"Apa? Kok kayaknya gugup begitu?" Tanya bu siti penasaran.
"Bu, sebenarnya kedatanganku kesini bukannya mau beli, tapi.. " Aku tak melanjutkan kata-kataku yang terasa tertahan di tenggorokan. "Tapi apa?" Bu siti semakin serius. "Mau ngutang Bu." Tukasku cepat. "Ngutang?" Bu Siti tersenyum hambar. "Iya bu, atau kalau Ibu merasa keberatan Ibu bisa kasih kerjaan apa saja yang penting bisa menebus barang yang akan ku hutang." Kataku menyakinkan nya. "Beneran kamu mau? Memangnya Awan ngak kasih kamu duit ya? Atau dia belum gajian? Perasaan udah hampir dua minggu ngak pernah lihat Awan lewat." Bu siti mengerutkan kening. "Bang Awan lagi ngak punya pekerjaan bu." Jawabku jujur. "Ambil aja dulu barangnya nanti kamu kesini lagi buat nebus hutangnya." Aku langsung tersenyum dan berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Bu Siti. Alhamdulillah Aku punya tetangga yang cukup baik. Aku mulai mengambil bahan yang kuperlukan, seperti telur, kecap dan juga masako. Hari ini aku mau masak telur kecap saja karena menurutku itu lebih cepat dan praktis. Maklumlah bang Awan mungkin sudah sangat kelaparan sehingga emosinya pun sampai meledak-ledak begitu. "Sudah Bu, ini saja, semuanya berapa bu?" Tanyaku yang sudah meletakkan bahan masakan di atas meja kasir milik bu Siti. "Ini saja ya?" Tanyanya. Aku mengangguk. "Telur 3 butir 6 ribu, kecap 1 bungkus 3 ribu dan masako 2 bungkus 1 ribu jadi totalnya 10 ribu aja." Ucap Bu Siti sambil memasukkan belanjaanku. "Kok cuma sedikit? Apa ngak kurang?" Bu siti bertanya heran, karena menurutnya itu cuma barang-barang kecil. "Mudah-mudahan sih ngak Bu, lagian nanti kalau butuh lagi, aku masih berharap Bu Siti mau ngutangin lagi." Jelasku. Sebenarnya sih Aku merasa tak enak hati tapi ini semua terpaksa kulakukan agar bang Awan tidak marah-marah terus denganku. "Terimakasih Bu, jadi langsung kubawa ya Bu belanjaannya." Wanita paruh baya itu hanya mengangguk saja, aku pun pulang dengan perasaan yang sedikit lega. Sesampainya di rumah, ku ucapkan salam dan Aku pun masuk, kulihat bang Awan sedang duduk di atas kursi sambil menghirup kopi hitamnya. Tak lupa ponsel kesayangannya. Bang Awan tak menghiraukan kedatanganku menoleh pun tidak. Aku melangkah saja. "Mau punya uang banyak ngak?" Tanyanya tiba-tiba tapi tatapannya masih fokus ke ponsel. "Maksud Abang?" "Yah, kali aja bosan hidup jadi orang miskin teruskan? Lagian pekerjaan ini sangat menguntungkan dan bikin kamu keenakan juga! Aku jamin kamu ngak akan rugi." Aku tersenyum lalu menjawab. "Kerja apa emangnya bang?" Bang Awan, kini menatapku. "Kita omongin nanti pas mau tidur, sekarang lebih baik kamu masak dulu! Perutku udah keroncongan dari tadi." "Ya udah bang, aku ke dapur dulu." Pamit ku pelan. Sebenarnya Aku penasaran akan pekerjaan yang bang Awan tawarkan dan jika memang pekerjaan itu bisa menghasilkan uang yang banyak, tentu saja Aku mau. Tapi, kenapa dia hanya menyuruhku? Kenapa bukan dia saja yang bekerja. Haruskah Aku ragu. Tapi Aku yakin bang Awan pasti memberikan pekerjaan yang baik untukku kan? Asalkan pekerjaan itu bukan mencuri atau menipu orang lain. Tidak masalah aku mau, yang paling penting adalah Aku bisa membahagiakan dirinya. Di kota ini aku tak punya siapa-siapa selain dia, mungkin aku sangat bergantung padanya. Tak ada yang bisa ku lakukan di sini."Dion ini aku." Cercanya langsung. "Bagaimana kabarmu hari ini? Aku akan memeriksa kakinya dan mungkin juga kau harus melakukan pijat refleksi lagi." Tanya Pras pelan. Dion menoleh dan memberinya senyum. "Kau tahu bahwa hari ini aku baik-baik saja." Dion berkata sambil meletakkan pelan cangkir kopi yang dia pegang. Pras membalas senyumnya dan mulai berjalan mendekatinya, lalu secara pelan pria itu menjongkok. Pras memegang kakinya dan mulai melakukan penekanan. "Apa ini sakit?" Tanyanya. "Tidak." Jawab Dion mantap. "Lalu bagaimana dengan ini?" Pras menekan lebih kuat lagi. "Juga tidak sakit." Dion menggeleng. "Baik, setelah ini kau harus pergi kerumah sakit, saraf kakimu masih perlu pemeriksaan." Jelas Pras kalem. "Baik." Dion memalingkan wajahnya. "Kau sudah bisa berjalan kan?" Pras lalu berdiri. "Jangan khawatir." Dion mencubit hidung mancung nya sendiri. Lalu pria di sampingnya ikut duduk. "Dion, semalam aku mendapat informasi dari bawahanmu, ya dia menghubungiku karena
Melisa berjalan mendekati Dion, aroma parfum itu sungguh menyebar kemana-mana. "Sayang, kau sudah mandi? Apa perlu aku memandikanmu? Tapi ini sudah sangat larut, bagaimana jika kita tidur saja?" Katanya pelan. Lelaki tampan itu tetap dingin dan tanpa ekspresi. Tak perlu jawaban Melisa langsung mendorong kursi roda yang di duduki Dion menuju ranjang mereka, setelah sampai Melisa ingin membantunya berdiri tapi tangan kekar Dion segera menepis nya. "Apa ada yang salah?" Tak ada jawaban, Dion langsung saja memapah tubuhnya sendiri keatas ranjang, perempuan cantik itu hanya menatapnya dengan tarikan nafas yang kesal namun dia harus menahannya demi permainan cantik dirinya dan sang ibu. Melisa kini perlahan mendekatinya, sontak saja pria itu terkejut. "Melisa, apa yang kau lakukan? Kembali ke kamarmu." Hardik Dion keras. "Sayang kecilkan suaramu, bagaimana kalau malam ini kita jadikan malam yang takkan pernah terlupakan, kau tahu kan bahwa sekarang aku adalah istrimu." Tangan halu
Saat itu jarum jam tepat menunjuk pada angka sebelas dimalam hari. Melisa dan Sri tampak tertawa kecil di balkon rumahnya."Oh malangnya nasibmu sebagai jalang yang tak tahu diri, pasti kau sudah tenangkan di alam sana?" Ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi ketika dia melihat kiriman video yang baru saja bodyguardnya kirimkan."Sekarang, kau bisa lebih leluasa memiliki Dion putriku. Perempuan jalang itu memang pantas di lenyapkan dari muka bumi ini." Sri menatap sang anak. Anggukan bahagiapun terlihat dari raut wajah melisa yang memerah."Bagaimana jika kita rayakan kemenangan ini bu.""Jangan dulu nak, ibu takut jika ada yang mencurigai kita, sekarang pulanglah mungkin saja Dion mencarimu.""Aku sudah sedikit ifill padanya bu." Dalam sekejap wajah melisa yang memerah tadi berubah."Ada apa?""Bukannya ibu tidak tahu bagaimana perubahan Dion setelah kecelakaan meminum racun itu, dia lebih banyak berdiam dan bahkan sekarang dia lumpuh, apalagi yang bisa kubanggakan dari dia bu.""Oh kau
Rasa putus asa serta bingung, itulah yang kurasakan sekarang, ruangan ini sungguh membuatku serasa ingin mati. Ketika aku tenggelam dalam ketakutan. Tiba-tiba terdengar deritan pintu di buka. Aku menoleh, sesosok bayangan seorang wanita muncul diikuti beberapa pria di belakangnya. "Selamat datang calon menantuku yang bodoh, bagaimana rasanya? Pasti kau sangat kebingungan ya ketika di bawa keruangan ini?" Ujarnya seperti berbisik. Senyuman sinis kini terlihat dari bibirnya yang merah merona. "Apa mau kalian!" Bentakku kemudian. "Baiklah, sekarang aku akan menjelaskannya padamu jadi kuharap kau bisa bekerja sama." Aku bungkam, masih memahami keadaan ini, bagaimana aku tidak bingung. Ketika aku naik mobil bersama pria misterius itu, di tengah perjalanan tiba-tiba tiga orang pria menyergap kami dan langsung membawanya kesini. Oh ya kupikir mungkin aku di culik? Tapi untuk apa orang-orang ini menculikku? Aku bukan siapa-siapa, bukan pula orang yang terkenal? Mungkinkah mereka butuh gi
Dia seolah tak perduli akan deringan ponsel yang terus berbunyi. Alhasil endingnya dia nonaktifkan juga ponsel itu. Seketika suasanapun kembali sunyi.Sudah seminggu Arya dibuat pusing oleh Dina dan pada akhirnya pilihan lelaki itu adalah berselingkuh demi memuaskan nafsu biologisnya yang terus saja menuntut. Arya masih muda dan sebagai lelaki yang sudah menikah tidak mungkin dia akan bisa hidup tanpa kebutuhan itu.Mas Arya pulang ketika hari sudah gelap, keadaan rumah sunyi, lelaki berperawakan tinggi itu langsung masuk kekamar dan melihat kak Dina tengah memeluk anak semata wayang mereka."Mas kamu baru pulang?" Tanyanya serak karena saat itu kak Dina baru saja bangun tidur. Dia bangun ketika mendengar langkah kaki mas Arya."Sudah.""Mas sudah makan?""Sudah. Ada apa tadi sore kamu telpon? Mas lagi sibuk dan lain kali jangan ganggu mas, maskan lagi memulai bisnis.""Bisnis apa mas? Kitakan sudah enak kerja di PT dan gajinya juga menjanjikan!""Gaji kita belum cukup untuk pendidika
Setelah kurasa perjalananku sudah cukup menjauh dari rumah sakit, aku duduk sejenak di sebuah rumah kosong. Sambil sesekali memijit kakiku yang pegal. Dor! Terdengar suara tembakan dari arah yang berlawanan, kontan aku yang berada di situ seketika menggigil ketakutan. Tanpa bisa ku tebak dari mana sumbernya tiba-tiba sebuah tangan yang kekar menarikku kuat. Aku tak bisa mempertahankan diriku sendiri, aku terpaksa mengikutinya dan entahlah sudah sejauh mana aku dan pria misterius itu berlari. "Berhenti! Tolong berhenti! Siapa kamu?" Tanyaku berani-berani takut. Dia tak menjawab, wajah itu tertutup kain, tentu saja aku tak mengenalinya. Lalu perlahan-lahan aku ingin menjauh darinya namun itu hanya mimpi, pria itu tak akan semudah itu melepaskanku. "Kau harus ikut denganku!" Terdengar suara barito. "Tidak! Biarkan aku pergi." "Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi, kau dalam bahaya nona." Ujarnya lagi. "Drama tragis apa lagi ini?" Aku benar-benar tak mengerti apa maksud dari pria