“Bisa ceritakan kembali apa yang anda lihat di sana?”
sudah ke sekian kalinya polisi di depanku ini bertanya padaku. Aku ingin ceritakan semua. Namun, lidahku tiba-tiba terasa kelu. Tanganku masih gemetar dan fokusku masih belum kembali. Aku masih bingung harus memulai cerita mengerikan tadi malam itu dari mana.
Seorang perawat mendekatiku dan berbisik dengan ramah. “Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan. Ceritakan saja apa yang kamu ingat. Selebihnya bisa menyusul nanti.”
Aku melirik ibuku yang duduk di sampingku. Dia menggenggam tanganku erat dan mengangguk pelan. “Enggak apa-apa. Pelan-pelan aja ceritanya. Yang penting kamu bikin laporan dulu. Supaya kasus ini bisa cepat diproses.”
Ibu memelukku sedikit lebih erat. Ternyata, hanya pelukannya lah yang aku butuhkan. Pelukan yang bisa meredakan ketakutanku saat ini.
“Temanku gimana, Sus?” tanyaku dengan suara parau.
“Kondisinya sudah stabil. Sudah masuk ruang rawat. Tinggal me
“Kalian pernah pulang bersama saat malam?” Sheryl mengulangi pertanyaan yang sempat aku alihkan tadi. Dia memicingkan matanya padaku dan Jace secara bergantian. Membuatku tidak mampu berkilah atau membuat alasan yang bagus dalam waktu singkat. “Jace?” panggil Sheryl, karena si tersangka utama ini malah terlihat tidak peduli. “Itu udah lama. Enggak perlu dibahas lagi,” jawabnya santai. Lalu memejamkan mata seolah keadaan ini tidak terlalu penting untuk dibahas. Seiring dengan itu, Zoey masuk ke dalam ruangan. Memotong ketegangan yang sedang berlangsung di ruangan ini. “Sher, lama banget cuma bawa handphone doang,” celetuk Zoey sebelum menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi kami bertiga. “Ada apa nih?” Sheryl membuang wajahnya ke arah Zoey. “Lo tahu mereka pernah pulang bersama malam-malam?” Wajah Zoey seketika berubah. Dia menatap lurus padaku, seolah ingin mengatakan bahwa aku seharusnya sudah membereskan hal ini
Zoey mendesak, dan mendorong badanku ke belakang. Ini membuatku tidak lagi menyukai apa yang sedang Zoey perbuat padaku. Aku tidak nyaman dan merasa terancam. Zoey sudah melewati batasnya Aku tidak membuka bibir ketika Zoey terus mendesaku. Dia mencari kesempatan dan sedikit memaksa. Sampai akhirnya aku mampu mendorongnya dan menyudahi apapun kegiatan kami itu. “Zoey stop,” erangku dengan suara serak. Zoey menghentikan ciumannya ketika sadar aku menekan dadanya dengan tanganku. Dia menatapku penuh tanya. Kemudian menarik napas dan mengembuskan dengan kasar. “Maaf, aku enggak bisa ...” “No, It’s on me. Aku yang minta maaf.” Zoey memotong ucapanku. Suaranya masih terdengar bergetar. Lalu kami saling diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku atas perlakuan Zoey tadi. Apa aku belum siap? Atau memang aku tidak terlalu menyukai Zoey? Oh, Tuhan. Ide yang kedua terdengar san
Aku dan Zoey bergandengan tangan menuju tempat di mana mobil Zoey terparkir. Wajahnya dipenuhi senyuman karena kami baru saja berkomitmen untuk saling memperbaiki komunikasi satu sama lain. Itu memang hal yang bagus karena Zoey pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik dariku. Dia itu cowok baik-baik yang tidak seharusnya menjadi pria ke dua di hatiku.Zoey tidak memarkirkan mobilnya di tempat parkir sekolah, melainkan di bahu jalan tepat samping gor. Membuat kami berjalan sedikit lebih lama. Namun, aku menikmati itu karena langkah kami di temani obrolan ringan dan senda gurau.“Kita ke mall dulu ya sebelum pulang,” ajaknya. Aku tersenyum dan mengangguk setuju.Seperti kataku tadi, aku harus memperbaiki perlakuanku pada Zoey. Jadi aku harus mau untuk sekedar hang out di mal bersamanya. Lagi pula ini masih siang dan tidak ada kegiatan lain yang harus aku lakukan setelah ini.“Aku tahu kedai dimsum yang enak. Mau coba?
“Aku dan Jace enggak ada apa-apa.” Kataku dengan spontan. Padahal Zoey tidak bertanya apapun sepeninggalnya Jace barusan. Sebetulnya ekspresi Zoey yang membuatku bicara begitu. Ekspresi seseorang yang seperti sedang menanggung kekalahan bahkan sebelum dirinya bertanding. Apalagi ketika Jace dengan santai berkata padanya bahwa aku dan dia sudah selesai. Seolah sebelumnya telah terjadi sesuatu yang tidak Zoey ketahui. Dia tidak membantah ucapanku. Matanya masih terpaku pada punggung yang semakin bergerak menjauh. Aku duga, Mungkin dia ingin mendengarkan pengakuanku lebih lanjut. “Tadi Jace bilang, aku harus menjauhinya. Dia takut aku bakal terlibat masalah lagi kalau berada di sekitarnya.” Aku diam sebentar seraya menunggu perubahan ekpresi pada wajah Zoey sebelum melanjutkan kalimatku. “Lagi pula aku sama dia memang enggak terlalu akrab kalau bukan karena Sheryl. Jadi seharusnya dia enggak perlu bilang begitu.” Zoey menunduk dan menekan bibirnya sehing
Jace tidak pernah absen untuk selalu membuatku jantungan. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu membuat hubunganku dengan Zoey seperti berada dalam roller coaster. Dia seperti dalang yang bisa membuat kami berdua menukik dan menanjak sesuka hatinya.Sampai hari berganti, aku tidak bisa berhenti memikirkan maksud Jace bicara seperti itu pada Zoey. Kenapa dia bisa tahu masalah ciuman pipi yang menjadi kesepakatan aku dan Zoey saat di kantin? Apa ada yang menguping dan melaporkannnya pada Jace?Aku tahu Jace punya teman-teman yang loyal. Namun, kalau mereka sampai menguping obrolanku demi memenuhi kemauan Jace, itu sangat keterlaluan. Privasiku terganggu dan aku sangat tidak suka itu.Lagi pula, Jace tidak berhak bicara seperti itu. Dia tidak berhak mengatur Zoey dalam bersikap padaku. Memangnya dia pikir dia itu siapa?“Kenapa sih, Kat? Dari tadi meringis sambil geleng-geleng kepala mulu.” Seseorang membangunkanku dari lamunan
“Kat!! Nyebur yoook!” ajak Sheryl dengan sedikit berteriak ketika aku sedang menikmati makan siangku.Aku menggeleng dan mengangkat piring penuh lauk ke arahnya. “Lagi makan.”Dia melirik dengan malas ke arah meja panjang yang kami atur di pinggir kolam renang sebagai meja parasmanan. Beberapa orang mengambil jatah makan siangnya di meja itu. Sebagian lagi memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kolam renang dan membuat kerusuhan di sana. Sheryl adalah salah satu yang akan memenuhi kolam renang cantik di depanku ini.Dia mengerucutkan bibir padaku. “Enggak asik, ah.”“Makan dulu, Sher.” Aku mengingatkan karena setahuku dia belum makan apa-apa dari pagi.“Enggak perlu, gue udah kenyang makan dimsum.”Aku menggelengkan kepala dan segera menjauh dari kolam ketika melihat dia mulai berancang-ancang untuk terjun.Byur!!Sorak kegirangan mengiringi bunyi riak air y
“Temui gue di samping dapur.” Aku meremang mendengar suaranya yang dalam yang dingin. Berbagai pertanyaan ingin aku tanyakan padanya saat ini juga. Apa yang akan dia bicarakan? Kenapa harus mencari tempat terpencil di samping dapur? Kenapa tidak di sini dan sekarang? Namun yang keluar dari mulutku hanya satu kata saja. “Apa?” Jace tidak menjawab. Dia malah menatapku dengan matanya yang menyimpan misteri. Tidak ada jendela yang bisa aku buka di sana. Hanya tatapan tajam yang mungkin bisa membunuhku. “Kat?” Suara Zoey mengagetkanku. Bahkan aku hampir menjatuhkan ponselku karena terkejut. Dia muncul dengan tiba-tiba dari balik tembok wastafel. “Eh, Hai Zoey, kenapa?” tanyaku dengan terbata. Tidak seharusnya aku panik seperti tertangkap basah sedang selingkuh. Jace hanya bicara tidak lebih dari tiga kalimat. Seharusnya itu bukan masalah besar. Oke, aku berlebihan. “Cuma cek doang. Tadi kamu ngilang begitu aja.” “Aku
Riuh teman-temanku seperti dengungan yang samar. Percikan dan riak air di mataku seolah menjadi adegan film yang diputar dengan gerakan melambat. Pandanganku selalu ke sana. Ke arah Jace yang juga memandang ke arahku.Dia menatapku lekat. Bahkan dari kejauhan, aku bisa merasakan intimadasi dari sorot mata itu. Membuat punggungku seperti di guyur air es. Aku sampai menggigil demi menghilangkan sensasi menakutkan itu.Apa dia marah karena reaksiku tadi yang tiba-tiba pergi dan bersembunyi bagai pengecut di sini?“Gue suka sama lo.”Ucapannya masih terngiang-ngiang di telingaku. Empat kata yang meluluh-lantahkan pertahananku selama ini.Berbulan-bulan aku berperang dengan perasaan ini. Perasaan yang membuat hatiku seperti menyimpan bara api. Panas dan pedih. Sekuat tenaga aku menjaga supaya tidak membesar. Tertatih-tatih menjaga supaya asapnya tidak terlihat ke permukaan.Lalu empat kata yang di ucapkan Jace tadi seperti be