Hari-hari setelah kepergian Anastasya adalah lautan sunyi yang menelan semangat hidup Jacob. Ia yang dulu dikenal penuh semangat, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, dan kata-katanya nyaris tak terdengar.
Di taman belakang rumah, Jacob duduk di bangku kayu, memandang tanpa tujuan ke arah langit yang memancarkan warna senja.
Hazel berdiri di ambang pintu, menatap Jacob dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah," bisik Hazel, berbalik menatap Dustin. "Kita harus melakukan sesuatu. Lima hari ini Jacob hanya diam seperti itu."
Dustin menggeleng pelan. "Biarkan dia, Hazel. Kehilangan seperti ini tak bisa disembuhkan dengan paksaan. Jacob perlu waktu untuk merelakannya."
"Tapi, Ayah..." Hazel menggigit bibirnya, hatinya terlalu sakit melihat kakaknya yang biasanya menjadi tumpuan kekuatan keluarga kini rapuh seperti daun kering di tiupan angin.
Tanpa memperdulikan larangan ayahnya, Hazel berjalan mendekati Jacob. Suara langkahnya mengusik keheningan, tapi Jacob tetap tak bergerak, seperti patung yang membatu dalam kenangan.
"Ayo ikut denganku," kata Hazel, mencoba menarik tangan Jacob agar berdiri. "Kau tidak bisa begini terus. Aku tahu ini berat, tapi Anastasya pasti tidak ingin melihatmu seperti ini."
Jacob akhirnya menoleh, matanya redup tapi penuh dengan rasa sakit. Nafasnya terdengar berat sebelum ia menjawab, "Aku tahu... Tapi hatiku belum sanggup, Hazel. Kehilangannya terlalu menyakitkan."
Hazel menghela napas panjang, berlutut di hadapan Jacob. "Aku tahu, Big Bro. Tapi kau harus berjuang. Aku yakin Anastasya ingin kau melanjutkan hidupmu dengan baik. Kau selalu membuatnya tertawa, dan dia pasti ingin itu terus terjadi, bahkan setelah kepergiannya."
Iris mata Jacob bergerak melihat Hazel, kemudian menghembuskan nafas dalam. Tampak jelas beban hatinya yang belum bisa mengikhlaskan wanita yang ia cintai pergi untuk selamanya.
"Kamu ada benarnya," Jacob mendongak, menatap langit senja yang mulai berubah gelap. "Anastasya pasti tidak akan suka melihatku bersedih karena kehilangan dirinya, tapi aku tak bisa mengontrol perasaanku untuk merelakannya."
Hazel tersenyum samar, hatinya turut sedih karena Jacob sering melamun di taman belakang seperti ini. Ia menarik Jacob bangkit dari duduknya, lalu memeluk hangat saudaranya itu.
"Kau pasti bisa menyembuhkan hatimu, aku yakin itu. Mungkin, sementara waktu kamu butuh tempat tenang agar hatimu bisa merelakan orang yang kamu cintai itu sudah tiada."
Jacob membalas pelukan Hazel, tak sadar ia kembali menangis. Hatinya kembali sakit jika teringat wanita yang ia cintai kini telah tiada, tepat di hari pernikahan.
Tangan Hazel mengusap bahu Jacob, ia tau seberapa besar cinta yang Jacob berikan pada Anastasya. Kini, Hazel tau bahwa cinta yang menyenangkan juga dapat begitu menyakitkan. Padahal sebelum ini, Hazel tidak pernah melihat Jacob menangis dan tampak sangat lemah seperti ini.
"Hei, ayo! Kau pasti bisa keluar dari suasana hatimu yang berkabut itu," ia mendorong tubuh besar Jacob, membantu membersihkan air mata yang membasahi wajah saudaranya.
Sambil tersenyum, Hazel berkata. "Kakakku adalah orang yang hebat, Anastasya pasti sangat beruntung bisa dicintai olehmu sebesar ini." ucapnya.
Dan setelah itu, Jacob mau menyunggingkan senyumnya walau sangat samar. Dengan lembut, Hazel mengajak Jacob masuk ke dalam rumah.
**
Keesokan harinya. Langkah Jacob terdengar dari lantai atas. Ia turun membawa koper besar, wajahnya terlihat lebih tegas meski sorot matanya masih menyimpan duka. Di ruang makan, Dustin, Elsa, dan Hazel serentak menoleh.
"Jacob, kau mau kemana? Sementara ini tinggal saja di rumah ini," Dustin segera meninggalkan sarapannya menghampiri Jacob.
Jacob menaruh kopernya di sudut ruangan, lalu duduk bersama mereka untuk sarapan. Dustin pun kembali duduk, menunggu jawaban kemana Jacob akan pergi.
"Nak, Ibu tau kamu sangat terpukul dengan kepergian calon istrimu. Tapi jangan siksa dirimu seperti ini, itu membuat ibu khawatir." ucap Elsa.
Jacob tersenyum tipis, meski rasa sakit masih terpancar dari wajahnya. "Ibu, aku harus melakukannya. Tinggal di sini hanya membuatku terus mengingat Anastasya dan hari itu... Aku butuh waktu untuk berdamai dengan diriku sendiri."
"Maaf membuat kalian cemas, tapi setelah aku pikir lagi, aku akan menenangkan diri sementara waktu." lanjutnya.
"Ke mana kau akan pergi?" tanya Hazel dengan cepat, suaranya memancarkan kekhawatiran.
Jacob menatapnya lembut. "Ke pulau pribadi milik Ayah. Tempat itu jauh dari semua ingatan yang menyakitkan ini. Aku yakin di sana aku bisa menemukan ketenangan."
Dustin mengangguk setelah beberapa saat berpikir. "Jika itu keputusanmu, Ayah tidak akan melarang. Kau bukan lagi anak kecil yang butuh perlindungan terus-menerus. Ayah akan mengatur semua agar kau bisa pergi dengan aman."
Hazel yang tadinya diam, tiba-tiba berdiri dan memeluk Jacob erat. "Aku pasti akan sangat merindukanmu, Big Bro." isaknya, air mata mulai membasahi pipinya.
Jacob tersenyum kecil, mengusap kepala adiknya. "Aku hanya pergi sementara, Hazel. Jika kau rindu, kau selalu bisa datang menemuiku."
Hazel menggeleng, suaranya gemetar. "Tapi aku tahu kau. Kau akan menyendiri terlalu lama, dan itu membuatku takut."
Jacob mendekap Hazel lebih erat. "Aku janji, Hazel. Setelah aku bisa mengikhlaskan semuanya, aku akan kembali. Kau tidak perlu takut, aku hanya butuh waktu."
"Itu artinya aku akan jarang bertemu denganmu, aku pasti akan sering merindukanmu." ujarnya sambil terisak.
Jacob memeluk Hazel penuh kasih sayang, tapi keputusannya sudah bulat. Ia akan meninggalkan semua kekayaannya untuk sementara waktu, dengan kondisi hatinya yang seperti ini, bekerja pun juga akan sia-sia.
"Aku hanya butuh menyendiri sejenak, Hazel. Setelah aku bisa mengikhlaskan kepergiannya, aku pasti akan kembali." bisik Jacob.
Namun, pada nyatanya Jacob tidak tau kapan perasaan kehilangan ini akan sembuh. Ia hanya berharap, semua yang terjadi padanya bisa membuatnya bisa lebih memahami bahwa apa yang dicintainya tak selamanya bisa ia miliki.
Meskipun itu sangat menyakitkan, mungkin ini adalah awal dari masalah hidupnya. Jacob juga tidak tau, sebenarnya takdir macam apa di kehidupan masa depan yang sedang menantinya.
10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be
Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan
Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan
Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”
Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P
Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta