LOGIN“Bahkan kalaupun Selene adalah orang yang menjebakku, Papi tetap akan menikahkanku dengan dia?” tanya Bhaga lewat gigi yang beradu.Djati membuang muka dan berjalan pergi.“Keluarga Selene punya pengaruh di dunia bisnis. Pernikahan dengannya akan membantu perusahaan ke arah yang lebih baik.”Lalu suara pintu ruangan Bhaga tertutup, sedangkan pria itu berdiri di sana dengan bahu yang merosot.**Mobil Bhaga berhenti di depan rumah Binar yang sepi. Rumah yang dulunya dia beli, di sebuah daerah suburban sederhana, sebagai tempat di mana dia dan Binar bisa tinggal berdua.Tak ada siapa-siapa di sana, hanya penjaga keamanan saja yang terus berjaga di depan.Dengan langkah berat, Bhaga turun. Membuka pintu dengan perlahan, dan aroma yang familiar langsung menyeruak. Binar sangat menyukai aroma pengharum ruangan ini hingga jarang sekali berganti dengan varian lain.Sepi.Tidak ada yang menyambutnya atau suara Binar yang suka bergumam sendiri saat sibuk di dapur.Bhaga tidak menyalakan lampu.
Entah sudah berapa kali Bhaga menghembuskan napas lelah sambil memijat pelipisnya. Dia tak bisa konsentrasi, fokusnya pecah, hingga dia meletakkan begitu saja dokumennya di meja.Tubuhnya lelah, pikirannya kalut, dan hatinya masih patah.Ketukan di pintu, membuyarkan lamunannya. “Masuk.”Pintu terbuka dan Selene masuk dengan senyum manis. Di tangannya ada paper bag dari restoran langganan Bhaga.“Aku tadi bertemu klien di restoran langgananmu, jadi aku berinisiatif membawakan, karena aku yakin kau akan melewatkan makan siangmu lagi.”Bhaga mengangkat pandangan dan menjawab dengan dingin. “Aku tidak lapar, Sel. Terima kasih.”“Minimal makan sedikit. Kamu terlihat lebih kurus sekarang.” Tangannya sudah sibuk menyajikan makanan di piring saji. “Ini… makanlah.”Tetapi, Bhaga tak menyentuhnya. Kejadian di hotel saat dia tak menyadarkan diri membuatnya menjaga jarak dari Selene.“Aku hanya butuh kopi.”Bhaga berdiri dan berjalan ke meja di sudut ruangan. Dia menuangkan sisa kopi yang sudah
Bhaga sedang memperhatikan presentasi di ruang rapat. Tubuhnya ada di sana, tapi pikirannya tidak.Dia tidak fokus mendengarkan apa yang sedang dijelaskan di depan, terlebih setelah melihat ada notifikasi masuk dari Ari.Di bawah meja, dia membuka foto tersebut dan rahangnya mengeras.“Apa-apaan ini?” tanyanya tanpa sadar dengan keras.Pria yang memberikan presentasi langsung tersentak. “Maaf, Pak Bhaga, ada apa?”Bhaga mengangkat kepala dengan dengusan keras. "Maaf, ada keadaan darurat yang harus saya tangani segera."Pria itu berdiri begitu tiba-tiba, membuat kursinya berdecit keras."Rudi," perintahnya pada asistennya yang duduk di samping, "lanjutkan meeting. Urusan apa pun, urus untukku."Sebelum siapa pun bisa protes, Bhaga sudah berjalan cepat keluar ruangan, meninggalkan para investor yang terkejut dan kebingungan.Langkahnya meninggalkan gedung seperti orang kesetanan. Dia menyetir sendiri, melaju dengan kecepatan gila menuju jalan tol yang mengarah ke desa.Setiap kilometer
Nurma melotot pada suaminya, napasnya tersengal karena marah. “Papi! Syarat apa itu? Hal itu justru memberi ruang untuk Bhaga tetap bersama perempuan rendahan itu.”Namun, Djati tidak menghiraukan istrinya. Matanya terus menatap pada Bhaga. “Ini keleluasaan terakhir dari ku, setelah ini tak ada kompromi lagi, Bhaga.”Kepalanya menoleh dan menatap ke depan. “Kau bisa mempertahankan posisimu di perusahaan, tapi nama keluarga kita tidak boleh lagi ternoda. Satu hal saja yang membuat saham kita turun karena kelakuanmu, maka hubungan kalian usai dan kau akan menikahi Selene.”Bhaga mengusap wajahnya kasar, dia tahu syarat ini sulit sekali, dengan keberadaan Selene yang terlindungi keluarganya, sedangkan hubungannya dengan Binar belum benar-benar stabil.Apa ini konsekuensi yang harus dia ambil demi mempertahankan hubungannya dengan Binar?“Kau siap, Bhaga?” tanya Djati lagi. “Bagaimana, kau tak siap, kan, kehilangan segalanya demi perempuan itu?”Nurma mendadak tampak cerah karena ucapan
Bhaga mengikuti Binar yang masuk ke kamar dengan langkah lunglai. Lagi-lagi, Binar merasa kecil diri. Merasa tak pantas dan ingin menyerah.Namun, sebelum itu terjadi. Bhaga memeluknya dari belakang dengan lembut. Langkah mereka terhenti. Binar menunduk, memperhatikan tangan Bhaga yang melingkar di perutnya. Lengan yang kuat dan selalu membuatnya nyaman.“Aku tidak akan bertunangan dengan Selene atau siapa pun. Percayalah padaku. Aku hanya akan menikah denganmu.”Tak ada jawaban. Binar sudah mendengar janji itu berulang kali, tapi Bhaga tak pernah menikahinya.Bhaga meletakkan dahinya ke pundak Binar. Dia menutup mata sejenak, frustrasi menyelimutinya. Selalu hal seperti ini yang menganggu hubungan mereka. Baru saja mereka merasakan kebahagiaan, kini seperti kembali ke titik awal lagi. Lalu apa yang harus dia lakukan?“Sayang…”Ponsel di sofa kembali berdering tak berhenti. “Sebentar ya.” Bhaga mengambil ponselnya dan kembali menghampiri Binar dan duduk di sebelahnya.“Apa lagi, Mi?”
Bhaga membuka mata, mengusap wajahnya dengan tangan. Dia masih sangat mengantuk, tapi sepertinya matahari sudah meninggi. Kepalanya menoleh dan sedikit bingung saat melihat tak ada Binar di sana.“Sayang…?”Dia nyaris panik, tapi mendengar suara gemericik air di kamar mandi membuatnya kembali berbaring dan bernapas lega. Sungguh, ditinggalkan oleh Binar begitu saja ditambah dengan persoalan Selene yang belum selesai, membuatnya semakin takut kehilangan Binar.Perlahan dia duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Dia kembali mengusap wajahnya kasar. Tubuhnya sungguh lelah.Kemarin dia menghabiskan hari dengan banyak rapat penting dan saat mendapat kabar tentang Binar, tak berpikir dua kali, dia langsung memutar mobilnya dan mengebut ke sini.Seolah lupa dengan semua beban itu begitu bertemu Binar, Bhaga yang dibutakan oleh rasa rindunya malah melepaskan hasratnya pada Binar, lagi dan lagi sepanjang malam.Tangannya mengulur ke nakas, hendak mengambil ponselnya. Namun, ponsel Binar b







