Share

02. Tiga Keluhan

“Tuan.”

Panggilan itu segera Arsen tanggapi dengan dehaman. Namun tanggapannya tak kunjung dibalas dengan jawaban. Jadi, sejenak dia menutup kerjaan. Sembari melepas kacamata yang sedari bertengger di batang hidungnya, dia menatap ke arah di mana asistennya berada.

“Kamu tak mendengar sahutan saya?”

Lelaki jangkung berkulit pucat di sebelah kanan tubuhnya menggeleng segan. “Bukan begitu, Tuan. Hanya saja, saya rasa topik pembicaraan kali ini akan mengganggu konsentrasi Anda. Namun, saya tak bisa menunda-nunda untuk memberitahukannya kepada Anda.”

“Katakan.” Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Mikail paham. Meski topik yang keluar dari mulut lelaki itu akan menjadi perusuh konsetrasi nantinya, itu tak mengapa. Karena Arsen bukan tipikal orang yang sabaran.

Dia tak bisa menahan gejolak ingin tahu jikalau hal itu menyangkut dirinya, keluarganya, orang terkasihnya, dan juga … wanita yang menjadi nyonya di rumahnya.  

“Nyonya Salim tadi sedikit … menyebabkan kekacauan.” Mikail kemudian berdeham. Dengan kepalan kedua tangan yang disatukan. Tampak gugup dan enggan untuk meneruskan. Namun Arsen memberi perintah melalui tatapan yang mau tak mau, harus dipenuhi oleh laki-laki itu. “Nona Hannah disinggung berkali-kali setelah acara tadi siang. Etika Nyonya Salim pun menjadi perdebatan hangat. Namun, yang paling buruk adalah sudah banyak yang tahu mengenai kehamilan Nona Hannah, Tuan. Ini cukup … serius jika terus-menerus dibiarkan.”

“Biarkan.”

“Tuan?”

Arsen memberi anggukkan. Karena dia percaya, bila apa pun yang coba manusia sembunyikan lambat laun akan terbongkar juga. Bagai bangkai yang coba disimpan, akan tercium juga baunya.

“Wanita itu menginginkannya.” Dengan cepat kembali mengenakan kacamata seperti semula. Namun kali ini, dia tetap biarkan berkas-berkas yang belum usai dia tinjau dengan hati-hati serta perhitungan. “Lagi pula, wanita itu yang menolak untuk bercerai. Andai dia tak bekeras hati untuk mempertahankan sesuatu yang tak mampu dipertahankan lagi, mungkin keadaan tak akan menjadi seperti sekarang.”

Seketika, kepalanya kembali memutar memori di mana lusa kemarin, dia membawa surat yang harus Keith tanda tangani. Dia ingin segera bercerai. Dia sudah menyerah untuk bertahan. Dia tak mau menjadi pijakan wanita yang tak pernah sekalipun menganggapnya ada di saat ada wanita yang mampu memahaminya.

Arsen merasa akan menyesal seumur hidup bila dia terus-menerus membiarkan Hannah tanpa kepastian. Sejak lima tahun yang lalu, wanita itu harus berdiri dengan kedua kaki sendiri ketika orang-orang mulai menghakimi. Mulai mencurigai. Dari mana datangnya pundi-pundi rupiah yang wanita itu miliki jika bukan dengan menjual diri.

Terlebih, dia tak ingin seperti ayahnya. Dia tak mau terus-menerus menduakan wanita yang seumur hidup akan dibebani rasa dendam satu sama lain hanya karena seorang pria. Meski dia yakin, Keith tak akan pernah merasakannya.

Walau mereka pernah berkata bila saling mencinta. Namun dulu, itu hanyalah sebagai formalitas saja.

Wanita itu mati rasa.

“Tanyakan kondisi Hannah,” titahnya kemudian seraya beranjak dari kursi kerja. Melangkah tak jauh untuk mengambil mantel hitamnya yang tergantung di tiang khusus yang wanitanya beli sebagai hadiah lantaran pusing selalu melihat jas maupun mantel miliknya selalu berserakan di atas kursi kerja. “Bilang padanya, saya akan berkunjung nanti setelah mampir ke rumah. Ibu pasti menunggu saya untuk berkeluh kesah.”

Mikail tersenyum sebelum mengekori langkahnya di belakang sembari menggengam ponsel guna menghubungi penjaga yang dia sewa untuk wanitanya. Jelas, Arsen harus memberi perhatian lebih karena ada orang gila yang bisa kapan saja mendobrak masuk hanya untuk mengeluarkan sepatah dua patah kata sindiran.

Dia tak mau bila beban pikiran akan memengaruhi tumbuh kembang janin yang tengah Hannah jaga sekarang. Setelah beberapa tahun lalu, wanita itu kehilangan. Dia pun sama. Selain merasa kehilangan, tak dapat dipungkiri bila Arsen cukup kesal.

Lantaran kejadian itu, Keith tak mampu dia singkirkan. Hingga sekarang, wanita itu makin semena-mena dan menganggapnya bagai jongos yang bekerja di bawah telapak kakinya.

“Ada rencana mampir ke sebuah tempat, Tuan?”

Gelengan tegas dia berikan. Pada pertanyaan yang wajib dilontarkan asisten pribadi yang bekerja untuknya. Nyaris dua puluh empat jam selalu berada di sisinya.

“Langsung saja,” jawabnya, terdengar begitu terburu-buru. Seiring dengan sebuah notifikasi pesan dari Hannah. Hanya sekilas dia dapat membaca isi pesan wanitanya yang mengabari bila wanita itu baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirkan pasal kekacauan siang tadi. Dan seketika, kedua sudut bibirnya terangkat walau hanya sedikit.

“Saya ingin cepat-cepat bertemu Ibu lalu bermalam dengan Hannah.”

“Mohon taruh ponselnya, Tuan. Kita akan berangkat.”

Anggukkan samar dia berikan sebagai tanggapan. Karena di dalam mobil, Arsen selalu mewanti-wanti siapa saja untuk tak menganggu fokusnya pada jalanan kota. Dia selalu menyisihkan waktu untuk memperhatikan keadaan di luar sana setelah berjam-jam waktu yang dia punya hanya dihabiskan oleh kerja, dan kerja.

Tak perlu memakan waktu lama diperjalanan untuk sampai ke rumahnya yang berada di dalam kawasan kediaman utama. Taman yang membetang luas telah tertangkap oleh mata. Sedikit membuat Arsen mengerjap lantaran perubahan pemandangan yang baru saja dia lihat terasa begitu kontras di mata.

Namun dia tak perlu memikirkannya. Dia hanya perlu bekerja. Memperoleh pencapaian. Melakukan apa pun yang ayahnya perintahkan.

“Tak usah ikut dengan saya,” ujarnya, kala Mikail telah membukakan pintu di kursi penumpang sembari mempersilakannya untuk keluar. “Kamu bisa istirahat sebentar. Mungkin pembicaraan saya dengan Ibu akan memakan waktu yang lumayan. Pakai waktumu sebaik mungkin.”

Laki-laki itu hanya mengangguk patuh atas perintahnya. Dan Arsen pun tak memerlukan jawaban panjang-lebar karena kini, orang yang dia maksud telah menunggu kedatangannya. Dengan wajah cemas, khawatir, marah, serta kesal yang coba dibungkam dengan senyuman paksa. Kala Ayah beserta permaisurinya pun ikut menyambut kedatangannya.

“Esok, ada waktumu yang bisa ayah pinjam sebentar?”

Arsen tak langsung menjawab. Dia memilih memperhitungkan agendanya yang telah dirancang oleh Mikail, dan menemukan celah di mana dia bisa meluangkan waktu.

“Ada. Waktuku selalu ada jika Ayah yang menginginkannya.”

Pria itu … untuk pertama kali selama bertahun-tahun dia mulai menginjakkan kaki di kediaman utama ini tersenyum. Begitu lebar. Bukan senyum kecil yang biasanya selalu ditahan. Seakan, pria itu tak lagi merasa cemas apalagi takut untuk merasa bangga.

Pada dirinya yang sekarang telah mampu diandalkan dalam segala hal.

“Ayah segera kabari tentang acaranya. Tunggu saja.”

Refleks Arsen mengangguk paham. Kemudian atensinya beralih pada Ibu mana kala Ayah dan wanita yang menjadi nomor satu di hidup pria itu berlalu.

“Pelan-pelan, Bu,” pintanya, tepat ketika wanita yang kini mendekat ke arahnya itu menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah dengan segera.

Hanya untuk berteriak sebelum berkata, “Istrimu … istrimu sudah gila, Arsen! Ibu malu! Malu setengah mati saat dia dengan gampangnya mengeluarkan kata-kata seolah tak pernah mengenyam pendidikan tinggi!”

Napasnya terembus pelan. Kala wanita yang barusan berteriak itu mulai memperlihatkan sisi paling lemah padanya. Hanya di depannya.

“Mungkin, dia bosan, Bu.”

“Bosan?” Arsen lantas diam. Sadar jika dia salah dalam memberi tanggapan. “Kamu tahu, bagaimana pedasnya ucapan suadara ayahmu, kakek-nenekmu, dan teman-teman mereka ketika ibu di sana?” Dia masih diam ketika Ibu mengeluhkan segala hal yang ada dikarenakan satu wanita yang juga mengacaukan ketenangannya.

“Kamu tak akan tahu gimana rendahnya ibumu dipandang oleh mereka-mereka hanya karena kelakuan istrimu!” Wanita itu kini berdiri. Berjalan ke sana kemari, tak menentu hanya untuk mengusir rasa depresi. Namun sesekali, Arsen tahu ke mana arah pandangan ibunya itu sejak tadi.

Laci meja rias yang di dalamnyya terdapat obat-obatan antidepresan. Obat yang jika dalam satu sampai sepuluh kali mungkin membantu, namun lama-lama akan menjadi candu. Hingga ketika ada hal yang menjadi pemicu, obat itu akan selalu bercokol di kepala bagi siapa pun yang telah ditaklukan olehnya.

“Hanya karena dia dari keluarga Salim, dia pikir dia pikir bisa menggampang kita.” Tetesan air mata wanita itu mulai membahasahi muka. Seiring dengan tubuhnya yang meluruh ke atas lantai, tangis pilu yang sudah menjadi makanan sehari-hari Arsen yang dulu itu terdengar oleh telinga. “Hanya karena dia lebih dari kita, dia tak pernah sekalipun mau mendengarkan ibu! Padahal, ini juga demi kebaikannya. Ibu sampai sekarang masih tak paham, sebenarnya mengapa Keith berubah menjadi seseorang yang begitu memandang kita adalah manusia rendahan?”

Gelengan lemah wanita berikan. Kala dia mencoba menguatkan. “Tak bisa, Arsen. Selama lima tahun ini, ibu sudah mencoba untuk bersabar. Sebisa mungkin, ibu memahami karakter dia. Tapi apa balasannya? Keith semakin menjadi-jadi. Dia tak pernah satu kali saja mau mendengarkan ibu. Apalagi untuk memahami! Mungkin dia bisa mati hanya karena dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tak dia sukai!”

“Lalu, Ibu mau aku bagaimana?” dengan pelan, Arsen mulai bersuara. Mencoba sebisa mungkin untuk mengangkat beban pikiran di hati kepala ibunya. “Ibu katakan apa saja, aku akan dengarkan dan lakukan.”

Wanita itu lantas mendongak. Setelah mengerjapkan kedua mata yang makin basah oleh air mata. “Segera omongkan persoalan Hannah dengan ayahmu, Arsen. Ibu tak mau, bila hubunganmu dengan Hannah yang disembunyikan itu akan mencemari nama baikmu.”

Mendadak dia meragu. Bagai seluruh bagian tubuhnya menolak untuk bersatu, mengiyakan permintaan ibu. Namun … bukankah ini yang dia mau?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status