Share

Bab 5

Hari yang di tunggu Bram datang juga, hari di mana janji untuk bertemu dengan Putri anaknya.

"Kenapa kamu memberi nama Putri?" tanya Bram, saat ini dia sedang memangku bayi mungil tersebut.

"Sebenarnya aku tak tau harus memberi nama apa, makanya ku beri saja nama Putri," jawab Amara jujur. Saat dia melahirkan Putri adalah saat paling hancur baginya. Dia di kucilkan, di cemooh dan di usir dari tempatnya. Beruntung dia tak gila mendapatkan perlakuan tak baik dari warga tempat tinggalnya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilnya Maura," ucap Bram.

Amara hanya terdiam, dia tak ingin menanggapi ucapan Bram, saat ini hatinya tak tenang. Dia tau Bram tak mungkin datang begitu saja tanpa maksud terselubung, apalagi saat ini dia datang untuk melihat anaknya yang setahun lalu tak ingin dia akui.

"Rambutnya mirip rambutmu," kata Bram. Lelaki itu tersenyum melihat putri kecilnya.

"Iya, karena dia anakku," jawab Amara.

"Dia juga anakku," balas Bram.

"Tentu saja, apa kamu sudah lupa, kalau kamu meminta para pengacara melakukan tes DNA sesaat setelah dia lahir," ucap Amara. Nada bicaranya sinis, dia sengaja menyindir Bram.

Bram menaruh Maura di tempatnya tadi, dia memberikan mainan yang tadi di bawanya, bayi itu asyik bermain sendiri. Lelaki itu lalu mendekat kepada Amara, dia berlutut di depan wanita itu.

"Maafkan aku, waktu itu aku sangat bodoh. Namun, bukan karena aku tidak yakin kalau anak itu bukan anakku. Aku hanya butuh kekuatan hukum. Maafkan aku, aku saat itu memang bertindak bajingan, membiarkanmu melewati masa-masa itu sendirian. Bahkan, aku dengan bodohnya meminta pengacara untuk membuat mu menyetujui perjanjian yang aku buat." Bram tertunduk, dia memegang tangan Amara, berharap hati Amara luluh dan memaafkannya.

Amara menepis tangan Bram, dia bangkit, wanita itu berusaha menahan agar bulir bening tak jatuh dari mata indahnya.

"Apa yang kamu inginkan sekarang?"

"Aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin kita membicarakan soal masa depan kita dan Maura," jawab Bram.

"Kita tidak punya masa depan," jawab Amara dingin. Pandangannya datar, dia menatap Bram dengan tatapan yang laki-laki itu tak mengerti maksudnya.

Bram menarik napas panjang, dia tau tak akan mudah meluluhkan hati Amara.

"Terserah kamu, tapi aku ke sini untuk menawarkan sesuatu yang lebih baik daripada nanti kita akan bermusuhan karena harus memperebutkan hak asuh Maura," ucap Bram. Dia sengaja mengatakan itu, dia tau kalau Amara tak bisa kehilangan putrinya.

"Maksud mu?" tanya Amara. Walaupun dia sudah tau kemana arah pembicaraan lelaki yang ada di depannya, namun dia masih harus memperjelas nya.

"Aku ingin kita menikah dan mengasuh Maura bersama-sama atau kita akan bertemu di pengadilan dan memperebutkan hak asuh untuknya," kata Bram. Dia mempertegas keinginannya, berharap Amara merasa terintimidasi.

Wanita itu menelan ludah dengan susah payah, kerongkongannya tiba-tiba saja kering, apa yang baru saja di katakan oleh Bram adalah ketakutan terbesar yang selalu menganggu tidurnya tiap malam.

"Menikah?" Amara mengumumkan kata itu, hal yang satu ini tak pernah dia pikirkan, saat dulu sebelum ada Maura hingga saat ini.

"Sepertinya itu tak perlu, aku dan putriku sudah bahagia dengan kehidupan kami, menikah denganmu hanya akan menambah masalah untukku. Aku tak terbiasa hidup dengan seorang lelaki," tolak Amara.

Dia sudah bertekad tak akan menerima apapun yang di tawarkan oleh Bram, baginya menjauh dari lelaki itu adalah yang terbaik untuk dirinya.

Bram bangkit dari posisinya, dia kini berada di belakang Amara, wanita itu memang membelakangi dirinya. "Kamu tau aku kan? Aku akan melakukan apapun asal keinginan ku terpenuhi, apalagi karena ini sudah menyangkut tentang pewaris ku,aku tak mungkin membiarkan dia hidup di lingkungan tak layak seperti ini," ucap Bram. Matanya menatap Amara.

Seluruh persendian wanita itu lemas, dia tau kalau Bram tak pernah main-main dengan ucapannya. Namun, dia juga tak bisa langsung menerima begitu saja, banyak hal yang membuatnya tak mungkin menerima keinginan lelaki itu.

"Kami sudah hidup dengan baik di sini, dia tak kekurangan apapun, aku punya pekerjaan, banyak yang menyayangi anakku di sini, ada Mario yang bisa menjadi sosok ayah untuknya."

Mata hitam Bram berubah menjadi kelam, ketika nama laki-laki lain di sebut oleh Amara. Hatinya sakit, dia tak mungkin membiarkan lelaki lain mengantikan posisinya dan dia tak rela Amara bersanding dengan lelaki lain.

"Itu menurut mu, tetapi tidak menurut ku. Maura anakku, tak ada yang bisa menjadi ayahnya selain aku."

Amara tersenyum sinis, dia sama sekali tidak yakin kalau yang sedang berbicara dengannya adalah Bram, lelaki yang sangat sombong dan tak bisa di intimidasi.

"Apa aku tak salah dengar? Bukankah, kamu memintaku tak hadir di dalam hidupmu dan membawa putriku agar tak bertemu dengan mu!" Amara mengingatkan kata-kata Bram setahun yang lalu.

Bram diam, dia tak ingin membalas kata-kata Amara, diatau wanita itu akan terus menyerangnya dengan kata-kata nya dulu. Dia harus bermain cantik, dia tau Amara sangat keras kepala.

"Terserah apa yang kamu pikirkan, tetapi kalau kamu menolak untuk menikah denganku, maka bersiaplah bertemu denganku di pengadilan," ujar Bram akhirnya.

Mata Amara kembali membulat, rasa takut tak bisa disembunyikan dari wajahnya.

"Kau serius ingin membawa ini ke jalur hukum?" tanyanya seolah mencari jawaban dari wajah Bram.

"Tentu saja, apa kamu pikir aku main-main? Kamu tau sendiri aku tidak pernah main-main jika menyangkut kehidupan ku."

"Tapi, bagaimana mungkin kamu baru mengatakan itu saat ini? Kemana saja kamu setahun ini?" Amara menggelengkan kepala, tak percaya dengan ucapan Bram.

"Percayalah, aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk merenung dan mengakui kalau dulu aku melakukan kesalahan dan saat ini aku ingin memperbaiki kesalahanku itu. "

"Maaf, tapi pintu maafku sudah tertutup sejak kamu memintaku untuk menandatangani surat perjanjian agar menjauh dari hidup mu, aku harap kamu bisa mengerti dan membiarkanku pergi dari hidupmu sekali lagi." Amara secara tidak langsung menolak keinginan Bram.

"Baiklah, sepertinya kamu tidak memberiku kesempatan untuk berbuat baik, jangan salahkan aku jika aku harus mengambil alih hak asuh Maura secara paksa," ucap Bram akhirnya.

Dia memperbaiki letak bajunya yang sedikit kusut, lalu berniat melangkah pergi dari ruangan itu.

"Jangan memaksaku, apa kamu tidak puas sudah membuat ku seperti ini?" Amara berteriak frustasi.

"Aku tidak memaksamu, aku melakukan semua ini untuk kebaikan Maura. Kamu harus tau, dia adalah anakku, darah ku mengalir dalam tubuhnya. Aku tidak mungkin membiarkannya hidup dalam keadaan seperti ini, aku sudah memberimu pilihan, apa susahnya menerima semua itu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status