Karena menghabiskan waktu sampai satu jam lebih untuk beristirahat, aku pun terpaksa harus lembur kerja hari ini. Seperti biasa, aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada ibuku kalau akan pulang sedikit malam. Untung saja Kak Sugeng membantu sebagian pekerjaanku, sehingga aku hanya perlu menyelesaikan laporan harian dan bulanan. Hari ini atasanku tidak masuk kerja. Kalau tidak, aku pasti sudah mendapatkan masalah. Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin lain kali aku harus menolak ajakan Kak Panggih ke kosnya dalam waktu dekat. Bekas percintaan tadi siang masih jelas terasa. Kewanitaanku terasa perih. Baru kali ini aku merasa benar-benar berdebar hanya dengan memikirkan hal yang telah terjadi. Di saat aku sedang sibuk menginput data pada komputer, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu, aku pun menoleh dan mendapati Kak Panggih berdiri di hadapanku dengan senyuman lebar.“Kerjaan Kak Panggih sudah selesai?” tanyaku sambil tersenyum malu-malu. Mengingat kejadian t
Aku baru saja selesai mandi dan sedang berpakaian. Tindakan nekat tadi masih terbayang olehku. Untungnya saja Kak Panggih menyelesaikannya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin akan diketahui oleh pegawai lainnya. Aku memegangi pipiku yang terasa panas. Baru kali ini aku melakukan hal yang bisa dibilang cukup berani. Jam sepuluh malam aku baru sampai di rumah, lalu bergegas mandi. Untung saja orangtuaku sudah tidur. Karena sejak awal kedatanganku, pintu kamar tertutup rapat. Kecuali kamar Maha yang setengah terbuka. Biasanya jam segini adikku masih disibukkan dengan tugas sekolahnya. Tadi aku sempat mendengar suaranya samar-samar. Namun, aku buru-buru memasuki kamarku untuk bergegas mandi. Aku terpaku memandang pantulan tubuhku pada cermin. Masih terbayang jelas pengalaman pertama yang kurasakan. Bagaimana Kak Panggih menyusuri tiap lekuk tubuhku. Memberikan sentuhan yang membuatku terlena dan terasa sedikit menyakitkan. Bahkan, jantungku berdebar kencang hanya dengan membayangkan ke
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sama seperti hal yang telah kulewati. Bisa dibilang setiap hari aku bertemu dengan Kak Panggih dan membicarakan banyak hal. Mengenai pekerjaan di kantor, atau perihal hubungan kami. Kak Panggih menjelaskan kalau orangtuanya ingin berbicara denganku minggu depan. Tentu saja mendengar hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus khawatir. Aku tidak tahu tanggapan orangtuanya mengenai diriku. Apakah akan menyukaiku atau tidak? Yang pasti Kak Panggih sudah berusaha untuk memperjuangkan hubungan kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Dwiyan. Sejak pertemuan terakhir, ia memblokir semua media sosial milikku. Begitu juga nomor ponselku. Sejujurnya aku merasa sedikit bersalah. Karena aku yang memutuskan secara sepihak sebelumnya. Namun, kalau dipikirkan lagi, Dwiyan sama sekali tidak mencoba untuk mempertahankan hubungan yang terjalin. Sehingga aku pun pada akhirnya menyerah. Walaupun hubungan yang kujalani dengan Kak Panggih belum diketahui oleh orangtu
Sudah enam hari berlalu sejak terakhir kali berbicara dengan Yanti melalui sambungan telepon, sahabatku menyampaikan berita membahagiakan. Kalau ia akan segera bertunangan dengan Rangga. Karena acara besok begitu penting baginya, tadi pagi ia buru-buru menghubungiku dan mengajak untuk bertemu saat pulang kerja. Takutnya akan sulit bertemu karena mempersiapkan segala hal yang diperlukan setelah pertunangan. Biasanya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan yang diadakan dalam beberapa bulan ke depan.Untungnya hari ini aku bisa pulang pada jam kerja normal. Dalam satu minggu, aku bisa dua atau tiga kali lembur kerja. Karena mengerjakan beberapa laporan harian yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kalau pengisian mesin ATM di hari jumat. Orang-orang terbiasa mengambil uang di mesin ATM sebelum weekend. Kali ini kami bertemu di salah satu Mal terkenal di Denpasar Timur, Ramayana Mal. Barang-barang yang dijual di sini bisa dibilang tidak terlalu mahal. Baik itu makanan yang dijual pa
Setelah bertemu dengan Yanti, aku pulang cukup malam. Aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pada saat melewati dapur, kulihat Maha sedang makan. Kemudian, mendekatinya yang melambaikan tangan.“Kenapa Maha?” tanyaku saat berada di sampingnya.“Duduk dulu, Kak Citra..” pinta Maha. Kali ini ia berhenti makan, dan mengusap bibirnya dengan tisu. Untuk beberapa detik, ia pun memandang penuh tanya kepadaku.“Ada apa? Tumben wajahmu sampai serius begitu,” tanyaku lagi. Karena Maha sama sekali tidak menjawabku.Entahlah. Sepertinya ada yang membuat pandangan mata Maha terlihat begitu berbeda. Aku memahami pribadinya dengan baik. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. Dibandingkan kedua orangtuaku, Maha lebih memilihku untuk menceritakan segala permasalahan yang dimilikinya. Sama seperti dulu.“Maha ingin menanyakan pendapat Kak Citra..” ucapnya menggantung kalimatnya. Terlihat beberapa kali berpikir, “Kayaknya
Kebanyakan orang bilang kalau wajah kita mirip dengan pasangan berarti tandanya jodoh. Kurasa hal itu tidak berlaku bagi kami. Karena sekarang Dwiyan meminta untuk mengakhiri hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun. Aku masih bungkam, tidak ingin menyuarakan pendapat, hanya melihat bagaimana ia terus-menerus berkata kalau semuanya percuma. Aku mengambil gelas berisi soda dingin dan meminumnya perlahan. Mencoba menyejukkan hatiku yang terasa panas. Ia menyesap kopi hitamnya, lalu memandangku. Saat ini tidak lagi kutemukan pandangan meneduhkan atau kata-kata manis yang menenangkan. Dan juga bagaimana lengan kokohnya biasanya membingkai tubuhku, memberikan kenyamanan. Kafe tempat kami bertemu terletak tidak jauh dari rumahku. Ada perasaan was-was kalau ibu sampai tahu. Letaknya di pinggir jalan Kebo Iwa. Berbeda dengan tempat kami biasanya bertemu, di sini sedikit lebih bising dan ramai pengunjung. Aku cukup menyukai salad yang dijual. Kami duduk pada meja di tengah ruangan. Deng
Pagi-pagi sekali aku datang membawa sebuah tas kanvas putih. Menentengnya berhati-hati, takut kalau isinya bisa saja tumpah dan merepotkanku. Gumpalan-gumpalan awan putih terlihat menyelimuti langit. Meski pun bisa dibilang pendiam. Aku suka mengamati sekitar. Bagaimana gumpalan awan itu tertiup angin dan menggabungkan diri bersama yang lain. Aku mengambil tempat duduk terdekat dan menunggu kedatangan Dwiyan di kursi taman berpayungkan pohon hijau rindang.Beberapa kali dalam sebulan, baik aku atau Dwiyan berjanji untuk bertemu di tempat ini. Sebuah taman kota yang terletak di pinggir jalan Gatot Subroto. Persis sama dengan taman lain. Terdapat jalan setapak dan pohon-pohon rindang di pinggir jalan. Sayang sekali, aku tidak ingat nama dari tanaman itu. Rumput hijau terbentang luas. Setiap kali ke sini, aku selalu membawa serta rantang plastik dengan berbagai macam lauk. Dulu, kesukaanku terhadap masak bisa dibilang nol persen. Tapi, semenjak berpacaran dengan Dwiyan, aku menjad
Sore hari telah menjelang dengan goresan oranye dan biru membelah langit. Suara-suara sekumpulan burung terbang di langit pun terdengar hingga membuat decakan kagum dariku. Berulang kali, aku menggumamkan kata indah. Kemudian mengendap-ngendap masuk ke kamar dan menyalakan radio. Sepuluh detik sudah berlalu. Berulang kali aku menghitung di dalam hati. Takut seandainya ibu datang dan menanyakan kenapa lama sekali pergi. Dari pagi keluar rumah dan baru sekarang sampai. Tadi, sepulangnya bertemu Dwiyan, aku menyempatkan diri untuk berteduh di rumah sahabatku, Yanti. Siang hari tadi hujan tiba-tiba turun.Karena sudah terlanjur mampir, aku bercerita banyak sekali padanya. Bagaimana pagi hari tadi aku mendapatkan berita buruk dari Dwiyan. Atau, alasan yang kukatakan kepada ibu. Kalau aku bertemu dengannya. Yanti merupakan sahabatku sejak masuk SMP. Setiap kali mendapatkan masalah atau memerlukan bantuan. Ia dengan senang hati membantu.“Sejak kapan Citra datang?” Mendengar sebaris pert