Home / Young Adult / Di Balik Tirai / Bab 3 Kilas Balik

Share

Bab 3 Kilas Balik

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-06-01 19:23:43

Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.

Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.

Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.

“Maria,” suara Rizal terdengar lembut tetapi penuh otoritas, memecah keheningan di ruang tamu mereka suatu malam. “Aku tidak suka kau menghabiskan waktu dengan teman-temanmu belakangan ini.”

Maria, yang saat itu sedang merapikan mainan Putri dan Arif, menatapnya dengan bingung. “Mereka hanya teman-teman lama, Rizal. Aku tidak sering bertemu mereka. Kita hanya minum kopi.”

Rizal menutup majalah yang ada di tangannya dan menatap Maria dengan senyum kecil yang dingin. “Tapi aku tidak merasa itu perlu. Bukankah kau sudah punya segalanya di sini? Aku, Putri, dan Arif. Apa lagi yang kau cari di luar?”

“Aku hanya butuh waktu untuk berbicara dengan seseorang, Rizal,” jawab Maria hati-hati. “Aku butuh… ruang.”

“Ruang?” Rizal mengulang kata itu dengan nada rendah, senyumnya perlahan memudar. Ia berdiri, mendekati Maria, dan menatapnya dari atas. “Rumah ini adalah ruangmu, Maria. Aku sudah memberikan segalanya untukmu. Kau tidak perlu apa pun dari luar.”

Maria menelan ludah, merasa tenggorokannya tercekat. Saat itu, ia tidak berkata apa-apa lagi, tetapi sesuatu dalam dirinya mulai retak. Ia menyadari bahwa Rizal tidak benar-benar mencintainya—ia mencintai kendali yang ia miliki atas dirinya.

Hari-hari berlalu, dan kendali Rizal semakin mencengkeram. Maria tidak lagi diizinkan bekerja. Rizal mengatakan bahwa tugasnya adalah menjadi istri dan ibu, tidak lebih. Ia melarang Maria bertemu dengan teman-temannya, bahkan keluarga, dengan alasan bahwa mereka hanya membawa pengaruh buruk. Rizal mengendalikan semua aspek kehidupan mereka—keuangan, waktu, bahkan apa yang Maria kenakan setiap hari.

Maria mencoba bertahan, demi Putri dan Arif. Tetapi rasa takut dan isolasi mulai memakan dirinya. Rizal tidak lagi menjadi pria penuh kasih yang ia nikahi. Ia menjadi sosok yang dingin, manipulatif, dan penuh amarah yang selalu menunggu untuk meledak.

Puncaknya terjadi pada suatu malam, ketika Putri menjatuhkan segelas susu di ruang tamu. Anak kecil itu menangis ketakutan, memandang ayahnya dengan wajah penuh rasa bersalah. Rizal, yang saat itu sedang berbicara di telepon, meletakkan ponselnya dengan kasar dan berjalan mendekati Putri dengan langkah berat.

“Putri, apa yang sudah Ayah katakan tentang berhati-hati?” suaranya rendah tetapi penuh ancaman.

“Maaf, Ayah… Aku tidak sengaja,” Putri berbisik, air matanya mengalir deras di pipinya.

Maria, yang berdiri di dapur, segera mendekat. “Rizal, itu hanya kecelakaan. Dia hanya anak-anak.”

Namun, Rizal tidak peduli. Dengan mata yang menyala penuh amarah, ia berbalik dan menatap Maria. “Kau membelanya, ya? Dia harus belajar bertanggung jawab. Itu tugasmu untuk mengajarinya!”

Sebelum Maria sempat merespons, Rizal melayangkan tangannya ke wajahnya. Tamparan itu keras, membuat Maria terhuyung ke belakang. Putri berteriak, berlari ke arah Maria dan memeluknya erat-erat. Arif, yang masih terlalu kecil untuk mengerti sepenuhnya, berdiri dengan wajah bingung, matanya melebar.

Maria tidak pernah melupakan wajah Putri malam itu—ketakutan yang mendalam, rasa kehilangan percaya diri yang terpancar jelas di mata kecilnya. Saat itulah Maria tahu, ia tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anak-anaknya.

Malam itu, Maria duduk di kamar bersama Putri dan Arif yang akhirnya tertidur setelah lama menangis. Ia memandangi wajah polos mereka, hatinya terasa hancur. Ia menyadari bahwa Rizal tidak akan pernah berubah, dan jika ia terus bertahan, ia akan kehilangan lebih dari sekadar dirinya sendiri. Ia akan kehilangan Putri dan Arif—anak-anak yang ia bersumpah untuk lindungi, tidak peduli apa yang terjadi.

Pagi harinya, saat Rizal pergi bekerja, Maria mengemas beberapa pakaian dan dokumen penting. Dengan bantuan seorang teman lama yang akhirnya ia hubungi secara diam-diam, Maria membawa Putri dan Arif pergi dari rumah itu. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak akan pernah kembali.

Kenangan itu masih segar di benak Maria, seperti luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Setiap ancaman yang ia terima sekarang, setiap pesan dari bayangan yang terus menghantuinya, semuanya mengingatkannya pada Rizal dan kekuasaan yang pernah ia miliki atas dirinya. Tetapi sekarang, Maria berbeda. Ia tidak lagi wanita yang takut berbicara, takut melawan. Ia adalah seorang ibu, dan ia tahu bahwa kekuatan itu cukup untuk melindungi Putri dan Arif dari siapa pun yang mencoba menyakiti mereka.

Saat Maria memandangi jendela rumahnya di malam hari, ponselnya bergetar dengan sebuah pesan baru. Pesan itu hanya berisi satu kata: “Ingat.” Lampiran di bawahnya adalah foto Maria bersama Putri dan Arif, diambil dari masa lalu mereka—masa ketika Maria masih terjebak dalam kehidupan dengan Rizal.

Maria menatap layar ponselnya dengan napas tertahan. Kata “Ingat” terasa seperti hantaman palu yang menghancurkan dinding yang telah susah payah ia bangun untuk memisahkan masa lalu dan kehidupannya yang sekarang. Foto yang menyertainya—dirinya, Rizal, Putri, dan Arif di masa lalu—memperlihatkan senyuman palsu yang dulu sering ia paksakan demi mempertahankan penampilan keluarga yang sempurna. Di balik senyuman itu, ia adalah wanita yang terkurung dalam ketakutan yang tak berujung.

Maria menyentuh layar ponselnya, menatap wajahnya sendiri dalam foto itu. Matanya yang dulu penuh dengan luka tersembunyi kini menyala dengan amarah yang mulai mendidih. Ia tidak akan membiarkan masa lalunya kembali menghantuinya. Tetapi foto ini bukan hanya pengingat; itu adalah ancaman. Mereka tahu tentang kehidupan lamanya. Mereka tahu tentang Rizal, Putri, dan Arif. Mereka mencoba menggali luka yang hampir sembuh untuk membuatnya kembali lemah.

Maria menurunkan ponselnya perlahan, tubuhnya gemetar. Dewi, yang duduk di sebelahnya di ruang tamu, menatap Maria dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

“Maria,” kata Dewi pelan, hampir berbisik. “Apa yang mereka kirimkan kali ini?”

Maria menyerahkan ponselnya tanpa berkata apa-apa. Dewi membaca pesan itu, matanya melebar saat ia melihat foto tersebut. “Tuhan…” desis Dewi, menatap Maria dengan tatapan ngeri. “Mereka tahu. Mereka tahu tentang Rizal.”

Maria menunduk, kedua tangannya mencengkeram erat sisi kursi. “Mereka mencoba mengingatkanku pada apa yang sudah aku tinggalkan,” katanya, suaranya penuh dengan rasa frustrasi. “Mereka ingin aku takut. Mereka ingin aku merasa seperti dulu—terjebak, tanpa jalan keluar.”

Dewi menaruh ponsel itu di meja, lalu memegang tangan Maria dengan erat. “Tapi kau bukan Maria yang dulu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Kau telah melarikan diri darinya, kau telah melawan, dan kau telah membangun sesuatu yang baru. Mereka tidak bisa mengambil itu darimu.”

Maria menatap Dewi, mencoba menyerap kata-katanya. Tetapi ancaman ini terasa berbeda. Ini bukan hanya ancaman untuk dirinya sendiri. Mereka mencoba membuka luka lama yang bisa memengaruhi anak-anaknya. Putri dan Arif tidak tahu banyak tentang masa lalu mereka dengan Rizal, terutama Arif yang terlalu kecil saat mereka melarikan diri. Tetapi foto ini adalah pernyataan bahwa masa lalu tidak sepenuhnya terkubur.

“Aku tidak bisa membiarkan mereka terus bermain seperti ini,” kata Maria akhirnya, suaranya mulai mengeras. “Jika mereka pikir aku akan tunduk, mereka salah.”

Malam itu, Maria duduk di meja dapur dengan sebuah kertas kosong di depannya. Ia mencoba menyusun pikirannya, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Ancaman ini tidak bisa terus dibiarkan tanpa tanggapan. Tetapi setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat. Jika ia bertindak gegabah, mereka mungkin akan menyerang lebih keras, lebih dekat.

Ponselnya berdering tiba-tiba, mengalihkan perhatian Maria dari pikirannya. Layar menunjukkan nomor tak dikenal. Maria menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.

“Halo?” suaranya terdengar tajam, penuh kewaspadaan.

Di ujung telepon, suara laki-laki terdengar. Itu suara yang sama dengan yang sebelumnya berbicara dengannya—dingin, rendah, dan penuh ironi. “Kau melihat pesan kami, kan, Maria?”

Maria mengepalkan tangannya di atas meja, mencoba menahan amarahnya. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya, nadanya tajam.

“Kami hanya ingin kau mengingat,” jawab suara itu dengan santai, seolah-olah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang remeh. “Mengingat siapa kau dulu, di mana tempatmu, dan bahwa kau tidak bisa benar-benar melarikan diri dari siapa dirimu.”

“Aku bukan orang yang sama lagi,” balas Maria, suaranya penuh kemarahan. “Kalian tidak punya kendali atas hidupku.”

Suara di telepon tertawa pelan. “Oh, Maria. Kau bisa meyakinkan dirimu sendiri sebanyak yang kau mau, tetapi kau tahu itu tidak benar. Kau tahu bahwa masa lalu akan selalu membayangi, tidak peduli seberapa jauh kau berlari.”

Maria merasa jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi ia tidak membiarkan rasa takutnya terlihat. “Jika kalian menyentuh anak-anakku…” katanya dengan nada rendah yang bergetar, “aku bersumpah, aku akan menghancurkan kalian.”

Suara itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kami tidak perlu menyentuh mereka, Maria. Karena kau sendiri yang akan menghancurkan dirimu sendiri. Itu hanya soal waktu.”

Panggilan itu terputus, meninggalkan Maria dalam keheningan yang menghantui. Ia meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja, tubuhnya terasa lemas. Tetapi di balik ketakutan dan frustrasi, ia merasa ada sesuatu yang menyala di dalam dirinya—sebuah tekad yang tidak bisa dipadamkan.

Maria tidak tidur malam itu. Ia menghabiskan waktu memeriksa setiap sudut rumah, memastikan pintu dan jendela terkunci rapat. Tetapi tidak peduli seberapa rapat ia mengunci, ia tahu bahwa ancaman itu tidak datang dari luar. Ancaman itu ada di dalam pikirannya, berakar dalam dari masa lalunya, dari bayangan Rizal yang terus menghantui.

Ketika pagi tiba, Maria memutuskan untuk bertindak. Ia tidak bisa hanya menunggu mereka menyerang lagi. Jika mereka ingin menggali masa lalunya, maka ia harus menghadapinya lebih dulu. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah lama tidak ia temui—seseorang yang tahu semua tentang Rizal, seseorang yang mungkin memiliki jawaban.

“Maria?” suara seorang wanita menjawab di ujung telepon, terdengar ragu. “Ini kau?”

“Ya,” jawab Maria dengan cepat. “Aku butuh bantuanmu.”

Maria mengatur pertemuan dengan wanita itu, seorang teman lama yang dulu mencoba memperingatkannya tentang Rizal. Ketika mereka bertemu di sebuah kafe kecil, wanita itu mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah Maria bayangkan—Rizal mungkin masih berhubungan dengan orang-orang yang sekarang menyerangnya. Bukan hanya sebagai ancaman dari masa lalu, tetapi sebagai bagian dari jaringan yang lebih besar. Informasi itu membuat Maria sadar bahwa apa yang ia hadapi jauh lebih besar dan lebih gelap daripada yang ia bayangkan.

Maria duduk di sudut sebuah kafe kecil, menatap ke arah pintu masuk sambil menggenggam cangkir teh hangat yang sudah lama mendingin. Pandangannya tajam, penuh kewaspadaan, tetapi hatinya berat. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai semua potongan teka-teki yang tak lengkap. Jika Rizal benar-benar terhubung dengan ancaman yang ia hadapi sekarang, maka ini bukan sekadar tentang balas dendam pribadi—ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap.

Ketika pintu kafe terbuka, Maria langsung mengenali sosok yang masuk. Wanita itu, Laras, adalah teman lamanya, seseorang yang dulu mencoba memperingatkannya tentang Rizal. Laras memiliki wajah yang teduh tetapi penuh ketegasan, dan tatapannya menunjukkan bahwa ia tahu Maria tidak menghubunginya hanya untuk berbasa-basi.

“Maria,” kata Laras dengan nada lembut tetapi waspada saat ia duduk di seberang meja. “Kau tampak… berbeda. Ada apa?”

Maria menatap Laras dengan mata yang penuh emosi, tetapi ia tidak membuang waktu. “Aku butuh bantuanmu, Laras. Ada sesuatu yang… mengintai hidupku. Dan aku pikir ini ada hubungannya dengan Rizal.”

Laras menghela napas panjang, menyesap kopi di depannya sebelum berbicara. “Rizal, ya? Aku sudah lama tidak mendengar namanya. Kau akhirnya berhasil pergi darinya, Maria. Tapi apa yang membuatmu berpikir dia masih ada hubungannya dengan apa yang kau hadapi sekarang?”

Maria menjelaskan semuanya—ancaman, pesan-pesan misterius, foto-foto yang diambil tanpa sepengetahuannya, dan bagaimana semuanya terasa begitu terorganisir, begitu personal. Ia juga menceritakan pesan terbaru yang dikirim dengan foto masa lalunya bersama Rizal, sesuatu yang membuatnya yakin bahwa ini bukan sekadar ancaman acak.

Laras mendengarkan dengan seksama, matanya semakin serius seiring cerita Maria. Ketika Maria selesai, Laras bersandar di kursinya, menatap Maria dengan sorot mata yang dalam. “Maria,” katanya pelan, “kau tahu bahwa Rizal bukan hanya pria yang kasar dan manipulatif. Dia juga punya koneksi yang tidak kau ketahui dulu.”

“Koneksi?” Maria menatap Laras dengan mata melebar. “Apa maksudmu?”

Laras menggigit bibirnya, tampak ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku tidak pernah memberitahumu sebelumnya karena aku tahu kau sudah cukup menderita. Tapi Rizal dulu terlibat dengan beberapa orang—orang-orang yang tidak hanya berbahaya, tetapi juga sangat berkuasa. Mereka adalah semacam jaringan bayangan, orang-orang yang bergerak di balik layar, melakukan hal-hal yang tidak pernah terlihat oleh hukum. Aku pernah mendengar Rizal membicarakan mereka, meskipun tidak secara langsung.”

Maria merasa darahnya dingin mendengar kata-kata itu. Ia mencoba mencerna informasi ini, tetapi rasanya seperti membuka pintu ke dalam jurang yang lebih gelap daripada yang pernah ia bayangkan. “Kau yakin ini ada hubungannya dengan mereka?” tanyanya dengan suara serak.

Laras mengangguk perlahan. “Ancaman yang kau hadapi sekarang terlalu terorganisir untuk menjadi kebetulan. Mereka tahu terlalu banyak tentangmu, dan itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Kalau ini memang melibatkan Rizal, aku takut kau sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar.”

Maria menghela napas panjang, menatap meja di depannya. Semua yang Laras katakan masuk akal, tetapi itu juga membuat situasinya semakin mustahil. Bagaimana ia bisa melawan sesuatu yang bahkan tidak terlihat? Sesuatu yang begitu licin, begitu terorganisir, sehingga bahkan polisi pun tidak bisa membantu?

“Apa yang harus aku lakukan, Laras?” Maria akhirnya bertanya, suaranya penuh dengan rasa putus asa yang sulit ia sembunyikan.

Laras menatap Maria dengan serius. “Kau harus mulai berpikir seperti mereka, Maria. Jangan hanya bertahan. Kau harus menyerang balik, menemukan celah mereka. Kalau mereka menggunakan masa lalumu untuk melawanmu, maka kau harus menggali masa lalu mereka. Temukan sesuatu yang bisa membalikkan keadaan.”

Malam itu, Maria kembali ke rumah dengan kepala yang penuh dengan pikiran. Ia tahu Laras benar—jika ia terus hanya bertahan, mereka akan terus bermain-main dengannya, membuatnya merasa semakin kecil dan tidak berdaya. Tetapi menyerang balik adalah hal yang sulit. Itu berarti mengambil risiko, memasuki wilayah yang lebih gelap, dan membuka luka yang selama ini ia coba sembuhkan.

Di ruang tamu, Dewi sedang menunggu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. “Apa yang kau temukan?” tanya Dewi ketika Maria duduk di sofa.

Maria menjelaskan percakapannya dengan Laras, tentang koneksi Rizal dengan jaringan yang lebih besar, dan bagaimana itu mungkin berhubungan dengan ancaman yang ia hadapi sekarang. Wajah Dewi berubah semakin pucat saat mendengar penjelasan itu.

“Jadi mereka bukan hanya beberapa orang yang mencoba menakutimu,” kata Dewi dengan suara pelan. “Mereka adalah sesuatu yang lebih besar.”

Maria mengangguk. “Dan kalau aku tidak melakukan sesuatu sekarang, mereka akan terus menghancurkan hidupku sedikit demi sedikit.”

Dewi meraih tangan Maria, menggenggamnya dengan erat. “Apa pun yang kau putuskan, aku ada di sini bersamamu.”

Maria tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan rasa takut. “Aku akan menggali lebih dalam, Dewi. Jika ini adalah permainan mereka, maka aku harus tahu semua aturannya.”

Pukul dua pagi, saat Maria sedang mencoba mencari informasi di laptopnya, ponselnya kembali bergetar. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal, dengan hanya satu kalimat: “Kau tidak akan menemukan apa pun yang kami tidak ingin kau temukan.” Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda—di bawah pesan itu, sebuah tautan dikirim. Maria menatap tautan itu dengan hati yang penuh kecemasan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain mengkliknya.

Maria duduk di depan laptopnya, cahaya layar memantulkan bayangan wajahnya yang lelah dan penuh ketegangan. Ponsel di sampingnya terus bergetar, menampilkan pesan yang baru saja masuk dengan tautan yang mencolok di bagian bawah. Ia menatap layar ponsel itu, tangan kanannya gemetar di atas meja. Pesan itu sederhana, tetapi memiliki bobot yang menghancurkan: “Kau tidak akan menemukan apa pun yang kami tidak ingin kau temukan.”

Tautan di bawah pesan itu seolah menantangnya, seperti umpan yang dilemparkan ke dalam air yang penuh dengan hiu. Maria tahu ini adalah jebakan. Mereka ingin ia membuka tautan itu. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya cara untuk memahami lebih banyak tentang apa yang sedang ia hadapi. Rasa takutnya bercampur dengan rasa ingin tahu yang mendesak.

Dewi, yang duduk di sofa tidak jauh darinya, memperhatikan dengan hati-hati. “Maria,” katanya dengan suara pelan tetapi tegas, “jangan klik itu. Mereka mencoba memanipulasimu lagi. Kita tidak tahu apa yang ada di sana.”

Maria menoleh ke arah Dewi, matanya penuh dengan kegelisahan. “Kalau aku tidak membukanya, aku tidak akan pernah tahu apa yang mereka sembunyikan. Kalau ini adalah permainan mereka, aku harus tahu langkah berikutnya.”

“Tapi ini berbahaya,” desak Dewi, nada paniknya semakin terdengar. “Mereka selalu satu langkah di depan, Maria. Jangan biarkan mereka menyeretmu lebih jauh ke dalam perangkap mereka.”

Maria menghela napas, tetapi tangannya tetap berada di atas ponsel. “Aku tidak bisa terus lari, Dewi. Kalau ini bisa memberiku petunjuk, aku harus mengambil risiko.”

Setelah beberapa saat hening, Maria akhirnya mengklik tautan itu. Layar ponselnya berubah, menampilkan sebuah video yang mulai diputar secara otomatis. Video itu buram pada awalnya, tetapi perlahan menjadi lebih jelas. Maria merasakan jantungnya berdetak semakin kencang saat ia mengenali tempat dalam video itu—rumahnya sendiri.

Dalam video itu, ia melihat dirinya sedang berjalan di sekitar rumah, memeriksa pintu dan jendela seperti yang biasa ia lakukan setiap malam. Kamera itu menangkap setiap gerakannya dari sudut tinggi, seolah-olah diambil dari kamera tersembunyi yang dipasang di luar rumahnya. Namun, yang membuat Maria merasakan darahnya membeku adalah suara yang menyertai video itu. Suara seorang pria, dingin dan penuh ancaman.

“Kau pikir kau aman, Maria?” kata suara itu. “Kau pikir kau bisa melindungi mereka? Kami melihat segalanya. Kami tahu segalanya. Dan kami selalu lebih dekat daripada yang kau sadari.”

Maria menelan ludah, matanya terpaku pada layar. Video itu terus berlanjut, menampilkan dirinya yang sedang memeluk Putri sebelum tidur, lalu melanjutkan ke adegan lain di mana ia duduk di ruang tamu dengan pisau di tangannya, menatap ke luar jendela. Mereka telah mengawasi setiap momen hidupnya, tidak hanya di luar rumah, tetapi bahkan di dalam tempat yang seharusnya paling aman.

Dewi berdiri dengan cepat, berjalan ke arah Maria untuk melihat layar ponsel itu. Wajahnya berubah pucat saat ia menyadari apa yang sedang terjadi. “Maria…” bisiknya, hampir tidak bisa berkata-kata. “Mereka memasang kamera di rumahmu. Mereka benar-benar ada di mana-mana.”

Maria tidak menjawab. Matanya tetap terpaku pada layar, amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ketika video itu selesai, layar menampilkan pesan lain: “Ini baru permulaan. Langkah berikutnya ada padamu, Maria. Jangan salah memilih.”

Maria mematikan ponselnya dengan kasar, meletakkannya di meja. Ia merasakan napasnya berat, tubuhnya terasa kaku, tetapi pikirannya bergerak cepat. “Mereka sudah masuk ke rumahku, Dewi. Mereka ingin aku tahu bahwa mereka bisa menyentuh segalanya.”

“Kita harus keluar dari sini,” kata Dewi dengan nada mendesak. “Maria, tempat ini tidak aman lagi. Kalau mereka sudah sejauh ini…”

Maria menggeleng pelan, matanya penuh dengan tekad. “Kalau aku lari sekarang, mereka akan menang. Mereka ingin aku ketakutan, ingin aku kehilangan kendali. Aku tidak akan memberikan itu pada mereka.”

Dewi menatap Maria dengan cemas, tetapi ia tahu temannya tidak akan mengubah keputusannya. “Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan?”

Maria duduk dengan punggung tegak, menggenggam tangan di atas meja. “Aku harus menemukan kamera itu,” katanya dengan nada yang tegas. “Kalau mereka telah memata-matai kami dari dalam rumah, aku harus tahu di mana mereka menyembunyikan perangkat itu. Dan setelah itu, aku akan mencari tahu siapa yang mengirim ini.”

Dewi mengangguk meskipun wajahnya masih dipenuhi rasa takut. “Baik, aku akan membantumu.”

Malam itu, Maria dan Dewi mulai memeriksa setiap sudut rumah dengan hati-hati. Mereka memeriksa setiap sudut jendela, pintu, bahkan langit-langit, mencari perangkat yang mungkin digunakan untuk memata-matai. Akhirnya, di salah satu sudut tinggi di ruang tamu, Maria menemukan sebuah benda kecil yang terselip di antara dekorasi dinding—kamera kecil dengan lensa yang hampir tidak terlihat.

Maria meraihnya dengan hati-hati, menunjukkan benda itu kepada Dewi. “Ini dia,” katanya dengan suara rendah. “Mereka sudah merekam segalanya dari sini.”

“Maria, ini bukti,” kata Dewi, matanya melebar. “Kita bisa menyerahkan ini ke polisi.”

Maria menggenggam kamera itu dengan erat, matanya penuh dengan kebencian yang terpendam. “Mereka sudah terlalu jauh,” katanya pelan tetapi tegas. “Dan sekarang aku akan memastikan mereka membayar.”

Ketika Maria membuka kamera itu di laptopnya untuk memeriksa isinya, ia menemukan lebih dari yang ia harapkan—rekaman tidak hanya dari dalam rumahnya, tetapi juga dari tempat-tempat lain yang ia kunjungi dalam beberapa minggu terakhir. Dalam salah satu rekaman, ia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya kaku: seseorang yang duduk di dalam mobil hitam, memegang foto dirinya dan anak-anaknya, tersenyum dingin ke arah kamera.

Maria menatap layar laptop dengan napas tertahan, matanya terpaku pada salah satu rekaman terakhir dari kamera yang ia temukan. Di layar, seorang pria duduk di dalam mobil hitam, memegang sebuah foto yang jelas menunjukkan dirinya bersama Putri dan Arif. Pria itu tidak berbicara, tetapi senyumnya dingin, penuh dengan ancaman yang tidak perlu dijelaskan. Dia menatap ke arah kamera dengan cara yang membuat Maria merasa seolah-olah ia sedang ditelanjangi oleh tatapan itu—seperti dia tahu bahwa Maria akan menemukan ini pada akhirnya.

Dewi, yang berdiri di sampingnya, menutup mulut dengan tangan, matanya melebar saat melihat gambar itu. “Maria,” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. “Siapa dia?”

Maria tidak menjawab. Tubuhnya terasa seperti kaku, tetapi pikirannya berputar dengan kecepatan penuh. Pria itu bukan Rizal, tetapi ada sesuatu yang familiar dari caranya membawa diri—karisma dingin, kontrol penuh atas situasi, dan sikap seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya.

Ia mengklik video berikutnya. Rekaman itu menunjukkan pria yang sama, kali ini berjalan menuju sebuah tempat yang Maria kenali sebagai kantor polisi setempat. Kamera menangkapnya dari jarak jauh, tetapi Maria dapat melihat bagaimana ia berbicara dengan seorang petugas, bahkan berjabat tangan dengan santai. Setelah itu, pria itu berjalan kembali ke mobilnya dengan ekspresi yang tidak berubah, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan urusan kecil yang tidak berarti.

Dewi menunjuk ke layar, matanya penuh rasa panik. “Dia… dia bicara dengan polisi? Maria, apa maksudnya ini?”

Maria menatap layar itu, hatinya terasa seperti tenggelam lebih dalam ke jurang ketakutan. “Mereka ada di mana-mana,” gumamnya pelan, hampir tidak kepada Dewi. “Mereka tidak hanya mengawasi. Mereka menyusup. Mereka memiliki akses ke orang-orang yang seharusnya melindungi kita.”

“Ini sudah terlalu jauh!” Dewi berseru, kehilangan kendali atas suaranya. “Maria, kau tidak bisa melawan ini sendirian! Kita harus pergi, meninggalkan tempat ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”

Maria menutup laptop dengan kasar, matanya menyala dengan kemarahan yang membara. “Pergi ke mana, Dewi? Ke mana pun aku pergi, mereka akan menemukanku. Mereka tidak akan berhenti hanya karena aku lari.”

“Lalu apa yang kau rencanakan?” Dewi bertanya dengan nada putus asa. “Mereka punya kendali atas segalanya, Maria. Kau bahkan tidak tahu siapa sebenarnya mereka.”

Maria menatap Dewi, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Mungkin aku tidak tahu siapa mereka,” katanya dengan suara rendah tetapi penuh tekad. “Tapi aku tahu satu hal: mereka ingin aku merasa tidak berdaya. Mereka ingin aku menyerah. Dan aku tidak akan memberikan itu kepada mereka.”

Malam itu, Maria tidak tidur. Ia menghabiskan waktu memutar ulang setiap rekaman dari kamera kecil itu, mencoba mencari pola, petunjuk, atau apa pun yang bisa membawanya lebih dekat kepada kebenaran. Di setiap video, pria itu muncul lagi dan lagi, selalu dengan ekspresi dingin dan percaya diri yang sama. Namun, dalam salah satu rekaman, Maria melihat sesuatu yang menarik perhatiannya—sebuah logo kecil di saku jaket pria itu, hampir tidak terlihat oleh kamera.

Ia memperbesar gambar itu, meskipun resolusinya rendah. Logo itu adalah lingkaran dengan simbol abstrak di tengahnya, tetapi Maria merasa pernah melihatnya sebelumnya. Ia mencoba mengingat di mana ia pernah melihat logo itu, tetapi otaknya terasa seperti melawan. Apa pun yang terkait dengan simbol itu terkubur dalam kenangan yang terlalu dalam.

Dewi masuk ke ruang tamu, membawa secangkir kopi untuk Maria. Ia melihat Maria yang menatap layar dengan intensitas yang tidak biasa. “Kau menemukan sesuatu?” tanya Dewi, menaruh cangkir itu di atas meja.

Maria menunjuk ke layar. “Logo ini,” katanya. “Aku pernah melihatnya, tetapi aku tidak tahu di mana.”

Dewi memandang layar itu dengan alis berkerut. “Apa itu? Simbol organisasi?”

“Mungkin,” jawab Maria dengan nada pelan. “Tapi kalau ini adalah milik mereka, maka aku harus tahu apa artinya.”

Maria mengambil ponselnya dan mengambil foto dari layar itu, lalu mengirimkannya ke Laras dengan pesan singkat: “Apakah kau tahu simbol ini?” Laras mungkin tidak akan menjawab dengan segera, tetapi Maria tahu bahwa temannya itu memiliki jaringan yang bisa memberikan jawaban.

Beberapa jam kemudian, tepat saat fajar mulai menyingsing, Maria menerima balasan dari Laras. Pesannya singkat, tetapi cukup untuk membuat tubuh Maria terasa dingin.

“Hati-hati, Maria. Itu adalah simbol sebuah kelompok yang sangat berbahaya. Aku akan memberitahumu lebih banyak, tapi kau harus bersiap untuk apa yang mungkin kau temukan. Mereka tidak hanya mengancam. Mereka menghancurkan.”

Maria membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami implikasinya. Kelompok ini bukan hanya tentang Rizal, bukan hanya tentang dirinya. Mereka adalah sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih kejam daripada yang pernah ia bayangkan.

Dewi, yang duduk di sebelahnya, membaca pesan itu juga. Ia menatap Maria dengan mata yang dipenuhi ketakutan. “Maria, kalau ini benar, mereka bisa melakukan apa saja. Mereka bisa menghancurkan kita tanpa peringatan.”

Maria menatap Dewi, mencoba menyembunyikan ketakutannya sendiri. “Mereka mungkin kuat, tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang. Kalau mereka ingin permainan ini terus berjalan, aku akan memastikan aku punya langkah berikutnya.”

Pada pagi itu, Maria menerima pesan lain di ponselnya. Kali ini, itu adalah koordinat GPS, tanpa kata-kata, tanpa penjelasan. Hatinya berdebar kencang. Koordinat itu mengarah ke sebuah lokasi terpencil di luar kota—tempat yang terasa seperti jebakan, tetapi Maria tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain mendekati kebenaran.

Maria menatap layar ponselnya dengan koordinat yang baru saja dikirimkan, jemarinya mengepal di sisi meja. Tempat itu berada di luar kota, di sebuah area yang tampak terpencil dan jauh dari keramaian. Lokasi itu berbicara banyak tanpa kata-kata—tempat di mana seseorang bisa lenyap tanpa jejak, di mana bayangan-bayangan yang terus mengintai bisa menunjukkan kekuatan mereka tanpa takut terdeteksi.

Dewi berdiri di belakang Maria, membaca koordinat itu dari atas bahunya. “Maria,” katanya dengan nada khawatir, “kau tidak bisa pergi ke sana. Ini jelas jebakan. Mereka ingin memancingmu keluar, sendirian.”

Maria tidak menjawab, hanya menatap layar ponsel itu dengan tatapan yang penuh tekad. Ia tahu ini jebakan. Semuanya dari awal adalah jebakan. Namun, setiap langkah yang ia hindari, setiap ancaman yang ia biarkan lewat tanpa perlawanan, hanya membuat cengkeraman mereka semakin kuat.

“Aku harus pergi,” katanya akhirnya, suaranya tenang tetapi tajam. “Aku tidak bisa terus bersembunyi. Kalau mereka ingin aku datang, aku akan datang. Tapi aku tidak akan datang tanpa persiapan.”

Dewi menatapnya dengan ngeri. “Persiapan? Maria, kau tidak tahu apa yang menunggumu di sana. Kau bahkan tidak tahu siapa mereka sebenarnya. Kalau kau pergi ke sana sendirian, mereka akan menang.”

Maria berbalik, menatap Dewi dengan mata yang penuh ketegasan. “Aku tidak punya pilihan, Dewi. Kalau aku tidak pergi, mereka akan terus bermain-main dengan hidupku, dengan anak-anakku. Aku harus tahu apa yang mereka inginkan. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan ini adalah dengan menghadapi mereka.”

Beberapa jam kemudian, Maria duduk di dalam mobilnya, berhenti di pinggir jalan kecil yang berdebu. Ia telah memeriksa peta beberapa kali, dan koordinat itu membawa dia ke sebuah bangunan tua yang tampak seperti gudang yang sudah lama ditinggalkan. Dindingnya penuh dengan lumut, catnya mengelupas, dan jendela-jendelanya tertutup debu. Tempat itu sunyi, terlalu sunyi, dan dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi, menciptakan bayangan gelap meskipun matahari siang bersinar terang.

Maria menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia telah membawa pisau kecil yang selalu ia bawa, diselipkan di dalam jaketnya. Selain itu, ia tidak memiliki senjata atau perlindungan lain. Satu-satunya yang ia miliki adalah tekadnya untuk melawan, untuk tidak menyerah pada permainan mereka.

Ia melangkah keluar dari mobil, pintunya menutup dengan suara yang terlalu keras di tengah kesunyian. Setiap langkah yang ia ambil di jalan berbatu menuju gudang terdengar seperti dentuman di telinganya sendiri. Udara di sekitarnya terasa tebal, seolah-olah sesuatu yang tak terlihat mengawasinya dari balik pepohonan.

Ketika Maria mencapai pintu gudang, ia berhenti, mencoba mendengarkan suara apa pun di dalam. Tidak ada. Hanya keheningan yang terus menekan, membuat napasnya terasa berat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan. Pintu itu terbuka dengan derit yang panjang, mengungkapkan kegelapan di dalamnya.

Di dalam, ruangan itu hampir kosong, kecuali sebuah meja kecil yang diletakkan di tengah. Di atas meja itu ada sebuah amplop putih, tergeletak dengan rapi seolah-olah seseorang sengaja menunggu Maria menemukannya. Di dinding belakang gudang, ada sebuah kamera kecil yang diarahkan ke meja, berkedip pelan dengan lampu merah kecil di sudutnya.

Maria melangkah maju dengan hati-hati, matanya tidak pernah lepas dari amplop itu. Ia tahu bahwa setiap gerakannya sedang diawasi, tetapi ia tidak peduli. Ketika ia akhirnya mencapai meja, ia mengambil amplop itu dan membukanya dengan cepat.

Di dalamnya hanya ada sebuah kertas dengan tulisan tangan yang tajam dan rapi: “Selamat, Maria. Kau cukup berani untuk datang. Tapi ingat, setiap langkah yang kau ambil membawa kami semakin dekat.”

Maria meremas kertas itu dengan tangan yang gemetar. Ia memandang kamera di dinding, menatap lensa kecilnya dengan kemarahan yang mendidih. “Apa yang kalian inginkan dariku?!” teriaknya, suaranya bergema di dalam ruangan kosong.

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menusuk.

Maria berbalik, berjalan cepat keluar dari gudang. Namun, saat ia melangkah keluar, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti. Di kaca depan mobilnya, ada sesuatu yang baru saja diletakkan—sebuah foto lain. Ia mendekati mobil dengan langkah cepat, meraih foto itu dan menatapnya.

Foto itu menunjukkan Maria, diambil dari belakang, saat ia berjalan menuju gudang beberapa menit yang lalu. Tulisan di belakang foto itu membuat darahnya membeku: “Kau tidak sendirian. Kami selalu ada.”

Maria mendengar suara mesin mobil yang mendekat dari arah jalan. Ia menoleh dengan cepat, melihat sebuah mobil hitam yang melaju perlahan menuju tempatnya berdiri. Mobil itu berhenti di tengah jalan, lampunya menyala terang, membuat Maria merasa seperti sedang disorot oleh sebuah panggung. Ketika pintu mobil terbuka, seorang pria keluar dengan santai, wajahnya sebagian tersembunyi di balik cahaya. Maria menggenggam pisau di sakunya lebih erat, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Maria berdiri kaku di samping mobilnya, foto di tangannya gemetar. Angin siang yang panas kini terasa dingin menusuk kulitnya. Lampu mobil hitam itu menyilaukan matanya, membuat siluet sosok yang keluar dari pintu mobil tampak semakin mengancam. Pria itu melangkah dengan santai, gerakannya penuh percaya diri, seolah-olah ia tahu bahwa Maria tidak memiliki pilihan selain berdiri diam dan menunggu.

Maria mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, pisau kecil yang terselip di jaketnya terasa seperti benda tak berarti dibandingkan dengan rasa takut yang kini menyelimutinya. Namun, ia tidak mundur. Ia menatap pria itu dengan mata tajam, meskipun di dalam hatinya, ia berjuang melawan desakan untuk lari.

Pria itu akhirnya berhenti beberapa meter darinya. Wajahnya terlihat lebih jelas sekarang—pria berambut hitam rapi dengan mata tajam yang penuh perhitungan. Senyum tipis di bibirnya tidak menyembunyikan kesan ancaman yang ia bawa. Di tangannya, ia membawa sebuah amplop, sama seperti yang Maria temukan di dalam gudang tadi.

“Selamat siang, Maria,” katanya dengan nada rendah tetapi penuh ironi. “Aku senang kau memutuskan untuk datang.”

Maria tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tempatnya, matanya tidak lepas dari pria itu. Ia tahu kata-kata apapun dari mulut pria itu hanyalah bagian dari permainan. Ia tidak akan memberinya kepuasan untuk melihatnya takut.

Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, seolah-olah mengamati Maria dengan rasa ingin tahu yang sinis. “Kau lebih berani dari yang aku bayangkan,” lanjutnya, melangkah lebih dekat. “Banyak orang sudah menyerah pada titik ini. Tapi kau? Kau masih bertahan.”

“Apa yang kau inginkan?” tanya Maria dengan suara yang tegas, meskipun jantungnya berdebar keras di dalam dadanya. “Kenapa kalian terus menggangguku?”

Pria itu tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti pisau yang menggores baja. “Mengganggumu?” ia mengulang kata itu seolah-olah itu adalah sesuatu yang menghibur. “Kami tidak mengganggumu, Maria. Kami hanya mengingatkanmu akan tempatmu. Hidupmu, setiap keputusanmu, adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan kau mencoba lari dari itu.”

Maria mengepalkan tangannya semakin erat, merasakan ujung pisaunya menekan telapak tangannya. “Aku tidak peduli apa permainanmu. Kalau ini tentang masa laluku, itu sudah selesai. Kau tidak punya kendali atas hidupku.”

Pria itu mengangkat bahu, senyum tipisnya tidak pernah hilang. “Itu yang kau pikirkan. Tapi apa kau yakin? Kami selalu tahu setiap langkahmu. Kami tahu di mana kau berada, apa yang kau lakukan, bahkan apa yang kau rencanakan.”

Maria menggertakkan giginya. “Kalau kalian tahu segalanya, kenapa tidak menyelesaikan ini sekarang? Kenapa bermain-main seperti pengecut?”

Pria itu berhenti sejenak, senyumnya memudar sedikit. “Karena ini bukan hanya tentangmu, Maria. Ini tentang pelajaran. Pelajaran bagi siapa pun yang mencoba melawan kami.”

Maria merasakan darahnya mendidih. Kata-kata itu bukan hanya ancaman; itu adalah pernyataan. Mereka ingin menjadikannya contoh, simbol dari kekalahan. Namun, di balik kemarahannya, ia merasakan sesuatu yang lain—keteguhan. Ia tidak akan menjadi alat mereka. Ia tidak akan membiarkan mereka menang.

“Apa yang kau ingin aku lakukan?” tanya Maria akhirnya, suaranya penuh dengan nada dingin yang mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ia mengulurkan amplop di tangannya kepada Maria. “Di sini,” katanya. “Di dalam amplop ini, ada langkah selanjutnya. Bacalah, dan kau akan tahu apa yang harus kau lakukan.”

Maria tidak langsung mengambil amplop itu. Ia menatap pria itu dengan curiga, matanya mencari petunjuk apa pun di wajahnya yang mungkin mengungkapkan lebih banyak. Tetapi pria itu hanya berdiri di sana, dengan kesabaran yang mengerikan, seolah-olah ia yakin Maria tidak punya pilihan lain.

Akhirnya, Maria meraih amplop itu, tangannya sedikit gemetar. Ia tidak membuka amplop itu di depan pria itu, tetapi menyelipkannya ke dalam jaketnya. “Kalau ini permainanmu,” katanya dengan nada rendah, “aku akan memainkannya. Tapi aku akan memastikannya berakhir dengan cara yang kau tidak duga.”

Pria itu menatap Maria selama beberapa detik, lalu tersenyum tipis lagi. “Kita lihat, Maria. Kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”

Tanpa kata lain, pria itu berbalik dan kembali ke mobilnya. Maria berdiri di tempat, tubuhnya kaku, tetapi pikirannya berputar. Ketika mobil itu melaju pergi, meninggalkan jejak debu di udara, Maria merasakan napasnya kembali. Namun, amplop di jaketnya terasa berat, seolah-olah membawa rahasia yang bisa menghancurkan atau membebaskannya.

Ketika Maria akhirnya membuka amplop itu di rumah, ia menemukan sebuah peta kecil dengan lokasi yang dilingkari merah. Di bawahnya, sebuah catatan pendek tertulis dengan tangan: “Datanglah sendiri. Kami menunggumu.” Maria tahu bahwa ini adalah jebakan lain, tetapi kali ini, ia tidak akan datang hanya dengan rasa takut. Ia bersumpah, jika mereka ingin permainan ini terus berjalan, ia akan menjadi pemain yang mereka tidak pernah bayangkan.

Maria menatap peta kecil yang tergeletak di atas meja dapurnya, jantungnya berdetak pelan tetapi berat, seperti detik-detik yang menghitung mundur menuju sesuatu yang tidak dapat dihindari. Lingkaran merah yang mencolok di peta itu menandai sebuah lokasi di pinggir kota, dekat sebuah area industri yang sudah lama ditinggalkan. Tempat itu terdengar asing, tetapi Maria tahu bahwa siapa pun yang telah mengiriminya ini, mereka tahu persis apa yang mereka lakukan.

Di sebelah peta itu, catatan pendek yang tertulis dengan tangan terus memanggil pikirannya: “Datanglah sendiri. Kami menunggumu.” Kata-kata itu sederhana tetapi penuh beban. Maria tahu ini adalah tantangan, dan lebih dari itu, ini adalah jebakan.

“Maria,” suara Dewi memecah keheningan, membuat Maria tersentak kembali ke dunia nyata. Dewi berdiri di pintu dapur, menatapnya dengan wajah penuh kecemasan. “Apa yang mereka kirimkan kali ini?”

Maria tidak menjawab seketika. Ia hanya menyodorkan peta dan catatan itu ke arah Dewi, membiarkannya membaca dan memahami sendiri. Dewi mengerutkan alis saat membaca, dan setelah beberapa detik, ia menatap Maria dengan mata yang penuh dengan rasa takut. “Kau tidak akan pergi, kan?” tanyanya dengan nada hampir memohon. “Ini jelas jebakan, Maria. Kau tidak tahu apa yang menunggumu di sana.”

Maria menghela napas panjang, menatap ke arah luar jendela, di mana matahari mulai tenggelam di balik garis pepohonan. “Aku tahu ini jebakan, Dewi,” katanya pelan tetapi tegas. “Tapi kalau aku tidak pergi, mereka akan terus datang. Mereka akan terus mengancam anak-anakku. Aku harus mengakhirinya.”

“Lalu apa rencanamu?” desak Dewi, langkahnya mendekat, seolah-olah ia berharap bisa menahan Maria dengan tangannya sendiri. “Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa tahu apa yang akan kau hadapi.”

Maria menatap Dewi, matanya yang lelah tetapi penuh tekad. “Aku akan pergi,” katanya dengan suara yang rendah tetapi penuh kekuatan. “Tapi aku tidak akan pergi tanpa persiapan.”

Malam itu, Maria mengunci semua pintu dan jendela rumahnya, memastikan bahwa Putri dan Arif aman di dalam kamar mereka sebelum ia duduk di meja ruang tamu, memandangi peta itu lagi. Ia mencoba mengingat semua yang Laras katakan, mencoba mencari pola atau petunjuk yang bisa membantunya memahami siapa yang sebenarnya ia hadapi. Tetapi semakin ia mencoba memahami, semakin besar kesadarannya bahwa ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang telah mengintai dirinya sejak lama tanpa ia sadari.

Ketika malam semakin larut, Maria meraih ponselnya dan menelepon Laras. Temannya itu menjawab dengan nada lelah tetapi tetap waspada. “Maria, kau baik-baik saja?” tanya Laras.

Maria mengangguk meskipun Laras tidak bisa melihatnya. “Mereka memberiku lokasi baru,” katanya pelan. “Mereka ingin aku datang.”

Laras terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kau tahu ini berbahaya, kan? Mereka tidak akan memanggilmu kecuali mereka yakin mereka punya kendali penuh.”

“Aku tahu,” jawab Maria. “Tapi aku tidak bisa terus bersembunyi. Kalau aku tidak melawan sekarang, mereka tidak akan pernah berhenti.”

Laras menghela napas panjang. “Kalau begitu, kau harus berhati-hati. Mereka tidak hanya bermain dengan ancaman, Maria. Mereka bermain dengan kekuatan yang nyata. Jangan biarkan mereka memanipulasimu lebih jauh.”

Ketika Maria tiba di lokasi yang ditunjukkan di peta, malam sudah larut. Gudang tua yang menjadi tujuannya berdiri seperti bayangan gelap di tengah area industri yang sepi, dikelilingi oleh pagar berkarat yang hampir runtuh. Angin malam berhembus, membawa bau logam yang lembap dan tanah yang terlupakan. Maria memarkir mobilnya agak jauh dari tempat itu, mencoba menghindari deteksi dini.

Ia keluar dari mobil dengan langkah pelan, jaket tebalnya menyembunyikan pisau kecil yang ia bawa sebagai perlindungan. Setiap langkah yang ia ambil di jalan berbatu terdengar seperti dentuman di telinganya sendiri. Tetapi ia tidak berhenti. Ia tahu, meskipun ketakutan merayapi pikirannya, ia tidak bisa mundur sekarang.

Ketika ia mencapai pintu besar gudang itu, ia berhenti, mencoba mendengarkan suara apa pun dari dalam. Tidak ada. Keheningan yang mematikan. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan. Pintu itu terbuka dengan derit panjang, mengungkapkan ruang gelap yang hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang bergoyang pelan di tengah ruangan.

Di bawah lampu itu, ada sebuah meja lagi, dan di atas meja itu, sesuatu yang membuat darah Maria berhenti mengalir: sebuah foto dirinya bersama Putri dan Arif, diambil dari jendela rumahnya. Di bawah foto itu, ada catatan singkat yang tertulis dengan tinta merah: “Kami bisa menyentuh segalanya, Maria. Bahkan yang paling kau cintai.”

Maria berjalan mendekat, tubuhnya tegang seperti senar yang hampir putus. Ia mengambil foto itu dengan tangan gemetar, matanya terbakar dengan amarah yang mendidih. “Keluar!” teriaknya, suaranya memecah keheningan. “Aku tahu kalian ada di sini! Tunjukkan dirimu!”

Suara langkah kaki yang pelan terdengar dari belakang, membuat Maria berbalik dengan cepat. Di sana, seorang pria muncul dari bayangan, sosoknya yang tinggi dan gelap tampak menakutkan di bawah cahaya lampu yang redup.

“Kau datang,” kata pria itu dengan suara rendah dan dingin. “Aku tahu kau akan datang.”

Maria mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, matanya menatap tajam ke arah pria itu. “Apa yang kalian inginkan dariku?” tanyanya, suaranya penuh dengan kemarahan yang ia coba kendalikan.

Pria itu tersenyum tipis, langkahnya mendekat. “Kami ingin kau memahami sesuatu, Maria. Kau tidak bisa melarikan diri dari masa lalumu. Kau tidak bisa melawan kami. Semakin keras kau mencoba, semakin dalam kau akan terjebak.”

Maria menatap pria itu, tubuhnya bergetar dengan campuran rasa takut dan tekad. “Aku tidak peduli siapa kalian,” katanya dengan nada dingin. “Kalau kalian pikir aku akan menyerah, kalian salah.”

Pria itu hanya tersenyum, lalu melangkah mundur ke dalam bayangan. Sebelum ia menghilang sepenuhnya, ia berkata dengan suara yang menggema di seluruh ruangan, “Permainan baru saja dimulai, Maria. Bersiaplah.” Ketika Maria berbalik untuk kembali ke mobilnya, ia menemukan sesuatu yang baru menunggu di kaca depannya—sebuah amplop dengan tulisan besar: “Langkah berikutnya ada padamu.”

Maria berdiri terpaku di depan mobilnya, amplop di kaca depan terasa seperti lubang hitam kecil yang siap menghisapnya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Angin malam yang dingin tidak lagi terasa; hanya ada suara detak jantungnya yang berdentam di telinganya, dan amplop itu, dengan tulisan besar yang menantang: “Langkah berikutnya ada padamu.”

Tangannya gemetar ketika ia meraih amplop itu, tetapi ia tetap tenang. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari permainan mereka—mencoba mengontrol setiap langkahnya, mencoba mengikis ketenangannya sedikit demi sedikit. Tetapi Maria tidak akan membiarkan mereka melihat dirinya jatuh.

Dewi, yang ia tinggalkan di rumah dengan perasaan cemas, melintas di benaknya. Maria tahu jika ia memberi tahu Dewi tentang ini, temannya akan panik. Tetapi semakin besar ancaman ini, semakin Maria merasa bahwa ia harus melindungi semua orang di sekitarnya, bahkan jika itu berarti menghadapi semuanya sendirian.

Maria membuka amplop itu dengan hati-hati, matanya menelusuri kata-kata yang tertulis dengan tangan yang tajam dan rapi di atas selembar kertas putih.

“Selamat, Maria. Kau sampai sejauh ini. Tapi keputusan ada di tanganmu. Terus melawan, dan kau akan melihat orang-orang yang kau cintai menderita. Menyerah, dan semuanya akan selesai dengan cepat. Pilih dengan bijak.”

Di bawah tulisan itu, ada sebuah peta kecil yang menandai lokasi lain. Namun kali ini, lokasinya tidak jauh dari rumah Maria. Hanya beberapa kilometer jauhnya—terlalu dekat untuk kenyamanan, terlalu dekat untuk diabaikan.

Maria mencengkeram kertas itu, amarahnya mendidih di dalam dirinya. Ancaman ini telah mencapai batasnya. Mereka tidak hanya bermain-main dengan dirinya, tetapi mereka juga mencoba menyusup lebih dalam ke kehidupannya, ke ruang-ruang yang seharusnya aman untuk Putri dan Arif. Ini bukan lagi tentang bertahan. Ini adalah tentang menyerang balik.

Ketika Maria kembali ke rumah, ia menemukan Dewi duduk di ruang tamu dengan wajah cemas. “Kau baik-baik saja?” tanya Dewi, berdiri dengan cepat saat Maria masuk.

Maria tidak menjawab segera. Ia berjalan ke dapur, menaruh amplop itu di meja, lalu menatap Dewi dengan mata yang penuh tekad. “Mereka mengirimku lokasi baru,” katanya akhirnya.

Dewi menggeleng, matanya penuh dengan ketakutan. “Maria, tidak. Kau tidak bisa terus mengikuti permainan mereka. Ini hanya akan membuat mereka semakin kuat.”

“Aku tahu,” jawab Maria dengan nada dingin. “Tapi aku tidak punya pilihan, Dewi. Kalau aku tidak menghadapi mereka, mereka akan terus mendekat. Mereka sudah cukup dekat.”

Dewi duduk kembali di kursi, menundukkan kepalanya. “Apa rencanamu?” tanyanya dengan suara lemah.

Maria menatap peta di atas meja. “Aku akan pergi. Tapi kali ini, aku tidak akan datang untuk mendengarkan ancaman mereka. Aku akan mencari jawaban. Kalau mereka ingin bermain dengan hidupku, aku akan memastikan mereka tahu aku bukan hanya pion dalam permainan ini.”

Dewi mengangkat wajahnya, menatap Maria dengan rasa takut dan kekaguman sekaligus. “Kalau kau akan pergi,” katanya, “setidaknya biarkan aku membantumu. Jangan lakukan ini sendirian.”

Maria tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. “Kau sudah banyak membantuku, Dewi. Tapi ini adalah sesuatu yang harus aku selesaikan sendiri.”

Pagi berikutnya, Maria mempersiapkan dirinya untuk perjalanan ke lokasi yang ditandai di peta. Ia memeriksa ponselnya, memastikan baterainya penuh, dan membawa pisau kecil yang telah menjadi pendamping setianya. Ia juga membawa kamera kecil yang ia beli beberapa hari sebelumnya, berharap bisa merekam apa pun yang ia temukan sebagai bukti.

Ketika Maria tiba di lokasi yang ditandai, ia menemukan dirinya di depan sebuah bangunan kecil yang tampak seperti gudang tua. Dindingnya kusam dan dipenuhi grafiti, dan pintu besinya tampak seperti sudah tidak pernah dibuka selama bertahun-tahun. Namun, Maria tahu lebih baik daripada mempercayai penampilan tempat ini. Ia bisa merasakan sesuatu di udara—ketegangan yang tak terlihat, ancaman yang tak terucapkan.

Maria melangkah maju, pintu besar itu terbuka dengan mudah saat ia mendorongnya. Di dalam, ruangan itu hampir kosong, kecuali sebuah layar besar yang tergantung di dinding. Di depan layar itu, ada kursi kayu yang tampak sengaja diletakkan untuknya.

Maria mendekat dengan hati-hati, matanya mengamati setiap sudut ruangan. Ketika ia akhirnya duduk, layar di depannya menyala, menampilkan wajah pria yang sama yang ia temui di lokasi sebelumnya. Wajah itu tersenyum tipis, penuh ironi, seolah-olah ia telah memenangkan sesuatu yang Maria bahkan belum menyadari.

“Selamat datang, Maria,” kata pria itu, suaranya menggema di ruangan kosong. “Kau benar-benar wanita yang luar biasa. Tidak banyak orang yang bisa bertahan sejauh ini.”

“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Maria dengan nada tajam. “Kenapa kalian terus mengancam hidupku?”

Pria itu tertawa kecil, suaranya terdengar seperti serpihan kaca yang pecah. “Kami tidak mengancammu, Maria. Kami sedang mengujimu. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan kami ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”

“Bagian dari apa?” desak Maria. “Apa yang kalian inginkan?”

Pria itu tersenyum lebih lebar. “Itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan sekarang. Tapi kau akan mengetahuinya, Maria. Pada waktunya, kau akan mengerti.”

Layar itu tiba-tiba mati, meninggalkan Maria dalam kegelapan dan keheningan yang mencekam. Tetapi sebelum ia bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Maria berbalik dengan cepat, pisau di tangannya terangkat. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan.

Ketika Maria keluar dari gudang, ia menemukan sebuah kamera kecil yang dipasang di mobilnya, mengarah langsung ke kursi pengemudi. Di kamera itu tergantung sebuah catatan kecil: “Kami selalu bersamamu, Maria. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.” Maria mengambil kamera itu dengan tangan gemetar, menyadari bahwa permainan ini baru saja masuk ke babak yang lebih dalam dan lebih berbahaya.

Maria berdiri di samping mobilnya, tangannya mencengkeram kamera kecil yang baru saja ia temukan tergantung di kaca depan. Catatan yang tergantung pada kamera itu, dengan tulisan “Kami selalu bersamamu, Maria. Jangan lupa siapa yang memegang kendali,” terus bergema di pikirannya, seperti jarum tajam yang menusuk-nusuk dinding pertahanannya. Angin malam berhembus pelan, tetapi udara terasa lebih berat dari sebelumnya, penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat.

Maria memandangi kamera itu dengan tatapan tajam, seolah-olah benda kecil itu bisa menjawab semua pertanyaannya. Tetapi tidak ada jawaban. Hanya rasa frustrasi yang semakin menumpuk, dan kesadaran bahwa mereka terus-menerus memantau setiap gerakannya, bahkan di tempat yang ia kira hanya dihuni oleh kesunyian.

Ia melemparkan kamera itu ke kursi penumpang dengan gerakan kasar sebelum masuk ke dalam mobilnya. Tangannya meraih setir, tetapi ia tidak langsung menyalakan mesin. Ia duduk diam, menatap lurus ke depan dengan rahang yang mengeras. Ini bukan hanya tentang ancaman lagi—ini adalah pernyataan perang.

Saat Maria akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan melaju menjauh dari gudang tua itu, pikirannya berputar-putar. Semua yang terjadi, semua langkah yang mereka ambil, dirancang untuk membuatnya kehilangan kendali. Mereka tidak hanya ingin mengintimidasi. Mereka ingin membuatnya merasa kecil, tidak berdaya, dan tanpa pilihan.

Namun, Maria tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di posisi bertahan. Ia harus menyerang balik, tidak peduli risikonya. Jika mereka memiliki celah, ia harus menemukannya. Jika ada sesuatu yang bisa membalikkan permainan ini, ia akan menemukannya, bahkan jika itu berarti menghadapi bagian tergelap dari dirinya sendiri.

Ketika Maria tiba di rumah, Dewi sudah menunggunya di ruang tamu. Wajah Dewi terlihat tegang, matanya penuh dengan pertanyaan yang tidak sabar untuk dilontarkan. “Apa yang kau temukan?” tanya Dewi dengan nada cemas, melangkah mendekati Maria.

Maria meletakkan kamera kecil itu di atas meja, bersama catatan yang ia temukan. Dewi menatap benda itu dengan mata melebar, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Maria. “Mereka… mereka bahkan memasang ini di mobilmu?” suaranya hampir bergetar. “Maria, ini gila. Mereka semakin berani.”

Maria mengangguk pelan, tetapi matanya tetap tertuju pada kamera itu. “Mereka tidak hanya ingin menakutiku, Dewi. Mereka ingin aku merasa tidak bisa melawan. Tapi aku tidak akan menyerah.”

“Apa yang kau rencanakan?” tanya Dewi, nadanya penuh ketakutan tetapi juga sedikit harapan.

Maria menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Aku harus mencari tahu siapa mereka, Dewi. Aku tidak bisa hanya bereaksi. Aku harus tahu siapa yang memimpin ini, dan kenapa mereka memilih aku.”

Dewi menatap Maria, ragu-ragu. “Tapi bagaimana caranya? Mereka sangat terorganisir. Bahkan polisi pun tidak bisa menyentuh mereka.”

Maria mengangkat kamera itu, menatapnya dengan intensitas yang membara. “Kamera ini mungkin memiliki jawabannya. Kalau mereka menggunakan ini untuk merekam, mungkin ada sesuatu di dalamnya—lokasi, suara, atau bahkan wajah mereka. Aku akan memeriksanya.”

Maria menghabiskan beberapa jam berikutnya di depan laptop, mencoba membuka file-file yang tersimpan di kamera kecil itu. Setiap klik adalah langkah menuju sesuatu yang bisa membantunya, tetapi juga berisiko mengungkap sesuatu yang lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan.

Ketika akhirnya file pertama terbuka, layar menampilkan serangkaian video. Beberapa adalah rekaman dirinya—Maria yang sedang duduk di mobil, berbicara dengan Dewi di ruang tamu, atau berjalan di sekitar rumah. Tetapi satu video, yang diambil dari lokasi berbeda, langsung menarik perhatiannya. Video itu menunjukkan seorang pria berdiri di sebuah ruangan gelap, berbicara kepada seseorang yang tidak terlihat di kamera.

Maria memperbesar suara dalam video itu, mendengarkan dengan saksama.

“Kita harus membuatnya merasa semakin terpojok,” kata pria itu, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Maria tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Tapi jika kita menekan titik lemahnya, dia akan runtuh.”

Maria menggenggam meja, tubuhnya menegang. Suara itu. Ia mengenali suara itu. Itu adalah suara yang sama yang berbicara dengannya di layar gudang, suara pria yang terus menghantui langkah-langkahnya. Tetapi video ini memberikan sesuatu yang lebih. Di dinding belakang pria itu, Maria melihat logo yang sama dengan yang pernah ia temukan di jaket mereka—lingkaran dengan simbol abstrak.

“Laras,” bisik Maria, segera mengambil ponselnya. Ia menelepon temannya, dan Laras menjawab setelah beberapa dering.

“Maria?” tanya Laras dengan nada waspada. “Kau baik-baik saja?”

“Laras, aku menemukan sesuatu,” jawab Maria dengan nada tegas. “Aku memiliki rekaman mereka, dan ada logo yang sama seperti yang kau bicarakan sebelumnya.”

Laras terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kirimkan itu padaku. Aku akan mencoba mencari tahu lebih banyak. Tapi, Maria, hati-hati. Jika mereka tahu kau memiliki ini, mereka akan menjadi lebih berbahaya.”

“Aku tahu,” jawab Maria, suaranya dingin. “Tapi aku tidak akan membiarkan mereka terus mengontrol hidupku.”

Beberapa jam kemudian, Maria menerima pesan dari Laras. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: “Logo itu milik sebuah organisasi yang dikenal sebagai Lingkaran Hitam. Mereka lebih besar dari yang kita duga, Maria. Kita harus bicara segera.” Hati Maria berdebar saat ia membaca pesan itu, menyadari bahwa ia kini berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan.

Maria membaca pesan dari Laras berulang kali, kata-katanya terasa seperti palu yang menghantam keras-keras. Lingkaran Hitam. Nama itu bergema dalam pikirannya, membawa rasa takut yang mendalam tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Siapa mereka? Seberapa besar kekuatan mereka? Dan yang lebih penting, apa yang mereka inginkan darinya?

Ia meletakkan ponselnya dengan hati-hati di atas meja, lalu memandang Dewi yang duduk di seberangnya. “Laras bilang mereka adalah Lingkaran Hitam,” kata Maria dengan suara rendah. “Kelompok yang lebih besar dari yang kita duga.”

“Lingkaran Hitam?” Dewi mengulang, wajahnya berubah pucat. “Apa itu? Semacam organisasi kriminal?”

Maria mengangguk pelan. “Kemungkinan besar. Laras tidak menjelaskan banyak, tapi dari apa yang aku lihat di rekaman itu, mereka adalah jaringan yang sangat terorganisir. Mereka tahu segalanya, dan mereka bermain dengan kekuasaan yang jauh melampaui apa yang bisa kita lawan sendirian.”

Dewi menggigit bibirnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. “Maria, kau harus pergi ke polisi dengan ini. Kalau mereka benar-benar sekuat itu, kau tidak bisa melawan mereka sendirian.”

Maria menggeleng, matanya penuh dengan tekad. “Aku tidak bisa mempercayai siapa pun sekarang, Dewi. Kau lihat sendiri—mereka bahkan punya hubungan dengan polisi. Kalau aku pergi ke sana tanpa tahu siapa yang bisa dipercaya, aku hanya akan memberikan mereka alasan untuk menyerang lebih keras.”

Dewi menatap Maria dengan mata yang penuh rasa takut tetapi juga kekaguman. “Lalu apa yang akan kau lakukan?”

Maria menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus bertemu Laras. Dia mungkin tahu lebih banyak tentang mereka. Kalau aku bisa memahami bagaimana mereka bekerja, mungkin aku bisa menemukan cara untuk melawan.”

Maria mengatur pertemuan dengan Laras di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota. Tempat itu sunyi, jauh dari keramaian, pilihan yang tepat untuk percakapan yang sensitif. Ketika Laras tiba, wajahnya terlihat tegang, seperti seseorang yang membawa rahasia besar yang sulit untuk dibagikan.

Mereka duduk di meja yang terletak di sudut ruangan, jauh dari pandangan siapa pun. Laras membuka tas kecilnya, mengeluarkan beberapa lembar kertas yang tampaknya berisi catatan tangan dan gambar.

“Maria,” Laras memulai dengan suara rendah tetapi serius. “Aku sudah mencari tahu tentang Lingkaran Hitam selama beberapa waktu. Mereka adalah jaringan rahasia yang beroperasi di bawah bayangan, mengendalikan orang-orang penting, institusi, bahkan sistem hukum. Mereka menggunakan ancaman, kekerasan, dan manipulasi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.”

Maria mengangguk, meskipun hatinya berdegup kencang. “Kenapa aku, Laras? Kenapa mereka memilihku? Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak punya kekuasaan atau pengaruh.”

Laras menatap Maria, ragu sejenak sebelum menjawab. “Mungkin ini ada hubungannya dengan Rizal.”

Nama itu membuat tubuh Maria menegang. “Rizal?” bisiknya, suaranya penuh dengan rasa takut dan kemarahan. “Apa yang kau maksud?”

“Rizal pernah bekerja untuk mereka,” jawab Laras, nadanya penuh kehati-hatian. “Dia bukan hanya bagian dari mereka, Maria. Dia salah satu pelaksana kepercayaan mereka. Itulah kenapa dia selalu punya kendali penuh atas hidupmu. Mereka memberinya kekuatan, dan kau melarikan diri darinya. Mungkin itu sebabnya mereka sekarang mengincarmu.”

Maria menatap Laras dengan mata melebar, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Seluruh kehidupannya bersama Rizal tiba-tiba terasa seperti bagian dari rencana yang lebih besar, sebuah jebakan yang dirancang untuk mengurungnya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental.

“Mereka ingin aku kembali,” kata Maria akhirnya, suaranya penuh dengan kebencian yang terpendam. “Mereka ingin aku tunduk, seperti dulu aku tunduk pada Rizal.”

Laras mengangguk. “Tapi kau bukan wanita yang sama lagi, Maria. Kau lebih kuat sekarang. Itu mungkin kenapa mereka mencoba menghancurkanmu. Kau adalah ancaman karena kau tidak tunduk lagi.”

Ketika Maria kembali ke rumah malam itu, pikirannya dipenuhi oleh semua yang ia dengar dari Laras. Lingkaran Hitam, Rizal, semua ancaman yang ia hadapi—semuanya mulai terasa seperti bagian dari teka-teki besar yang harus ia pecahkan.

Namun, saat ia membuka pintu rumah, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir. Di ruang tamu, sebuah kotak kecil tergeletak di atas meja, sesuatu yang jelas tidak ada di sana ketika ia pergi. Tubuhnya langsung tegang, matanya memindai setiap sudut ruangan, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain.

Dengan langkah hati-hati, Maria mendekati kotak itu. Ia meraih pisau kecil dari dapur sebelum membuka kotak tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sebuah jam pasir kecil yang hampir kosong—hanya sedikit pasir yang tersisa di bagian atasnya. Di bawah jam pasir itu, ada sebuah catatan dengan tulisan yang tajam:

“Waktu sedang berjalan, Maria. Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”

Maria merasakan tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kemarahan yang mendidih di dalam dirinya. Mereka telah masuk ke rumahnya lagi, ke ruang yang paling pribadi, dan meninggalkan pesan yang jelas: waktunya hampir habis.

Maria menggenggam jam pasir itu dengan erat, matanya menyala dengan tekad. Ia tahu bahwa ini adalah peringatan terakhir mereka, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan menyerah. Ia meraih ponselnya dan menelepon Laras. “Aku tidak akan menunggu mereka menyerang lagi,” katanya dengan suara tegas. “Aku akan membawa perang ini kepada mereka.”

Maria menggenggam ponselnya erat-erat, suaranya bergetar dengan amarah yang tertahan ketika ia berbicara dengan Laras. “Mereka masuk ke rumahku lagi, Laras,” katanya, matanya tidak lepas dari jam pasir kecil yang tergeletak di meja di depannya. “Mereka meninggalkan ini. Sebuah jam pasir dengan pesan bahwa waktuku hampir habis. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku harus menyerang lebih dulu.”

Di ujung telepon, Laras terdiam sesaat sebelum menjawab. “Maria, aku mengerti rasa marah dan frustrasimu. Tapi kau tidak bisa bertindak gegabah. Lingkaran Hitam bukanlah musuh biasa. Mereka ada di mana-mana, dan mereka tahu bagaimana memutarbalikkan segalanya untuk keuntungan mereka.”

Maria menghembuskan napas panjang, matanya masih terpaku pada pasir yang perlahan-lahan jatuh di dalam jam. “Aku tidak peduli seberapa besar mereka, Laras. Aku tidak bisa membiarkan mereka terus mengendalikan hidupku. Kalau aku terus menunggu, mereka akan menang. Aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu.”

“Lalu apa rencanamu?” tanya Laras, nada suaranya menunjukkan campuran rasa khawatir dan harapan.

Maria berpikir sejenak sebelum menjawab, suaranya tegas. “Aku akan mencari tahu apa yang mereka sembunyikan. Jika Rizal adalah bagian dari ini, maka aku akan mulai dari dia. Kau bilang dia dulu bekerja untuk mereka. Mungkin dia tahu sesuatu yang bisa aku gunakan untuk menyerang balik.”

Laras menghela napas panjang di ujung telepon. “Itu langkah yang berbahaya, Maria. Tapi aku bisa mencoba membantumu. Aku punya beberapa kontak yang mungkin bisa memberikan petunjuk tentang keberadaan Rizal sekarang.”

“Terima kasih, Laras,” kata Maria. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku tidak punya pilihan lain.”

Beberapa hari kemudian, Laras menghubungi Maria dengan informasi penting. Rizal diketahui tinggal di sebuah rumah mewah di pinggir kota, tempat yang tersembunyi di balik pagar tinggi dan kamera keamanan. “Dia tidak sembunyi-sembunyi, Maria,” kata Laras melalui telepon. “Dia tahu bahwa tidak ada yang akan berani menyentuhnya. Tapi itu juga berarti dia percaya diri bahwa dia tidak bisa disentuh.”

Maria mendengarkan dengan penuh perhatian, setiap kata yang Laras katakan memperkuat tekadnya. “Kalau begitu, aku akan mendatangi dia,” kata Maria. “Aku tidak peduli seberapa kuat tembok yang dia bangun di sekitarnya. Aku butuh jawaban.”

“Maria, kau harus hati-hati,” Laras memperingatkan. “Ini adalah wilayah mereka. Kau mungkin tidak hanya menghadapi Rizal, tetapi juga Lingkaran Hitam.”

“Aku tahu,” jawab Maria dengan dingin. “Tapi aku tidak akan mundur.”

Malam itu, Maria berdiri di depan rumah besar tempat Rizal tinggal. Tembok tinggi mengelilingi properti itu, dengan kamera keamanan yang dipasang di setiap sudut. Cahaya lampu luar rumah yang terang menciptakan bayangan panjang di jalan kecil tempat Maria berdiri. Ia mengenakan jaket hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya, dan di dalam saku jaket itu, tangannya menggenggam pisau kecil yang telah menjadi simbol pertahanannya selama ini.

Ia mempelajari gerakan kamera dengan hati-hati, menunggu momen yang tepat sebelum melompati tembok. Ketika ia mendarat di tanah di sisi lain, tubuhnya merapat ke dinding, napasnya teratur tetapi penuh ketegangan. Ia tahu ini adalah wilayah musuh, tetapi ia tidak peduli. Setiap langkah yang ia ambil adalah pengingat bahwa ia tidak lagi menjadi Maria yang dulu.

Maria menyelinap menuju rumah, menghindari cahaya lampu dan kamera keamanan sebanyak mungkin. Ketika ia akhirnya mencapai pintu belakang, ia mencoba gagangnya dengan hati-hati. Terkunci. Tetapi ia sudah siap. Ia mengeluarkan klip rambut dari sakunya, mencoba membuka kunci dengan cepat. Ini adalah keterampilan yang ia pelajari secara insting selama hidupnya dengan Rizal, keterampilan yang dulu ia gunakan untuk bertahan hidup.

Pintu itu terbuka dengan bunyi klik pelan. Maria masuk ke dalam rumah dengan langkah hati-hati, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Ruangan di dalamnya terang, didekorasi dengan gaya mewah yang mengingatkannya pada masa-masa ketika Rizal mencoba menutupi kontrolnya dengan kemewahan. Tetapi Maria tidak teralihkan oleh itu. Ia hanya memiliki satu tujuan: menemukan Rizal dan mendapatkan jawaban.

Langkahnya membawanya ke sebuah ruangan besar yang tampak seperti ruang kerja. Di sana, duduk di belakang meja kayu besar, adalah Rizal. Dia sedang membaca sesuatu di laptopnya, tidak menyadari kehadiran Maria. Tetapi ketika Maria melangkah lebih dekat, Rizal mengangkat wajahnya. Ekspresi kaget melintas di wajahnya, tetapi hanya sesaat sebelum senyum dingin yang familiar menggantinya.

“Maria,” katanya, suaranya penuh dengan ironi. “Sudah lama sekali.”

Maria menatapnya dengan mata yang penuh dengan kemarahan. “Apa yang kau lakukan, Rizal?” tanyanya, nadanya rendah tetapi bergetar dengan intensitas. “Kenapa kau dan orang-orangmu terus mengancam hidupku?”

Rizal tertawa kecil, suara itu seperti pisau yang merobek luka lama. “Orang-orangku? Kau terlalu cepat menyimpulkan, Maria. Aku hanya seorang pria yang menikmati hidupnya. Kalau ada yang mengganggumu, itu bukan urusanku.”

“Kau berbohong,” balas Maria dengan nada tajam. “Aku tahu kau terhubung dengan Lingkaran Hitam. Mereka mengawasi setiap langkahku, dan aku yakin kau adalah bagian dari ini.”

Rizal berdiri dari kursinya, menatap Maria dengan pandangan yang tajam. “Kau tahu, Maria,” katanya, melangkah mendekat. “Kau selalu menjadi wanita yang menarik. Tapi kau juga selalu membuat segalanya lebih rumit daripada yang seharusnya.”

Maria menggenggam pisaunya di dalam saku, tubuhnya siap untuk apa pun yang akan datang. “Kau tidak akan menyentuhku lagi, Rizal. Dan kau tidak akan menyentuh anak-anakku.”

Rizal tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Kau pikir kau bisa menghentikan mereka, Maria? Lingkaran Hitam bukan sesuatu yang bisa kau lawan. Mereka adalah sistem. Mereka adalah segalanya.”

Maria melangkah lebih dekat, matanya menyala dengan tekad. “Kalau begitu aku akan menghancurkan sistem itu,” katanya. “Mulai dari dirimu.”

Sebelum Maria sempat bergerak lebih jauh, pintu di belakangnya terbuka dengan keras. Beberapa pria masuk, semuanya mengenakan pakaian hitam dan bersenjata. Maria menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap, tetapi ia tidak mundur. Pisau di tangannya mencerminkan cahaya lampu, dan ia bersumpah bahwa malam ini tidak akan berakhir dengan ia sebagai korban.

Maria berdiri di tengah ruangan, tubuhnya kaku tetapi pikirannya bergerak cepat. Ia dikelilingi oleh pria-pria berseragam hitam yang masuk melalui pintu dengan langkah terukur. Mereka tidak berbicara, hanya berdiri dengan senjata siap di tangan, mengunci setiap kemungkinan Maria untuk melarikan diri. Di belakang mereka, Rizal berdiri dengan senyum puas di wajahnya, menikmati pemandangan seolah-olah ini adalah panggung yang telah ia susun dengan sempurna.

“Lihat dirimu sekarang, Maria,” kata Rizal dengan nada yang penuh ejekan. “Kau selalu mencoba menjadi pahlawan, tetapi kau tidak pernah mengerti. Dunia ini bukan untuk mereka yang berani. Dunia ini untuk mereka yang tahu kapan harus tunduk.”

Maria tidak menjawab. Ia memindai ruangan dengan cepat, mencari celah, tetapi ia tahu ia tidak punya banyak pilihan. Tangannya tetap berada di dalam saku jaket, menggenggam erat pisau kecil yang telah menjadi senjata terakhirnya. Ia menatap Rizal dengan mata yang penuh dengan kebencian dan tekad. “Kau pikir kau menang?” tanyanya dengan suara rendah tetapi tajam. “Kau pikir kau bisa terus mengontrol hidupku?”

Rizal tertawa kecil, langkahnya mendekati Maria dengan perlahan. “Aku tidak perlu menang, Maria. Aku hanya perlu membuatmu paham bahwa tidak ada yang bisa melawan Lingkaran Hitam dan tetap utuh. Setiap langkah yang kau ambil membawa kami semakin dekat untuk menghancurkanmu.”

Maria menghela napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. “Kau salah, Rizal,” katanya dengan nada yang lebih tenang tetapi penuh bahaya. “Aku sudah hidup dalam ketakutan selama bertahun-tahun. Tapi sekarang? Aku tidak takut lagi.”

Rizal berhenti, menatap Maria dengan ekspresi yang berubah—campuran ketidakpercayaan dan ketertarikan. “Tidak takut?” tanyanya, suaranya merendah. “Kalau begitu, tunjukkan padaku. Tunjukkan apa yang bisa kau lakukan, Maria.”

Maria tahu ini adalah titik balik. Ia tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk ragu. Dengan gerakan cepat, ia menarik pisaunya dari saku dan melangkah maju, mencoba menyerang Rizal. Tetapi sebelum ia bisa mendekat, salah satu pria bersenjata bergerak ke arahnya, mengayunkan senjatanya untuk menghentikan langkahnya.

Maria menghindar dengan gerakan tajam, tubuhnya bergerak refleks seperti seseorang yang telah lama belajar bertahan dalam situasi yang tidak adil. Pisau di tangannya memotong udara, mengenai lengan pria itu, membuatnya terhuyung mundur. Tetapi pria-pria lain segera bergerak, mengepung Maria dengan koordinasi yang menakutkan.

“Cukup!” seru Rizal, suaranya bergema di ruangan. Pria-pria itu berhenti, meskipun mata mereka tetap tertuju pada Maria, siap untuk menyerang kapan saja. Rizal melangkah mendekat, dengan ekspresi yang lebih gelap daripada sebelumnya.

“Kau membuat kesalahan besar, Maria,” katanya pelan tetapi penuh ancaman. “Kau seharusnya tahu kapan harus berhenti.”

Maria menatapnya dengan napas yang terengah-engah, tetapi ia tidak menunjukkan penyesalan. “Kesalahan terbesarku adalah membiarkanmu memiliki kendali selama ini,” jawabnya, suaranya penuh dengan tekad. “Tapi tidak lagi.”

Rizal mengangguk pelan, seolah-olah menghormati keberanian Maria, meskipun ia tahu bahwa ia masih memegang kendali penuh. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, kita akan lakukan ini dengan cara kami.”

Ia memberi isyarat kepada pria-pria bersenjata itu. Dua dari mereka bergerak maju, meraih lengan Maria dengan kasar dan memaksa pisau di tangannya jatuh ke lantai. Mereka membawanya ke sebuah kursi di tengah ruangan dan memaksanya duduk. Maria tidak melawan. Ia tahu bahwa untuk saat ini, ia harus menyimpan tenaganya. Setiap gerakannya dihitung, setiap pilihan adalah langkah menuju sesuatu yang lebih besar.

Rizal berjalan ke arahnya, menatap Maria yang kini terikat di kursi. “Kau tahu, aku selalu mengagumi semangatmu,” katanya, nadanya dingin. “Tapi itu juga yang membuatmu menjadi ancaman. Lingkaran Hitam tidak mentolerir ancaman, Maria. Dan kau sudah terlalu jauh.”

Maria menatap Rizal dengan mata yang penuh dengan api. “Kalau kau pikir ini akan menghentikanku, kau salah,” katanya dengan nada rendah tetapi penuh kekuatan. “Aku akan melawan, Rizal. Sampai akhir.”

Rizal hanya tersenyum tipis, lalu berbalik dan memberi isyarat kepada salah satu pria di ruangan itu. Pria itu mengeluarkan sebuah perangkat kecil dari tasnya, sesuatu yang terlihat seperti alat pemutar video portabel. Ia menyalakannya, dan layar kecil menampilkan rekaman yang membuat Maria merasa darahnya membeku.

Rekaman itu menunjukkan Putri dan Arif di rumah mereka, tertawa bersama Dewi di ruang tamu. Kamera itu menangkap momen yang seharusnya hanya milik mereka—momen yang penuh kebahagiaan sederhana, tetapi kini dirusak oleh ancaman yang menggantung di udara.

“Kami selalu mengawasi, Maria,” kata Rizal sambil menunjuk ke arah layar. “Anak-anakmu, temanmu, setiap orang yang kau cintai. Kau bisa melawan kami, tapi mereka yang akan membayar harganya.”

Maria menatap layar itu dengan napas yang semakin cepat, tubuhnya gemetar antara kemarahan dan ketakutan. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih besar—tekad yang tak bisa dihancurkan.

“Jika kalian menyentuh mereka…” kata Maria, suaranya serak tetapi penuh dengan ancaman yang dingin, “aku akan memastikan ini menjadi akhir bagi kalian. Aku bersumpah.”

Rizal tertawa kecil, lalu mematikan perangkat itu. “Kau bisa mencoba, Maria,” katanya. “Tapi waktu sedang berjalan, dan kau tahu siapa yang memegang kendali.”

Sebelum Rizal dan pria-pria itu bisa bergerak lebih jauh, suara keras dari luar ruangan memecah keheningan. Sebuah ledakan kecil mengguncang dinding, dan lampu di ruangan mulai berkedip-kedip. Maria memanfaatkan kekacauan itu, mencari celah untuk bertindak, sementara wajah Rizal berubah tegang. Apa yang terjadi di luar adalah sesuatu yang bahkan dia tidak rencanakan.

Ledakan kecil di luar ruangan mengguncang lantai di bawah kaki Maria. Lampu ruangan berkedip-kedip, dan suara gemuruh yang samar terdengar, seperti dinding-dinding bangunan sedang bergeser. Pria-pria bersenjata di sekitar Rizal bereaksi cepat, mengangkat senjata mereka dan mengarahkannya ke pintu. Salah satu dari mereka berbicara pelan ke radio komunikasi, tetapi suara statis mengisi ruangan, menandakan bahwa sinyal mereka telah terganggu.

Rizal berdiri dengan ekspresi tegang, matanya menyipit saat ia menoleh ke arah Maria yang masih terikat di kursi. “Apa yang kau lakukan, Maria?” suaranya rendah tetapi penuh ancaman.

Maria menatap Rizal dengan tenang, meskipun di dalam hatinya, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Ini bukan aku,” katanya, suaranya dingin. “Tapi mungkin ini adalah balasan yang kau tunggu-tunggu.”

Rizal mengertakkan giginya, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya. “Periksa apa yang terjadi di luar. Jangan biarkan siapa pun masuk.”

Beberapa pria bersenjata bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Rizal bersama Maria dan dua penjaga lainnya. Lampu terus berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding, mempertegas suasana mencekam di ruangan itu. Rizal berjalan perlahan mendekati Maria, menunduk sehingga wajah mereka sejajar.

“Permainan ini tidak akan berakhir baik untukmu,” bisik Rizal, matanya seperti bara api yang siap menyala lebih besar. “Kau terlalu keras kepala untuk memahami bahwa kau tidak punya jalan keluar.”

Maria tidak mundur. Ia membalas tatapan Rizal dengan tekad yang membakar. “Dan kau terlalu sombong untuk memahami bahwa aku tidak takut lagi.”

Tiba-tiba, suara pintu besar yang terbuka dengan keras membuat semua orang di ruangan itu berbalik. Dari balik pintu, asap putih menyelimuti lantai, membuat pandangan kabur. Salah satu penjaga menembakkan peluru ke dalam asap, tetapi tidak ada balasan. Maria melihat kesempatan kecil di tengah kekacauan ini. Ia memutar pergelangan tangannya yang terikat, mencoba melonggarkan tali dengan gerakan perlahan.

Asap itu semakin tebal, dan suara langkah kaki terdengar mendekat. Dalam hitungan detik, sebuah bayangan muncul dari balik asap—sosok Laras dengan masker penutup wajah, memegang tongkat besi di tangan kanannya. Dengan gerakan cepat dan terlatih, Laras menghantam salah satu penjaga, membuat pria itu jatuh dengan dentuman keras ke lantai. Penjaga lainnya berusaha mengarahkan senjatanya ke arah Laras, tetapi Laras lebih cepat, mengayunkan tongkatnya hingga mengenai kepala pria itu. Ia jatuh, senjatanya terlepas dan meluncur ke arah Maria.

Rizal mundur beberapa langkah, ekspresinya berubah dari percaya diri menjadi bingung. “Siapa kau?” tanyanya dengan nada tajam, suaranya bergetar oleh kemarahan.

Laras tidak menjawab. Ia melangkah ke arah Maria, meraih senjata di lantai dan melemparkannya ke sudut ruangan. Dengan cepat, ia memotong tali di tangan Maria dengan pisau kecil yang ia bawa.

“Maria, bangun!” seru Laras dengan nada mendesak. “Kita harus pergi sekarang.”

Maria berdiri dengan cepat, meskipun pergelangan tangannya terasa sakit akibat tali yang terlalu kencang. Ia melihat Rizal berdiri di seberang ruangan, matanya menyala dengan amarah. Tetapi ia tidak punya waktu untuk konfrontasi sekarang.

“Kau pikir kau bisa lari?” seru Rizal, suaranya bergema di ruangan. “Kalian tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.”

Maria menatap Rizal untuk terakhir kalinya sebelum berbalik mengikuti Laras keluar dari ruangan. Asap putih masih menyelimuti lorong-lorong gedung itu, tetapi Maria tidak berhenti bergerak. Ia tahu bahwa Rizal tidak akan diam, dan mereka harus keluar sebelum bala bantuan datang.

“Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Maria dengan napas terengah-engah saat mereka berlari menyusuri lorong.

“Aku punya kontak,” jawab Laras singkat. “Tapi kita tidak punya waktu untuk penjelasan sekarang. Kita harus keluar sebelum mereka menutup tempat ini.”

Mereka berbelok di sebuah tikungan, dan pintu keluar besar terlihat di ujung lorong. Tetapi ketika mereka mendekat, suara langkah kaki berat terdengar dari belakang mereka. Maria menoleh dan melihat beberapa pria bersenjata muncul dari asap, mengejar mereka dengan cepat.

Laras berhenti di dekat pintu, mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah granat asap. Ia menarik pin dan melemparkannya ke arah pria-pria itu sebelum menarik Maria keluar dari pintu. Ledakan kecil diikuti dengan awan asap tebal memenuhi lorong, menghalangi pandangan pengejar mereka.

Maria dan Laras keluar ke udara malam yang dingin, napas mereka berat saat mereka berlari ke arah mobil Laras yang terparkir tidak jauh dari gedung. Ketika mereka masuk dan Laras menyalakan mesin, Maria menoleh ke arah gedung yang kini menjadi semakin kecil di kejauhan.

“Kau baru saja memulai perang, Rizal,” bisiknya pelan, suaranya penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Di dalam mobil, Laras memberikan sebuah peta kecil kepada Maria, dengan sebuah titik yang dilingkari merah. “Aku punya sesuatu yang mungkin bisa membantumu,” kata Laras. “Ini adalah salah satu lokasi penyimpanan data mereka. Kalau kita bisa masuk, kita mungkin bisa menemukan informasi yang cukup untuk menjatuhkan mereka.” Maria menatap peta itu dengan mata yang menyala—permainan ini kini berbalik arah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Tirai    Bab 8 Penyelesaian

    Hari-hari pasca penangkapan Rizal terasa seperti langkah-langkah kecil menuju pemulihan yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun Maria merasa sedikit lega, bahwa satu babak dari kehidupan kelamnya akhirnya selesai, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segala sesuatu. Itu hanyalah awal dari pertempuran baru, yang kali ini lebih bersifat pribadi, lebih dalam, dan melibatkan penyembuhan yang harus dia jalani sendiri.Di ruang tamu rumahnya yang sunyi, Maria duduk dengan punggung tegak, matanya terfokus pada secangkir teh yang baru saja diseduhnya. Putri dan Arif sedang bermain di kamar mereka, dan meskipun suara tawa mereka terdengar riang, Maria tahu betul bahwa ketenangan ini masih rapuh. Mereka telah melalui begitu banyak bersama, dan meskipun mereka mulai merasakan kedamaian, bayang-bayang trauma itu masih sulit dihapuskan.Keesokan harinya, Maria menghadiri sesi terapi pertama se

  • Di Balik Tirai    Bab 7 Konfrontasi Puncak

    Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.

  • Di Balik Tirai    Bab 6 Penyelidikan dan Perlindungan

    Maria duduk di ruang tamu rumahnya, ponselnya tergenggam erat di tangan, matanya terfokus pada layar yang menampilkan pesan terakhir dari Inspektur Farhan. Sementara anak-anaknya bermain di kamar, dia merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa ketakutan yang sudah lama mengendap. Rizal dan Lingkaran Hitam tidak hanya mengejarnya, mereka juga mulai merangsek lebih dalam ke dalam hidupnya, mengancam setiap orang yang ia cintai. Dan sekarang, setelah mengungkap semua informasi yang mereka miliki, Maria merasa semakin terperangkap.Farhan baru saja mengirimkan kabar bahwa mereka telah menemukan bukti baru: Rizal, yang selama ini bersembunyi di bayang-bayang, kini mulai mengirim ancaman dari sebuah kota yang berbeda. Namun, meskipun mereka sudah melacak jejak komunikasi Rizal, dia sangat hati-hati. Tidak ada bukti yang jelas yang bisa menunjukkan keberadaannya secara la

  • Di Balik Tirai    Bab 5 Ketegangan Meningkat

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Maria duduk di ruang tamu rumahnya, dikelilingi oleh keheningan yang berat. Di luar, hanya suara angin malam yang berdesir di antara dedaunan. Namun, di dalam pikirannya, ribuan skenario mengerikan terus bermain. Wajah Putri dan Arif—wajah anak-anaknya yang polos—terus membayang di benaknya, bersanding dengan senyum dingin Rizal dan ancaman yang kini terasa semakin dekat.Di ponselnya, pesan dari Rizal masih terpampang di layar: “Anak-anakmu terlihat manis, ya?”Pesan itu disertai dengan gambar Putri dan Arif, diambil dari luar jendela ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama Dewi, tampak ceria dan tanpa beban. Tetapi bagi Maria, gambar itu adalah pengingat bahwa tidak ada tempat aman. Rizal tidak hanya ingin mengancam; ia ingin menghancurkan setiap kepingan rasa aman yang tersisa di hidup Maria.M

  • Di Balik Tirai    Bab 4 Eskalasi Ancaman

    Maria merasakan hidupnya semakin terkunci dalam lingkaran ancaman yang tak berujung. Pesan-pesan anonim datang hampir setiap hari. Beberapa berupa surat tanpa nama yang dilemparkan ke halaman rumahnya, beberapa muncul di media sosial dengan akun-akun tak dikenal yang mengirimkan pesan menakutkan seperti, “Kami selalu melihatmu,”atau, “Tidak ada tempat yang aman, Maria.”Awalnya, Maria mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan dirinya bahwa ketakutannya tidak akan menjadi bahan bakar untuk permainan mereka. Namun, malam itu, sesuatu yang lebih nyata terjadi.Maria terbangun di tengah malam karena suara angin yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari kamarnya, memeriksa anak-anaknya yang sedang tertidur nyenyak, dan beranjak ke ruang tamu. Ketika ia tiba di dapur, ia berhenti mendadak. Pintu

  • Di Balik Tirai    Bab 3 Kilas Balik

    Pernikahan Maria dengan Rizal dimulai seperti kisah dongeng. Ia masih ingat bagaimana ia pertama kali bertemu pria itu—tampan, karismatik, dan memiliki senyum yang mampu membuat siapa pun merasa istimewa. Rizal adalah segala yang Maria pikir ia inginkan dalam seorang pasangan: perhatian, penuh kasih, dan tampak selalu hadir saat ia membutuhkannya. Ia membuat Maria merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Awalnya, semuanya berjalan sempurna. Rizal selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. Ia mengingat momen-momen kecil itu—sarapan bersama di pagi hari, tawa mereka yang menyatu saat berbicara hingga larut malam, dan bagaimana Rizal selalu menanyakan pendapat Maria dalam hal-hal kecil, seolah-olah pendapatnya adalah satu-satunya yang penting.Namun, seiring waktu, dongeng itu mulai berubah menjadi mimpi buruk. Rizal mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya, sisi yang perlahan-lahan membuat Maria merasa seperti burung yang terkurung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status