Sesampainya di dapur, aku mulai mengolah bahan yang tadi ku bawa dari warung Bu Siti. Tak sampai satu jam menu telur kecap sudah jadi dan segera ku panggil bang Awan untuk menikmati menu sarapan yang ku buat, tentu saja rasa sakitku tadi sudah agak mendingan.
"Bang, habis sarapan ini. Aku mau kerumah Bu Siti lagi." Ucapku di tengah-tengah sarapan yang sedang kami santap. "Mau apa?" Tanyanya sambil menyendokkan nasi kedalam mulutnya. "Ada keperluan sedikit bang." "Ngak usah lama-lama." Aku hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian. Kami berdua sudah selesai makan dan tentu saja bekas piring yang kotor sudah kucuci, aku langsung pamit kerumah Bu Siti. Ku samperin Bu Siti yang masih duduk antusias di warungnya. "Asti, sini. Kamu bilang tadi mau bayar hutang dan ibu punya pekerjaan buat kamu." "Iya Bu. Kerja apa bu." "Sini." Lambaiannya padaku. Aku menurut saja, lalu bu Siti perlahan mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku. "Tapi bu." Aku ingin menolak dengan pekerjaan yang Bu Siti tawarkan tapi aku seakan tak kuasa, Aku sudah kadung janji tadi. Akhirnya ku setujui saja permintaan dari Bu Siti. "Kalau kamu ngak keberatan, ibu akan antar kamu masuk kedalam." Kata Bu Siti lagi. Sejenak Aku terdiam, tapi pada akhirnya aku mengangguk saja. "Ini kamarnya." Ujar Bu Siti segera. Sambil membuka pintu kamar tersebut, ku lihat keadaannya, ini adalah sebuah kamar besar yang mewah. Dan disitu ada sesosok tubuh pria yang tengah terbaring tanpa daya. 'Ya Tuhan siapa dia? Dia sedang tidur apa? Atau jangan-jangan sosok pria itu adalah mayat? Tuhan, tidak mungkin bu Siti otaknya tidak waras karena menyimpan mayat di dalam kamarnya.' batinku takut. Aku ingin protes, tapi bibirku serasa mengelu. "Nanti ibu tambah upahnya." Bu Siti terus menatapku penuh harap. Mungkin dia pikir jangan sampai aku menolak, apalagi sekarang kan aku lagi butuh uang. "Maaf bu sebelum aku benar-benar menyetujui pekerjaan yang ibu tawarkan aku mau tahu lebih dulu, bolehkan bu?" Tanyaku pelan. Wanita disampingku hanya mengangguk. "Siapa dia bu?" Tanyaku lagi. Bu Siti malah tersenyum, dan tentu saja Aku keheranan. "Dia Gala anak ibu yang sudah dua tahun koma." "Ma-maksud ibu?" "Kalau ibu ceritain akan panjang ceritanya jadi lebih baik kamu tinggal bilang mau atau enggak, karena satu hari yang lalu orang yang bekerja memandikan Gala pulang kampung jadi ya ibu agak kerepotan juga. Ngak ada yang jagain warung." Jelas Bu Siti panjang lebar. Aku benar-benar ngak tahu kalau bu Siti ternyata punya anak yang sedang koma di kamarnya. Yang kutahu hanya suami Bu Siti yang katanya kerja ngak pulang-pulang, begitulah kata tetangga dikontrakanku. "Bukannya Aku menolak sih bu tapi maaf aku ini bukan isteri anak ibu lagian kalau bang Awan tahu, dia bakalan marah bu." "Ibu mohon Asti, sekali ini saja dan seterusnya ibu ngak akan suruh kamu lagi tapi hari ini ibu benar-benar sibuk." Mohon bu Siti pelan sembari mengambil jari tanganku untuk dia genggam. "Kalau cuma sepuluh ribu aku akan bayar saja bu, jadi aku ngak perlu nebusnya dengan bekerja memandikan anak ibu yang koma itu." "Iya kamu betul Asti, uang sepuluh ribu itu jumlahnya kecil dan ngak ada apa-apanya tapi ibu janji akan bayar kamu satu juta untuk sekali memandikan." Aku terdiam sejenak. 'Apa? Satu juta? Apa aku ngak salah dengar? Tentu saja itu upah yang gede.' batinku seakan tak percaya."Dion ini aku." Cercanya langsung. "Bagaimana kabarmu hari ini? Aku akan memeriksa kakinya dan mungkin juga kau harus melakukan pijat refleksi lagi." Tanya Pras pelan. Dion menoleh dan memberinya senyum. "Kau tahu bahwa hari ini aku baik-baik saja." Dion berkata sambil meletakkan pelan cangkir kopi yang dia pegang. Pras membalas senyumnya dan mulai berjalan mendekatinya, lalu secara pelan pria itu menjongkok. Pras memegang kakinya dan mulai melakukan penekanan. "Apa ini sakit?" Tanyanya. "Tidak." Jawab Dion mantap. "Lalu bagaimana dengan ini?" Pras menekan lebih kuat lagi. "Juga tidak sakit." Dion menggeleng. "Baik, setelah ini kau harus pergi kerumah sakit, saraf kakimu masih perlu pemeriksaan." Jelas Pras kalem. "Baik." Dion memalingkan wajahnya. "Kau sudah bisa berjalan kan?" Pras lalu berdiri. "Jangan khawatir." Dion mencubit hidung mancung nya sendiri. Lalu pria di sampingnya ikut duduk. "Dion, semalam aku mendapat informasi dari bawahanmu, ya dia menghubungiku karena
Melisa berjalan mendekati Dion, aroma parfum itu sungguh menyebar kemana-mana. "Sayang, kau sudah mandi? Apa perlu aku memandikanmu? Tapi ini sudah sangat larut, bagaimana jika kita tidur saja?" Katanya pelan. Lelaki tampan itu tetap dingin dan tanpa ekspresi. Tak perlu jawaban Melisa langsung mendorong kursi roda yang di duduki Dion menuju ranjang mereka, setelah sampai Melisa ingin membantunya berdiri tapi tangan kekar Dion segera menepis nya. "Apa ada yang salah?" Tak ada jawaban, Dion langsung saja memapah tubuhnya sendiri keatas ranjang, perempuan cantik itu hanya menatapnya dengan tarikan nafas yang kesal namun dia harus menahannya demi permainan cantik dirinya dan sang ibu. Melisa kini perlahan mendekatinya, sontak saja pria itu terkejut. "Melisa, apa yang kau lakukan? Kembali ke kamarmu." Hardik Dion keras. "Sayang kecilkan suaramu, bagaimana kalau malam ini kita jadikan malam yang takkan pernah terlupakan, kau tahu kan bahwa sekarang aku adalah istrimu." Tangan halu
Saat itu jarum jam tepat menunjuk pada angka sebelas dimalam hari. Melisa dan Sri tampak tertawa kecil di balkon rumahnya."Oh malangnya nasibmu sebagai jalang yang tak tahu diri, pasti kau sudah tenangkan di alam sana?" Ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi ketika dia melihat kiriman video yang baru saja bodyguardnya kirimkan."Sekarang, kau bisa lebih leluasa memiliki Dion putriku. Perempuan jalang itu memang pantas di lenyapkan dari muka bumi ini." Sri menatap sang anak. Anggukan bahagiapun terlihat dari raut wajah melisa yang memerah."Bagaimana jika kita rayakan kemenangan ini bu.""Jangan dulu nak, ibu takut jika ada yang mencurigai kita, sekarang pulanglah mungkin saja Dion mencarimu.""Aku sudah sedikit ifill padanya bu." Dalam sekejap wajah melisa yang memerah tadi berubah."Ada apa?""Bukannya ibu tidak tahu bagaimana perubahan Dion setelah kecelakaan meminum racun itu, dia lebih banyak berdiam dan bahkan sekarang dia lumpuh, apalagi yang bisa kubanggakan dari dia bu.""Oh kau
Rasa putus asa serta bingung, itulah yang kurasakan sekarang, ruangan ini sungguh membuatku serasa ingin mati. Ketika aku tenggelam dalam ketakutan. Tiba-tiba terdengar deritan pintu di buka. Aku menoleh, sesosok bayangan seorang wanita muncul diikuti beberapa pria di belakangnya. "Selamat datang calon menantuku yang bodoh, bagaimana rasanya? Pasti kau sangat kebingungan ya ketika di bawa keruangan ini?" Ujarnya seperti berbisik. Senyuman sinis kini terlihat dari bibirnya yang merah merona. "Apa mau kalian!" Bentakku kemudian. "Baiklah, sekarang aku akan menjelaskannya padamu jadi kuharap kau bisa bekerja sama." Aku bungkam, masih memahami keadaan ini, bagaimana aku tidak bingung. Ketika aku naik mobil bersama pria misterius itu, di tengah perjalanan tiba-tiba tiga orang pria menyergap kami dan langsung membawanya kesini. Oh ya kupikir mungkin aku di culik? Tapi untuk apa orang-orang ini menculikku? Aku bukan siapa-siapa, bukan pula orang yang terkenal? Mungkinkah mereka butuh gi
Dia seolah tak perduli akan deringan ponsel yang terus berbunyi. Alhasil endingnya dia nonaktifkan juga ponsel itu. Seketika suasanapun kembali sunyi.Sudah seminggu Arya dibuat pusing oleh Dina dan pada akhirnya pilihan lelaki itu adalah berselingkuh demi memuaskan nafsu biologisnya yang terus saja menuntut. Arya masih muda dan sebagai lelaki yang sudah menikah tidak mungkin dia akan bisa hidup tanpa kebutuhan itu.Mas Arya pulang ketika hari sudah gelap, keadaan rumah sunyi, lelaki berperawakan tinggi itu langsung masuk kekamar dan melihat kak Dina tengah memeluk anak semata wayang mereka."Mas kamu baru pulang?" Tanyanya serak karena saat itu kak Dina baru saja bangun tidur. Dia bangun ketika mendengar langkah kaki mas Arya."Sudah.""Mas sudah makan?""Sudah. Ada apa tadi sore kamu telpon? Mas lagi sibuk dan lain kali jangan ganggu mas, maskan lagi memulai bisnis.""Bisnis apa mas? Kitakan sudah enak kerja di PT dan gajinya juga menjanjikan!""Gaji kita belum cukup untuk pendidika
Setelah kurasa perjalananku sudah cukup menjauh dari rumah sakit, aku duduk sejenak di sebuah rumah kosong. Sambil sesekali memijit kakiku yang pegal. Dor! Terdengar suara tembakan dari arah yang berlawanan, kontan aku yang berada di situ seketika menggigil ketakutan. Tanpa bisa ku tebak dari mana sumbernya tiba-tiba sebuah tangan yang kekar menarikku kuat. Aku tak bisa mempertahankan diriku sendiri, aku terpaksa mengikutinya dan entahlah sudah sejauh mana aku dan pria misterius itu berlari. "Berhenti! Tolong berhenti! Siapa kamu?" Tanyaku berani-berani takut. Dia tak menjawab, wajah itu tertutup kain, tentu saja aku tak mengenalinya. Lalu perlahan-lahan aku ingin menjauh darinya namun itu hanya mimpi, pria itu tak akan semudah itu melepaskanku. "Kau harus ikut denganku!" Terdengar suara barito. "Tidak! Biarkan aku pergi." "Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi, kau dalam bahaya nona." Ujarnya lagi. "Drama tragis apa lagi ini?" Aku benar-benar tak mengerti apa maksud dari pria