Sementara Arman masih berdiri di tempat. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Dia dengar dari ucapan istrinya tadi. Seketika kakinya terasa lemas hingga tidak lagi mampu menopang tubuh tinggi, kekarnya. Dia tidak menyangka jika kata cerai akan semudah itu keluar dari mulut Devita. Arman merenung berjam-jam di ruang tengah, kedua matanya enggan untuk memejam. Pikiran kalut, bingung berkecamuk menari-nari menjadi satu di dalam kepalanya. Ada banyak kenangan indah melintas dalam pikiran Arman. Arman sungguh tidak rela jika harus mengakhiri pernikahan yang sudah dia jalani selama 5 tahun ini. Apalagi selama ini Devita adalah sosok istri yang sabar, setia, penurut, dan juga perhatian. Devita juga sosok wanita yang cantik, sederhana dan juga tidak banyak tingkah. Itu yang membuat Arman jatuh hati pada Devita, lalu memutuskan menikahinya meski Arman punya kenangan buruk tentang sebuah keluarga di masa kecilnya.
"Tidak, aku tidak mau berpisah," gumam Arman masih dalam posisi jongkok, tangannya mengacak-acak rambut basah yang belum lama ia rapikan.. "Aku harus lakukan sesuatu sebelum terlambat," Arman berdiri lalu berjalan ke arah kamar. Dia meraih gagang pintu, mencoba untuk membukanya. Berkali-kali Arman menggerak-gerakkan gagang pintu tersebut, namun tidak ada hasil karena pintu di kunci dari dalam. Arman menempelkan satu telinganya ke pintu, mencoba mengecek keadaan di dalam kamar. Hari juga sudah semakin larut, suasana sudah sepi dan sunyi. Hanya suara putaran kipas angin yang terdengar dari balik pintu. Arman berpikir jika Devita sudah tertidur setelah lelah menangis. "Aku bicarakan besok saja," gumam Arman. Dia berniat meminta maaf dan memberi tahu jika dirinya dipecat, karena itulah suasana hatinya hari ini menjadi buruk dan tidak terkendali. Arman berharap Devita berubah pikiran dengan alasan yang akan dia sampaikan nanti. Baru melangkah beberapa langkah, Arman langsung kembali berdiri di depan pintu kamar. "Tidak. Aku harus bicara sekarang. Aku tidak akan bisa tidur jika gelisah begini," gumam Arman, kini tangannya mengetuk pintu kamar. Tok tok tok "Sayang, mas minta maaf. Ayo kita bicara dengan kepala dingin," ucap Arman. Dia menempelkan salah satu telinganya lagi ke pintu. Namun sama sekali tidak ada respon. Tok tok tok "Ayolah sayang, mas benar-benar minta maaf. Mas akan turuti semua kemauan kamu. Mas janji," bahkan tangan Arman spontan menunjukkan lambang perjanjian. Namun masih belum ada respon juga dari dalam kamar. Sejenak Arman terdiam, kepalanya menunduk menatap lantai beralaskan keramik berwarna putih. "Sebenarnya mas dipecat dari pekerjaan," ucap Arman yang kini terdengar putus asa. Krek, pintu kamar dibuka. Terlihat Devita dengan mata sendunya menatap ke arah Arman. Kini tidak terlihat lagi amarah dimatanya. "Sayang," ucap Arman menatap penuh harap pada istrinya. Devita masih diam, dia berjalan melewati Arman yang masih berdiri di depan pintu kamar. Meski Arman masih berdiri diam namun matanya mengikuti kemana Devita pergi. Devita duduk di ruang makan, tanpa bersuara matanya menatap ke arah Arman seperti sedang meminta Arman untuk ikut duduk. "Sayang, jadi kamu sudah pikirkan baik baik kan. Aku mohon kita jangan berpisah. Kasihan Zidan, dia pasti sedih. Dia masih butuh peranku sebagai ayah," ucap Arman mencoba merayu istrinya. Arman duduk di kursi di samping Devita. Dia mencoba meraih tangan Devita, namun dengan cepat Devita menarik tangannya. Terlihat Devita sedikit menyeringai,"Selama ini apa peranmu sebagai seorang ayah?" "Ah, itu...," Arman terlihat bingung, mulutnya hanya menganga bingung harus mengatakan apa. Bagaimana Arman bisa menjelaskan peran seorang ayah yang baik jika dia sendiri tidak pernah mendapatkannya sejak kecil. Yang Arman tahu sebagai seorang suami dan ayah, memberikan nafkah sudah cukup berperan untuk istri dan anaknya. "Hahahaha," kini Devita tidak hanya menyeringai, bahkan ia tertawa lebar menertawakan hidupnya. Karena Devita menyadari hidup yang dia jalani terlihat sangat sempurna di mata orang lain. "Lantas, kamu tahu bagaimana memperbaiki semua ini? Disini sudah retak," ucap Devita sembari menepuk-nepuk dadanya. Matanya fokus memandang ke arah Arman dengan pandangan ingin tahu. Arman menunduk, dia sendiri tidak punya jawaban apalagi solusi untuk pertanyaan yang baru saja Devita ajukan. "Tidak ada kan mas? kalau begitu keputusanku sudah tepat. Kita jalan masing masing saja, aku tidak mau kita saling menyakiti. Sudah cukup bagiku untuk bertahan, berpura-pura tegar dan bahagia di depan orang lain," ucap Devita. Kini dia berdiri, berniat pergi dari ruangan tersebut. "Tunggu! aku memang tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu. Tapi aku bisa berubah seperti apa yang kamu mau," ucap Arman yang ikut berdiri untuk menghentikan kepergian Devita. Devita menoleh ke arah Arman,"Aku tidak yakin. Kalau sekedar bicara seperti biasanya mudah bagimu mas." Devita kembali melangkahkan kaki menuju kamar. "Tapi kali ini mas benar benar menyesal. Mas serius ingin berubah. Apa perlu mas bersumpah agar kamu percaya," ucap Arman yang berusaha keras meyakinkan istrinya untuk tetap bertahan. "Tidak perlu mas. Aku sudah bosan dengan janji manismu. Semua janjimu palsu," ucap Devita yang merasa sudah terlalu kenyang dengan ucapan ucapan manis Arman. Dan pada kenyataannya semua tetap hanya janji belaka. Tidak ada yang benar-benar Arman usahakan. Devita sudah berulang kali meminta Arman untuk lebih dekat dengan anaknya, namun pada kenyataannya setiap pulang kerja dia hanya sibuk dengan ponselnya. Tidak ada waktu untuk bermain bersama anaknya. Saat Devita ingin masuk ke kamar, Arman berlari. Dia berdiri di tengah pintu untuk menghalangi Devita. Kini Arman berlutut tepat di depan istrinya. Dia bersimpuh seraya memohon belas kasih."Kamu gila mas? astaga yaampun, duh Gusti Agung kulo nyuwun pangapunten(duh Gusti Agung saya minta maaf)," Devita spontan nyeletuk karena saking kagetnya. Kakinya tiba-tiba terasa lemas hingga tubuhnya hampir terhuyung jatuh kelantai, kalau saja saat itu Arman tidak sigap menangkap lengan Devita. "Auh panas," geram Arman saat lengannya ketumpahan sedikit teh panas yang di pegang oleh Devita. "Kenapa kamu? sini-sini duduk dulu," ucap Arman sembari memapah tubuh Devita. Arman mengambil teh hangat yang ada di tangan Devita lalu meletakkannya ke atas meja. "Untung saja cangkir kesayanganku tidak pecah," gumam Arman sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apa mas? bisa-bisanya kamu mikirin cangkir ketimbang keadaanku," Protes Devita yang ternyata masih bisa mendengar ucapan Arman barusan. Arman hanya menyeringai tanpa rasa bersalah. "Mas tolong ambilkan sapu di dapur," ucap Devita setenang mungkin. Devita menundukkan kepala sembari menarik napas panjang demi menahan emosi ya
Devita sedang berbaring di sebelah putranya saat Arman masuk ke dalam kamar. Senyum mengembang terlihat jelas dari wajah Arman. Kebisingan hujan yang sedari tadi menemani cekcok kecil keluarga mereka kini sudah benar benar mereda. "Ini ponselnya," ucap Arman mengulurkan ponsel ke arah Devita. Devita memandang Arman dari atas sampai kebawah, dia menyadari ada kabar melegakan dari raut wajah suaminya. "Ini loh ambil ponselnya, malahan bengong begitu. Kenapa? pasti penasaran ya," ucap Arman masih dengan senyum mengembang di wajahnya. "Kamu bicara apa ke ibuku, apa beliau mau?" tanya Devita yang memang penasaran. "Adalah, yang pasti beliau bersedia meminjami kita modal." "Berapa, jangan kebangetan ya minjem nya!" ucap Devita mencoba mengingatkan suaminya. "Nggaklah, mas cuma pinjem 3 jutaan. Lagian orang tuamu kan banyak uang. Uang segitu kecil bagi mereka," ucap Arman dengan entengnya. "Astaga, 3 juta itu banyak lo mas," Devita melempar bantal ke arah Arman karena saking
"Nggak! Urusan nafkah itu kewajiban suami. Lagian mau kerja di mana kamu?" raut wajah Arman terlihat menegang. "Di tempat kerja aku dulu. Kebetulan ada lowongan, dan temen aku...," Devita belum sempat menyelesaikan ucapannya saat Arman menyela. "Ah bilang saja kamu ingin ketemu mantan kekasihmu yang masih bujangan itu ," Nada bicara Arman kini meninggi. Terlihat jelas guratan marah di raut wajah tampannya. Wajahnya memerah seperti warna tomat yang sudah matang. "Bukan seperti itu mas, aku hanya ingin membantu selagi bisa," ucap Devita mencoba mencairkan suasana. "Tidak, Aku tidak perlu di bantu," suaranya kini terdengar biasa, namun tatapan matanya memancarkan kemarahan dan kekecewaan. Devita hanya bisa diam, menahan semua ucapan yang sebenarnya ingin sekali ia lontarkan dari bibirnya. "Kamu mau kemana mas?" tanya Devita saat Arman berdiri dan mulai melangkah ke arah ruang tamu. "Cari kerja," jawab Arman singkat. Padahal suasana siang itu masih hujan deras. Suara petir j
"Jika kita bercerai saat kondisi mas seperti ini, apa nanti kata orang. Mas nggak mau mereka berfikir jelek tentang kamu sayang," ucap Arman masih dengan posisi berlutut. "Aku nggak peduli, kamu saja selalu berfikir jelek tentang aku," ucap Devita. Dia berjalan melewati Arman tanpa ekspresi. "Kalau begitu kamu lihat anak kita Zidan! Dia masih kecil. Kamu nggak kasihan? aku mohon pikirkan itu juga sayang. Mas mohon, mas janji akan berubah," entah sudah berapa kali Arman memohon dan mengucapkan janjinya. Devita menoleh ke arah Arman yang tengah berdiri di belakangnya, lalu menatap ke arah Zidan. Sebagai seorang ibu, Devita merasa bingung dan bimbang. Namun sebagai seorang istri dia merasa sudah terlalu lelah. "Nanti biar aku pikirkan dulu mas, tapi kamu jangan terlalu berharap," ucap Devita lirih. Mendengar penuturan Devita, spontan Arman melangkah maju untuk memeluk istrinya. Namun Devita menepis tangan Arman untuk menghindarinya. "Ah maaf," ucap Arman melangkah mundur. Dia b
Sementara Arman masih berdiri di tempat. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Dia dengar dari ucapan istrinya tadi. Seketika kakinya terasa lemas hingga tidak lagi mampu menopang tubuh tinggi, kekarnya. Dia tidak menyangka jika kata cerai akan semudah itu keluar dari mulut Devita. Arman merenung berjam-jam di ruang tengah, kedua matanya enggan untuk memejam. Pikiran kalut, bingung berkecamuk menari-nari menjadi satu di dalam kepalanya. Ada banyak kenangan indah melintas dalam pikiran Arman. Arman sungguh tidak rela jika harus mengakhiri pernikahan yang sudah dia jalani selama 5 tahun ini. Apalagi selama ini Devita adalah sosok istri yang sabar, setia, penurut, dan juga perhatian. Devita juga sosok wanita yang cantik, sederhana dan juga tidak banyak tingkah. Itu yang membuat Arman jatuh hati pada Devita, lalu memutuskan menikahinya meski Arman punya kenangan buruk tentang sebuah keluarga di masa kecilnya. "Tidak, aku tidak mau berpisah," gumam Arman masih dalam posisi
Krek, terdengar suara pintu ruang tamu di buka. Devita yang tengah sibuk dengan pekerjaan dapur spontan menoleh ke arah suara. Terlihat Arman masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. Raut wajah Arman terlihat lelah dan lesu. Devita mematikan kompor lalu berjalan untuk menghampiri suaminya. Seperti biasa Devita tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Arman untuk menyambutnya. Setelahnya mengambil tas slempang berwana hitam dari pundak Arman. "Lelah ya mas? sebentar, aku buatkan minum dulu," ucap Devita langsung berlalu menuju dapur. Sedangkan Arman melangkah ke arah kursi berwana coklat tua yang tersusun rapi di ruang tamu. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menghembuskan napas panjang. Matanya tertuju pada satu titik di atas meja. Terlihat genangan air di sebelah cangkir plastik berwarna biru muda. "Astaga, apa saja yang di lakukan vita di rumah," gumam Arman. Lagi lagi dia menghembuskan napas panjangnya. Arman berasal dari keluarga broken home. Ayahnya penganut patri