Home / Romansa / Di Ranjang Majikanku / 8. Sudah Tak Tahan

Share

8. Sudah Tak Tahan

Author: Keke Chris
last update Huling Na-update: 2025-10-01 09:15:34

“Sudah lama kita nggak tidur bareng, kan? Apa kamu nggak kangen?” suara menggoda Celia bergema di koridor yang sepi.

“Tidurlah. Ini sudah larut.” Suara Bhaga datar dan begitu lelah.

Tangan Celia mengelus rahang Bhaga. Matanya mengerling penuh goda. “Tapi malam ini dingin, Bhaga. Masa iya kamu mau tidur aja?”

Bhaga menghela napas. Tangannya berusaha melepaskan tangan istrinya itu. “Celia—”

“Begini, aku akan membuat kamu puas malam ini, dan besok kamu buka blokiran kartuku, bagaimana?” Celia mengerjap dengan ekspresi semanis mungkin.

Bhaga menghela napas. “Kalau rencana kamu mau membuatku berubah pikiran, sebaiknya kamu tidur saja.”

Celia tak menyerah. Dia tak mau menunggu lagi untuk menyatukan bibir mereka, memberikan lumatan pelan dan kenikmatan. Matanya terpejam dan semakin merapatkan tubuhnya.

Bhaga terperanjat, tangannya kaku di samping tubuhnya, matanya terbelalak, dan bibirnya hanya diam tak memberikan balasan.

Karena kesal, Celia melepaskan bibir Bhaga dengan kasar. Melepaskan pelukannya dan memicing tajam.

“Kenapa? Kenapa kau diam saja? Apa aku tidak menarik?” dia mengatur nafasnya. “Ah, aku tahu.” Dia membasahi bibirnya. “Ini pasti gara-gara pembantu kecil itu.”

Wajah Bhaga mengeras mendengar tuduhannya. “Apa maksud kamu? Jangan bicara sembarangan.”

“Kalau begitu buktikan!” Pekik Celia. Binar mengintip dari balik lemari, Celia menarik lengan Bhaga. “Ayo ke kamar. Biar kubuktikan kalau istrimu ini masih sangat memuaskan di atas ranjang!”

“Celia, cukup.”

Tapi Celia tidak mendengarkan. Binar mendengar langkah tertatih-tatih, decakan kesal Celia, dan suara pintu kamar utama terbuka lalu tertutup dengan keras.

Binar tersentak. Bisa-bisanya dia diam-diam mengintip majikannya lagi? Dia merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Binar buru-buru pergi sebelum mendengar suara-suara yang tidak ingin dia dengar.

**

Suasana meja makan saat sarapan sangat muram. Celia terlihat sangat kesal, matanya memerah dan sedikit membengkak. Sedangkan Bhaga makan dengan tenang. Wajahnya datar, seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.

Tiba-tiba, Celia membanting sendoknya. “Kamu, pembantu!”

Dengan tergopoh-gopoh Binar menghampiri. “Saya, Nyonya.”

“Kopinya terlalu pahit! Kau tidak bisa melakukan hal yang benar, ya?!”

Binar terkejut. “Tapi bukan saya yang buat, Nyonya.”

“Jawab terus! Bela diri pula.”

“Maaf, Nyonya, akan saya buatkan lagi.”

Wajah Celia sedikit pias, tapi untuk menutupi rasa malunya, dia tetap teriak.

“Sudah! Tidak usah! Dasar tidak becus!” hardik Celia, lalu menatap Bhaga yang masih diam. “Kau lihat? Pembantu yang kau pilih juga tidak becus!”

Bhaga mengangkat wajah dengan dingin. “Cukup, Celia.”

“Cukup? Apa yang cukup? Hubungan kita yang sudah hancur ini?” Celia berdiri, dengan suara kursi terhentak keras.

“Duduk, Celia, selesaikan sarapanmu,” tegas Bhaga dengan suara penuh otoriternya, matanya menatap tajam ke arah Celia.

“Bajingan! Kamu senang ya, mempermalukan istrimu seperti ini?” cerca Celia. “Aku pergi!”

Celia menggeser kursi dengan kasar, hingga deritnya semakin membuat Ardan yang kaget mulai menangis.

“Mau kemana?” Bhaga segera menghentikan langkah Celia, menarik tangannya. Tapi Celia menepisnya kasar.

“Kemana pun terserah aku! Tidak usah sok peduli, kamu juga masih memblokir kartu-kartuku!” bentaknya. Tak menoleh lagi, Celia gegas keluar.

Binar dengan sigap mengangkat Ardan dan membawanya keluar. Tak butuh waktu lama, dia sudah berhasil menidurkan Ardan yang kelelahan menangis di kamarnya.

Tangannya mengelus rambut Ardan, mengecup keningnya penuh sayang, dan memperhatikan wajah polos itu sesaat.

“Kuat ya, Sayang. Aku yakin, kelak kamu akan mendapatkan kasih sayang yang sempurna. Aku doakan itu.”

Begitu keluar kamar, dia berhenti sebentar, memperhatikan punggung Bhaga yang sedang berdiri di teras. Menatap jauh keluar.

Dia melangkah pelan, menghampiri.

“Ardan sudah tidur, Tuan.” Lapor Binar lembut.

Bhaga menoleh. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Terima kasih, Binar. Kau sangat pintar mengurusnya. Tidak seperti... ibunya.”

Bhaga membasahi tenggorokannya dengan susah payah, tapi suaranya masih tercekat. “Andai perjodohan itu tak pernah terjadi.” Bhaga menghela napas kasar. “Bahkan saya tak bisa mencintainya sampai saat ini.”

Binar terdiam. Ini pertama kalinya Bhaga mencurahkan isi hatinya seperti ini. Sebagai majikannya, Bhaga selalu terlihat lebih membatasi diri, terlebih lagi dengan para pembantu.

“Jangan berkata seperti itu, Tuan. Setiap ibu punya caranya sendiri,” ucap Binar lembut.

“Tidak. Celia sama sekali tidak berusaha untuk menjadi ibu yang baik,” gumam Bhaga. Lalu, dia menarik napas dalam. “Kamu pasti dengar apa yang terjadi semalam sampai dia marah-marah pagi ini?”

Binar menunduk, malu ketahuan. Semalam, dia mendengar Celia yang marah-marah keluar dari kamar utama, karena tidak berhasil membuat Bhaga bereaksi dengan sentuhannya.

“S-saya... tidak sengaja, Tuan. Saya bersembunyi—”

“Di depan dia,” pungkas Bhaga, “Saya seperti mati rasa. Tidak ada perasaan yang tersisa.”

“Maaf, Tuan. Saya tidak ber—”

“Binar.” Bhaga melangkah lebih dekat, jarak antara mereka hampir tidak ada. “Tapi, anehnya, waktu bersama kamu seperti ini…”

Binar menahan napas. Bhaga mendekatkan wajahnya. Tangan kekar Bhaga menarik pergelangan tangan kecil Binar, lalu menuntunnya untuk menyentuh dadanya, menelusuri badan atletis yang tersembunyi di balik kemeja rapi.

Dituntunnya tangan Binar itu turun, ke perut, dan ke bawah lagi, hingga menyentuh milik Bhaga yang sudah mengeras di antara kedua pahanya.

“T-Tuan …” Binar terkesiap, pipinya memerah.

Sebelum Binar menyadarinya, tubuhnya sudah ditarik ke dalam pelukan Bhaga. Pelukan itu erat, hangat. Di dadanya, Binar bisa merasakan jantung Bhaga juga berdebar kencang.

“... kamu bisa merasakannya sendiri, bukan?”

Wajah Binar merah padam. Dia jelas bisa merasakan sesuatu yang keras dan tegang dari tubuh Bhaga menekan pahanya.

“Jangan banyak bergerak. Saya sudah tak tahan lagi.”

Binar membeku. Tubuhnya lemas. Rasanya salah, tapi tubuhnya berkhianat. Darahnya berdesir hebat dan dia penasaran.

Bhaga membenamkan wajahnya di leher Binar, menghidu aroma yang membuat dirinya bergejolak hebat, lalu berbisik dengan suara serak dan penuh gairah yang tertahan.

“Dia hanya mau dilayani olehmu.” Pria itu mengecup pelan tengkuk Binar. “Bisa kamu layani saya sekarang?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Di Ranjang Majikanku   42. Pagi Di Kos Binar

    Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah jendela kayu yang lapuk, menerobos masuk ke dalam kamar kos yang sempit dan pengap. Sinar itu menyorot tempat tidur, menari-nari di atas dua tubuh yang terlelap di atas kasur tua yang ambles di tengah. Binar terbangun lebih dulu. Matanya perlahan terbuka, menatap langit-langit kamar yang bernoda kecokelatan. Lalu, pandangannya turun, menatap pria di sampingnya. Binar tersenyum pahit.“Bagaimana mungkin aku dengan lancang menyukaimu.” Telunjuknya menyusuri wajah Bhaga perlahan, berusaha agar tak membangunkannya. “Lihatlah, betapa tampannya dirimu dan apalah aku ini.” Dia menyangga kepalanya dengan tangan dan masih terus mengagumi Bhaga. Mantan majikan tersayang, lalu apa hubungan kita sekarang? benak Binar terus bertanya. Bayangan kebersamaan mereka berputar di kepalanya, dan bagaimana dia sudah menyerah, berpikir mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi takdir memang selalu bermain-main dengannya. Bhaga tidur dengan wajah yang tak lagi tega

  • Di Ranjang Majikanku   41. Rencana Celia

    Brak! Pintu kamar hotel 1204 terbanting terbuka. Celia masuk dengan napas tersengal-sengal, wajahnya merah dan berkeringat, rambutnya sedikit acak-acakan. Di tangannya, dia menggenggam ponsel yang layarnya sudah retak dan gelap. "Kevin, aku dapat buktinya!" serunya, suara masih bergetar karena campuran amarah dan adrenalin. Kevin yang sedang bersandar di balkon, langsung mendekat. "Bukti apa? Apa yang terjadi?" "Dia... Bhaga. Aku menangkap basah dia dengan jalang itu, Binar, si pembantu sialan! Mereka main dalam mobil, di parkiran belakang!"Celia mencoba menyalakan ponselnya dengan tangan gemetar, tapi hanya logo yang muncul sebentar sebelum mati lagi. "Sial! Aku punya fotonya di sini, tapi... tapi..." "Tenang, Sayang." Kevin mencoba menenangkannya, dia mengelus pelan kedua bahunya. "Ceritakan dari awal. Bagaimana kamu bisa memfoto mereka?" "Karena... karena aku melihat mobilnya di parkiran gelap! Aku penasaran, lalu kutemukan mereka di dalam. Dengan cepat, aku langsung ambil

  • Di Ranjang Majikanku   40. Kita Belum Selesai

    Kilatan flash dari ponsel Celia menyambar bagai kilat di kegelapan, membekukan momen memalukan antara Bhaga dan Binar di dalam mobil. Celia tersenyum puas. Bhaga mendesis kesal. Matanya menyipit karena silau, sebelum amarah yang membara meledak. “Celia!” Dengan gerakan kasar dia menarik celananya dan melompat keluar dari mobil, mendekat dengan cepat ke arah Celia dan meraih ponsel yang masih terkepal di tangan Celia. Di dalam mobil, Binar memekik kecil, dia kaget melihat kemarahan Bhaga. Dengan cepat dia merapikan pakaiannya yang berantakan untuk menutupi tubuhnya yang masih terbuka. Rasa malu dan panik membuatnya sedikit gemetar. “Berikan itu padaku.” Bhaga geram, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Celia. “Tidak akan!” teriak Celia, berusaha melepaskan diri. “Ini bukti perselingkuhanmu!” Bhaga dengan cekatan berhasil merebut ponsel itu dengan mudah dan tanpa pikir panjang, dengan seluruh kekuatan juga rasa frustrasi, dia membantingnya ke aspal. Brak.Ponselnya pecah,

  • Di Ranjang Majikanku   39. Melepas Kerinduan

    Kondisi di dalam mobil sudah berada di ketegangan yang berbeda. Udaranya terasa panas meski pendingin masih menyala kencang. Kini keduanya mulai bernapas berat karena hasrat yang lama tertahan. “Ah… ah…”Desahan Binar terdengar di ruang gelap dan sempit itu. Pakaiannya sudah berantakan, kancing baju terlepas dan celana melorot. Sementara jari terampil Bhaga sudah memasuki dirinya dan mengelus bagian dalam hingga Binar gemetar dan menegang.Ada senyum samar pada bibir Bhaga. Dia merindukan ini, wajah Binar, ekspresinya yang penuh kenikmatan, deru napas dan desahannya, cara tubuhnya berdenyut dan merespons sentuhannya.“A-a-Tuan!” rintih Binar, badannya menegang saat mencapai puncak. “Ah!”Terdengar bunyi samar air yang merembes saat Bhaga melepaskan jarinya dari bagian inti Binar. Permukaan kulitnya mengkilat basah di bawah cahaya temaram.“Gadis pintar,” bisik Bhaga, mengecup lembut bibir Binar yang masih terengah-engah.Bhaga tidak melepaskan Binar dari pelukannya. Satu tangan terus

  • Di Ranjang Majikanku   38. Aku Membutuhkanmu

    Suara piring beradu terdengar nyaring, bercampur dengan suara air mengalir dan bentakan dari kepala dapur. “Cepat, jangan melamun! Piringnya menumpuk di sana sini. Cuci yang bersih, jangan malas.” Udara di dalam dapur terasa panas, lembab, dan penuh dengan desisan minyak. Binar berdiri berjam-jam di depan wastafel besar, tangannya terendam air sabun yang sudah berubah keruh. Tumpukan piring, gelas, dan peralatan makan kotor seakan tak ada habisnya. "Cepat! Tamu sudah menunggu, piring bersihnya mana?!" bentak kepala dapur yang berkumis tebal pada seorang pelayan muda yang hampir menangis. Binar menghela napas lelah. Setelah pergi dari rumah Bhaga dengan hati remuk, dia harus segera mencari pekerjaan. Sebuah iklan lowongan di media sosial untuk hotel bintang lima ini seolah jadi jawaban. Tanpa banyak pilihan, dia melamar dan langsung diterima sebagai pencuci piring untuk shift malam. Hari ini adalah hari pertamanya, dan kebetulan hotel sedang mengadakan acara besar untuk tamu-tamu

  • Di Ranjang Majikanku   37. Tunggu Hukuman Dariku

    Kamar tidur mewah itu disinari lampu temaram. Celia berbaring santai di atas sprei sutra, mengenakan gaun malam dari satin berwarna merah marun yang mengikuti lekuk tubuhnya dan memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda. Bahunya terbuka sedikit dan rambutnya bergulung di bantal seperti sutra hitam. Senyum genit merekah di bibirnya saat layar ponsel menampilkan wajah Kevin. “Jadi kamu enggak kangen sama aku?” suara Kevin terdengar pelan tepi nakal."Kangen, dong," bisik Celia menggoda, sambil sengaja mengatur posisi agar kamera depan ponsel menangkap lebih banyak dari belahan dadanya.Mata Kevin menikmati pemandangan itu sambil menyeringai. “Andai kamu di sini. Aku ingin membelaimu.” “Aku juga kangen sama kamu.” Celia menggigit bibir bawahnya dengan sensual. “Kangen sentuhan kamu.” Dia menghela napas. “Tapi kamu tahu sendiri, aku terjebak di rumah neraka ini.”Kevin tertawa kecil di seberang sana. “Rumah neraka, tapi kamu masih bisa tampil secantik ini,”Celia tersenyum kecil. Tan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status