เข้าสู่ระบบTeriakan Nyonya Celia bagai sambaran petir di siang bolong. Binar membeku, jantungnya berdentum kencang hampir keluar dari dada. Apalagi saat tiba-tiba pintu terbuka. Insting untuk bertahan hidup langsung bekerja.
Binar membiarkan bola kristal Ardan tergeletak di lantai dan bersembunyi di balik tirai tebal yang menggantung tak jauh dari sana. Tubuhnya sedikit gemetar, mencoba sebisa mungkin tak terlihat menonjol, dengan menahan semua tubuhnya menempel ke dinding.
Dari balik tirai, dia bisa mendengar segalanya dengan jelas.
"Kau pikir dengan memblokir kartu-kartuku, aku akan menurutimu?!" teriak Celia, suaranya melengking dan penuh amarah. "Aku bukan budakmu, Bhaga!"
Suara barang pecah membuat Binar menggigit tangannya, menahan keterkejutan yang hampir terdengar.
"Yang kubutuhkan darimu bukan uang, Celia. Tapi kehadiranmu untuk anak kita!" suara Bhaga terdengar rendah namun penuh tekanan. "Ardan hampir tidak mengenal ibunya. Kau selalu keluar, berpesta, berbelanja, seolah tidak punya tanggung jawab di sini!"
"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa? Untuk tinggal di rumah megah yang terasa seperti kuburan ini bersamamu? Atau mengurus anak itu?” Celia mendongak dan mendengus. “Kau pikir, pernikahan karena perjodohan bisnis ini memberiku kewajiban untuk jadi ibu rumah tangga yang baik? Kau salah besar!"
Bhaga menggeram. "Ya kamu benar. Aku lupa kalau kau menikahiku hanya untuk uang dan nama keluarga. Tapi bahkan untuk urusan itu pun kau tidak becus. Acara kemarin kau batal hadir lagi, membuat malu keluarga di depan klien penting!"
"Urus saja sendiri urusan bisnismu itu! Aku punya duniaku sendiri!” Celia mencebik kasar. “Sekarang buka blokir kartu kreditku!"
"Tidak. Sampai kau bisa menunjukkan sedikit saja tanggung jawab sebagai ibu, bahkan untuk sekadar makan malam bersama Ardan.” Bhaga menghela napas. “Sebelum itu terjadi, jangan harap!"
Terdengar langkah hak tinggi yang dientakkan dengan marah. "Baik! Kalau begitu carilah ibu untuk anak itu di luar sana! Aku pergi!"
Langkah kaki itu menjauh, disusul dengan bunyi pintu depan yang dibanting dengan keras. Getarannya terasa sampai ke tempat Binar bersembunyi. Dalam sekejap, semua menjadi hening.
Beberapa saat kemudian, Binar mendengar helaan napas panjang dan lelah dari dalam ruang kerja. Lalu, langkah kaki Bhaga mendekati pintu. Binar menahan napas, berharap dia berbelok ke arah lain.
Tapi tidak. Pintu ruang kerja terbuka. Bhaga berbalik untuk menutupnya, dan dari balik tirai, mata Binar bertemu langsung dengan pandangannya yang tajam dan lelah. Dia ketahuan.
Wajah Binar mendadak pucat pasi, dia memejamkan mata erat. Mengumpat dalam hati, ‘Sial, kenapa harus tertangkap dalam keadaan tak menyenangkan terus!’
Bhaga menyipitkan matanya, wajahnya yang semula tampak lesu berubah menjadi keras. “Kamu lagi?” desisnya penuh kecurigaan.
Binar keluar dari persembunyiannya dengan gemetar dan kaku, bibirnya menampilkan cengiran lebar untuk menutupi wajahnya yang pucat pasi.
“Ma-Maaf, Tuan. Saya... saya hanya ingin mengambil mainan Tuan muda Ardan yang menggelinding ke sini,” jawabnya dengan suara bergetar tak karuan.
Takut. Sungguh dia ketakutan. Ini adalah kali kedua dia ketahuan menyaksikan momen pribadi sang majikan.
Bhaga memindainya dari atas ke bawah, bawah ke atas dengan tatapan dingin. Dia mendengus, “Ini cuma perasaan saya,” katanya perlahan, “atau memang kamu hobi mengintip orang lain?”
Panas membara menyergap wajah Binar. Rasa malu dan takut bercampur jadi satu. “Tidak, Tuan! Tidak, Sungguh. Sumpah, tidak! Itu kebetulan saja, saya—”
“Kak Bin! Helikopternya mau terbang enggak, nih?” teriak Ardan dari ruang makan, memotong pembelaannya.
Dalam hati Binar rasanya penuh kelegaan, tapi dia masih tak berani berkutik.
“Kak Bin!” seru Ardan, terdengar mulai kesal.
Suara polos itu bagai penyelamat. Bhaga menghela napas, mengusap wajahnya yang letih. Dia melirik ke arah suara anaknya, lalu kembali ke Binar.
“Pergi. Temani dia. Dan jangan sampai ada mainan yang menggelinding ke area ini lagi.” Perintah Bhaga. Suaranya datar namun terdengar mengandung ancaman.
Binar mengangguk cepat, mengambil bola kristal Ardan yang masih tergeletak, berbalik dan berlari kecil menuju taman samping, meninggalkan Bhaga yang masih berdiri di depan pintu ruang kerja dengan pandangan yang tidak bisa dia tebak.
**
Di taman belakang rumah yang luas, Binar duduk di bangku sementara Ardan dengan ceria menerbangkan helikopter mainan, membuat efek suara dengan mulutnya. Tapi pikiran Binar tidak ada di situ.
Pikirannya melayang kepada Bhaga. Pria dingin dan berwibawa itu. Kini dia mulai mengerti. Di balik kekayaan dan ketampanan, dia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, memiliki istri yang hanya menginginkan harta, dan harus membesarkan anak seorang diri.
Itu menjelaskan kenapa dia begitu tertutup, dan kenapa kemarin malam dia terlihat begitu kesepian dan frustasi hingga melepaskan kebutuhannya seorang diri.
Hal itu juga yang menjelaskan mata Ardan yang selalu sedih. Bocah itu hidup dengan orang tua yang secara emosional tidak hadir untuknya.
Tanpa sengaja, matanya terangkat menatap jendela kaca besar di lantai dua. Ruang kerja Bhaga. Dan di sana, berdiri seorang lelaki dengan siluet yang mulai sangat familier baginya.
Bhaga.
Pria itu sedang berdiri di balik jendela, tangan menyilang di dada, menatap ke arah taman. Menatap Binar dan Ardan. Bukan. Bukan mereka. Tetapi menatapnya.
Binar segera menunduk, rasa takut yang baru saja mereda langsung kembali hadir. ‘Apakah dia mengawasiku? Apakah karena dua kesalahan yang telah kuperbuat? Apakah dia sedang mempertimbangkan untuk memecatku?’
Berulang kali Binar menarik napas dan membuangnya perlahan menenangkan diri. Begitu tenang, dia mencoba fokus pada Ardan. Memaksakan tawa untuk permainan bocah itu, tapi rasa cemas menggerogotinya.
Tanpa diperintah, setiap beberapa detik, matanya selalu saja tertarik untuk melirik ke jendela itu. Dan sosok itu masih ada di sana. Seperti seorang pemburu yang mengawasi buruannya.
Binar merinding.
Tidak lama kemudian, salah seorang pelayan lain datang menghampiri. Wajahnya sedikit gugup.
“Binar, Tuan Bhaga memanggilmu. Ke ruang kerja lantai atas. Sekarang.”
“Ahhh!”Desahan dan rintihan sepasang manusia itu bersahut-sahutan, memenuhi ruangan sepi itu, sementara mereka berpacu dalam ritme yang memanas.Bhaga tenggelam dalam kenikmatan, tangannya tidak sabar menuntun pinggul Binar bergerak naik-turun. Sementara Bhaga sendiri tidak tahan, ikut menggerakkan pinggulnya untuk mempertemukan penyatuan mereka.Keduanya sampai ke puncak kenikmatan bersamaan, tubuh bergetar sebelum saling mendekap satu sama lain.Bhaga terengah-engah, sama halnya dengan Binar.“Mmm… enak sekali, Sayang…” desah Bhaga, napasnya menyapu telinga Binar dan membuatnya merinding.Tak butuh waktu lama sebelum tenaga Bhaga kembali. Dia berdiri, sambil menggendong Binar yang lemas. Kerlingan menggoda di matanya masih ada.“Mau apa… Bhaga?” tanya Binar, sedikit linglung karena belum reda dari klimaksnya.Bhaga tersenyum tipis. “Kita pindah ke kamar.”** Tidur Bhaga terusik oleh dering ponsel yang tidak berhenti. Saat Bhaga bangun, Binar masih pulas di sisinya. Wajar, Bhaga m
“Kamu kelihatan lelah sekali.” “Sedikit,” jawab Bhaga mengecupi bahu Binar. Binar tahu, Bhaga sedang meminta jatahnya, minta dipuaskan—hal yang selalu dilakukannya saat sedang stres, tertekan, dan banyak pikiran.“Sini … aku pijat,” ajak Binar.Tanpa banyak bicara, Binar membimbing Bhaga untuk berbaring tengkurap di sofa. Tangannya mulai memijat pundak dan punggung Bhaga yang tegang.“Hmm… enak…” Desahan lega keluar dari bibir Bhaga.Sentuhan Binar seperti obat, selalu seperti itu. Wanitanya selalu bisa menempatkan diri dan membuatnya selalu merasa dihargai lebih. Perlahan, tubuhnya melepaskan ketegangan yang ada. Binar juga merunduk, mengecup belakang bahu dan punggung Bhaga perlahan. Niatnya adalah untuk menunjukkan kasih sayangnya, tapi tubuh Bhaga merespons dengan cara yang lain.Bhaga menggeram. Napasnya mulai memburu, dia membalikkan badan dan segera menarik Binar hingga wanita itu terkurap di atas tubuhnya. Hidung Bhaga menyundul leher dan bahu Binar, ingin memuaskan diri de
Ardan masih gemetar ketakutan di pelukan Nurma. Pelukan itu terasa dingin, karena Nurma sendiri masih terguncang oleh konfrontasi dengan Bhaga. "Nggak papa, Sayang, Papamu cuma lagi… banyak pikiran," bisik Nurma, menepuk punggung kecil cucunya. "Ardan belum makan siang. Makan dulu ya, Sayang."Ardan masih bingung dan murung, tetapi mengangguk. Setelah melihat kemarahan papanya, Ardan selalu takut untuk membantah.Nurma memanggilkan pengasuh Ardan yang mengajak Ardan ke ruang makan untuk menyuapinya.Djati berjalan mondar-mandir dengan wajah muram. Sementara Nurma memijiti kepalanya yang terasa sakit."Ini tidak benar, Nurma. Apa yang kau lakukan? Mengapa?" Dia menghela napas berat. “Jika perlu uang, kau tinggal bicara padaku. Kenapa pakai uang perusahaan?!”"Kan aku sudah bilang, aku tidak melakukan apapun!" desis Nurma. “Kenapa kau tidak percaya padaku? Buat apa juga aku melakukan hal gila seperti itu?!”Djati berdecak. “Lalu bagaimana ada tanda tangan atas namamu di surat itu? Kau
Bhaga melangkah dengan cepat menuju ruangannya, menampikkan pandangan semua orang terhadapnya. Beberapa sapaan hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Dia benar-benar dalam suasana hati yang buruk. Di belakangnya, Rudi berjalan sama cepatnya dalam diam. Dia tahu, atasannya akan meledakkan amarahnya nanti ketika masuk ke dalam ruangan. Benar saja. Bhaga langsung menggebrak meja begitu sampai di ruangannya. Dia tak duduk, hanya berdiri sambil menunduk mencoba meredakan amarahnya. Kepalanya mendongak. “Apa yang terjadi, Rudi?” Rudi sambil memegang tabletnya mendekat. Dia membaliknya dan memperlihatkan pada Bhaga sebuah portal berita. “Ada yang menggugah foto terbaru, Pak.” Bhaga memperhatikan foto itu, dahinya mengernyit.Foto ini diambil rumah utama. Artinya, yang mengambil adalah orang dalam dan bisa jadi bukan foto terbaru. Bhaga mendongak. “Periksa semua CCTV dan semua orang... tanpa terkecuali.” “Baik, Pak.” Setelahnya, Rudi berpamitan pergi dan meminta orang suruhannya untuk
“Tidak!” jerit Binar dan bangun terduduk dengan napas tersengal. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin dan kegelisahan masih memeluknya erat. Bhaga yang terkejut akan jeritan itu turut terbangun. “ Kenapa, Sayang?” Binar masih mengatur napasnya. “ Aku mimpi buruk. Celia dan Kevin kembali menyiksaku.” Tak menunggu diminta, Bhaga langsung memeluk Binar sambil melirik ke arah jam dan mengambil segelas air putih dari atas nakas. “Ini, minumlah dulu dan tidur lagi. Ini masih jam empat pagi.” Pelukan mereka terlepas dan Binar meneguk dengan perlahan dan kembali merebahkan diri. “Tidurlah. Aku akan menunggumu terlelap.” Binar memejamkan mata dan tak perlu waktu lama untuk napasnya kembali teratur. Bhaga mengelus rambut Binar dan mengecup keningnya. Baru saja dia berencana tidur, sebuah notifikasi pesan masuk datang dari nomor Djati. [Papi sudah tak bisa menahan para pemegang saham lebih lama lagi. Cepat temukan pelakunya dan hentikan semuanya, atau kita hancur.] Kantuk Bhaga langsung hil
Napas Bhaga terhenti sesaat, ketika dia menunduk dan melihat Binar mengecup ujung miliknya dan kemudian perlahan mengulum kejantanannya.“Ugh, mmm… Binar…” desah Bhaga, tangannya reflek mencengkram rambut Binar dengan tertahan.Seketika, miliknya langsung tegak dan berdenyut keras. Terlebih saat lidah Binar berputar di sana dengan sensual. Menyapu miliknya perlahan.Binar mendongak, matanya menatap wajah Bhaga, memperhatikan ekspresi kenikmatan pria itu, uap desahan panas yang keluar dari bibirnya.“Ahh, aku tak tahan lagi, Binar,” erang Bhaga, badannya menegang. Dia segera menarik pundak Binar, mendorongnya pelan hingga membentur dinding. Binar memekik pelan, terkejut saat Bhaga berlutut di bawahnya, sambil menaruh kaki Binar di pundaknya. Binar terpojok, dengan area sensitifnya sempurna terpampang di depan wajah Bhaga.Malu dan panik, wajah Binar memerah. “B-Bhaga, itu—”“Biar aku memuaskanmu lebih dulu,” ucap Bhaga. Lidah dan bibir pria itu sudah tak perlu lagi diragukan, dia me







