Pulau pribadi yang berukuran begitu luas milik Dustin masih terawat dengan baik, beberapa penjaga dan pelayan di tugaskan di tempat tersebut hingga saat kedatangan Jacob.
Jacob turun dari helikopter, langkahnya perlahan menyentuh tanah berumput yang lembut. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma asin yang membangkitkan kenangan pahit di hatinya. Seorang pelayan menyambut dengan sopan, mengambil kopernya, dan memandu pria itu menuju kamar yang telah disiapkan.
Jacob menatap mansion itu dari kejauhan. Bangunan megah dengan sentuhan kolonial klasik itu masih terawat sempurna, tetapi baginya, tempat ini menyimpan sesuatu yang kini hanya berupa bayangan.
Seharusnya, ia datang ke sini bersama Anastasya. Menciptakan momen kebahagiaan. Tapi kenyataan berkata lain, wanita yang ia cintai telah pergi, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan.
“Tuan, mari saya tunjukkan kamar Anda,” ucap pelayan, memecah lamunan Jacob.
Tanpa sepatah kata, Jacob mengangguk dan mengikuti langkah pelayan menuju kamar yang terasa asing meski dulu sering ia tinggali. Banyak yang berubah sejak terakhir kali ia mengunjungi tempat ini. Ruangannya lebih terang, dengan perabot baru yang memberikan nuansa segar.
"Berapa orang yang bekerja di sini?" tanya Jacob datar, suaranya pelan tapi berwibawa.
"Enam orang, Tuan. Tiga di pertanian dan tiga lainnya menjaga kebersihan mansion," jawab pelayan.
Jacob hanya mengangguk kecil, lalu memberi isyarat agar pelayan itu pergi. Setelah pintu tertutup, ia melangkah keluar, mencari udara segar dan tempat untuk menenangkan diri. Kakinya membawanya ke sebuah gazebo di tepi tebing, menghadap ke laut luas. Angin sore menyapu rambutnya, membawa ketenangan sesaat yang tak pernah ia rasakan sejak kehilangan Anastasya.
"Seharusnya kau ada di sini bersamaku," gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh deburan ombak. Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan indah yang pahit itu mengalir. "Aku masih tidak percaya kau pergi secepat ini."
Jacob duduk diam di sana, membiarkan waktu berlalu tanpa peduli. Langit mulai gelap saat Jacob kembali ke mansion. Pelayan menyajikan makan malam sederhana, tetapi ia makan dengan pikiran melayang. Setelah selesai, ia menuju balkon kamar, duduk memandangi kegelapan malam yang terasa selaras dengan kekosongan di hatinya.
"Kenapa rasanya ini tidak pernah menjadi lebih mudah?" batinnya, tangannya memegang dadanya yang terasa berat. Kehilangan Anastasya dan calon anak mereka seperti lubang yang terus membesar.
_
Keesokan paginya, Jacob memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Udara pagi terasa segar, dan embun masih melekat di daun-daun. Ia berharap keindahan pagi itu dapat sedikit mengusir kesedihan di hatinya. Namun, langkahnya terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa ceria dari kejauhan yang seolah sedang mengejeknya.
Ia memiringkan kepala, mencari sumber suara itu. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang gadis kecil berlarian dengan dress tidur putih, mengejar seekor kelinci kecil yang melompat-lompat di rerumputan. Wajah gadis itu dipenuhi kebahagiaan murni, tawa lepasnya menggema di udara pagi.
Jacob memperhatikannya dari kejauhan, bingung sekaligus tertarik. "Bagaimana bisa ada anak kecil di pulau ini?" pikirnya.
Namun, ia tidak berusaha menghentikan gadis itu, hanya berdiri diam, mengamati kegembiraan sederhana yang terpancar dari wajah mungilnya.
Gadis itu akhirnya menangkap kelinci kecilnya, memeluknya erat sambil tertawa puas. Rambut pendeknya berantakan, tetapi tidak mengurangi semangat di matanya. Melihat gadis itu, Jacob merasa ada sesuatu yang menohok dalam hatinya, ia iri pada keceriaan yang tampak begitu mudah gadis itu dapatkan.
Ketika ia kembali ke mansion untuk sarapan, Jacob bertanya pada pelayan, "Siapa gadis kecil di luar itu?"
Pelayan yang sedang menyusun makanan menoleh, sedikit ragu menjawab. "Namanya Luna, Tuan. Maaf jika keberadaannya mengganggu Anda."
Jacob mengernyit. "Apa dia anakmu?"
"Bukan, Tuan. Luna anak yang ditelantarkan orang tuanya. Keluarganya tidak mau mengakui Dia. Dua tahun lalu, saat saya mulai bekerja di sini, saya membawanya bersama saya. Tuan Dustin memberi izin untuk membiarkannya tinggal."
Jacob terdiam, memikirkan cerita itu. Gadis kecil ceria itu ternyata menyimpan luka yang lebih dalam dari yang terlihat. "Jika keberadaannya tidak nyaman untuk Anda, saya bisa meminta dia untuk—"
"Tidak perlu," potong Jacob, suaranya lembut tapi tegas. "Biarkan dia bermain. Dia masih anak-anak. Berapa usianya?"
"Enam belas tahun, Tuan," jawab pelayan.
Jacob mengangguk kecil. "Baik. Pastikan dia tidak terganggu."
Beberapa jam kemudian, ketika Jacob keluar dari ruang baca, ia tak sengaja bertemu Luna yang baru saja berlari masuk dari taman. Gadis itu menabraknya, tubuh kecilnya terpental hingga jatuh terduduk. Jacob hanya berdiri diam, melihat gadis itu bangun dengan tergesa.
Luna mendongak, matanya melebar kaget. "Anda siapa? Kenapa Anda ada di sini?" tanyanya cepat.
Jacob menatap gadis itu dalam diam. Luna memiliki tubuh yang jauh lebih kecil dari yang ia lihat dari kejauhan. Rambutnya pendek sebatas leher, matanya bulat dengan iris berwarna hijau.
Setelah jeda yang terasa panjang, Jacob menjawab, "Aku tuan rumah disini, apa yang ingin kau lakukan?" ujarnya dingin.
Wajah Luna langsung berubah. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, suaranya pelan. "Maaf, saya tidak tahu." Tanpa menunggu jawaban, gadis itu berbalik dan pergi dengan cepat, meninggalkan Jacob yang masih berdiri heran.
Jacob memperhatikan punggung kecil itu menghilang di balik pintu. "Apa aku semenakutkan itu?" gumamnya.
10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be
Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan
Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan
Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”
Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P
Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta