Share

Di Balik Taruhan Cinta
Di Balik Taruhan Cinta
Author: Sofi Prabandani

Kalah Taruhan

last update Huling Na-update: 2025-04-21 17:04:46

"Kau kalah, Lio."

  Nada suara Davin terdengar datar, tapi dinginnya menampar seluruh ruangan.

  Suara itu menggema di tengah forum saham tertutup yang hanya dihadiri segelintir elite. Semua mata tertuju pada dua sosok penguasa pasar modal: Davin Valizan Alviano, CEO muda dari Valizan Corp, dan Lio Daryan, pewaris sekaligus wajah depan korporasi raksasa Daryan Group.

  Lio menyeringai miring, mencoba menyembunyikan kekalahan memalukannya. Tapi grafik saham di layar LED di belakang mereka tak bisa dibantah. Garis biru milik Valizan mengungguli merah milik Daryan Group, tajam dan menusuk.

  "Ini belum berakhir, Davin."

  "Sayangnya, menurut data, ini sudah selesai," potong Davin tajam. "Tahun ini, aku menang."

  Seketika suasana mencekam. Seorang petinggi forum mulai berdiri, bersiap mengakhiri pertemuan—namun Davin angkat tangan, menghentikannya.

  "Aku punya satu tambahan sebelum kita tutup hari ini."

  Semua kepala menoleh.

  "Aku ingin... setengah saham dari perusahaan Lio."

  Lio mengepalkan rahangnya, tapi sebelum dia bisa menyela, Davin menambahkan,

  "Dan satu hal lagi—aku ingin satu gadis perawan dari keluargamu."

  Hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Bahkan petinggi tertua forum terlihat menelan ludah.

  Lio berdiri. "Kau gila."

  "Tidak lebih gila dari taruhanmu yang ingin aku mundur dari dunia saham jika kalah," jawab Davin datar. "Ini hanya balasan yang setara."

  Lio menggertakkan giginya. "Kau pikir aku akan menyerah untuk permainan busuk ini?"

  "Aku pikir kau akan melakukan apapun demi menyelamatkan perusahaanmu dari kehancuran," ucap Davin. "Atau... kau lebih memilih kehilangan semuanya?"

  Taruhan itu memang edan. Tapi ini bukan tentang wanita. Bagi Davin, ini tentang harga diri. Lio telah berkali-kali menjatuhkannya di depan umum, menghina keluarganya, merusak reputasinya. Kini, saatnya Davin menghancurkan ego besar itu.

  Lio diam. Matanya menatap tajam, tapi ada ketakutan di sana. Untuk pertama kalinya, Lio kalah dan harus menelan kenyataan pahit.

  "Aku akan menyerahkan... syaratmu," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

  Davin meliriknya tajam.

  "Sampaikan padaku siapa wanita yang akan kau serahkan sebelum minggu depan. Aku akan menikahinya."

  "Jangan menyesal."

  "Tidak akan pernah, Lio" balas Davin.

  Dan dengan itu, pertemuan berakhir.

  ---

  Tiga hari kemudian, Davin menerima satu berkas.

  Nama gadis itu tertulis rapi: Aleya Daryan.

  Umur: 22 tahun.

  Status: belum menikah.

  Catatan tambahan: lulusan luar negeri, tidak pernah tampil di publik.

  Davin membacanya tanpa ekspresi.

  "Aleya," gumamnya. "Putri rahasia Daryan?"

  Ia tersenyum tipis. Kalau Lio pikir menyerahkan adik kecilnya akan menjadi cara melindungi perusahaan, dia salah besar.

  Tapi...

  Saat Davin melihat foto gadis itu, alisnya sedikit naik. Matanya menyipit. Ada sesuatu di wajah Aleya. Cantik, iya. Tapi... tatapannya aneh. Kosong. Seperti tak menyadari sedang difoto.

  "Kenapa aku merasa ini... jebakan?"

  Davin meletakkan berkas itu pelan di atas meja kaca di ruang kantornya yang sunyi. Di luar jendela, Jakarta memancarkan lampu malamnya, tapi tak ada yang lebih terang daripada gejolak dalam pikirannya.

  Kenapa Lio menyerahkan Aleya begitu saja?

  Kenapa gadis itu seakan disembunyikan selama ini?

  Ia membuka halaman terakhir—laporan medis. Ada bagian yang disensor. Tapi cukup untuk membuat dahi Davin berkerut.

  Kondisi mental belum stabil.

  "Tapi dia tetap menyerahkannya padaku?" gumam Davin. "Ini bukan sekadar permainan bisnis lagi. Ini... Kelicikan Lio!"

  Tangannya meraih rokok tapi tak dinyalakan. Davin tidak pernah merokok. Ia hanya memainkannya saat berpikir keras.

Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Davin.

Bip.

Ia mengangkat telepon dengan tenang, namun suara dari seberang langsung membentak dengan tajam.

“Apa kau benar-benar menerima ‘hadiah’ dari Lio? Menang dalam pertaruhan saham seharusnya sudah cukup. Jangan bilang kau akan—”

“Aku akan menikahinya,” potong Davin datar, menahan amarah yang terselubung rapi.

Sejenak, hanya keheningan yang menjawab. Lalu suara itu kembali terdengar, kini lebih keras, lebih tajam.

“Kau sadar ini bukan langkah cerdas? Kau tahu siapa mereka, siapa yang selama ini kau hadapi! Ini bukan sekadar urusan bisnis, ini keluarga Daryan—mereka penuh racun.”

Davin berdiri, berjalan pelan ke arah jendela. Cahaya remang dari langit yang mulai gelap jatuh ke wajahnya yang teduh namun penuh bara.

“Lio ingin permainan ini berakhir,” ucapnya pelan. “Tapi aku belum pernah benar-benar memulainya.”

Suara di seberang terdiam beberapa detik, lalu berdesis pelan, “Kalau ini permulaan, kau harus siap menanggung akibatnya. Ini bisa menghancurkan semuanya.”

“Aku sudah menghitung risikonya,” sahut Davin. “Dan aku tahu, luka tak akan sembuh jika hanya ditonton dari jauh.”

Lagi-lagi hening. Hanya suara napas berat yang terdengar samar.

Orang di ujung sana mengenal Davin lebih dalam dari siapa pun. Ia tahu, sekali pria itu mengambil keputusan, maka tak akan ada yang bisa membelokkannya. Tapi kali ini… yang dipertaruhkan bukan hanya nama besar, kekuasaan, atau bisnis.

Taruhan kali ini… bisa jadi adalah jiwanyasendiri.

  ---

  Malam itu, Davin memesan satu unit tim intel untuk menyelidiki latar belakang Aleya.

  Dan hasilnya...

  "Nggak masuk akal," gumam Davin saat file hasil investigasi dilempar ke mejanya.

  Gadis itu... tidak pernah tercatat berkuliah. Tidak ada akun media sosial. Tidak ada foto publik. Bahkan... satu-satunya rekam jejaknya adalah data RS jiwa yang ditutupi.

  “Aleya... siapa kamu sebenarnya?” bisiknya.

  Gadis dari keluarga besar, tapi hidupnya seperti bayangan. Tak punya teman, tak punya jejak. Seolah... sengaja dikubur.

  Sementara itu, di dalam kamar isolasi rumah Daryan—Aleya duduk bersila di lantai dingin. Tangannya terikat rantai tipis di pergelangan kaki. Tapi dia tertawa. Kecil, lirih, mengganggu.

  Di hadapannya, Lio berdiri dengan tatapan puas.

  “Kau akan segera berganti nama jadi Nyonya Davin Valizan.”

  Aleya mendongak, matanya liar. “Kau pikir dia bisa menyelamatkanku?”

  Lio tersenyum. “Tidak. Tapi dia akan jadi kuburanmu yang baru.”

  Aleya menjerit pelan, lalu mencakar dirinya sendiri.

  Dan saat itu, Lio melangkah pergi—meninggalkan adiknya yang seperti boneka rusak dalam sangkar emas.

  ---

  Davin menatap layar CCTV tersembunyi yang ia pasang di luar rumah Daryan.

  Gadis itu… dikurung. Disiksa?

  Kemarahan merayap di matanya. Tapi ia masih bermain tenang.

  “Lio benar-benar menjadikan adiknya alat barter.”

   Davin mengepalkan tanganya, ia geram dengan ulah biadab calon kaka iparnya.

  Davin berdiri.

  “Aku tidak akan menyelamatkannya,” ucapnya. “Aku akan membawanya… untuk menghancurkan Lio dari dalam.”

  Dean menghela napas. Tapi ada satu hal yang tak ia katakan pada Davin: saat ia menatap rekaman Aleya, ia bisa melihat satu hal yang bahkan Davin lewatkan.

  Aleya tidak rusak.

  Dia… berbahaya.

  ---

  Di malam yang sama, Davin duduk sendirian di ruangannya. Tak biasanya ia melamun. Tapi kali ini... pikirannya liar.

  Pikirannya membayangkan satu hal: bagaimana nanti saat Aleya memanggil namanya.

  “Davin,” bisik suara di kepalanya. Suara lembut, namun menggoda.

  Seketika pipi Davin merona.

  Damn. Apa yang salah dengan dirinya?

  Dia bahkan belum menikahi gadis itu. Tapi sejak melihat fotonya—mata kosong itu, senyum kecil yang menyiratkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—Davin merasa... tertarik.

  Bukan secara fisik. Tapi seperti... ada misteri yang menantang otaknya.

  Dan itu membuatnya ingin menyentuh sisi gelap gadis itu. Perlahan. Pelan. Hingga semua rahasia terkuak.

  Telepon dari Lio masuk.

  “Satu minggu lagi. Pernikahan privat. Semua biaya dari kami.”

  “Sempurna,” sahut Davin dingin.

  “Tapi satu hal. Jangan berharap dia akan menyukaimu. Dia bahkan tidak bisa memeluk bayangannya sendiri.”

  “Aku tidak butuh dia mencintaiku,” jawab Davin, datar.

  “Lalu kenapa menikahinya?”

  Davin terdiam. Lalu dengan tenang ia berkata,

  “Karena aku akan mengubahnya jadi ratu. Dan membuatmu tunduk, Lio.”

  Telepon ditutup.

  Dan malam itu, Davin tersenyum untuk pertama kalinya—senyum gelap penuh rencana.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
fitri nurazizah
Wahh bagusss ceritanya tidak membosankan
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Di Balik Taruhan Cinta   Tangisan Di Balkon

    Cahaya matahari baru saja menyentuh teras saat suara langkah Aleya yang ringan terdengar menuruni tangga. Gaunnya sederhana, rambutnya diikat setengah, tapi senyum kecilnya pagi itu terasa… berbeda.“Davin,” panggilnya, pelan—hampir seperti bisikan.Lelaki yang sedang memeriksa file di meja makan menghentikan gerak jarinya. Alisnya menukik sedikit. Biasanya, Aleya hanya menyebutnya “Tuan.”Dia menoleh. “Apa?”Aleya melangkah pelan, seperti takut suara langkahnya mengganggu ritme pagi. Senyum tipis masih bertengger di wajahnya yang pucat.“Boleh aku panggil nama kamu…?” tanyanya, lirih, namun tatapannya terang. “Davin.”Jantung lelaki itu terantuk irama aneh. Salah tingkah, ia memalingkan wajah ke arah berkas-berkas. “Terserah kamu,” jawabnya pendek.Aleya tersenyum kecil lagi. Kali ini lebih tulus, tapi cepat padam. Ia tahu batas.Beberapa menit kemudian, Davin sudah duduk di balik kemudi mobilnya. Dari spion, dia menangkap Aleya masih berdiri di teras, melambai kecil. Untuk alasan ya

  • Di Balik Taruhan Cinta   Pagi Pertama Istriku

    Hari itu Sabtu. Biasanya jadwal Davin penuh dengan undangan pertemuan, kegiatan amal, hingga meeting bisnis yang tak ada habisnya. Tapi pagi ini—untuk pertama kalinya sejak menikah—Davin menonaktifkan alarm, tidak menjawab telepon Dean, dan memilih bangun dengan rambut acak-acakan, wajah belum dicuci, dan... masih memakai bathrobe abu-abu longgar dengan bagian dada sedikit terbuka. Ugh.Tangannya yang besar membuka kulkas, menarik botol air dingin, lalu menenggaknya langsung di mulut. Ia menengadah, membiarkan air dingin mengalir pelan melewati tenggorokannya. Suara "gluk gluk" terdengar jelas, dan jakunnya yang naik turun tanpa sadar mencuri perhatian...Karena ternyata—dia tidak sendiri di dapur.Deg.Davin memutar badan cepat. Tepat di ambang pintu dapur, berdiri Aleya, dalam daster biru muda bergambar awan. Wajah polos itu menatapnya... tak berekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan keterkejutan.Davin berdehem gugup. "Kau... sudah bangun?" ucapnya pelan, nada suara yang tak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Satu sentuhan, Ribuan getaran

    Jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Hujan turun tipis di luar jendela, menciptakan irama samar yang membungkus seisi mansion dengan dingin mendalam.Davin duduk di sisi tempat tidur Aleya, menatap wajah pucat yang masih tertidur dengan napas teratur. Selimut putih yang membungkus tubuh wanita itu disentuhnya perlahan, seperti takut mengganggu.Tidak ada suara.Hanya tatapan.Tatapan yang berusaha mengurai satu demi satu emosi yang sempat dia acak-acak sendiri pagi tadi.“Maaf, Aleya…”Kalimat itu tidak terucap. Tapi menggema keras di dalam dadanya. Membeku di ujung lidah pria yang tak pernah tahu bagaimana cara memeluk luka orang lain.Tangannya hampir menyentuh rambut Aleya, namun kembali berhenti di tengah udara. Ragu. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membentang di antara mereka. Davin… hanya seorang asing. Tapi… dia juga satu-satunya yang mengikat wanita itu dalam janji hidup.Shhhhh—Aleya mengerang pelan. Tubuhnya sedikit menggeliat.Davin langsung kaku.Kelopak

  • Di Balik Taruhan Cinta   Percobaan Bunuh Diri

    Suasana ruang rapat lantai 7 terasa kaku, seperti biasa. Davin duduk di kursi utama dengan mata tajam menyisir setiap grafik di layar proyektor. Nada suaranya tegas, dingin, dan membuat semua peserta tak berani bersuara lebih dari yang diperlukan.Namun tiba-tiba..."Maaf, saya harus keluar."Semua kepala menoleh.Dean, yang berdiri di samping kanan Davin, refleks melirik bosnya dengan dahi mengernyit."Vin?" gumamnya lirih, tak percaya.Davin sudah berdiri, satu tangannya menggenggam ponsel yang baru saja dia angkat lima detik lalu. Wajahnya berubah. Bukan hanya tegang-tapi juga panik. Sebuah ekspresi yang tak pernah terlihat dari pria se-dingin es seperti Davin.Dean bergegas mengikuti, namun Davin mengangkat tangan menghentikan."Gue sendiri."Seketika, Dean tahu ini bukan urusan bisnis.Davin menyetir sendiri. Mobil hitamnya melaju cepat, melewati jalanan Jakarta yang masih ramai.Di dashboard, panggilan terakhir tertulis: Bi Suri - 01:42 PMSuara wanita paruh baya itu masih terng

  • Di Balik Taruhan Cinta   Bukan hantu, tapi Istriku

    Malam mulai merangkak naik, menelan seluruh gedung rumah megah itu dengan gelap yang sunyi. Di ruang kerja di lantai dua, hanya terdengar bunyi gesekan kertas dan dentingan keyboard laptop yang ditekan cepat.Davin, dengan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sembarangan, menatap layar laptop dengan ekspresi lelah tapi tetap dingin seperti biasanya. Dia sudah terbiasa meleburkan diri dalam tumpukan pekerjaan, seolah tidak ada dunia lain selain angka dan dokumen.Tok. Tok. Tok."Masuk," sahut Davin tanpa berpaling.Ia pikir Dean, sekretaris pribadinya, datang membawa laporan tambahan.Benar saja, pintu terbuka pelan, memperlihatkan sosok Dean dengan wajah setengah malas."Vin, gue kelar. Gue cabut dulu ya," katanya sambil bersandar santai di kusen pintu.Davin hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari layar."Ya sana."Dean mendecak."Yaelahh... pengantin baru mah harusnya senyum dikit kek, Vin. Biar aura cinta-cintanya nongol."Davin akhirnya melirik sekilas, malas."Deannnn.

  • Di Balik Taruhan Cinta   Jeritan Aleya

    Suara jeritan itu kembali menggema di seluruh sudut rumah. Tangis pilu dan rengekan histeris memecah pagi yang biasanya sunyi dan tertata sempurna. Rumah megah Davin Velizan Alviano, sang CEO muda yang ditakuti itu, mendadak terasa seperti neraka kecil yang dibakar trauma masa lalu. Bi Suri panik bukan main. Tangannya gemetaran saat mencoba menyendokkan bubur ke mulut Aleya yang hanya bisa berteriak, meronta, dan menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan semua arah. Aleya menyudut di lantai ruang tengah, meringkuk seperti hendak menghilang. "Jangan! Jangan bawa aku ke ruang gelap... tolong... jangan suntik aku lagi..." suaranya nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan yang keluar dari lorong penuh luka dan ketakutan. Dean, sekretaris kepercayaan Davin, sudah ada di sana sejak pukul lima pagi. Tak biasanya, pagi ini dia tak disambut oleh aroma kopi hangat atau suara radio klasik dari dapur. Yang ada hanya kekacauan dan ketegangan. "Bi, dia harus makan sedikit. Dia lemas,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status