Siang hari begitu terik. Kalau tidak memakai pendingin ruangan, aku sudah pasti tidak betah berada di dalam ruang tertutup. Untunglah, kamar rawat ini pintunya terbuka lebar. Jadi tidak akan merasa seperti terpanggang di dalam oven. Seorang pemuda bernama Maha, duduk lesehan beralaskan tikar bambu yang dibawa dari rumah. Ia juga membawa sebuah bantal empuk yang diberikan padaku.Maha terlihat mengamati wajahku, kemudian mengusapnya dengan ibu jari. Entahlah, aku merasa kalau dekat dengan pemuda yang bernama Maha ini. Tadi ia sempat bercerita kalau kami adalah saudara kandung.Ia berkata tidak tega kalau harus mengabaikanku da berjanji akan berdiam di rumah nantinya. Entah untuk menemaniku berbincang atau menjadi teman curhat untukku. Memang terdengar aneh. Namun, aku merasa perlu beradaptasi.“Kamu siapa?” tanyaku memandang dengan ragu. Lalu, menautkan kedua alis. Aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk bersila. Jemariku saling bertautan. Tetapi, tiba-tiba pandanganku te
Keesokan harinya, aku pun diperbolehkan pulang. Meskipun sebelumnya harus diperiksa dan mengisi soal kuisioner yang menentukan perilaku. Sejak awal mengingat semuanya, aku tidak menanyakan apa pun. Dan mengikuti apa yang dianjurkan dokter. Termasuk meminum obat secara rutin. Namun, setelah dinyatakan membaik, nafsu makanku telah membaik, sehingga membuat ibuku terlihat senang. Karena aku sudah bisa makan seperti biasa, tanpa harus disuapi apalagi dipaksa.Tadi pagi aku meminta untuk sarapan nasi campur yang dijual pedagang. Setelah itu meminum obatku tanpa harus di suruh. Aku sekarang sedang memandangi layar ponsel. Bermain game yang baru saja aku unduh. Maha sudah sejak pagi berangkat ke sekolah. Jadi, aku hanya berdua bersama ibuki.Sosok ibuku terlihat sibuk dengan layar laptop. Beberapa kali terdengar mengangkat telepon dari klien. Sedangkan, aku duduk diam sambil sesekali mengamati sekitar. Perasaanku jauh lebih membaik sekarang. Terutama setelah kemarin dokter datang dan menan
Jam tujuh malam, aku baru sampai di rumah. Bergegas mandi dan berpakaian rapi. Sekarang, aku tengah berada di meja makan. Bapak, ibu, dan Maha turut serta berada di sini. Berbeda dengan dulu. Keluargaku jauh lebih hangat. Maksudku, jika dulu jarang sekali kami berkumpul di meja makan. Sekarang seluruh anggota keluarga sudah lengkap. Mereka bukannya belum makan. Tetapi, menemaniku untuk menghabiskan makan malam. Sekalian memastikan kalau aku meminum obat rutin yang diresepkan oleh dokter.Rasanya malas sekali kalau setiap hari harus meminum tiga tablet obat berbeda. Semua ini kulakukan demi melihat keluargaku yang harmonis. Tanpa adanya jarak yang memisahkan kami. Dulu, bapak dan ibu jarang bersama untuk makan malam. Namun, sekarang rasanya kembali pada masa aku masih berumur delapan tahun. Aku merindukan gurauan kecil pada meja makan atau nasi dengan porsi lebih yang selalu disiapkan oleh ibu. Katanya, aku harus makan banyak supaya tumbuh sehat.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini,
Aku berdiri di balkon gedung kantor, merasakan hembusan angin menerpa wajah dan menerbangkan helaian rambutku. Berada di lantai empat membuatku merasakan ketinggian yang menyadarkanku akan satu hal penting. Kalau berada di atas tidak selalu menyenangkan. Sewaktu-waktu kita bisa terjatuh jika tidak berhati-hati. Mungkin aku memang bisa menikmati pemandangan jalan raya padat kendaraan dan rumah-rumah yang bagaikan sebuah kubik kecil. Atau, toko-toko yang terlihat jauh berbeda dari sini. Seperti mainan miniatur rumah yang dibelikan oleh ibuku dulu. Sejujurnya, aku mempunyai trauma pada ketinggian. Tapi, Kak Panggih bilang segala sesuatu yang kita takutkan bisa diatasi. Asalkan kita mencoba dan berusaha sekeras mungkin.“Masih takut, Dik?” suara Kak Panggih yang berdiri persis di belakangku menggelitik telinga.Aku merasa bertambah deg-degan karena ia menjagaku dari belakang. Memposisikan tubuhnya berada dekat denganku dan menaruh kedua tangannya persis di sebelahku. Namun, kami tidak
Aku baru saja pulang kantor dan bergegas menuju apotek kimia farma yang berada di perempatan Jalan WR. Supratman menuju arah daerah Batubulan. Kemarin, aku menelepon Dokter tempat konseling setiap satu bulan sekali. Memang keluhan yang dirasakan olehku tidak banyak. Hanya merasa sedikit malas untuk makan. Padahal dulu aku sering sekali makan malam dan menyukai berbagai macam cemilan. Apalagi cemilan manis. Sekarang saja berat badanku kembali turun.Jam delapan malam, aku akhirnya sampai di parkiran motor. Membuka helm dan hoodie berwarna abu-abu yang cukup untuk membuatku merasa hangat. Dari tadi pagi hujan terus turun. Aku awalnya mengira kalau janji dengan dokter psikiaterku akan dibatalkan. Untunglah menjelang sore hujan sudah berhenti dan menyisakan seberkas warna-warni di langit yang dikenal dengan sebutan pelangi. Aku memandangi melalui balkon kantor sebelum akhirnya pergi karena Kak Panggih tiba-tiba ada di sebelahku. Sampai sekarang pun aku terus saja menghindar. Tidak be
Aku menghentikan laju motor di depan warung kecil, di dekat jembatan di Pasar Katrangan. Ada sebuah warung makan langganan tempatku membeli makan. Di sini menjual berbagai makanan. Seperti nasi kuning dan nasi campur. Tapi, favoritku adalah nasi kuning. Selain karena nasinya yang gurih. Aku menyukai lauk-lauknya. Ayam sisit, mi goreng, saur, dan juga tahu dengan bumbu balado. Aku tersenyum saat pedagang itu menyapaku. Seorang ibu berumur di awal empat puluhan yang mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Hal ini kuketahui setelah beberapa kali menyapa anaknya yang ikut membantu di warung. Aku menyukai semangat mereka dalam membantu orangtua. Tapi, kedua anak itu sudah tidak ada di sini sekarang. Kurasa karena sudah jam sembilan malam. Dan, biasanya mereka akan bersekolah keesokan harinya.“Bu, pesan nasi kuning pedas dua ya,” ucapku menyebutkan pesanananku. Kemudian, mataku memandangi deretan jajanan lain. Selain menjual nasi di sini, terdapat banyak sekali cemilan maupun bua
Aku berpura-pura sibuk dengan banyaknya laporan di meja kerja. Anggreni tadi permisi pulang lebih dahulu untuk mengantarkan kakaknya ke rumah sakit. Sedangkan, atasanku Pak Johny juga sudah pulang. Jam pulang kantor adalah jam lima sore. Harusnya sekarang aku juga pulang karena hari sudah malam. Sudah pukul tujuh malam. Dulu, mungkin aku akan takut. Apalagi saat melihat di sekitar sudah gelap. Dari tangga menuju lantai tiga sampai jendela di depan pintu yang mengarah langsung ke jalan sebelah kantor.Untuk hari ini, ada baiknya aku tidak berkuliah. Apa pun yang dikatakan dosen pasti tidak dapat kupelajari dengan serius. Kemarin hari terberat untukku. Dwiyan mengatakan perpisahan, hingga kurasa membuat jarak kami semakin jauh. Tidak ada lagi kita. Hanya ada aku dan dia yang berbeda. Tanpa ada canda tawa seperti dulu. Aku kadang-kadang merindukan masa-masa itu. Bagaimana hidup kami dipenuhi oleh canda tawa dan mimpi-mimpi yang nantinya akan diwujudkan bersama. Sama seperti sebuah mim
Hujan mengguyur dengan derasnya pada sore hari. Aku sudah tidak bisa kembali ke rumah, karena sudah terlanjur basah kuyup. Tas selempang kutaruh di dalam jok motor. Namun, dalam posisi ponselku dimatikan. Aku tidak ingin suatu hal buruk terjadi jika sampai ponselku dalam posisi menyala kuletakkan di dalam. Kalau berbelok ke kanan dari lampu merah ini, sudah sampai ke tempat kerjaku. Karena hari sabtu aku selalu libur. Aku tidak akan pergi bekerja hari ini. Namun, berniat mengunjungi kekasihku. Kosnya berada tidak jauh dari kantor. Sudah dua bulan kami berpacaran. Semenjak terakhir kali aku menangis di hadapannya. Ibu dan bapakku belum tahu. Menurutku, jika masih baru-baru pacaran akan lebih sulit mendapatkan restu. Jadi, aku memilih diam sampai hubungan kami berjalan lebih lama. Tentu saja aku sudah berpamitan tadi pada orangtuaku sebelum berangkat. Alasannya berkunjung ke rumah teman.Tubuhku menggigil kedinginan. Aku mengusap mataku untuk menyingkirkan air hujan yang terus mene