Aku keluar dari kamar. Ada rasa gemetaran dalam hati, namun saat keluar yang ku lihat Mas Indra sedang menyantap pizza.
Oh, rupanya hanya kurir. Hampir membuat jantungku copot saja, dan Mas Indra. Kelaparan ia kah? sampai disaat seperti ini sanggup makan.
Akupun ikut makan bersama Mas Indra, dengan duduk dipangkuannya. Aku bisa romantis bukan, makanpun penuh dengan kemanjaan. Kapan lagi? Kalau tidak sekarang. Beginilah nasib menjadi Istri kedua, diutamakan tapi nunggu giliran.
------------------
Aku dan Mas indra menikmati angin pantai Bali, hari-hariku terasa indah, bila boleh diminta aku ingin lebih lama lagi, tetapi tuntutan pekerjaan Mas Indra tak bisa lama.
Ting... Sebuah pesan masuk
[ Mega, kamu dimana? Katanya kamu cuti. Dikontrakan enggak ada. Kamu pulang kampung kah? ]Pesan dari Tia berurutan disertai puluhan panggilan telepon.'Tia, Tia. Tak bisakah kamu tak mengangguku saat ini. Aku ingin bersama Mas Indra tanpa cemas' ucapku dalam hati.
"Ada apa?" Mas Indra bertanya, memperhatikan mukaku yang cemas.
"Istrimu tak mencarimu kah, Mas" Aku balik bertanya.
"Sayang, Mas kan, udah ngomong. Saat kita berdua jangan bahas yang lain."
"Tia mencariku, Mas"
"Biarkan saja, matikan HPmu. Aku ingin kita berdua bersenang-senang"
"Aku harus jawab apa" alih-alih dapat jawaban, Mas Indra malah mematikan gawaiku.
"Kita nikmati saja hari kita, masalah Tia. Kita urus setelah pulang. Oke" Mas Indra memelukku dari belakang.
-------------------------
Setelah pertemuan itu dan waktu liburan. Hubungan kami membaik lagi, Mas Indra juga sering menemuiku dibelakang seperti biasa.Kegiatan di Apartemen pun berlanjut. Aku juga jarang bertemu Tia, terakhir bertemu setelah liburan. Dia juga jarang menghubungiku mungkin aktivitasnya sebagai dokter bertambah sibuk. Aku memiliki kesempatan sering bersama Mas Indra. Sampai suatu saat kami kepergok orang yang suwaktu-waktu bisa membongkar hubungan kami.
"Hai, mega. Apa kabar?" sapa seseorang lelaki, tanpa ijin mengambil tempat duduk disebelahku.
"Kamu!" Mas Indra tersentak kaget
"Iya, aku!" jawab lelaki itu.
"Mau apa kamu disini! Kamu dan Mega sudah berakhir!" Mas Indra tampak sengit.
"Lalu kalian berlanjut begitu" ucap lelaki itu, dengan senyum mengejek.
Mas Indra tak dapat berkata-kata, Mas Indra lupa kalau Remon mengenal mereka. Ya, lelaki itu bernama Remon. dia adalah Mantan suamiku.
"Apa maksudmu" Mas Indra mulai santai.
"Jangan berpura-pura bodoh, aku tau apa yang kalian lakukan. Aku juga telah mengambil foto kalian. Sepertinya kalian terlihat cocok"
Mas Indra tak menjawab Remon. Hanya tatapan matanya tajam. Melihat muka Remon seolah ada maunya.
"Sahabatmu itu begitu baik, Mega. Saking baiknya suaminya pun dipinjamkan" ucap Remon mengeluarkan tawa menjengkelkan.
"Kami tak seperti itu" kali ini Mas Indra menjawab.
"Memang tak seperti itu, tapi seperti ini" sambil menunjukan foto digawainya. Teryata Remon sudah mengikuti kami tak hanya satu foto kami, tapi puluhan.
"Apa maumu? Uang! atau..." Mas Indra kali ini terlihat seperti seorang yang mengerikan. Aku sendiri belum pernah melihatnya sebengis itu.
"Bagaimana kalau tak keduanya" jawaban Remon membuat Mas Indra mengepalkan tangan.
"Aku mau selingkuhanmu ini" Mendengar pilihan Remon Mas Indra menarik kerah baju Remon. Ingin meninjunya.
"Mau ku adukan istrimu" dengan santai Remon menimpali. Seketika nyali Mas Indra menciut.
"Santai aja bro! aku tak butuh wanita sampah ini. Aku sudah puas menikmatinya!" maki Remon melihat kearahku sekilas.
Remon mengambil gawai Mas Indra disakunya lalu merapikan kemejanya. Lalu, Remon mencacat nomer Mas Indra. Mas Indra mendiamkan kelakuan Remon yang tak punya sopan santun.
"Nomer kamu, aku simpan! Jadi, jangan macam-macam!" ancam Remon.
"Aku mau duit. Berikan yang ada didompetmu!" lanjutnya
Mas Indra bagaikan orang kena rampok, menurut begitu saja. Saat Remon memalak uangnya.
Saat Remon hendak menerima Mas Indra menarik kembali uangnya kemudian berkata.
"Kamu mau uang. Jangan panggil dia wanita sampah!" ucap Mas Indra penuh penekanan tajam. Lalu, uang itu dilemparkannya tepat mengenai muka Remon.
"Kamu Ambil atau kukirim saja foto mesra kalian, ke Tia. Atau kerumahmu" Remon bertindak santai terhadap kelakuan Mas Indra.
"Ayo Ambil!" Kali ini Remon terlihat marah
Saat Mas Indra hendak memungutnya aku langsung bertindak. Aku tak mau harga diri Mas Indra terinjak oleh bajingan seperti Remon.
"Ini uangnya, kamu jangan bilang Tia" ucapku sambil menyodorkan uang yang ku pungut.
Remon mengambil uang lalu pergi. Aku dan Mas Indra duduk dengan perasaan kacau. Bagaimana kalau Remon nekat? Apa yang harus kami lakukan meskipun hubungan kami halal.
"Bagaimana ini, Mas?" tanyaku. Setelah terdiam cukup lama, Mas Indra diam membisu sejak tadi.
"Aku belum siap, Tia tau, Mas"
"Kenapa kamu diam saja, Mas?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya
"Kita harus cari cara, Mas"
"Mega, kamu bisa diam enggak! Aku juga bingung. Kalau kamu cerewet aku enggak bisa mikir!" bentak Mas Indra. Seketika mengudang perhatian orang-orang di tempat ini.
"Kamu pikir aku siap! Jika harus pisah dengan Tia!" lanjutnya lagi, kali ini Mas Indra lupa dia berada ditempat ramai. Tak memedulikan sekeliling orang menatapnya.
"Semua gara-gara kamu!" Mas Indra tak berhenti membentakku. Aku malu dibentak di tempat umum, aku malu orang-orang menatapku sinis. Tak ku dengarkan lagi kemarahan Mas Indra, karena bentakannya kami sudah jadi tontonan gratis.
Aku berlari menundukan kepala melewati orang-orang yang menatapku. Aku ingin segera menangis, hati rasa sudah diujung untuk menahan airmata, sakit terasa sampai tak bisa ku menahannya.
Aku kembali ke Apartemen tanpa Mas Indra, kutumpahkan tangis yang sedari tadi, aku luapkan semua kesal. Ku banting semua barang. Baju ku hamburkan aku obrak-abrik seisi apartemen ini. Setelah kesal dihati reda. Aku duduk menghadap jendela. Merenungi nasib.
Apakah semua lelaki sama? Aku tak pernah berfikir Mas Indra bisa seperti itu? Mengingat bentakan Mas Indra membuat hatiku makin sakit. Aku teringat awal aku dan Mas Indra mulai hubungan ini. Mas Indra begitu baik, meluluhkan hatiku setelah rumah tangga yang kujalani bersama Remon bagai neraka. Saat itu yang ku rasakan aku merasa diperlakukan wanita yang dikasihi, seiring bertambahnya waktu rasa itu berubah menjadi sesuatu yang lain, yaitu cinta. hal yang tak aku dapatkan dari Remon.
Semakin aku berfikir semakin banyak masalalu yang teringat. Aku mengingat Mas Indra, kemudian rasa bersalah pada Tia makin dalam. Pikiranku menyalahkan diri sendiri tapi, hati tak bisa dipungkiri aku mencintai suaminnya.
Mungkin benar yang dikatakan Mas Indra semua gara-gara aku, jika saja aku tak masuk dalam hidupnya pasti hidup mereka bahagia. Tapi semua bukan salahku sepenuhnya. Entah siapa yang patut disalahkan dalam hal ini. Aku, Mas Indra atau Tia. Bisa saja Remon yang paling bersalah.
"Mega, Mas, minta maaf" ucap Mas Indra begitu datang ke Apartment. Aku sama sekali tak bergeming.
"Maafkan aku, ya" Mas Indra mendekat kearahku.
"Mungkin benar, semua gara-gara aku" ucapku menyalahkan diri
" Maafkan aku, aku benar-benar kacau tadi" Lalu Mas Indra memelukku dengan cinta seperti biasa.
"Aku sudah menemukan solusinya"
"Apa... " jawabku antusias
"Kita ikuti saja kemauan Remon selama tidak membongkar hubungan kita"
"Kalau bajingan itu, memerasmu"
"kita bisa lapor polisi" jawab Mas Indra enteng.
"Tak semudah itu, Mas. Kalau lapor polisi hubungan kita malah makin ketahuan. Bahkan sampai kepublik"
"Kamu benar juga" ujar Mas Indra mangut-mangut.
"Kita harus cari cara" ucapku.
"Kita harus nyusun rencana"
"Rencana apa?" tanya Mas Indra menerka nerka.
"Kita tunggu aja apa permainan Remon, Mas" ucapku.
Aku dan Mas Indrapun berbaikan lagi, seperti pepatah bagaikan masakan tanpa garam. Hambar. Aku dan Mas Indra tak bisa dipisah. Seperti apapun kami selalu ada tempat berbaikan.
Bab 6Meski kami kembali berbaikan, aku dan Mas Indra sepakat tak bertemu beberapa minggu. Kami takut Remon memata-matai kami. Sekaligus sebagai pelajaran supaya lebih berhati-hati lagi.Sampai suatu hari aku mendapat panggilan telfon misterius, setiap hari mengirim pesan. Mas Indra menyuruhku memblokir nomer tersebut, tetapi nomer tersebut mengirim sebuah foto, bahkan foto kami di Bali. Lalu sebuah pesan ancaman bermunculan.[ Temui aku, lok. Gedung Jaya xxx no.1xxx ]Aku tak pernah membalasnya, namun kali ini terpaksa aku membalas. Siapa dia? Apakah Remon?[ Siapa kamu? ][ Aku pelacur! ] jawaban pesan ini membuat otakku mendidih. Aku langsung pencet tombol call, tapi herannya peneror tak mengangkat.[ Angkat telfonmu pecundang! ] pesan makian pun terkirim.[ Datang ke sini atau ku kirim foto ini ke madumu ]Aku tak membalasnya, aku langsung menghubungi Mas Indra. Aku hampir stres diteror terus menerus.
Bab7Remon kebingungan, melihat aku menembak Mas Indra. Lalu, suara sirine polisi terdengar nyaring."Kurang ajar!" maki Remon, terjawab sudah kebingungannya."Sialan!" Remon menamparku lalu, merebut pistol dari tanganku."Daripada aku di tangkap polisi Karena dijebak. Aku lebih memilih pembunuhan" Remon menodongkan pistol ke arah kami.Remon menarik pelatuk pistol, tapi sangat di sayangkan pelurunya kosong. Aku sudah hapal akal bulus Remon. Sengaja aku mengosongkannya.Pucuk dicinta ulampun tiba, momen Remon seperti seorang penjahat disitu polisi datang."Jangan bergerak! Angkat tangan!" seru seorang polisi. Akhirnya Remon hanya bisa pasrah. Dia tak bisa menyangkal tuduhan. Polisi melihat sendiri adegannya. Aku ditodong pistol, Mas Indra tertembak serta tas berisi uang ada di tangan Remon.----------"Ini Rencana kamu, Meg?" Mas Indra bertanya melalui bisikan telinga"Kamu gila! Kamu mau membunuhku!"
Bab 8Sebelum ke pengadilan aku sengaja mendatangi Remon. Aku ingin melihat betapa sengsaranya ia berada di jeruji besi."Mau apa kamu ke sini, jalang!" sapaan Remon terdengar mengerikan layaknya bajingan."Aku hanya ingin memberimu selamat. Congrolation..." aku memberi kejutan sebuah kue. Kue yang mengingatkanku setiap saat, aku pernah di ambang kematian saat ulang tahunku Remon memberikan kue itu."Selamat menikmati. Aaaaaa" Aku ingin Remon menikmati. Sengaja kusodorkan tanganku ingin menyuapinya, belum sempat sampai ke mulut, Remon menampel tanganku."Kenapa? Kamu takut" Aku tersenyum miris."Aku tak licik sepertimu Remon," Lalu, aku sengaja memakan kue di hadapannya.Tatapan Remon begitu sengit memadangku seolah ingin melahapku hidup-hidup."Lihat aku tak mati, bahkan jika ini beracun pun aku takkan mati" sindirku mengingatkan dengan kejadian dulu."Katakan apa maumu pe-la-cur" Remon bertanya seraya
Bab 9Virus cinta datang menyerangku, aku demam menggigil karena rindu. Sungguh aku tak percaya telah jatuh cinta saat itu, pertemuan lima menit membuat aku selalu terbayang.Kerap kali malam tak bisa tidur, menanti pagi dan sore. Ketika orang lain ingin kemacetan segera berlalu, aku malah ingin berlama-lama, berharap menemukannya ditengah keramaian lalu lintas.Dari kejauhan aku melihat orang berseragam sama seperti orang yang menggugah hatiku. Hatiku berbunga-bunga melihat kejauhan. Aku segera menyela motor-motor di depanku.Akhirnya aku sampai di samping pria berseragam pizza. Pipiku bersemu merah takut dan malu menyapa duluan, lalu aku memberanikan diri."Hai, Remon" aku menepuk bahu pria itu, saat menoleh aku kaget, dia bukan orang yang kucari."Alamak salah orang! Mukanya kaya anoman pula," aku bergumam lirih menahan malu. Orang bergigi berantakan itu malah menunjukan senyum tak indahnya."Apa neng?" Oran
Bab 10Usia kandunganku sudah berusia empat bulan, Remon selalu menjagaku, ia berubah 360 drajat. Berbanding terbalik dengan sifatnya, selalu mengalah padaku, saat aku menginginkan sesuatu pun ia langsung menurutinya.Sore hari Remon pulang dengan wajah lesu. Pasti ia sangat capek berkerja. Aku pun langsung menyiapkan air hangat untuknya. JRemon segera mandi.Ada yang aneh darinya, ia tak menyambutku seperti biasanya, ia seperti banyak menyimpan beban."Kamu kenapa? Sayang." Aku memberanikan diri bertanya"Mega... " Remon tak mengatakan apapun, tapi menyerahkan amplop berwarna coklat."Apa ini?" Aku membuka amplop tersebut, berisikan uang satu bulan gaji. Aku masih belum mengerti maksudnya."Aku di PHK. Itu pesangonnya" Aku syok mendengarnya, mau makan apa kami kalau pesangon hanya sebulan gaji, tabunganku juga sudah menipis untuk menutupi kekurangan biaya hidup kami." Tapi aku janji. Aku akan cari kerja lainny
Bab 11"Kenapa menutup mata?" Bos gendut bertanya, suaranya terdengar sangat dekat."Jangan menutup mata. Apa yang kamu takutkan" Aku masih tidak mau mmembuka mataku, atau pun menjawabnya."Baiklah, pisau ini kuletakkan. Aku tidak akan menyakitimu" Sebuah benda seperti dari almunium dilempar. Bunyi klentingnya sangat jelas. Aku mulai membuka mata perlahan.Aku masih tak mau melihat mereka kuarahakan penglihatanku ke bawah menunduk."Lihat aku, apa yang kamu takutkan?" Bos gendut malah menayaiku, aku bahkan tak bisa menjawab."Kamu sudah membaca perjanjiannya bukan? Remon sudah menandatanganinya, tapi ia tak bertanggung jawab. Dia pergi, dan bisa di gantikan orang lain. Kurasa kamu penggantinya" meski nada bicaranya halus aku dapat merasakan aura kejam pria gendut ini,Aku langsung berlutut berharap masih ada ampun. Semua salah Remon bukan aku."Aku mohon lepaskan aku. Aku sungguh tak tau masala
Bab 12Tia menyaksikan kami kembali berbaikan, Tia tersenyum, raut wajahnya tetap tidak suka. Mungkin Tia butuh bukti Remon sudah berubah. Sedangkan aku yang akan membuat bukti itu. Aku yakin Remon sudah kembali. Ia akan menjadi Remonku, yang dulu.Selama di rumah sakit ia merawatku sampai pulih, meski aku kehilangan anak, aku sudah menerimanya, meski sulit. Perubahan sikap Remon pun membuat aku pulih lebih cepat.Aku kembali menjalani hidup dengan Remon, ia tak mengekangku lagi melainkan. memberi aku cinta, kebebasan dan kebahagiaan.Hari-hari yang kulalui kembali seperti dulu, Remon memanjakanku, menyanyangiku. Bahkan ia tak melarangku jika ingin kembali bekerja asal aku sudah pulih.Remon sekarang berkerja menjadi supir. Ia tak lagi keluar malam selain untuk pekerjaan. Aku tak mendapati Remon mabuk atau lainnyaMalam itu, Remon mendadak Romantis. Ia memberiku sebuah hadiah, kalung emas putih."Selamat ulang tahun
Bab 13"Mega, kamu kenapa" Tia terperanjat melihat gerakanku."Ibu... Tia, Ibuku..." aku tak sanggup menjelaskan. Pikiranku sibuk memikirkan apa yang akan Remon lakukan.Sontak Tia langsung mengambil HPku. Beruntung layarnya saja yang pecah. Semuanya masih bisa di lihat dengan jelas.Tia menghubungi nomer Remon dengan HPnya. Begitu nomer tersambung Tia tak habis memakinya. Marahnya berapi-api.[ Hey. Dasar laki-laki bajingan, laknat, biadab. Apa yang kamu inginkan? Tidak puaskah kau menyiksa Mega, sampai orang tua pun mau kau siksa. Dimana hati nuranimu, dimana rasa kemanusiaanmu. Oh, iya aku lupa kau tak punya empati karna bukan manusia. Kau adalah iblis menyerupai manusia ] Tia mengoceh, tapi ocehannya malah di tertawakan dari sebrang telpon.[ Hahaha... Kamu Tia, sahabat Mega yang menjadi pahlawan. Katakan saja pada perempuan lacur itu untuk mencabut tuntutan ]Mendengar tawanya Tia, sangat membencinya. Ia tak menjawab dengan