Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.
Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.
Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mula
Ketika penjaga-penjaga itu bergerak ke arah lain, Maria keluar dari mobilnya, merapat ke pagar dengan langkah pelan tetapi tegas. Ia memanjat pagar dengan hati-hati, memastikan gerakannya tidak menimbulkan suara. Ketika ia melompat ke sisi lain, jantungnya berdetak cepat, tetapi ia tidak berhenti. Ia merunduk di balik semak-semak, memeriksa situasi di sekelilingnya.Vila itu terlihat lebih besar dari dekat, dan setiap detailnya menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang penting. Jendela-jendela besar dengan tirai tebal menutupi bagian dalamnya, tetapi Maria melihat satu jendela kecil di lantai bawah yang tampak tidak terkunci.Ia bergerak ke arah jendela itu dengan hati-hati, memastikan tidak ada penjaga di sekitarnya sebelum membukanya perlahan. Jendela itu mengarah ke sebuah ruangan kecil yang tampaknya seperti ruang penyimpanan. Maria masuk dengan cepat, menutup jendela di belakangnya
Malam itu, Maria menghabiskan waktu di depan laptopnya, mencoba mencari pola atau petunjuk dari semua yang terjadi. Ia memutar ulang video dari gudang, mendengar setiap kata Rizal dengan seksama. Ada sesuatu dalam nada bicaranya, sesuatu yang ia rasa tidak hanya sekadar ancaman—itu adalah teka-teki.Ia mencatat setiap kalimat yang terasa penting, terutama pernyataan terakhirnya: “Kalau kau terus melawan, kau akan kehilangan segalanya.” Maria tahu bahwa ancaman ini tidak hanya ditujukan untuknya. Ini adalah pesan bahwa mereka sudah melangkah lebih jauh—mereka sudah siap menyentuh apa yang paling ia lindungi.Saat Maria tenggelam dalam pikirannya, suara pelan dari pintu depan membuatnya terkejut. Ia berdiri dengan cepat, meraih pisau yang ia simpan di meja, lalu berjalan dengan hati-hati ke arah pintu. Ketika ia memb
Maria membaca pesan dari Laras berulang kali, alamat yang tertera di sana terus membayang di pikirannya. Tempat itu berada di sebuah distrik industri yang sudah lama ditinggalkan, jauh dari keramaian, di sudut kota yang jarang dikunjungi orang. Setiap elemen dari situasi ini mengirimkan peringatan di pikirannya. Bahaya sudah jelas, tetapi dorongan untuk menemukan jawaban lebih kuat daripada rasa takutnya.Duduk di meja dapur, Maria menatap ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Laras sudah memperingatkannya untuk tidak pergi sendirian, tetapi Maria tahu bahwa membawa orang lain hanya akan membuat mereka ikut terjebak dalam ancaman ini. Ia harus menghadapi ini sendiri.Dewi masuk dari ruang tamu, membawa secangkir kopi untuk Maria. “Apa itu?” tanyanya, memandangi layar ponsel Maria.Maria mengunci layar ponselnya, menyembunyik
Malam itu, Maria kembali duduk di depan layar laptopnya, memeriksa rekaman dari kamera tersembunyi yang ia pasang di sekitar rumah. Ia tahu bahwa mereka mungkin akan kembali, tetapi kali ini, ia bertekad untuk berada satu langkah lebih depan.Tepat pukul dua pagi, sensor gerak di kamera halaman belakang berbunyi lagi. Maria langsung membuka layar, dan hatinya berdegup kencang saat ia melihat sosok yang sama dari malam sebelumnya. Pria itu berdiri di tempat yang sama, kali ini tanpa kamera, hanya memandangi rumahnya dalam diam. Ia tidak bergerak selama beberapa menit, seolah-olah tahu bahwa Maria sedang melihatnya.Maria meraih ponselnya, tetapi sebelum ia bisa melakukan apa-apa, pria itu mengangkat tangan kanannya, menunjukkan sesuatu yang ia genggam—amplop lain. Ia menjatuhkannya ke tanah, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa tergesa-gesa, seperti seseorang yang tahu bahwa tid
Malam itu, Maria duduk di ruang tamu bersama Dewi. Kedua anaknya sudah tertidur di kamar mereka, tetapi Maria merasa sulit untuk menemukan ketenangan. Rekaman dari malam sebelumnya terus terputar di pikirannya, seperti ingatan yang tidak mau pergi.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Dewi, memecah keheningan. Suaranya lembut, tetapi ada kekhawatiran yang jelas di dalamnya.Maria menatap Dewi dengan mata yang lelah tetapi penuh tekad. “Aku akan terus melawan,” katanya. “Mereka ingin aku menyerah, Dewi. Mereka ingin aku merasa tidak berdaya. Tapi aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu.”Dewi menggenggam tangan Maria di atas meja. “Aku ada di sini untukmu,” katanya dengan nada penuh ketulusan. “Apa pun yang kau butuhkan, aku akan membantu.”
Pagi berikutnya, Maria memutuskan untuk kembali ke kantor polisi. Ia tahu bahwa Inspektur Farhan tidak yakin dengan ancaman yang ia hadapi, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain terus mencoba. Ancaman ini telah melampaui batas wajar. Mereka telah menyusup ke setiap sudut hidupnya, dan Maria merasa ia harus memaksa otoritas untuk melihat bahwa ini bukan sekadar paranoia.Saat ia memasuki kantor polisi, Farhan sedang berdiri di dekat meja dengan tangan terlipat di dada, berbicara dengan salah satu anak buahnya. Ketika ia melihat Maria, ekspresinya berubah menjadi campuran rasa tanggung jawab dan kelelahan.“Bu Maria,” katanya, melangkah mendekat. “Ada perkembangan baru?”Maria mengangguk pelan, menatap mata Farhan dengan tatapan yang tajam. “Mereka masih mengawasi rumah saya,” katanya langsung. “S