Share

Bab 3

Bram termenung, sudah dua Minggu sejak pertemuannya dengan sang ayah. Pernyataan lelaki itu membuatnya tidak bisa tenang hingga berhari-hari, dia tidak sepenuhnya menyalahkan sang ayah akan keputusan yang di ambil oleh lelaki tua tersebut.

"Aku harus bertindak, tidak mungkin aku merelakan semua hartaku jatuh ke tangan adik-adik ku hanya karena anak yang memang darah dagingku, lebih baik aku mengatur rencana. Amara pasti bisa ku taklukkan seperti dulu," gumam Bram pada dirinya sendiri.

Dia lalu bangkit, rasa kantuk yang tadi menyerangnya kini hilang entah kemana, dia menghubungi pengacaranya, meminta lelaki itu menemuinya sekarang juga, dia ingin membahas langkah apa yang akan dia ambil untuk melindungi aset miliknya.

*****

Amara sedang membersihkan toilet wanita di sebuah pusat perbelanjaan ketika hapenya berdering, terlihat nama Ana, sahabat sekaligus teman tinggalnya saat ini.

Ana adalah sahabat yang menemani saat Amara terpuruk, hamil, melahirkan dan sekarang dia yang membantu Amara menjaga putrinya ketika dia sedang bekerja seperti sekarang ini.

"Halo," ucap Amara ketika dia sudah mengangkat telpon, dia sedikit deg-degan, karena tak biasanya Ana menelponnya di waktu dia bekerja.

"Ra, ada yang mencarimu, dia ingin bertemu kamu dan juga Putri," ucap Ana dengan sedikit berbisik.

Jantung Amara bertalu-talu, dadanya tiba-tiba berdetak lebih kencang. "Katakan aku dan Putri sedang tak ada di rumah," jawab Amara dengan gugup.

"Aku tak mungkin mengatakan itu, dia melihatku bermain dengan Putri di depan rumah saat mobil mereka berhenti, tolonglah cepat pulang, aku takut, sejak tadi dia menggedor-gedor pintu." Suara Ana semakin lirih, bahkan dia sepertinya sedang menahan tangis.

Tak berpikir dua kali, Amara segera membuang perlengkapan mengepelnya, lalu berlalu meninggalkan toilet tersebut.

"Ra, mau kemana? Kerjaan Lo belum beres!" Susan berteriak memanggil Amara.

"San, titip selesaikan, nanti aku traktir makan!" Amara balik berteriak, dia terus berlari pikirannya sekarang tertuju ke rumah kontrakan yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempatnya kerja.

Amara melajukan motornya dengan kecepatan penuh, dia tak perduli umpatan dan makian dari pengendara lain ketika dengan brutalnya dia melewati lampu merah atau menyalip mobil yang akan berbelok. Amara tak peduli pada keselamatannya, dia hanya peduli pada keselamatan anaknya yang masih berumur satu tahun.

Dua puluh menit kemudian, Amara memarkir motornya di halaman, dia segera menghampiri dua orang yang sedang berdiri menunggu di depan pintu. Dari pakaiannya Amara sudah bisa menebak siapa orang tersebut.

"Ada apa kalian kemari lagi?" tanpa basa basi Amara bertanya kepada kedua orang tersebut.

Lelaki berstelan jas tersebut menoleh, dia membuka kacamata hitamnya dan menyerahkan selembar surat kepada Amara. Wanita itu tak mengambil surat tersebut, dalam hati dia takut kalau-kalau surat tersebut adalah surat untuk mengambil Putri darinya.

"Pergi kalian, bukankah kalian sudah berjany untuk tak mengganggu ku lagi?" tanya Amara, dia menepis kasar tangan lelaki yang bernama Reno, dia adalah orang kepercayaan Bram.

"Kami cuma datang menyampaikan surat ini, kalau tak ada balasan dari Anda,maka jangan salahkan kami kalau Tuan Bram akan datang sendiri kemari," ucap Reno, dia kembali menyodorkan surat tersebut.

Tanpa ragi Amara mengambil surat tersebut dan langsung merobeknya. "Ini jawaban ku untuk tuan kalian, pulanglah dan mengadu sekehendak hati kalian!"

Amara mendorong tubuh Reno hingga lelaki itu bergeser, tak berniat menyakiti Amara, keduanya lalu meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan. Pintu terbuka, Ana keluar dengan menggendong Putri yang tertidur di bahunya.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Amara, dia mengambil alih Putri dalam gendongan Ana.

"Tidak, ada apa mereka datang kemari?" tanya Ana penasaran.

"Entahlah, aku tidak tau dan tak ingin tau, sebaiknya besok-besok kalian ikut saja aku ke tempat kerja, kalian bisa berkeliling saat aku bekerja. Aku tidak akan tenang meninggalkan mu disini berdua saja, sepertinya kita juga harus mencari rumah kontrakan baru," ucap Amara panjang lebar.

Ana menyetujui keputusan Amara, dia juga takut kalau sewaktu-waktu kedua lelaki itu akan kembali lagi. Keduanya lalu memutuskan masuk kedalam rumah, Amara memutuskan tak kembali ke tempat kerja, dia takut mereka akan kembali lagi.

*****

Bugh!

Amara jatuh dia menabrak seseorang dan tempat sampah yang dia bawa terjatuh, sampah yang baru saja dia kumpulkan berserakan. Mata wanita itu tertuju pada sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat berada di depannya, matanya menelusuri sepatu tersebut, hingga matanya tertuju kepada wajah yang selama ini ingin di hindarinya.

"Maaf, saya mau lewat," ucap Amara, dia berusaha tak mengenali lelaki itu.

"Aku ingin bicara," ucap Bram. Dia menatap Amara yang masih menunduk.

"Tidak ada yang perlu di bicarakan," jawab Amara singkat, dia kembali berjongkok, berniat memasukkan kembali semua sampah ke dalam tong yang tadi di bawanya.

Belum sampai tangan Amara memungut sampah-sampah tersebut, lengannya sudah di tarik kembali oleh Bram. "Apa susahnya berbicara denganku dan untuk apa kamu memungut sampah itu?" Terdengar suara Bram yang menahan marah.

"Maaf, saya sedang bekerja, Anda menganggu saya, tolong pergilah, saya tidak mau pekerjaan saya hilang gara-gara menghabiskan waktu berbicara dengan Anda."

Bram mengepalkan tangan, dia ingin sekali memarahi Amara saat itu juga, namun dia masih waras. Dia sedang berada di tempat umum dan tak mungkin mengundang perhatian khalayak ramai.

"Aku ingin bertemu anakku," ucap Bram langsung.

Amara mematung, bahkan napasnya seolah berhenti, tenggorokannya tiba-tiba kering, inilah hal yang selama ini dia takutkan, kedatangan lelaki tak bertanggungjawab yang akan memisahkan dirinya dan Putri, buah hatinya.

"Bukankah Anda tau sendiri, kalau kita terikat perjanjian, Anda tidak berniat melanggar perjanjian itu, kan?" Amara bertanya, dia berusaha menghilangkan rasa takut di hatinya.

"Aku tau, tapi apa salah kalau aku ingin bertemu dengan anakku sendiri?" tanya Bram.

Amara tersenyum mengejek, seandainya ini bukan di tempat umum, mungkin dia sudah tertawa sambil berguling di lantai, karena merasa lucu dengan ucapan Bram.

"Bertemu anak? Sejak kapan kamu mengakui anakmu?" Pertanyaan Amara seolah batu yang menghantam kesabaran Bram, dia mencengkram lengan wanita itu dengan kuat.

"Sebaiknya kamu tentukan waktu agar aku bisa bertemu dengan anakku dan waktu untuk kita bersua membicarakan masa depannya, kalau tidak maka jangan salahkan aku kalau aku harus menggunakan kekerasan untuk mengambilnya secara paksa dari dirimu!" Ancaman Bram berhasil membuat tubuh Amara bergetar, tak bisa dia pungkiri ancaman Bram sangat menakutkan.

Bram adalah orang yang memiliki segalanya, jika hanya mengambil Putri dari tangannya, tentu dia tak harus bersusah payah.

"Baiklah, datanglah ke rumah ku hari Minggu ini," ucap Amara akhirnya, dia tak mau semakin membuat Bram marah.

"Jam berapa?" tanya Bram, wajahnya masih terlihat datar.

"Jam 10 pagi."

Belum sempat Bram membalas ucapan Amara, seorang lelaki tiba-tiba saja mendekati keduanya, dia merangkul bahu Amara di depan Bram.

"Sayang, ada apa?" tanya lelaki itu membuat wajah Bram berubah menjadi memerah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status