terjadi?" "Aku hanya ingin melupakan lelaki itu, tolong, bantulah aku, Fendi." "Tidakkah kau terlalu kejam membuatku sebagai pelarian?" "Maafkan aku, bukan maksudku untuk memanfaatkanmu menjadi pelarian. Aku memang menjadikanmu sebag