Home / Romansa / Di Ranjang Majikanku / 3. Sentuhan Pertama

Share

3. Sentuhan Pertama

Author: Keke Chris
last update Last Updated: 2025-09-30 10:16:20

Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.

Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih.

"Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.

Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"

Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”

"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan."

"Baik, Tuan."

"Suruh dia datang ke sini. Sekarang," perintah Bhaga, sebelum kembali fokus pada dokumennya.

Maryam membungkuk sedikit dan segera meninggalkan ruangan. Beberapa menit kemudian, pintu diketuk pelan. Binar masuk dengan langkah gamang, seolah masuk ke ruang interogasi.

"T-tuan memanggil saya?" suaranya hampir seperti mencicit.

Bhaga mengangkat matanya. Di rambut hitam Binar, terselip sebuah bunga kertas kecil berwarna kuning yang jelas buatan Ardan.

"Ardan memberimu hadiah?" ucap Bhaga tiba-tiba, suaranya datar tetapi tanpa amarah.

Binar terkejut, tangannya refleks meraba rambutnya. Saat menemukan bunga kertas itu, wajahnya memerah.

"Oh! Maaf, Tuan. Tadi... tadi tuan muda bilang ini cocok sebagai hiasan mahkota untuk putri dan saya lupa lepas," jawabnya, buru-buru melepas bunga kertas itu dan memegangnya dengan canggung.

Bhaga hanya mendengus pelan. Dia menegakkan kepala, menatapnya sekilas sebelum menggeser sebuah map coklat tipis ke arahnya.

"Baca ini. Dokumen tentang Ardan. Semua alergi, makanan favorit, jadwal hariannya. Mulai dari bangun tidur, mandi, makan, waktu bermain, belajar, hingga tidur malam. Pelajari. Dan patuhi."

Binar mengambil map itu dengan hati-hati. Dia membuka dan matanya segera menyusuri jadwal yang tertata rapi. Waktunya sangat ketat. Waktu bermain bahkan hanya disisihkan satu jam di sore hari.

Tanpa sengaja, protes keluar dari mulutnya, "Waktu bermainnya... sedikit sekali, Tuan. Dan... tidak ada jadwal khusus untuk bersama... orang tuanya?"

Bhaga mengangkat kepala dengan cepat, matanya menyipit. Suasana ruangan langsung berubah menjadi tegang. "Apa maksudmu?" suaranya rendah, penuh peringatan.

“Eh.” Bibir Binar mengatup rapat.

Binar langsung menyadari kesalahannya. Tapi kata-kata itu sudah terlanjur keluar. Daripada mundur, dengan keberanian yang didorong oleh kepedulian pada Ardan, dia mencoba meluruskan.

"Maaf, Tuan. Saya hanya...” Binar terdiam sejenak, memikirkan kata yang pas. “Bukan cuma anak-anak, orang dewasa juga perlu waktu bersama keluarga dan orang yang disayang. Saya rasa Tuan muda Ardan butuh menghabiskan waktu bersama Tuan Bhaga dan Nyonya Celia. Dia sering terlihat murung."

Bhaga terdiam. Amarah di matanya sedikit mereda, digantikan oleh raut kelelahan. Sebuah kenyataan yang selama ini disembunyikan. Namun dagunya terangkat lagi, dan matanya kembali terlihat mengintimidasi Binar.

“Dia punya segalanya. Mainan, guru terbaik, dan sekarang... pengasuh,” jawabnya datar, “lakukan saja sesuai dengan pekerjaan kamu. Kamu dibayar untuk jadi pengasuh. Jangan lewati batas.”

Kalimat itu seperti tamparan. Binar menunduk, pipinya memanas karena malu dan sedikit tersinggung diingatkan akan posisinya yang rendah. Dia hanya pelayan. Bukan psikolog keluarga. Apalagi orang yang akan didengar pendapatnya.

Ingatlah, Binar. Kamu bukan siapa-siapa.

"Baik, Tuan," jawabnya lirih, memeluk map itu erat-erat. "Maaf atas kelancangan saya."

"Keluar."

Binar membalikkan badan dan segera meninggalkan ruangan, meninggalkan Bhaga yang kembali menatap dokumennya, tapi kali ini, pikirannya jelas tidak ada pada tulisan di depan matanya.

**

Malam itu, setelah memandikan Ardan, Binar membacakan tiga buku cerita, dan menyanyikan lagu pengantar tidur. Binar terjaga di samping ranjang bocah itu.

Dia berniat hanya akan menunggu sampai Ardan tertidur pulas, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Tetapi kelelahan setelah hari yang begitu emosional akhirnya menyeretnya ke dalam mimpi.

Kepala Binar tertidur di atas bantal sofa yang empuk di lantai, napasnya teratur karena tidur yang dalam.

Pintu kamar terbuka perlahan.

Bhaga berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus polos dan celana training, penampilannya yang paling santai. Wajahnya yang biasanya tegang kini terlihat lelah dan polos.

Dia mendekati ranjang putranya, menatap Ardan yang sedang tertidur dengan pulas, sambil memeluk boneka robot. Senyum kecil menghias bibir Bhaga, sebuah ekspresi langka yang hanya muncul ketika tidak ada yang melihat.

Lalu, matanya beralih ke Binar yang tertidur di lantai. Gadis itu terlihat begitu muda dan damai dalam tidurnya.

Beberapa helai rambutnya menutupi sebagian wajahnya.

Bhaga terdiam sejenak, seolah berdebat dengan dirinya sendiri. Perlahan, dia berjongkok di sebelah Binar. Tangannya yang besar terulur ke arah Binar.

Jari-jarinya yang panjang dan terawat bergerak pelan menyibak helai rambut yang menutupi wajah Binar, dengan sentuhan yang sangat halus.

Sentuhannya membuat Binar menggeliat pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Ranjang Majikanku   77. Enak Sekali, Sayang

    “Ahhh!”Desahan dan rintihan sepasang manusia itu bersahut-sahutan, memenuhi ruangan sepi itu, sementara mereka berpacu dalam ritme yang memanas.Bhaga tenggelam dalam kenikmatan, tangannya tidak sabar menuntun pinggul Binar bergerak naik-turun. Sementara Bhaga sendiri tidak tahan, ikut menggerakkan pinggulnya untuk mempertemukan penyatuan mereka.Keduanya sampai ke puncak kenikmatan bersamaan, tubuh bergetar sebelum saling mendekap satu sama lain.Bhaga terengah-engah, sama halnya dengan Binar.“Mmm… enak sekali, Sayang…” desah Bhaga, napasnya menyapu telinga Binar dan membuatnya merinding.Tak butuh waktu lama sebelum tenaga Bhaga kembali. Dia berdiri, sambil menggendong Binar yang lemas. Kerlingan menggoda di matanya masih ada.“Mau apa… Bhaga?” tanya Binar, sedikit linglung karena belum reda dari klimaksnya.Bhaga tersenyum tipis. “Kita pindah ke kamar.”** Tidur Bhaga terusik oleh dering ponsel yang tidak berhenti. Saat Bhaga bangun, Binar masih pulas di sisinya. Wajar, Bhaga m

  • Di Ranjang Majikanku   76. Melepaskan Beban

    “Kamu kelihatan lelah sekali.” “Sedikit,” jawab Bhaga mengecupi bahu Binar. Binar tahu, Bhaga sedang meminta jatahnya, minta dipuaskan—hal yang selalu dilakukannya saat sedang stres, tertekan, dan banyak pikiran.“Sini … aku pijat,” ajak Binar.Tanpa banyak bicara, Binar membimbing Bhaga untuk berbaring tengkurap di sofa. Tangannya mulai memijat pundak dan punggung Bhaga yang tegang.“Hmm… enak…” Desahan lega keluar dari bibir Bhaga.Sentuhan Binar seperti obat, selalu seperti itu. Wanitanya selalu bisa menempatkan diri dan membuatnya selalu merasa dihargai lebih. Perlahan, tubuhnya melepaskan ketegangan yang ada. Binar juga merunduk, mengecup belakang bahu dan punggung Bhaga perlahan. Niatnya adalah untuk menunjukkan kasih sayangnya, tapi tubuh Bhaga merespons dengan cara yang lain.Bhaga menggeram. Napasnya mulai memburu, dia membalikkan badan dan segera menarik Binar hingga wanita itu terkurap di atas tubuhnya. Hidung Bhaga menyundul leher dan bahu Binar, ingin memuaskan diri de

  • Di Ranjang Majikanku   75. Aku Butuh Kamu

    Ardan masih gemetar ketakutan di pelukan Nurma. Pelukan itu terasa dingin, karena Nurma sendiri masih terguncang oleh konfrontasi dengan Bhaga. "Nggak papa, Sayang, Papamu cuma lagi… banyak pikiran," bisik Nurma, menepuk punggung kecil cucunya. "Ardan belum makan siang. Makan dulu ya, Sayang."Ardan masih bingung dan murung, tetapi mengangguk. Setelah melihat kemarahan papanya, Ardan selalu takut untuk membantah.Nurma memanggilkan pengasuh Ardan yang mengajak Ardan ke ruang makan untuk menyuapinya.Djati berjalan mondar-mandir dengan wajah muram. Sementara Nurma memijiti kepalanya yang terasa sakit."Ini tidak benar, Nurma. Apa yang kau lakukan? Mengapa?" Dia menghela napas berat. “Jika perlu uang, kau tinggal bicara padaku. Kenapa pakai uang perusahaan?!”"Kan aku sudah bilang, aku tidak melakukan apapun!" desis Nurma. “Kenapa kau tidak percaya padaku? Buat apa juga aku melakukan hal gila seperti itu?!”Djati berdecak. “Lalu bagaimana ada tanda tangan atas namamu di surat itu? Kau

  • Di Ranjang Majikanku   74. Saling Menjatuhkan

    Bhaga melangkah dengan cepat menuju ruangannya, menampikkan pandangan semua orang terhadapnya. Beberapa sapaan hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Dia benar-benar dalam suasana hati yang buruk. Di belakangnya, Rudi berjalan sama cepatnya dalam diam. Dia tahu, atasannya akan meledakkan amarahnya nanti ketika masuk ke dalam ruangan. Benar saja. Bhaga langsung menggebrak meja begitu sampai di ruangannya. Dia tak duduk, hanya berdiri sambil menunduk mencoba meredakan amarahnya. Kepalanya mendongak. “Apa yang terjadi, Rudi?” Rudi sambil memegang tabletnya mendekat. Dia membaliknya dan memperlihatkan pada Bhaga sebuah portal berita. “Ada yang menggugah foto terbaru, Pak.” Bhaga memperhatikan foto itu, dahinya mengernyit.Foto ini diambil rumah utama. Artinya, yang mengambil adalah orang dalam dan bisa jadi bukan foto terbaru. Bhaga mendongak. “Periksa semua CCTV dan semua orang... tanpa terkecuali.” “Baik, Pak.” Setelahnya, Rudi berpamitan pergi dan meminta orang suruhannya untuk

  • Di Ranjang Majikanku   73. Serangan Cinta di Pagi Hari

    “Tidak!” jerit Binar dan bangun terduduk dengan napas tersengal. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin dan kegelisahan masih memeluknya erat. Bhaga yang terkejut akan jeritan itu turut terbangun. “ Kenapa, Sayang?” Binar masih mengatur napasnya. “ Aku mimpi buruk. Celia dan Kevin kembali menyiksaku.” Tak menunggu diminta, Bhaga langsung memeluk Binar sambil melirik ke arah jam dan mengambil segelas air putih dari atas nakas. “Ini, minumlah dulu dan tidur lagi. Ini masih jam empat pagi.” Pelukan mereka terlepas dan Binar meneguk dengan perlahan dan kembali merebahkan diri. “Tidurlah. Aku akan menunggumu terlelap.” Binar memejamkan mata dan tak perlu waktu lama untuk napasnya kembali teratur. Bhaga mengelus rambut Binar dan mengecup keningnya. Baru saja dia berencana tidur, sebuah notifikasi pesan masuk datang dari nomor Djati. [Papi sudah tak bisa menahan para pemegang saham lebih lama lagi. Cepat temukan pelakunya dan hentikan semuanya, atau kita hancur.] Kantuk Bhaga langsung hil

  • Di Ranjang Majikanku   72. Puaskan Aku, Sayang

    Napas Bhaga terhenti sesaat, ketika dia menunduk dan melihat Binar mengecup ujung miliknya dan kemudian perlahan mengulum kejantanannya.“Ugh, mmm… Binar…” desah Bhaga, tangannya reflek mencengkram rambut Binar dengan tertahan.Seketika, miliknya langsung tegak dan berdenyut keras. Terlebih saat lidah Binar berputar di sana dengan sensual. Menyapu miliknya perlahan.Binar mendongak, matanya menatap wajah Bhaga, memperhatikan ekspresi kenikmatan pria itu, uap desahan panas yang keluar dari bibirnya.“Ahh, aku tak tahan lagi, Binar,” erang Bhaga, badannya menegang. Dia segera menarik pundak Binar, mendorongnya pelan hingga membentur dinding. Binar memekik pelan, terkejut saat Bhaga berlutut di bawahnya, sambil menaruh kaki Binar di pundaknya. Binar terpojok, dengan area sensitifnya sempurna terpampang di depan wajah Bhaga.Malu dan panik, wajah Binar memerah. “B-Bhaga, itu—”“Biar aku memuaskanmu lebih dulu,” ucap Bhaga. Lidah dan bibir pria itu sudah tak perlu lagi diragukan, dia me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status