Masuk"Nggak! Urusan nafkah itu kewajiban suami. Lagian mau kerja di mana kamu?" raut wajah Arman terlihat menegang.
"Di tempat kerja aku dulu. Kebetulan ada lowongan, dan temen aku...," Devita belum sempat menyelesaikan ucapannya saat Arman menyela. "Ah bilang saja kamu ingin ketemu mantan kekasihmu yang masih bujangan itu ," Nada bicara Arman kini meninggi. Terlihat jelas guratan marah di raut wajah tampannya. Wajahnya memerah seperti warna tomat yang sudah matang. "Bukan seperti itu mas, aku hanya ingin membantu selagi bisa," ucap Devita mencoba mencairkan suasana. "Tidak, Aku tidak perlu di bantu," suaranya kini terdengar biasa, namun tatapan matanya memancarkan kemarahan dan kekecewaan. Devita hanya bisa diam, menahan semua ucapan yang sebenarnya ingin sekali ia lontarkan dari bibirnya. "Kamu mau kemana mas?" tanya Devita saat Arman berdiri dan mulai melangkah ke arah ruang tamu. "Cari kerja," jawab Arman singkat. Padahal suasana siang itu masih hujan deras. Suara petir juga masih bergemuruh meski suaranya terdengar agak jauh. "Tapi di luar masih hujan deras," Devita berjalan cepat menyusul Arman yang sedang membuka pintu ruang tamu. "Dari pada aku harus melihatmu bekerja bersama mantan kekasihmu itu, lebih baik aku saja yang cari kerja sampai dapat," ucap Arman sembari memakai sandalnya. Arman selalu cemburu jika menyangkut mantan kekasih Devita. Apalagi sampai sekarang mantan Devita masih melajang dan sudah di angkat menjadi manajer di tempat kerja Devita dulu. Tentu saja semua pikiran kotor menari-nari di kepala Arman. Dia pasti sangat kawatir dengan nasib rumah tangganya kedepan. Apalagi posisi Arman saat ini sedang menganggur. "Mas ayo masuk dulu! kita bicarakan lagi," ucap Devita mencoba membujuk suaminya. Melihat kondisi saat itu hujannya cukup deras. Dia kawatir suaminya akan jatuh sakit. "Tidak jika kamu masih ingin bekerja," ucap Arman. "Iya mas, aku tidak akan bekerja," ucap Devita lirih. Devita memilih mengalah demi kebaikan semua. Jika sampai Arman sakit padahal keuangan sedang kosong, apalagi yang bisa Devita lakukan. Setelah mendengar pernyataan Devita, Arman bersedia masuk ke dalam rumah. Hujan sedikit reda seperti suasana hati Arman yang sudah mulai tenang. Devita mengandeng tangan Arman, menuntunnya ke arah dapur. "Duduk mas, biar aku ambilkan air minum," ucap Devita. Arman hanya mengangguk mengiyakan ucapan Devita. Devita duduk di sebelah Arman setelah meletakkan gelas berisi air putih,"Maaf mas, gula, teh dan kopinya habis." Tanpa berkata apapun Arman mengambil gelas tersebut kemudian meminumnya. "Mas istirahat dulu saja! nanti kita bicarakan lagi bagaimana untuk kedepannya," ucap Devita yang kemudian berdiri berniat pergi ke kamar untuk melihat putranya yang tengah tidur siang. Devita ingin membahas semuanya saat suasana hati Arman sudah tenang. "Kita bicarakan sekarang saja," ucap Arman menghentikan langkah kaki Devita. "Kamu serius mas?" Devita memandang ke arah Arman dengan tatapan menyelidik. Arman hanya memgangguk mengiyakan pertanyaan Devita barusan. Devita berbalik badan, berjalan kembali ke arah Arman yang masih duduk dengan menggenggam gelas berisi air putih yang sudah dia letakkan di atas meja. "Apa yang mau kamu bicarakan mas?" Devita memulai percakapan setelah duduk di samping Arman. Devita mencoba tersenyum berharap membuat Arman lebih tenang, karena menganggap istrinya sudah merelakan keinginannya untuk bekerja kembali. "Gimana kalau mas usaha saja?" ucap Arman. "Usaha apa?" Devita yang mendengar ucapan Arman sontak menatap Arman dengan tatapan heran. Bagaimana tidak? usaha juga butuh modal. Sedangkan saat ini mereka sama sekali tidak punya modal. Hanya punya niat tanpa di dasari bakat berbisnis. "Mas punya ide untuk jualan sayur keliling," ucap Arman yang terdengar tidak meyakinkan di telinga Devita.. "Kamu yakin mas? tapi kita sama sekali tidak ada modal. Kamu juga belum pernah berjualan. "Sayang kita pinjam modal orang tuamu," ucap Arman melontarkan ide konyolnya. Ide yang tidak pernah Devita pikirkan sama sekali. Bahkan sebisa mungkin Devita ingin sekali menutupi kesulitannya dari keluarga besarnya. Dia tidak ingin membuat kawatir terutama orang tuanya. Karena pernikahan yang Devita jalani saat ini sebenarnya tidak sepenuhnya mendapatkan restu dari ibunya Devita. Hanya karena Devita bersikeras memaksa akhirnya orang tua Devita dengan terpaksa mengijinkannya. Bahkan Devita dan Arman sudah lama tidak menghubungi mereka. Entah bagaimana keadaan orang tua Devita sekarang. Eh dengan tiba-tiba Arman memberikan ide yang cukup gila menurut Devita. "Mas cari ide yang lain saja. Aku tidak mau melibatkan orang tuaku," ucap Devita dengan nada tegas. Berharap Arman berhenti memikirkan ide tersebut. "Kenapa? kita kan pinjam, nanti juga kita balikin," Arman mencoba meyakinkan istrinya jika semuanya pasti baik-baik saja untuk kedepannya. "Aku tetap tidak mau. Kamu pinjam ibumu saja, nantikan di kembalikan," ucap Devita mengembalikan ucapan Arman. "Ibuku orang tidak punya. Lagian dia sudah berikan tanah yang kita tempati ini," Arman sepertinya lupa jika rumah yang mereka tempati sebagian besar modal untuk membangun rumahnya adalah pemberian dari orang tua Devita. Dan setelahnya mereka jarang berkomunikasi. Sekarang Arman meminta Devita untuk menghubungi orang tuanya hanya untuk meminjam modal. "Apa kamu lupa mas? orang tuaku juga ikut membangun rumah ini. Mereka memang orang punya, tapi kamu tidak boleh seenaknya begitu. Apa kamu tidak punya malu? aku yang anaknya saja malu meski baru memikirkannya saja," ucap Devita panjang lebar mengungkapkan isi hatinya. "Tapi kita tidak punya pilihan," Perkataan Arman barusan membuat Devita terdiam. "Kalau begitu," Devita berjalan masuk kemar kemudian dengan cepat kembali menghampiri Arman. "Ini mas ngomong sendiri saja ke orang tuaku," Devita menyodorkan ponsel ke arah Arman. "Ta.... tapi sayang," tubuh Arman tiba-tiba gemetar di barengi keringat dingin yang mulai merembes keluar dari tubuhnya. Devita justru pergi setelah memberikan ponsel yang sudah terhubung dengan orang tuanya. "Kapokmu kapan mas," gumam Devita sembari berjalan ke arah kamar. Sementara di seberang telpon, suara ibu mertua Arman mengucapkan salam."Janganlah sus, pagi-pagi kok diutang nggak boleh katanya bisa matiin dagangan." ucap Devita mencari alasan. Padahal Devita sendiri tidak percaya dengan namanya mitos. Dia hanya malas jika berurusan uang dengan tetangganya itu. Susi meskipun orang kaya, tapi dia terkenal susah membayar hutang. Selalu ada aja alasan untuk tidak segera membayarnya. "Halah itu cuma mitos. Jangan percaya begituan nggak baik. Tapi gimana ya? aku bener-bener nggak ada uang kecil," ucap Susi memasang wajah bingungnya. "Yasudah bayar pake 100ribu aja, nanti kembaliannya aku balikin pas sudah balik keliling," ucap Devita. "Nggak ah. Uangnya mau aku pake buat belanja ke pasar makanya aku nggak sempet masak." "Yaudah kalau gitu kamu beli sayur matang di pasar aja, jangan ngutang ke aku. Nanti ujung-ujungnya kamu nggak bayar lagi karena uangnya habis buat belanja ke pasar." Devita berniat memasukkan kembali buntalan-buntalan sayur pilihan Susi ke dalam baskom. Namun dengan cepat Susi meraih semua plastik s
"Dasar pelit ya pelit ajalah. Pakai harus beli segala, padahal cuma minta satu. Sisa banyak harusnya di bagi ke tetangga biar berkah," terlihat Nadin(kakak ipar Devita) membagikan story wa miliknya. "Apa ini?" gumam Devita bertanya tanya dalam hati setelah melihat story wa milik Nadin. "Seharusnya aku tidak membacanya," Devita merasa menyesal, pikirannya jadi tidak tenang setelah membacanya. Dia ingin mengomentarinya tapi malas untuk ribut. Jika didiamkan Devita sendiri merasa tidak nyaman. "Mas, lihat deh! kakak ipar mu menyindirku lewat status wa," Devita mengerakkan lengannya, membangunkan Arman untuk menyampaikan keluh kesahnya. "Yaudah, abaikan saja," gumam Arman. Matanya masih tertutup rapat, hanya mulutnya yang berbicara itupun terdengar seperti orang yang sedang berkumur. "Ah kamu mah selalu mengabaikan segala hal," Devita melempar pelan ponselnya ke kasur bagian atas kepalanya. Devita menggeser tubuhnya hingga posisinya membelakangi Arman. "Trus mas harus apa?"
"Kamu sadar apa yang kamu ucapkan barusan mas?" Devita meletakkan kedua tangannya ke pinggang dengan mata melotot. "Lalu bagaimana kamu mengembalikan modal yang kamu pinjam dari mertuamu dalam waktu sebulan. Coba sekarang jelaskan mas." "hehehhe aku cuma bercanda sayang. Hidup perlu bercanda jangan dibawa serius terus nanti setres," elak Arman sedikit menyunggingkan senyum setelah terkekeh. Padahal awalnya dia benar-benar ingin berhenti karena merasa tidak berbakat untuk berdagang. Tapi melihat reaksi istrinya tadi dia jadi mengurungkan niatnya dengan mengelak bahwa perkataannya tadi hanyalah bercandaan semata. "Ta da, kamu kena prank sayank," ucap Arman langsung berdiri lalu memeluk istrinya. Demi meyakinkan istrinya, Arman mencoba bersikap senatural mungkin. "Nggak lucu mas. Kamu hobi banget bikin aku kesal. Puas kamu, selalu bikin aku marah-marah. Nanti aku cepet tua kalau tiap hari kesal begini. Lihat sudah ada keriput di sini," gumam Devita masih di dalam pelukan suaminy
Devita terpaksa meninggalkan urusannya dengan Arman karena ada yang bertamu. Dia berjalan ke arah pintu sembari merapikan penampilannya yang agak berantakan. Sementara Arman terpaksa diam menunggu sembari berharap-harap cemas. "Astaga, sepertinya hari ini istriku salah makan," gumam Arman. Matanya terus menatap ke arah Devita yang mulai berjalan menjauh. Di depan pintu ruang tamu yang masih terbuka, terlihat tetangga bernama Susi tengah berdiri dengan wajah tersenyum. "Ah Susi, ada perlu apa ya?" Devita mencoba bersikap seramah mungkin dengan senyum menghiasi wajah cantik alaminya. Devita juga merapikan ikat rambut yang agak berantakan. Susi yang melihat penampilan Devita mengira jika Devita dan suaminya baru saja selesai bermain kuda-kudaan. "Maaf kalau saya ganggu kalian yang sedang......," Susi menghentikan ucapannya sembari memperagakan maksut ucapannya dengan kedua telapak tangannya yang di tautkan. "hahaha Ah tidak begitu. Ada perlu apa ya Sus?" Devita tertawa lebar m
"Kamu gila mas? astaga yaampun, duh Gusti Agung kulo nyuwun pangapunten(duh Gusti Agung saya minta maaf)," Devita spontan nyeletuk karena saking kagetnya. Kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga tubuhnya hampir terhuyung jatuh kelantai, kalau saja saat itu Arman tidak sigap menangkap lengan Devita. "Auh panas," geram Arman saat lengannya ketumpahan sedikit teh panas yang di pegang oleh Devita. "Kenapa kamu? sini-sini duduk dulu," ucap Arman sembari memapah tubuh Devita. Arman mengambil teh hangat yang ada di tangan Devita lalu meletakkannya ke atas meja. "Untung saja cangkir kesayanganku tidak pecah," gumam Arman sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apa mas? bisa-bisanya kamu mikirin cangkir ketimbang keadaanku," Protes Devita yang ternyata masih bisa mendengar ucapan Arman barusan. Arman hanya menyeringai tanpa rasa bersalah. "Mas tolong ambilkan sapu di dapur," ucap Devita setenang mungkin. Devita menundukkan kepala sembari menarik napas panjang demi menahan emosi ya
Devita sedang berbaring di sebelah putranya saat Arman masuk ke dalam kamar. Senyum mengembang terlihat jelas dari wajah Arman. Kebisingan hujan yang sedari tadi menemani cekcok kecil keluarga mereka kini sudah benar benar mereda. "Ini ponselnya," ucap Arman mengulurkan ponsel ke arah Devita. Devita memandang Arman dari atas sampai kebawah, dia menyadari ada kabar melegakan dari raut wajah suaminya. "Ini loh ambil ponselnya, malahan bengong begitu. Kenapa? pasti penasaran ya," ucap Arman masih dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kamu bicara apa ke ibuku, apa beliau mau?" tanya Devita yang memang penasaran. "Adalah, yang pasti beliau bersedia meminjami kita modal." "Berapa, jangan kebangetan ya minjem nya!" ucap Devita mencoba mengingatkan suaminya. "Nggaklah, mas cuma pinjem 3 jutaan. Lagian orang tuamu kan banyak uang. Uang segitu kecil bagi mereka," ucap Arman dengan entengnya. "Astaga, 3 juta itu banyak lo mas," Devita melempar bantal ke arah Arman karena saking







