Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.
Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih.
"Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.
Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"
Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”
"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan."
"Baik, Tuan."
"Suruh dia datang ke sini. Sekarang," perintah Bhaga, sebelum kembali fokus pada dokumennya.
Maryam membungkuk sedikit dan segera meninggalkan ruangan. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk pelan. Binar masuk dengan langkah gamang, seolah masuk ke ruang interogasi.
"T-tuan memanggil saya?" suaranya hampir seperti mencicit.
Bhaga mengangkat matanya. Di rambut hitam Binar, terselip sebuah bunga kertas kecil berwarna kuning yang jelas buatan Ardan.
"Ardan memberimu hadiah?" ucap Bhaga tiba-tiba, suaranya datar tetapi tanpa amarah.
Binar terkejut, tangannya refleks meraba rambutnya. Saat menemukan bunga kertas itu, wajahnya memerah.
"Oh! Maaf, Tuan. Tadi... tadi tuan muda bilang ini cocok sebagai hiasan mahkota untuk putri dan saya lupa lepas," jawabnya, buru-buru melepas bunga kertas itu dan memegangnya dengan canggung.
Bhaga hanya mendengus pelan. Dia menegakkan kepala, menatapnya sekilas sebelum menggeser sebuah map coklat tipis ke arahnya.
"Baca ini. Dokumen tentang Ardan. Semua alergi, makanan favorit, jadwal hariannya. Mulai dari bangun tidur, mandi, makan, waktu bermain, belajar, hingga tidur malam. Pelajari. Dan patuhi."
Binar mengambil map itu dengan hati-hati. Dia membuka dan matanya segera menyusuri jadwal yang tertata rapi. Waktunya sangat ketat. Waktu bermain bahkan hanya disisihkan satu jam di sore hari.
Tanpa sengaja, protes keluar dari mulutnya, "Waktu bermainnya... sedikit sekali, Tuan. Dan... tidak ada jadwal khusus untuk bersama... orang tuanya?"
Bhaga mengangkat kepala dengan cepat, matanya menyipit. Suasana ruangan langsung berubah menjadi tegang. "Apa maksudmu?" suaranya rendah, penuh peringatan.
“Eh.” Bibir Binar mengatup rapat.
Binar langsung menyadari kesalahannya. Tapi kata-kata itu sudah terlanjur keluar. Daripada mundur, dengan keberanian yang didorong oleh kepedulian pada Ardan, dia mencoba meluruskan.
"Maaf, Tuan. Saya hanya...” Binar terdiam sejenak, memikirkan kata yang pas. “Bukan cuma anak-anak, orang dewasa juga perlu waktu bersama keluarga dan orang yang disayang. Saya rasa Tuan muda Ardan butuh menghabiskan waktu bersama Tuan Bhaga dan Nyonya Celia. Dia sering terlihat murung."
Bhaga terdiam. Amarah di matanya sedikit mereda, digantikan oleh raut kelelahan. Sebuah kenyataan yang selama ini disembunyikan. Namun dagunya terangkat lagi, dan matanya kembali terlihat mengintimidasi Binar.
“Dia punya segalanya. Mainan, guru terbaik, dan sekarang... pengasuh,” jawabnya datar, “lakukan saja sesuai dengan pekerjaan kamu. Kamu dibayar untuk jadi pengasuh. Jangan lewati batas.”
Kalimat itu seperti tamparan. Binar menunduk, pipinya memanas karena malu dan sedikit tersinggung diingatkan akan posisinya yang rendah. Dia hanya pelayan. Bukan psikolog keluarga. Apalagi orang yang akan didengar pendapatnya.
Ingatlah, Binar. Kamu bukan siapa-siapa.
"Baik, Tuan," jawabnya lirih, memeluk map itu erat-erat. "Maaf atas kelancangan saya."
"Keluar."
Binar membalikkan badan dan segera meninggalkan ruangan, meninggalkan Bhaga yang kembali menatap dokumennya, tapi kali ini, pikirannya jelas tidak ada pada tulisan di depan matanya.
**
Malam itu, setelah memandikan Ardan, Binar membacakan tiga buku cerita, dan menyanyikan lagu pengantar tidur. Binar terjaga di samping ranjang bocah itu.
Dia berniat hanya akan menunggu sampai Ardan tertidur pulas, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Tetapi kelelahan setelah hari yang begitu emosional akhirnya menyeretnya ke dalam mimpi.
Kepala Binar tertidur di atas bantal sofa yang empuk di lantai, napasnya teratur karena tidur yang dalam.
Pintu kamar terbuka perlahan.
Bhaga berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus polos dan celana training, penampilannya yang paling santai. Wajahnya yang biasanya tegang kini terlihat lelah dan polos.
Dia mendekati ranjang putranya, menatap Ardan yang sedang tertidur dengan pulas, sambil memeluk boneka robot. Senyum kecil menghias bibir Bhaga, sebuah ekspresi langka yang hanya muncul ketika tidak ada yang melihat.
Lalu, matanya beralih ke Binar yang tertidur di lantai. Gadis itu terlihat begitu muda dan damai dalam tidurnya.
Beberapa helai rambutnya menutupi sebagian wajahnya.
Bhaga terdiam sejenak, seolah berdebat dengan dirinya sendiri. Perlahan, dia berjongkok di sebelah Binar. Tangannya yang besar terulur ke arah Binar.
Jari-jarinya yang panjang dan terawat bergerak pelan menyibak helai rambut yang menutupi wajah Binar, dengan sentuhan yang sangat halus.
Sentuhannya membuat Binar menggeliat pelan.
Ucapan Bhaga membuat Binar tersentak dan pipinya memerah malu. “M-maaf, Tuan, saya—ah!”Binar terlonjak mundur begitu ujung jari Bhaga menyentuh kain roknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari dadanya. Darahnya berdesir hebat, dia membasahi tenggorokan dengan susah payah.Binar bisa merasakan jemari Bhaga menyentuh lututnya. “Angkat rok kamu lebih tinggi. Biar saya obati sekalian.”Wajah Bhaga mendekat ke bagian bawah Binar, tangannya sudah dengan sigap memegangi satu lutut. Tangan satunya lagi sudah naik, mengelus-elus lebam di paha mulus itu.“T-Tuan. Jangan!” lirihnya malu. Dia melirik Bhaga dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. Wajahnya merah padam. Malu, bingung, dan sedikit ... tergoda. Tapi dia segera mengusir pikiran itu.Bhaga terdiam. Tangannya masih terulur di antara paha Binar. Detik berikutnya, ekspresinya berganti dengan rasa tak enak karena merasa ditolak. Dia menarik napas panjang dan menurunkan tangannya.“Baikla
Tubuh Binar terhuyung ke samping dan kakinya membentur kursi kayu. Dia memejam erat sambil menggigit bibirnya dan meringis. Menahan sakit yang menusuk.Telinga Binar berdengung. Kepalanya terasa berputar dan nyeri di pipinya terasa sangat perih. Suara tamparan itu seperti masih bergema di telinganya.Binar terdiam di tempat, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Tidak boleh menangis di depan nyonya, nanti dia akan makin kesal, pikir Binar.Binar merasakan tangan kecil menggenggam roknya di belakang. Saat menoleh, dia melihat Ardan bersembunyi di belakangnya sambil menangis.“Dasar pembantu kurang ajar! Berani-beraninya menghalangiku!” teriak Celia, nafasnya masih berbau alkohol tajam. Tangannya sudah siap untuk menampar untuk kedua kalinya.Tiba-tiba, sosok Maryam muncul dari balik pintu dapur. “Nyonya! Nyonya, tenanglah!” serunya dan dengan berani menahan lengan Celia yang akan melayang.Beberapa pelayan lain yang sedang mempersiapkan makan malam, akhirnya berkerumun dengan waj
Binar membeku. Seluruh tubuhnya kaku, terpaku pada sensasi keras dan panas yang menekan bagian belakang tubuhnya. Dia bahkan menahan napas saat bisa rasakan kedutan samar dari benda keras itu.Gerakan halus itu mengingatkannya pada malam ketika dia tidak sengaja melihat Bhaga di kamarnya, memuaskan dirinya sendiri.Pipi Binar langsung membara, dan jantungnya berdetak kencang di dadanya. Degup yang saling berkejaran dengan milik Bhaga yang menempel di punggungnya. Ini debar takut, bingung, atau…?Bhaga juga tidak bergerak. Napasnya berat di dekat telinga Binar. Dia tampak terperangkap dalam momen itu, dalam kedekatan yang tak semestinya ini.“Jangan bergerak,” bisik Bhaga dengan suara rendah di telinga Binar yang memerah.Binar bisa merasakan Bhaga menggerakkan pinggulnya perlahan, menggesek badannya pada Binar dengan gerakan yang hampir tak kentara.Apa ini? Batin Binar kebingungan. Anehnya, badannya terasa panas. Binar menggigit bibir, menahan desah yang hampir lolos.“Kak Bin... aku
Bangun. Kerjamu sudah selesai. Bukan di sini tempatmu tidur."Suara berat dan tegas itu membangunkan Binar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, melihat siluet tinggi seorang pria yang berdiri di hadapannya, dan untuk sesaat, dia linglung.Namun, setelah menyadari bahwa pria itu adalah Tuan Bhaga, Binar langsung duduk tegak, rasa tak enak hati dan merasa bersalah langsung menghinggapi."Ma-Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..."Bhaga tidak menjawab. Dia hanya memandangnya sebentar sebelum berbalik dan meninggalkan kamar Ardan, memberi isyarat bahwa Binar harus mengikutinya.Binar menegakkan tubuh dengan cepat, segera membenarkan bajunya yang kusut setelahnya, lalu mengikuti Bhaga keluar, menutup pintu kamar Ardan dengan hati-hati.Di koridor yang temaram, suara rendah Bhaga terdengar jelas. “Kamu kelihatan lelah.”Binar menggeleng cepat, "Ah, enggak, Tuan. Saya sudah biasa mengurus anak kecil. Di kampung, saya dulu biasa momong adik teman sampai anak tetangga."Bhaga hanya mendengus
Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih."Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan.""Baik, T
Teriakan Nyonya Celia bagai sambaran petir di siang bolong. Binar membeku, jantungnya berdentum kencang hampir keluar dari dada. Apalagi saat tiba-tiba pintu terbuka. Insting untuk bertahan hidup langsung bekerja.Binar membiarkan bola kristal Ardan tergeletak di lantai dan bersembunyi di balik tirai tebal yang menggantung tak jauh dari sana. Tubuhnya sedikit gemetar, mencoba sebisa mungkin tak terlihat menonjol, dengan menahan semua tubuhnya menempel ke dinding.Dari balik tirai, dia bisa mendengar segalanya dengan jelas."Kau pikir dengan memblokir kartu-kartuku, aku akan menurutimu?!" teriak Celia, suaranya melengking dan penuh amarah. "Aku bukan budakmu, Bhaga!"Suara barang pecah membuat Binar menggigit tangannya, menahan keterkejutan yang hampir terdengar."Yang kubutuhkan darimu bukan uang, Celia. Tapi kehadiranmu untuk anak kita!" suara Bhaga terdengar rendah namun penuh tekanan. "Ardan hampir tidak mengenal ibunya. Kau selalu keluar, berpesta, berbelanja, seolah tidak punya t