Share

Bab 6

Bab 6

Meski kami kembali berbaikan, aku dan Mas Indra sepakat tak bertemu beberapa minggu.  Kami takut Remon memata-matai kami. Sekaligus sebagai pelajaran supaya lebih berhati-hati lagi.

Sampai suatu hari aku mendapat panggilan telfon misterius, setiap hari mengirim pesan. Mas Indra menyuruhku memblokir nomer tersebut, tetapi nomer tersebut mengirim sebuah foto, bahkan foto kami di Bali. Lalu sebuah pesan ancaman bermunculan. 

[ Temui aku, lok. Gedung Jaya xxx no.1xxx ]

Aku tak pernah membalasnya, namun kali ini terpaksa aku membalas. Siapa dia? Apakah Remon?

[ Siapa kamu? ]

[ Aku pelacur! ] jawaban pesan ini membuat otakku mendidih. Aku langsung pencet tombol call, tapi herannya peneror tak mengangkat. 

[ Angkat telfonmu pecundang! ] pesan makian pun terkirim.

[ Datang ke sini atau ku kirim foto ini ke madumu ]

Aku tak membalasnya, aku langsung menghubungi Mas Indra. Aku hampir stres diteror terus menerus.

Tak berselang lama panggilan terhubung.

"Halo, Sayang" sapa Mas Indra disebrang telefon. 

"Mas, nomer itu terus menerorku. Aku bingung Mas. Situasi makin kacau" aduku. Perasaanku sudah tertekan.

"Kita harus ketemu" aku melanjutkan kalimatku. 

"Mega! Aku juga sedang berfikir. Aku tahu situasinya. Kamu juga harus ngertiin aku"

"Mas peneror itu. Punya lebih banyak foto kita dibanding Remon"

"Apa!" suara Mas Indra terdengar kaget.

"Iya. pokoknya kita harus ketemu. Sekarang!"

"Baiklah, aku ke sana"

Suara bel pintu mengejutkanku. Tak biasanya Mas Indra menekan bel. Aku tak mau membukakan pintu sembarangan disituasi gawat. Lebih baik ku telfon saja Mas Indra.

"Halo, Mega! Kamu jangan bukakan pintu untuk siapapun. Tunggu aku datang. Peneror itu juga meneror aku" suara Mas Indra berisi peringatan. Kepanikannya terasa jelas. Bel pintu ditekan makin kecang. Aku benar-benar ketakutan. Aku bersembunyi sampai suara itu reda. 

Aku mencoba mengintip. Memastikan tak ada siapapun. Aku melihat sebuah paket.

Aku segera mengambil kemudian langsung mengunci pintu.

Aaaaaaaaaa... Aku berteriak ketakutan saat membuka kotak tersebut yang berisi foto-foto vulgar kami dilumuri dengan darah. Hanya Tia yang tau aku takut darah. Aku mencoba menenangkan diri. Aku berfirikir apakah Tia? aku teringat kembali di masalalu. 

Flash back....

"Mega, andaikan kita menyukai orang yang sama apa yang akan kamu lakukan?"

"Apaan, sih Tia,  aku enggak mau berandai-andai" 

"Jawab, Apa pendapatmu?" desak Tia, dengan suara manja.

"Hm, biarkan lelaki yang memilih. Jadi saran aku jangan menyukai pria yang sama" ucapku Kala itu.

"kalau aku rela. Asal Jangan hianati. Aku juga bisa balas dendam"  sayangnya aku tak menghiraukan apapun, kenangan itu tak pernah berputar diotakku.

Back To Now... 

"Mega, kamu kenapa?" aku tak sadar Mas Indra sudah berdiri dihadapanku. Mas Indra memapahku yang lunglai duduk ke kursi. 

"Mas, aku sudah tau siapa pelakunya"

"Siapa?" 

"Tia" aku mengucapka nama Tia.

"Tidak mungkin! Tia saja tidak tahu hubungan kita" Mas Indra tak mempercayaiku. 

"Kamu lihat kotak itu! Foto kita dilumuri darah. Pasti pengirimnya Tia. Cuma Tia yang tahu aku takut da--rah" aku menjelaskan. Kemudian Mas Indra melihat foto kami. 

"Tapi Tia tidak tahu hubungan kita"

"Tahu dari mana kamu Mas, kalau Tia tak tahu tentang kita?"

"Salah satu dari kita tidak ada yang membocorkan. Termasuk Remon, kemarin dia memerasku. Dia meminta 100juta"

"Lalu kamu berikan begitu saja"

" ya, aku lakukan demi kita. Aku enggak mau Tia dan publik tahu. Bisa tercemar kedudukanku. Aku juga belum menemukan cara membujuk Remon"

"Jika Remon sudah meminta imbalan, pasti sekarang perbuatan Tia"

"Stop! Mega, Tia tidak ada hubungannya"

"lebih baik kita datangi saja peneror itu. Dia memintamu bertemu bukan" Mas Indra setuju untuk datang

"Aku takut Mas" 

"Aku akan ikut denganmu. Aku akan bersembunyi. Dimana lokasinya?" Mas Indra merebut gawaiku. 

[ Apa yang kamu inginkan? ] Mas Indra mengirim pesan kepada peneror.

[ Semua milikmu dan selingkuhanmu ] balasan dari peneror membuat Mas Indra kesal bukan main.

[ Baik aku akan ke sana ]

[ 10 menit ] hanya ini balasan dari peneror. Aku dan Mas Indra menuju lokasi peneror. Mas Indra menyiapkan pistol untuk berjaga-jaga. 

Kita telah sampai tempat yang dituju. Namun teryata gedung ini. Gedung kosong yang terbelengkai. Bangunan belum jadi yang tak dilanjutkan. 

Tidak ada seorang pun di tempat ini. Semua kosong bahkan jauh dari jalan ramai. Aku dan Mas Indra berhati-hati setiap menyusuri bangunan. Tiba di lantai yang dituju Mas Indra bersembunyi. Tak ada seorangpun yang datang. Aku merasa telah tertipu. Jadi dia ingin mempermainkanku? 

Aku menghubungi peneror, belum sempat tersambung Mas Indra mendorong tubuhku. Sebuah kayu besar jatuh. Untung Mas Indra sigap jika, tidak aku sudah mati. 

"Mega sepertinya ini jebakan"

"Apa yang harus kita lakukan, Mas"

"Berhati-hati" hanya itu jawabannya Mas Indra 

Aku dan Mas Indra mencari seisi ruangan itu, tapi kami tak menemukan apapun. Setelah puas mencari, kami memutuskan pulang. 

Disela perjalanan Mas Indra mendapat panggilan dari Remon.

"Halo Bro,  biasa aku mau 100juta lagi"

"Apa! Kamu gila! Kemarin baru saja kuberikan!"

"Kamu lupa Bro, aku ini penjudi uang seratus jutamu tak guna"

"Kamu gila!" maki Mas Indra menutup telfon. 

"Remon benar-benar gila! Bisa-bisanya setiap hari minta 100juta!" Mas Indra kesal bukan main. Kini mobilnya melaju lebih kencang. Aku menahan emosinya. 

"Mas, sabar ya," ucapku, mengelus pundaknya 

Kami kembali ke Apartment, aku melihat sebuah paket lagi, kami kembali masuk, tapi aku tak mau melihatnya. Kejadian pertama membuat aku merinding

Mas Indra bertambah emosi setelah melihat paket itu, 

"Sialan! Jadi, peneror itu terus memata-matai kita!"

"Maksud, Mas"

"Lihat!" Mas Indra menunjukan foto. Foto yang diambil saat kita datang ke gedung itu.

"Ini pasti ulah Remon!" terka Mas Indra.

"Kita temui Remon" ucap Mas Indra. Aku yang kalang kabut hanya bisa mengikuti kemauan Mas Indra. Aku tak mau berdebat lalu, membuat keadaan makin rumit.

-------------------

"Akhirnya, kalian datang juga" sambut Remon melihat aku dan Mas Indra datang.

"Mana duitnya!" tanpa malu Remon meminta uang.

"Aku bakal kasih duit ini, tapi ada syaratnya" ucap Mas Indra.

"Apa syaratnya? Tenang aja. Selama kamu masih mau memenuhi keinginan aku. Rahasia kalian aman!" jawab Remon.

"Aku minta kamu hapus foto kita!" 

"Kalau aku enggak mau" ucap Remon meremehkan, Mas Indra yang hilang kesabaran memukul Remon, lalu terjadi saling pukul. Mereka tak bisa dilerai. Aku ingat Mas Indra menyimpan pistol, aku bergegas mengambil benda itu. 

Dorr... Ku arahkan suara pistol ke atas, sebagai tanda peringatan. Mereka berdua langsung mengangkat tangan. Lalu, kutodongkan ke arah Remon.

"Jangan bergerak atau mati" ancamku kepada Remon. Remon menuruti tak bergerak sedikitpun.

Mas Indra merasa menang, ia berjalan melangkah menuju Remon. 

"Mana HP kamu!" Mas Indra mengambil HP Remon, lalu bergegas menghapus foto-foto kami. 

"Kamu simpan dimana lagi,  bukti tentang kami" ucap Mas Indra, sembari menepuk pelan pipi Remon, seyum mirisnya terlihat jelas sekarang ia merasa menang.

"Cuma itu. Aku enggak simpan dimana pun.  Hanya itu" kali ini suara Remon gemetar, ia nampak takut.

"Ini uang buat kamu!" Mas Indra tetap memberikan uang 100 juta kepada Remon. Remon tampak senang menerimanya.

"Tapi, ingat ini terakhir kali kamu menerimanya" ujar Mas Indra

"Terima kasih... Terima kasih... Aku berjanji ini yang terakhir kali" Remon menerima. Dia pikir aku dan Mas Indra akan melepaskan begitu saja. Enak sekali!

"Mega" panggil Mas Indra.

"Sekarang..." jawabku

"Apa yang kalian lakukan!" ucap Remon, suaranya bergetar.

Aku mendekat lebih dekat lagi, lagi, dan lagi. Sampai tepat pistol di kepalanya. Remon bergetar ketakutan.

"Cepat, Mega" pinta Mas Indra. 

"Ja--ngan Mega. A--ku minta maaf. Aku jan---ji tidak menganggu kalian lagi"

"Cepat mega, bunuh dia!" Mas Indra tak sabar berteriak. Sedangkan Remon terus menghiba.

"Aku janji enggak ganggu kamu lagi.  Kamu harus ingat aku pernah baik padamu" Remon terus menghiba belas kasihan. Sambil mengingatkan mega. Semakin mega ingat semakin membenci Remon.

"Cepat tembak dia, Mega!" suruh Mas Indra terus menerus.

Dorr... Pelurupun melayang tepat mengenai sasaran. Aku menembak kaki Mas Indra....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status