Share

Bab 5

Bab 5

Aku keluar dari kamar. Ada rasa gemetaran dalam hati, namun saat keluar yang ku lihat Mas Indra sedang menyantap pizza.

Oh, rupanya hanya kurir. Hampir membuat jantungku copot saja, dan Mas Indra. Kelaparan ia kah? sampai disaat seperti ini sanggup makan.

Akupun ikut makan bersama Mas Indra, dengan duduk dipangkuannya. Aku bisa romantis bukan, makanpun penuh dengan kemanjaan. Kapan lagi? Kalau tidak sekarang. Beginilah nasib menjadi Istri kedua, diutamakan tapi nunggu giliran.

------------------

Aku dan Mas indra menikmati angin pantai Bali, hari-hariku terasa indah, bila boleh diminta aku ingin lebih lama lagi, tetapi tuntutan pekerjaan Mas Indra tak bisa lama.

Ting... Sebuah pesan masuk

[ Mega, kamu dimana? Katanya kamu cuti. Dikontrakan enggak ada. Kamu pulang kampung kah? ]

Pesan dari Tia berurutan disertai puluhan panggilan telepon.

'Tia, Tia. Tak bisakah kamu tak mengangguku saat ini. Aku ingin bersama Mas Indra tanpa cemas' ucapku dalam hati. 

"Ada apa?" Mas Indra bertanya, memperhatikan mukaku yang cemas.

"Istrimu tak mencarimu kah, Mas" Aku balik bertanya.

"Sayang, Mas kan, udah ngomong. Saat kita berdua jangan bahas yang lain." 

"Tia mencariku, Mas"

"Biarkan saja, matikan HPmu. Aku ingin kita berdua bersenang-senang"

"Aku harus jawab apa" alih-alih dapat jawaban, Mas Indra malah mematikan gawaiku.

"Kita nikmati saja hari kita, masalah Tia. Kita urus setelah pulang. Oke"  Mas Indra memelukku dari belakang.

-------------------------

Setelah pertemuan itu dan waktu liburan. Hubungan kami membaik lagi, Mas Indra juga sering menemuiku dibelakang seperti biasa. 

Kegiatan di Apartemen pun berlanjut.  Aku juga jarang bertemu Tia, terakhir bertemu setelah liburan. Dia juga jarang menghubungiku mungkin aktivitasnya sebagai dokter bertambah sibuk. Aku memiliki kesempatan sering bersama Mas Indra. Sampai suatu saat kami kepergok orang yang suwaktu-waktu bisa membongkar hubungan kami. 

"Hai, mega. Apa kabar?" sapa seseorang lelaki, tanpa ijin mengambil tempat duduk disebelahku.

"Kamu!" Mas Indra tersentak kaget 

"Iya, aku!" jawab lelaki itu. 

"Mau apa kamu disini! Kamu dan Mega sudah berakhir!" Mas Indra tampak sengit.

"Lalu kalian berlanjut begitu" ucap lelaki itu, dengan senyum mengejek.

Mas Indra tak dapat berkata-kata, Mas Indra lupa kalau Remon mengenal mereka. Ya, lelaki itu bernama Remon. dia adalah Mantan suamiku.

"Apa maksudmu" Mas Indra mulai santai.

"Jangan berpura-pura bodoh, aku tau apa yang kalian lakukan. Aku juga telah mengambil foto kalian. Sepertinya kalian terlihat cocok"

Mas Indra tak menjawab Remon. Hanya tatapan matanya tajam. Melihat muka Remon seolah ada maunya.

"Sahabatmu itu begitu baik, Mega. Saking baiknya suaminya pun dipinjamkan" ucap Remon mengeluarkan tawa menjengkelkan.

"Kami tak seperti itu" kali ini Mas Indra menjawab.

"Memang tak seperti itu, tapi seperti ini" sambil menunjukan foto digawainya.  Teryata Remon sudah mengikuti kami tak hanya satu  foto kami, tapi puluhan.

"Apa maumu? Uang! atau..." Mas Indra kali ini terlihat seperti seorang yang mengerikan. Aku sendiri belum pernah melihatnya sebengis itu. 

"Bagaimana kalau tak keduanya" jawaban Remon membuat Mas Indra mengepalkan tangan. 

"Aku mau selingkuhanmu ini" Mendengar pilihan Remon Mas Indra menarik kerah baju Remon. Ingin meninjunya. 

"Mau ku adukan istrimu" dengan santai Remon menimpali. Seketika nyali Mas Indra menciut. 

"Santai aja bro! aku tak butuh wanita sampah ini. Aku sudah puas menikmatinya!" maki Remon melihat kearahku sekilas. 

Remon mengambil gawai Mas Indra disakunya lalu merapikan kemejanya. Lalu, Remon mencacat nomer Mas Indra. Mas Indra mendiamkan kelakuan Remon yang tak punya sopan santun.

"Nomer kamu, aku simpan! Jadi,  jangan macam-macam!" ancam Remon. 

"Aku mau duit. Berikan yang ada didompetmu!" lanjutnya

Mas Indra bagaikan orang kena rampok, menurut begitu saja. Saat Remon memalak uangnya. 

Saat Remon hendak menerima Mas Indra menarik kembali uangnya kemudian berkata.

"Kamu mau uang. Jangan panggil dia wanita sampah!" ucap Mas Indra penuh penekanan tajam. Lalu, uang itu dilemparkannya tepat mengenai muka Remon. 

"Kamu Ambil atau kukirim saja foto mesra kalian, ke Tia. Atau kerumahmu" Remon bertindak santai terhadap kelakuan Mas Indra. 

"Ayo Ambil!" Kali ini Remon terlihat marah

Saat Mas Indra hendak memungutnya aku langsung bertindak. Aku tak mau harga diri Mas Indra terinjak oleh bajingan seperti Remon.

"Ini uangnya,  kamu jangan bilang Tia" ucapku sambil menyodorkan uang yang ku pungut.

Remon mengambil uang lalu pergi. Aku dan Mas Indra duduk dengan perasaan kacau.  Bagaimana kalau Remon nekat? Apa yang harus kami lakukan meskipun hubungan kami halal. 

"Bagaimana ini, Mas?" tanyaku. Setelah terdiam cukup lama, Mas Indra diam membisu sejak tadi.

"Aku belum siap, Tia tau, Mas"

"Kenapa kamu diam saja, Mas?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya

"Kita harus cari cara, Mas"

"Mega, kamu bisa diam enggak! Aku juga bingung. Kalau kamu cerewet aku enggak bisa mikir!" bentak Mas Indra. Seketika mengudang perhatian orang-orang di tempat ini. 

"Kamu pikir aku siap! Jika harus pisah dengan Tia!" lanjutnya lagi, kali ini Mas Indra lupa dia berada ditempat ramai. Tak memedulikan sekeliling orang menatapnya. 

"Semua gara-gara kamu!" Mas Indra tak berhenti membentakku. Aku malu dibentak di tempat umum, aku malu orang-orang menatapku sinis. Tak ku dengarkan lagi kemarahan Mas Indra, karena bentakannya kami sudah jadi tontonan gratis.

Aku berlari menundukan kepala melewati orang-orang yang menatapku. Aku ingin segera menangis, hati rasa sudah diujung untuk menahan airmata, sakit terasa sampai tak bisa ku menahannya.

Aku kembali ke Apartemen tanpa Mas Indra, kutumpahkan tangis yang sedari tadi, aku luapkan semua kesal. Ku banting semua barang. Baju ku hamburkan aku obrak-abrik seisi apartemen ini. Setelah kesal dihati reda. Aku duduk menghadap jendela. Merenungi nasib.

Apakah semua lelaki sama? Aku tak pernah berfikir Mas Indra bisa seperti itu? Mengingat bentakan Mas Indra membuat hatiku makin sakit. Aku teringat awal aku dan Mas Indra mulai hubungan ini. Mas Indra begitu baik, meluluhkan hatiku setelah rumah tangga yang kujalani bersama Remon bagai neraka. Saat itu yang ku rasakan aku merasa diperlakukan wanita yang dikasihi, seiring bertambahnya waktu rasa itu berubah menjadi sesuatu yang lain, yaitu cinta. hal yang tak aku dapatkan dari Remon.

Semakin aku berfikir semakin banyak masalalu yang teringat. Aku mengingat Mas Indra, kemudian rasa bersalah pada Tia makin dalam. Pikiranku menyalahkan diri sendiri tapi, hati tak bisa dipungkiri aku mencintai suaminnya.

Mungkin benar yang dikatakan Mas Indra semua gara-gara aku, jika saja aku tak masuk dalam hidupnya pasti hidup mereka bahagia. Tapi semua bukan salahku sepenuhnya. Entah siapa yang patut disalahkan dalam hal ini. Aku, Mas Indra atau Tia. Bisa saja Remon yang paling bersalah.

"Mega, Mas, minta maaf" ucap Mas Indra begitu datang ke Apartment. Aku sama sekali tak bergeming.

"Maafkan aku, ya" Mas Indra mendekat kearahku.

"Mungkin benar,  semua gara-gara aku" ucapku menyalahkan diri

" Maafkan aku, aku benar-benar kacau tadi" Lalu Mas Indra memelukku dengan cinta seperti biasa. 

"Aku sudah menemukan solusinya"

"Apa... " jawabku antusias

"Kita ikuti saja kemauan Remon selama tidak membongkar hubungan kita"

"Kalau bajingan itu, memerasmu" 

"kita bisa lapor polisi" jawab Mas Indra enteng.

"Tak semudah itu, Mas. Kalau lapor polisi hubungan kita malah makin ketahuan. Bahkan sampai kepublik"

"Kamu benar juga" ujar Mas Indra mangut-mangut.

"Kita harus cari cara" ucapku.

"Kita harus nyusun rencana"

"Rencana apa?" tanya Mas Indra menerka nerka. 

"Kita tunggu aja apa permainan Remon, Mas" ucapku.

Aku dan Mas Indrapun berbaikan lagi, seperti pepatah bagaikan masakan tanpa garam. Hambar. Aku dan Mas Indra tak bisa dipisah. Seperti apapun kami selalu ada tempat berbaikan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
biarpun dokter tapi g harus cerdikkan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status