Arkana ingat suatu hari di awal musim hujan. Bulan November. Ketika awan gelap menutup setiap celah langit dan hujan jatuh seperti bulir-bulir peluru senapan angin. Besar dan menyakitkan. Malam ketika Papa meninggalkannya. Meninggalkan Arkana dan Veronika.
Sesekali kilat menyala selama beberapa mili detik. Dengan cahaya putih yang mirip lampu LED. Menerobos ke dalam jendela mobil keluarga itu. Membuat semuanya nampak terang sesaat, kemudian meninggalkan kegelapan yang lebih menjadi, lebih misterius.
Waktu itu Veronika yang menyetir, ia mengenakan baju tidur lengan panjang berwarna gelap. Matanya tertuju pada dua hal, kaca spion atas dan jalan di depannya. Tatapannya memancarkan rasa cemas dan takut. Belum pernah Arkana melihat Veronika berwajah takut. Veronika yang biasanya adalah perempuan kaku, keras kepala dan meledak-ledak. Sedang Papa mengenakan yang warna putih. Ada noda darah di bagian dada. Veronika membaringkannya di kursi belakang. Matanya pejam. <
Di antara semua siksaan yang paling menyakitkan, melihat Arkana saat ini adalah yang paling mengerikan bagi Svaha. Seseorang mengikatnya di kursi. Kursi makan itu dibuat dengan kayu mahogani. Sandarannya tinggi berpilar tiga, punggung Arkana menempel di sana. Talinya dari akar pohon beringin berusia tua, terjalin melingkari tubuh montoknya. Sementara kulitnya yang mulus—mulai robek karena sempat memberontak. Svaha memanggili namanya, oh Arkana. Tapi gadis itu tidak mendengarnya. Wajahnya tunduk, rambutnya lengket terjuntai-juntai. Svaha meneriaki namanya, oh Arkana! Tapi Arkana tidak bergerak. Dia layu bersama darah yang mengucur jatuh ke lantai. Punggungnya ditancapi beling. Dan jari-jari tangannya putus satu persatu. Svaha mengobati dirinya sendiri dengan rintihan, “Ini hanya mimpi. Ini tidak nyata.” Meski tubuhnya meragukannya, dadanya sakit karena peristiwa itu. Ketika Svaha ingin mendek
Hujan masih turun. Derainya mengetuk-ngetuk atap, memainkan bunyi gemerutuk bergantian dan konstan. Seperti sebuah lagu dari kejauhan. Sayup dan sulit ditangkap maknanya. Sepatu Arkana sudah basah sepenuhnya dan beraroma lumpur. Warnanya cokelat dan semakin menghitam. Beberapa kali bulir hujan bergulir dari atap menggali kubangan kecil-kecil—airnya mental ke tulang kering gadis itu. Dingin dan menggelikan. Arkana berjongkok. Masih menunggu orang itu datang. Arkana merasa harus bicara padanya. Setelah mobil ibunya melaju kembali ke rumah keluarga Nirmala, Arkana memutuskan untuk berdiang sebentar di bawah langit. Arkana tidak butuh keteduhan. Ia hanya butuh hujan membilas kemarahannya. Kekecewaan. Atau apapun namanya yang membuat jiwanya merasa sesak dan ingin dibebaskan. Sementara. Dan ketika sudah merasa cukup tenang, Arkana memutuskan untuk menyusuri setiap kelokan, ia melangkah di atas tanah lembek, menuju perkebunan itu. Tubuhnya menggigil karena baju yan
Agaknya, pagi ini Svaha harus mengutarakan rasa sayang dan terimakasihnya pada bayi Savanna lebih dari sebelumnya. Karena baru saja tangisnya yang keras luar biasa mampu menyelamatkannya dari sebuah mimpi buruk. Mimpi buruk itu soal Arkana tentu saja. Tiga hari setelah insiden kedatangan Cantra yang tiba-tiba, hidungnya yang bengkok belum juga kelihatan. Bukan hal yang aneh, karena mungkin saja Veronika yang didikannya keras sedang menghukumnya. Ya, Arkana sudah terlalu tua untuk selalu dihukum. Tapi, emosinya yang pendek dan mudah tersulut sering membuat orang gemas padanya. Svaha memang tidak menanyakan ini pada Veronika. Atau pada Swan. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengatur atau terlalu khawatir. Karena kembali lagi, itu bukan urusannya. Dan Arkana, sudah besar. Gadis itu berhak menghilang, juga berhak muncul kapanpun ia mau. Di saat perkuliahan juga begitu. Svaha tidak bisa membuatnya tinggal di kos yang sama dengannya. Lagi pula mungkin menurut kebanyakan ora
Arkana seringkali bercanda soal kutukan Veronika, kalau setiap hari dalam hidupnya dimulai dengan mendengar suara ibunya, maka kesialan akan mendatanginya selama dua puluh empat jam. Arkana tahu itu jahat. Namanya juga bercanda. “Arkana, bangun. Cepat.” Veronika menjatuhkan tas jinjingnya di kepala anak perempuannya. Dengan sengaja. Arkana nyap-nyap. Langsung duduk. Kepalanya pening. Kunang-kunang terbang menjauh. “Apa-apaan ini?” tanya Arkana dengan nada lemah karena kebingungan. “Ponselmu bunyi,” sahut Veronika sambil lalu. Di pundak ia sampirkan handuk. Berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang lesu dan mengantuk. “Hentikan kebiasaan itu Mama. Kau terlihat seperti bapak-bapak!” teriak Arkana. “Kamu lupa kalau aku ini sudah merangkap sebagai bapakmu selama enam belas tahun?” “Pft…” Arkana mencibir. Tangannya meraba-raba permukaan sofa untuk menemukan telepon genggam pemberian Cantra. Kompensasi karena miliknya dirusak a
Meski hujan turun tanpa ampun, membuat lapisan surai di kegelapan malam, Svaha tetap melangkah. Menembus bulir-bulirnya seperti yang dilakukan cahaya biru dan merah dari beranda bar. Suara gemuruh menelan dentum musik di belakangnya. Sempat ia berpikir kalau badai ini hanya terjadi dalam pikirannya. Karena jika pun mereka dapat membuat bajunya basah dalam hitungan detik, Svaha tidak merasa gigil sama sekali. Ia merasa marah. Mungkin yang paling marah selama hidupnya. Ubun-ubunnya berdenyut seperti akan meletus. Tapi, apakah marah adalah kosakata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini? Pipinya masih panas, juga hatinya. Semuanya panas, bahkan di tengah hujan, Svaha bisa merasakan keringat mentah keluar dari tiap pori di telapak tangannya. Svaha mencari kunci mobil. Membuka pintu kemudi dengan kasar. Dan ketika ia berhasil mendudukkan diri, Cantra sudah duduk di sebelahnya. Cantra mengikuti kekasihnya, tanpa bersuara sama sekali. Ia menatap pada Svaha. S
Arkana sudah mabuk berat ketika Svaha dan Cantra tiba di bar itu. Bahkan mungkin Arkana sendiri tidak tahu sejak kapan dua orang tersebut duduk di sana. Jadi ia anggap saja demikian. Tepat dua puluh menit setelah telepon dari Svaha, Arkana sampai di bar ini. Pengunjung masih belasan jumlahnya. Kebanyakan perempuan bergaun pendek, yang memakai tas slempang terkait di bahu kiri. Beberapa duduk sendiri di meja, beberapa terbungkuk di kursi bar. Siku mereka sama-sama tertaut di meja. Dari sana Arkana menyimpulkan, kalau mereka sedang menunggu seseorang, atau dua orang, atau tiga orang. Dia sendiri? Tentu Arkana butuh sedikit stamina dan minuman untuk menebalkan muka. Arkana butuh keberanian. Untuk menghadapi Svaha dan kekasihnya. Ia berharap alkohol bisa membuat saraf marahnya sedikit mengendur. Barangkali bisa membuatnya jadi tidak seperduli biasanya. Arkana punya firasat kalau malam ini, ia akan dipermalukan. Entah karena ulah cerobohnya. Atau, k
Dalam sekejap mata, pagi menyublim jadi siang yang mendung. Awan merapatkan diri, membentuk gelombang-gelombang sehalus kapas di langit. Cahaya putih menembus tirai jendela kamarnya. Membangunkan Svaha. Membangunkan Cantra.Cantra bergerak pelan. Merenggangkan tubuh yang mungkin akan terasa ngilu. Menguapkan kantuk dengan rahang-rahang yang dirapatkan. Kemudian mendesah panjang. Ia putar pinggangnya sedikit ke kiri, kulitnya menegang—mengendur dalam waktu singkat. Svaha menangkupkan tangan pada jajaran tulang rusuk yang indah tersebut dan tubuh Cantra yang telanjang. Ia mencium bahu kekasihnya.“Selamat pagi,” Cantra berbisik.“Hm,” sapa Svaha.“Aku lapar.”“Aku juga.”Lalu Cantra berbalik. Dipeganginya tangan Svaha, ia tak ingin Svaha melepaskannya. Ia menuntun jari-jari si lelaki turun menuju gumpalan di bawah tulang pinggangnya.“Tubuhmu…” Svaha ingin memuji,
Veronika sempat memanggil Arkana pengecut dan menjitak kepalanya dua kali ketika Arkana bilang kalau dirinya akan kembali ke kota Harsha. Veronika menyayangkan sikap anaknya yang kurang lapang dada dan tak bisa menerima kekalahan.Arkana bilang kalau dirinya ini bukan robot, ia punya perasaan. Ia tidak bisa menyakiti hatinya sendiri seperti seorang masokis hanya untuk terlihat kuat. Ia butuh pergi supaya tidak ada kerusakan lagi, atau kekacauan lagi. Lalu Veronika menyerahkan kunci mobilnya pada Arkana. Sebagai rasa terimakasih Arkana mendengarkannya mengomel selama satu jam tanpa membantah.Dan, di sinilah Arkana. Ia sudah menyetir selama empat jam ditemani lagu patah hati. Menyisir jalan yang mulai gelap—pohon pinus yang berjajar sebagai pembatas jurang dan kesepian.Arkana berharap Svaha ada di sebelahnya, tapi Cantra lebih berhak atas lelaki itu. Di luar rasa penasaran terhadap Cantra dan tujuannya membantu, Arkana berusaha percaya padanya.&nbs