LOGINBangun. Kerjamu sudah selesai. Bukan di sini tempatmu tidur."
Suara berat dan tegas itu membangunkan Binar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, melihat siluet tinggi seorang pria yang berdiri di hadapannya, dan untuk sesaat, dia linglung.
Namun, setelah menyadari bahwa pria itu adalah Tuan Bhaga, Binar langsung duduk tegak, rasa tak enak hati dan merasa bersalah langsung menghinggapi.
"Ma-Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..."
Bhaga tidak menjawab. Dia hanya memandangnya sebentar sebelum berbalik dan meninggalkan kamar Ardan, memberi isyarat bahwa Binar harus mengikutinya.
Binar menegakkan tubuh dengan cepat, segera membenarkan bajunya yang kusut setelahnya, lalu mengikuti Bhaga keluar, menutup pintu kamar Ardan dengan hati-hati.
Di koridor yang temaram, suara rendah Bhaga terdengar jelas. “Kamu kelihatan lelah.”
Binar menggeleng cepat, "Ah, enggak, Tuan. Saya sudah biasa mengurus anak kecil. Di kampung, saya dulu biasa momong adik teman sampai anak tetangga."
Bhaga hanya mendengus pelan. Matanya tertuju pada tangan Binar yang masih menggenggam sesuatu. "Masih memegang mahkotanya?" tanyanya, nada datar tapi tidak menuduh.
Binar terkejut, melihat bunga kertas kuning yang masih ada di tangannya. Dia tersipu. "Tuan muda bilang ini jimat agar saya tidak mimpi buruk," katanya, hampir berbisik. Dia tersenyum.
Untuk sejenak, Bhaga terdiam, lalu mengeluarkan suara yang hampir seperti helaan napas. "Dia memang anak yang punya imajinasi tinggi."
Tiba-tiba, seperti menyadari dia terlalu banyak bicara, wajah Bhaga kembali datar. "Sekarang, buatkan saya kopi. Dan antarkan ke ruang kerja."
"Baik, Tuan," jawab Binar patuh. Dia menyelipkan bunga kertas itu dengan hati-hati ke saku roknya sebelum bergegas ke dapur.
Binar menyiapkan kopi hitam pekat seperti yang disukai Bhaga, persis seperti yang dia lihat saat Maryam menyiapkannya. Dengan nampan di tangan, dia berjalan menuju ruang kerja yang pintunya masih terbuka.
Bhaga sudah duduk kembali di belakang meja, matanya terpaku pada layar laptop. Suasana hening, hanya terdengar bunyi ketikan keyboard dan detak jam dinding.
Saat meletakkan nampan di meja, Binar memperhatikan gelas air putih yang dia bawa sore tadi masih penuh. Bhaga belum menyentuhnya. "Airnya... tidak diminum, Tuan?" tanyanya, khawatir ada yang salah.
Bhaga mengalihkan pandangannya dari layar. "Saya lebih butuh kafein daripada air saat ini," jawabnya pendek. Namun, setelah melihat ekspresi khawatir Binar, dengan enggan dia mengambil gelas itu dan meneguk beberapa teguk.
"Sudah tenang sekarang?" ujarnya, dengan nada yang hampir seperti menggoda, tetapi masih datar.
Binar tersipu, dia menunduk. "Maaf, Tuan."
Matanya lalu tertarik pada sebuah bingkai foto di dinding dekat rak buku. Foto keluarga Bhaga, Celia, dan Ardan yang diambil di studio. Posisinya agak miring, tidak sejajar dengan foto lainnya. Tangan Binar yang sudah terbiasa membereskan segala sesuatu tiba-tiba gatal untuk meluruskannya.
Bhaga menyadari kegelisahan itu. "Ada apa?" tanyanya tanpa mengangkat kepala.
Reflek, Binar menjawab, "Itu foto keluarga..." Dia langsung menutup mulutnya sendiri, mata membelalak karena ngeri. Dia ingat teguran Bhaga sebelumnya. Jangan melewati batas.
Bhaga mengangkat pandangannya dari laptop, menatapnya tajam, menunggu Binar menyelesaikan kalimatnya.
Dengan suara kecil, Binar memberanikan diri melanjutkan, "Agak miring, Tuan. Boleh saya benahi sedikit?"
Tak langsung menjawab, Bhaga menatapnya sebentar lalu mengangguk. "Boleh. Sambil kau ada di sana, bersihkan debu di rak dokumen itu. Lap dan penyedot debu ada di lemari kecil di sudut."
Binar mengangguk lega. Dia segera mengambil peralatan kebersihan dan mulai bekerja. Tangannya meluruskan foto itu dengan hati-hati sebelum membersihkan rak buku dengan khidmat. Dia bisa merasakan pandangan Bhaga sesekali mengawasinya, membuatnya semakin gugup.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara penyedot debu dan ketikan di laptop.
Suara Bhaga tiba-tiba memecah kesunyian. "Ambilkan map hijau tua yang ada di rak paling atas. Tertulis 'Proyek Dermaga'."
Binar memandang ke arah yang ditunjuk. Dia melongo. Rak itu sangat tinggi. Dia mengulurkan tangannya, berjinjit, tapi masih jauh dari cukup. Dia mencoba melompat-lompat kecil, jari-jarinya hampir menyentuh ujung map.
Tanpa disadari, setiap kali Binar melompat, rok seragamnya yang sederhana tersingkap sedikit, memperlihatkan paha mulus yang ramping dan kencang.
Tiba-tiba, ada kehangatan muncul tepat di belakangnya. Bhaga berdiri nyaris menempel di belakang punggung Binar, dan tingginya membuatnya dengan mudah meraih dokumen yang dimaksud.
Posisinya justru terlihat seperti Bhaga sedang mengukung Binar.
Bhaga menunduk, dekat dengan telinga Binar, dia berbisik, “Di sini.” Lalu dengan mudah mengambil map yang dimaksud. Saat melakukannya, tubuhnya sedikit menunduk.
Binar yang masih dalam posisi berjinjit, tanpa sengaja mendongak ke atas untuk melihatnya.
Bhaga pun menunduk ke bawah untuk memberikan map itu.
Dalam sekejap, wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. Hidung mereka hampir bersentuhan.
Binar bisa melihat setiap bulu mata yang menghiasi mata Bhaga yang gelap, bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat dan beraroma kopi.
Binar membeku, tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas. Bahkan sulit berkedip.
Di saat hening yang mendebarkan itu, melalui kain rok tipisnya, Binar bisa merasakan sesuatu yang keras dan menonjol menekan bagian belakang tubuhnya.
“Ahhh!”Desahan dan rintihan sepasang manusia itu bersahut-sahutan, memenuhi ruangan sepi itu, sementara mereka berpacu dalam ritme yang memanas.Bhaga tenggelam dalam kenikmatan, tangannya tidak sabar menuntun pinggul Binar bergerak naik-turun. Sementara Bhaga sendiri tidak tahan, ikut menggerakkan pinggulnya untuk mempertemukan penyatuan mereka.Keduanya sampai ke puncak kenikmatan bersamaan, tubuh bergetar sebelum saling mendekap satu sama lain.Bhaga terengah-engah, sama halnya dengan Binar.“Mmm… enak sekali, Sayang…” desah Bhaga, napasnya menyapu telinga Binar dan membuatnya merinding.Tak butuh waktu lama sebelum tenaga Bhaga kembali. Dia berdiri, sambil menggendong Binar yang lemas. Kerlingan menggoda di matanya masih ada.“Mau apa… Bhaga?” tanya Binar, sedikit linglung karena belum reda dari klimaksnya.Bhaga tersenyum tipis. “Kita pindah ke kamar.”** Tidur Bhaga terusik oleh dering ponsel yang tidak berhenti. Saat Bhaga bangun, Binar masih pulas di sisinya. Wajar, Bhaga m
“Kamu kelihatan lelah sekali.” “Sedikit,” jawab Bhaga mengecupi bahu Binar. Binar tahu, Bhaga sedang meminta jatahnya, minta dipuaskan—hal yang selalu dilakukannya saat sedang stres, tertekan, dan banyak pikiran.“Sini … aku pijat,” ajak Binar.Tanpa banyak bicara, Binar membimbing Bhaga untuk berbaring tengkurap di sofa. Tangannya mulai memijat pundak dan punggung Bhaga yang tegang.“Hmm… enak…” Desahan lega keluar dari bibir Bhaga.Sentuhan Binar seperti obat, selalu seperti itu. Wanitanya selalu bisa menempatkan diri dan membuatnya selalu merasa dihargai lebih. Perlahan, tubuhnya melepaskan ketegangan yang ada. Binar juga merunduk, mengecup belakang bahu dan punggung Bhaga perlahan. Niatnya adalah untuk menunjukkan kasih sayangnya, tapi tubuh Bhaga merespons dengan cara yang lain.Bhaga menggeram. Napasnya mulai memburu, dia membalikkan badan dan segera menarik Binar hingga wanita itu terkurap di atas tubuhnya. Hidung Bhaga menyundul leher dan bahu Binar, ingin memuaskan diri de
Ardan masih gemetar ketakutan di pelukan Nurma. Pelukan itu terasa dingin, karena Nurma sendiri masih terguncang oleh konfrontasi dengan Bhaga. "Nggak papa, Sayang, Papamu cuma lagi… banyak pikiran," bisik Nurma, menepuk punggung kecil cucunya. "Ardan belum makan siang. Makan dulu ya, Sayang."Ardan masih bingung dan murung, tetapi mengangguk. Setelah melihat kemarahan papanya, Ardan selalu takut untuk membantah.Nurma memanggilkan pengasuh Ardan yang mengajak Ardan ke ruang makan untuk menyuapinya.Djati berjalan mondar-mandir dengan wajah muram. Sementara Nurma memijiti kepalanya yang terasa sakit."Ini tidak benar, Nurma. Apa yang kau lakukan? Mengapa?" Dia menghela napas berat. “Jika perlu uang, kau tinggal bicara padaku. Kenapa pakai uang perusahaan?!”"Kan aku sudah bilang, aku tidak melakukan apapun!" desis Nurma. “Kenapa kau tidak percaya padaku? Buat apa juga aku melakukan hal gila seperti itu?!”Djati berdecak. “Lalu bagaimana ada tanda tangan atas namamu di surat itu? Kau
Bhaga melangkah dengan cepat menuju ruangannya, menampikkan pandangan semua orang terhadapnya. Beberapa sapaan hanya dijawabnya dengan anggukan kecil. Dia benar-benar dalam suasana hati yang buruk. Di belakangnya, Rudi berjalan sama cepatnya dalam diam. Dia tahu, atasannya akan meledakkan amarahnya nanti ketika masuk ke dalam ruangan. Benar saja. Bhaga langsung menggebrak meja begitu sampai di ruangannya. Dia tak duduk, hanya berdiri sambil menunduk mencoba meredakan amarahnya. Kepalanya mendongak. “Apa yang terjadi, Rudi?” Rudi sambil memegang tabletnya mendekat. Dia membaliknya dan memperlihatkan pada Bhaga sebuah portal berita. “Ada yang menggugah foto terbaru, Pak.” Bhaga memperhatikan foto itu, dahinya mengernyit.Foto ini diambil rumah utama. Artinya, yang mengambil adalah orang dalam dan bisa jadi bukan foto terbaru. Bhaga mendongak. “Periksa semua CCTV dan semua orang... tanpa terkecuali.” “Baik, Pak.” Setelahnya, Rudi berpamitan pergi dan meminta orang suruhannya untuk
“Tidak!” jerit Binar dan bangun terduduk dengan napas tersengal. Tubuhnya dibanjiri keringat dingin dan kegelisahan masih memeluknya erat. Bhaga yang terkejut akan jeritan itu turut terbangun. “ Kenapa, Sayang?” Binar masih mengatur napasnya. “ Aku mimpi buruk. Celia dan Kevin kembali menyiksaku.” Tak menunggu diminta, Bhaga langsung memeluk Binar sambil melirik ke arah jam dan mengambil segelas air putih dari atas nakas. “Ini, minumlah dulu dan tidur lagi. Ini masih jam empat pagi.” Pelukan mereka terlepas dan Binar meneguk dengan perlahan dan kembali merebahkan diri. “Tidurlah. Aku akan menunggumu terlelap.” Binar memejamkan mata dan tak perlu waktu lama untuk napasnya kembali teratur. Bhaga mengelus rambut Binar dan mengecup keningnya. Baru saja dia berencana tidur, sebuah notifikasi pesan masuk datang dari nomor Djati. [Papi sudah tak bisa menahan para pemegang saham lebih lama lagi. Cepat temukan pelakunya dan hentikan semuanya, atau kita hancur.] Kantuk Bhaga langsung hil
Napas Bhaga terhenti sesaat, ketika dia menunduk dan melihat Binar mengecup ujung miliknya dan kemudian perlahan mengulum kejantanannya.“Ugh, mmm… Binar…” desah Bhaga, tangannya reflek mencengkram rambut Binar dengan tertahan.Seketika, miliknya langsung tegak dan berdenyut keras. Terlebih saat lidah Binar berputar di sana dengan sensual. Menyapu miliknya perlahan.Binar mendongak, matanya menatap wajah Bhaga, memperhatikan ekspresi kenikmatan pria itu, uap desahan panas yang keluar dari bibirnya.“Ahh, aku tak tahan lagi, Binar,” erang Bhaga, badannya menegang. Dia segera menarik pundak Binar, mendorongnya pelan hingga membentur dinding. Binar memekik pelan, terkejut saat Bhaga berlutut di bawahnya, sambil menaruh kaki Binar di pundaknya. Binar terpojok, dengan area sensitifnya sempurna terpampang di depan wajah Bhaga.Malu dan panik, wajah Binar memerah. “B-Bhaga, itu—”“Biar aku memuaskanmu lebih dulu,” ucap Bhaga. Lidah dan bibir pria itu sudah tak perlu lagi diragukan, dia me







