"Jika kita bercerai saat kondisi mas seperti ini, apa nanti kata orang. Mas nggak mau mereka berfikir jelek tentang kamu sayang," ucap Arman masih dengan posisi berlutut.
"Aku nggak peduli, kamu saja selalu berfikir jelek tentang aku," ucap Devita. Dia berjalan melewati Arman tanpa ekspresi. "Kalau begitu kamu lihat anak kita Zidan! Dia masih kecil. Kamu nggak kasihan? aku mohon pikirkan itu juga sayang. Mas mohon, mas janji akan berubah," entah sudah berapa kali Arman memohon dan mengucapkan janjinya. Devita menoleh ke arah Arman yang tengah berdiri di belakangnya, lalu menatap ke arah Zidan. Sebagai seorang ibu, Devita merasa bingung dan bimbang. Namun sebagai seorang istri dia merasa sudah terlalu lelah. "Nanti biar aku pikirkan dulu mas, tapi kamu jangan terlalu berharap," ucap Devita lirih. Mendengar penuturan Devita, spontan Arman melangkah maju untuk memeluk istrinya. Namun Devita menepis tangan Arman untuk menghindarinya. "Ah maaf," ucap Arman melangkah mundur. Dia berniat memberi waktu Devita untuk benar benar memikirkannya. Arman sangat paham jika Devita marah dan kesal karena kecerobohannya tadi. "Malam ini mas akan tidur di kamar depan," ucap Arman terdengar sedih. Namun Devita hanya diam, sama sekali tidak merespon ucapan Arman barusan. *** Pagi tiba, Zidan sudah membuka mata saat Devita terbangun. "Eh sayang, sudah bangun ya?," ucap Devita sembari menciumi pipi anaknya. "Ih bau acem. Gemes gemes gemes," Devita memegang lembut pipi Zidan. Zidan yang masih berumur 4 tahunan hanya tersenyum manis. Setidaknya senyum tulus Zidan bisa sedikit mengobati rasa sakit yang di rasakan Devita saat itu. "Ibu, ayah mana? Zidan kangen mau main sama ayah," ucapan Zidan seketika membuat Devita terdiam. Dia menatap Zidan dengan tatapan sendu. Inilah alasan Devita bimbang untuk memutuskan berpisah dengan suaminya. Tiba-tiba Devita mencium bau harum masakan. Perlahan Devita berjalan mendekati pintu lalu mengintip dari dalam kamar. Terlihat beberapa masakan sudah berjajar rapi di meja makan. Arman terlihat berdiri di samping meja sembari menata piring. Kebetulan kamar yang di tempati Devita dan anaknya bersebelahan dengan ruang dapur. Setelah berpikir semalaman, akhirnya Devita memutuskan untuk memberi Arman kesempatan terakhir jika dia benar-benar mau berubah. Zidan berlari ke arah Devita, dia ikut mengintip di balik pintu seperti yang Devita lakukan. "Ayah," teriak Zidan dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia langsung berlari ke arah Arman, Arman sendiri spontan menoleh ke arah suara lalu tersenyum. Arman membungkuk merentangkan kedua tangan untuk menyambut pelukan dari putra kecilnya. Selama ini jika Zidan terbangun Arman sudah berangkat bekerja. Seringnya saat ayahnya pulang pun, Zidan sudah tertidur. Kalaupun Zidan belum tidur Arman jarang sekali mengajaknya bermain, alasannya karena lelah bekerja. Hingga kadang sembari menahan sedih Devita selalu mencoba memberi pengertian dan menghibur Zidan agar tidak kecewa. Namun lama kelamaan Devita merasa lelah dan kecewa. Pagi ini suasana terlihat berbeda. Sinar mata Zidan yang memancarkan kebahagiaan, sikap Arman yang mulai terlihat berbeda menumbuhkan harapan baru bagi Devita. Hingga membuat hatinya semakin yakin untuk bertahan. Sembari menggendong Zidan, Arman berjalan ke arah Devita. Senyum merekah terlihat jelas diraut wajahnya. "Sayang, ayo kita makan bersama. Aku masak makanan kesukaanmu," ucap Arman. "Aku belum mandi. Kamu makan duluan saja mas," ucap Devita sebisa mungkin bersikap cuek. Padahal di dalam hatinya merasa bahagia karena mendapat perhatian dari suaminya. "Yasudah. Kamu mandi dulu! Kami tunggu di meja makan," ucap Arman terdengar ramah. Dia menurunkan Zidan dari gendongannya, kemudian menuntunnya ke arah meja makan. Arman menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Devita yang masih berdiri di depan pintu kamar. "Sayang, apa perlu aku yang mandikan," ucap Arman sembari mengedipkan sebelah matanya. "Ayah, ibu sudah besar tidak perlu dimandikan," ucap Zidan. Matanya menatap ke arah Arman dengan tatapan heran. Devita menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, berusaha menyembunyikan tawa yang tidak bisa ditahannya. Arman sendiri terpana menatap heran ke arah anaknya tanpa bisa berkata-kata. Arman mulai sadar jika putranya sudah tumbuh besar dan pham banyak hal. Dia menyesal sudah menyia-nyiakan waktu berharga bersama anaknya, hingga kini kehilangan banyak momen tumbuh kembang anaknya. Seharian Zidan tidak mau lepas dari Arman. Mereka sangat menikmati hari hari bersama. Kini Devita bisa sedikit bernafas lega karena harapannya sudah terwujud. Hari demi hari mereka jalani dengan bahagia. Hubungan mereka juga semakin membaik. Namun hidup tidak hanya bisa di jalani dengan kasih sayang dan kebersamaan. Untuk terus hidup mereka butuh uang, sedangkan uang terakhir yang diberikan Arman mulai menipis. Semua kebutuhan rumah sudah mulai habis. "Mas, beras tinggal sedikit. Gas habis, belum kebutuhan yang lainnya," ucap Devita kala mereka duduk santai di ruang tengah. Hari itu meski masih siang, susana sedikit gelap karena awan mendung menyelimuti langit. "Ya tinggal beli to yang," sahut Arman seperti lupa jika uang yang mereka punya lama kelamaan akan habis. "Mas lupa apa pura-pura lupa. Sudah lama kita tidak punya pemasukan karena mas tidak kunjung bekerja," ucap Devita mencoba berbicara sehati-hati mungkin. "Aku sudah taruh lamaran kerja kesana kemari tapi belum ada yang di panggil," ucap Arman terlihat santai. Bahkan dengan sadar diri dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya lalu memasukkan satu batang rokok tersebut kedalam mulutnya. "Loh mas dapat rokok dari mana?" "Hutang di warung," ucap Arman dengan entengnya. Seperti tidak ada beban sama sekali di hidupnya. "Harusnya mas hutang beras saja, jadi bisa di makan bareng," ucap Devita sembari menahan rasa kesalnya. Devita masih berusaha bersikap setenang mungkin demi menghindari pertengkaran. "Mas sakit kepala jika tidak merokok." Devita yang sedari tadi menahan diri kini memperlihatkan rasa kesalnya dengan menatap tajam suaminya. Arman yang menyadari perubahan sikap Devita, sontak mematikan rokoknya. "Aku saja yang bekerja mas," ucap Devita. Matanya masih menatap tajam ke arah Arman. Sementara di luar rumah hujan deras mengguyur dibarengi suara gemuruh petir."Kamu gila mas? astaga yaampun, duh Gusti Agung kulo nyuwun pangapunten(duh Gusti Agung saya minta maaf)," Devita spontan nyeletuk karena saking kagetnya. Kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga tubuhnya hampir terhuyung jatuh kelantai, kalau saja saat itu Arman tidak sigap menangkap lengan Devita. "Auh panas," geram Arman saat lengannya ketumpahan sedikit teh panas yang di pegang oleh Devita. "Kenapa kamu? sini-sini duduk dulu," ucap Arman sembari memapah tubuh Devita. Arman mengambil teh hangat yang ada di tangan Devita lalu meletakkannya ke atas meja. "Untung saja cangkir kesayanganku tidak pecah," gumam Arman sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apa mas? bisa-bisanya kamu mikirin cangkir ketimbang keadaanku," Protes Devita yang ternyata masih bisa mendengar ucapan Arman barusan. Arman hanya menyeringai tanpa rasa bersalah. "Mas tolong ambilkan sapu di dapur," ucap Devita setenang mungkin. Devita menundukkan kepala sembari menarik napas panjang demi menahan emosi ya
Devita sedang berbaring di sebelah putranya saat Arman masuk ke dalam kamar. Senyum mengembang terlihat jelas dari wajah Arman. Kebisingan hujan yang sedari tadi menemani cekcok kecil keluarga mereka kini sudah benar benar mereda. "Ini ponselnya," ucap Arman mengulurkan ponsel ke arah Devita. Devita memandang Arman dari atas sampai kebawah, dia menyadari ada kabar melegakan dari raut wajah suaminya. "Ini loh ambil ponselnya, malahan bengong begitu. Kenapa? pasti penasaran ya," ucap Arman masih dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kamu bicara apa ke ibuku, apa beliau mau?" tanya Devita yang memang penasaran. "Adalah, yang pasti beliau bersedia meminjami kita modal." "Berapa, jangan kebangetan ya minjem nya!" ucap Devita mencoba mengingatkan suaminya. "Nggaklah, mas cuma pinjem 3 jutaan. Lagian orang tuamu kan banyak uang. Uang segitu kecil bagi mereka," ucap Arman dengan entengnya. "Astaga, 3 juta itu banyak lo mas," Devita melempar bantal ke arah Arman karena saking
"Nggak! Urusan nafkah itu kewajiban suami. Lagian mau kerja di mana kamu?" raut wajah Arman terlihat menegang. "Di tempat kerja aku dulu. Kebetulan ada lowongan, dan temen aku...," Devita belum sempat menyelesaikan ucapannya saat Arman menyela. "Ah bilang saja kamu ingin ketemu mantan kekasihmu yang masih bujangan itu ," Nada bicara Arman kini meninggi. Terlihat jelas guratan marah di raut wajah tampannya. Wajahnya memerah seperti warna tomat yang sudah matang. "Bukan seperti itu mas, aku hanya ingin membantu selagi bisa," ucap Devita mencoba mencairkan suasana. "Tidak, Aku tidak perlu di bantu," suaranya kini terdengar biasa, namun tatapan matanya memancarkan kemarahan dan kekecewaan. Devita hanya bisa diam, menahan semua ucapan yang sebenarnya ingin sekali ia lontarkan dari bibirnya. "Kamu mau kemana mas?" tanya Devita saat Arman berdiri dan mulai melangkah ke arah ruang tamu. "Cari kerja," jawab Arman singkat. Padahal suasana siang itu masih hujan deras. Suara petir j
"Jika kita bercerai saat kondisi mas seperti ini, apa nanti kata orang. Mas nggak mau mereka berfikir jelek tentang kamu sayang," ucap Arman masih dengan posisi berlutut. "Aku nggak peduli, kamu saja selalu berfikir jelek tentang aku," ucap Devita. Dia berjalan melewati Arman tanpa ekspresi. "Kalau begitu kamu lihat anak kita Zidan! Dia masih kecil. Kamu nggak kasihan? aku mohon pikirkan itu juga sayang. Mas mohon, mas janji akan berubah," entah sudah berapa kali Arman memohon dan mengucapkan janjinya. Devita menoleh ke arah Arman yang tengah berdiri di belakangnya, lalu menatap ke arah Zidan. Sebagai seorang ibu, Devita merasa bingung dan bimbang. Namun sebagai seorang istri dia merasa sudah terlalu lelah. "Nanti biar aku pikirkan dulu mas, tapi kamu jangan terlalu berharap," ucap Devita lirih. Mendengar penuturan Devita, spontan Arman melangkah maju untuk memeluk istrinya. Namun Devita menepis tangan Arman untuk menghindarinya. "Ah maaf," ucap Arman melangkah mundur. Dia b
Sementara Arman masih berdiri di tempat. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Dia dengar dari ucapan istrinya tadi. Seketika kakinya terasa lemas hingga tidak lagi mampu menopang tubuh tinggi, kekarnya. Dia tidak menyangka jika kata cerai akan semudah itu keluar dari mulut Devita. Arman merenung berjam-jam di ruang tengah, kedua matanya enggan untuk memejam. Pikiran kalut, bingung berkecamuk menari-nari menjadi satu di dalam kepalanya. Ada banyak kenangan indah melintas dalam pikiran Arman. Arman sungguh tidak rela jika harus mengakhiri pernikahan yang sudah dia jalani selama 5 tahun ini. Apalagi selama ini Devita adalah sosok istri yang sabar, setia, penurut, dan juga perhatian. Devita juga sosok wanita yang cantik, sederhana dan juga tidak banyak tingkah. Itu yang membuat Arman jatuh hati pada Devita, lalu memutuskan menikahinya meski Arman punya kenangan buruk tentang sebuah keluarga di masa kecilnya. "Tidak, aku tidak mau berpisah," gumam Arman masih dalam posisi
Krek, terdengar suara pintu ruang tamu di buka. Devita yang tengah sibuk dengan pekerjaan dapur spontan menoleh ke arah suara. Terlihat Arman masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Raut wajah Arman terlihat lelah dan lesu. Devita mematikan kompor lalu berjalan untuk menghampiri suaminya. Seperti biasa Devita tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Arman untuk menyambutnya. Setelahnya mengambil tas slempang berwana hitam dari pundak Arman. "Lelah ya mas? sebentar, aku buatkan minum dulu," ucap Devita langsung berlalu menuju dapur. Sedangkan Arman melangkah ke arah kursi berwana coklat tua yang tersusun rapi di ruang tamu. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menghembuskan napas panjang. Matanya tertuju pada satu titik di atas meja. Terlihat genangan air di sebelah cangkir plastik berwarna biru muda. "Astaga, apa saja yang di lakukan vita di rumah," gumam Arman. Lagi lagi dia menghembuskan napas panjangnya. Arman berasal dari keluarga broken home. Ayahnya penganut patri