Share

4

Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha.

Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu.

Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi.

Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk.

Oh, tapi itu tidak boleh.

“Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri.

Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik, Svaha segera menanggalkannya. Lalu terbayang lagi rasanya ketika jari-jari kurus Arkana berada di atas tubuh telanjangnya. Lelaki itu menyandar, pandangannya terkonsentrasi pada luka cakar di atas pusarnya.

Ia menyentuhnya. Mengikuti tiap goresan, seperti pemahat pada hasil karyanya. Svaha mendesau, adegan malam tadi menyembul seperti hologram. Ia membelai bekas cakaran itu, dan garis merah tersebut membawa jari-jarinya terjun ke tempat lain. Yang menyamankan.

Svaha menyentuh dirinya sendiri. Kejadian semalam mengalir seperti air sungai yang jernih dan deras. Ingatan itu menyiramnya, memberikan sensasi dingin yang melegakan.

Dan balon endorphin dalam tubuhnya meledak tiba-tiba. Ia hampir saja berteriak.

Svaha minta ampun dalam hati, ia minta ampun pada persahabatan mereka karena telah membayangkan Arkana. Dan bayangan itu menjadikan apa yang mereka rawat menjadi kotor. Sambil mengatur ulang nafas, Svaha memakai baju dan mengeringkan tangannya sekalian.

Setelah merasa tenang, Svaha bangun dan segera mencari telepon genggamnya. Bunyi alarm membantunya menavigasi letak benda itu. Ia menyibak-nyibak bed cover yang kusut.

“Di bawah bantal rupanya,” omelnya. Memindahkan rasa kesal pada benda mati berbentuk persegi panjang dan pipih itu. Svaha segera menyambar ponselnya dan mematikan alarm.

Di layar ada enam panggilan yang tidak terjawab milik Cantra sejak semalam. Svaha mengusap layar itu, tanpa pikir panjang, ia menelepon kekasihnya.

“Sayang,” panggil lelaki itu sebelum suara di sana sempat mengumandangkan halo.

Svaha diam sebentar, lalu mengangguk dua kali meski tak ada yang melihat. “Iya, Arkana sudah pulang. Laung yang jemput tadi.”

***

Cantra sampai saat pintu kamar sewa dalam keadaan terbuka. Setelah malam yang membingungkan, Svaha memutuskan untuk membuka pintu lebar-lebar. Berharap sedikit feng-shui bisa merubah suasana hatinya yang hambar. Ia sempat bersih-bersih dan menyapa tukang angkut sampah. Dan, seperti tukang sampah yang kebingungan, Cantra memasang tampang aneh saat masuk.

“Ada musibah apa?” tanya Cantra sambil mendekati Svaha. Ia memusung rambutnya agar tengkuknya yang berkeringat cepat kering. Lalu ia berkacak pinggang.

“Aku bersih-bersih,” jawab Svaha, masih sambil menggosok bagian atas meja kopi di depan sofa. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh pada Cantra.

Dengusan Cantra terdengar sangat meremehkan. Ia mengambil jarak lebih dekat dengan Svaha, memeluk lelakinya dari belakang.

“Habis bikin dosa apa kalian semalam? Sampai kamu melakukan ritual eksorsisme di hari libur yang sangat jarang ini?”

Svaha yang tersentak dengan kalimat Cantra, menoleh pada perempuan itu tapi lupa mengontrol wajah. “Kentara sekali ya?” Ia bertanya. Setengah bercanda setengah waspada.

“Biasanya kamu sudah rebahan di sana sambil baca buku setebal empat ratus halaman.” Cantra menunjuk sofa.

Svaha mengangkat bahu dengan canggung. “Aku kehabisan bahan bacaan.”

“Kalau begitu…” Cantra menangkupkan tangannya di pipi Svaha. “Baca aku.”

Ya! Kalimat itu mengalun seperti dialog salah satu novel dewasa terjemahan karangan perempuan yang khusus ditulis untuk mengembangkan pengalaman emosional dan sisi liar kutu buku perempuan yang miskin bersosialisasi.

Svaha tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar kalimat yang tujuh puluh lima persennya adalah helaan nafas itu.

“Mau apa kamu, sayang?” suaranya melembut.

“Menggodamu.”

“Hanya menggodaku?”

Cantra mengangguk. Ia diam sedetik, mencium kekasihnya selama dua detik. Setelah paham kalau Svaha memikirkan hal yang sama cabul dengannya, Cantra merangkak menuju pintu depan. Ia mendorong pintu itu, menguncinya. Saat kembali ia mempreteli sepatunya.

“Sekarang aku akan memperkosamu,” ledeknya. Ia mendorong tubuh pacarnya sampai terlentang.

“Ih, amit-amit.” Svaha mengelak, “Minta baik-baik saja, tentu dengan senang hati kuserahkan semuahnyah.”

“Ih, amit-amit.” Cantra balik mencibir, “Sebaiknya kita tidak menggunakan kata-kata dengan konotasi sensitif seperti itu. Aku tidak sanggup mendengar itu.”

“Aku setuju. Lalu kita ganti dengan apa?”

“Mungkin, diganti dengan kata mengontrol atau mendominasi.”

Svaha tertawa, “Apa kita ulangi dari awal saja?”

Cantra menggeleng, bandul kalungnya tergelincir dari dalam baju dan menggantung seperti pendulum. Itu batu kecubung. Cantra ikut memerhatikan benda itu dan ia tidak berhenti. Jari-jarinya mulai merangkak naik ke dada Svaha, lalu bergantung di tulang selangkanya.

“Di sini?” Pandangan Svaha menyapu ruang tamu, lalu menggigit bibir.

Cantra mengangguk.

“Aku belum mandi, aku berkeringat, aku—”

Cantra menghentikan kalimat lelaki di depannya, membuat kata menguap jadi desau. Dan desau membaur dengan cuaca. Udara mendadak hangat di atas permukaan kulit mereka. Cantra merangkak seperti laba-laba.

(Flashback dalam pikiran Svaha)

Nafasnya menyapu wajah Svaha, bau alkohol menyeret oksigen—masuk ke dalam lubang hidung Svaha, sisanya membuat perih mata. Tapi tak seperti biasanya, si lelaki malah menghirup racun itu serakus yang ia bisa. Arkana, apa yang akan gadis itu ingat besok pagi?

Pori-pori Svaha tak ia biarkan tidur. Meski tak memiliki mata, jemari Cantra sudah hapal dengan tubuh Svaha. Cantra membimbing cacing gemuk dalam mulutnya, menjelajahi barisan tulang dalam baju Svaha. Svaha menutup mata, sebuah kesalahan besar. Karena bayangan Arkana semalam malah bergentayangan dengan bebas.

Svaha diam saja. Ia biarkan Arkana melakukan maunya. Sahabatnya sedang mabuk, ini bukan kesalahannya. “Biar kuteguk paksa alkohol itu nanti. Jadi, saat pagi datang, kami tak akan saling menyalahkan.” Svaha meyakinkan dirinya sendiri.

Lalu dalam kekinian waktu, gelombang suara dengan frekuensi aneh menggaruk gendang telinga lelaki itu tiba-tiba, membuat saraf-sarafnya berdenyut. Cantra perempuan yang pandai menghibur.

“Arkana perempuan yang pandai menyiksa. Tapi siksaan itu! Tidak mungkin! Aku menyukainya. Aku adalah seorang pembohong!” Svaha menyalahkan dirinya sendiri.

“Ar—Cantra, Cantra. Hentikan.” Svaha memeluk kekasihnya erat-erat. Khawatir akan menyakiti perasaan Cantra karena hampir ia salah bicara. Meski tak akan mungkin ia mengaku kalau bukan Cantra gadis yang sedang dia bayangkan. Hampir saja.

Cantra kembali dari buaian sihirnya, ia mencium Svaha. Dua kali.

“Apa tulangmu sakit? Sepertinya, lantai memang bukan pilihan baik.” Cantra mengeluhkan lututnya yang nyeri kemudian.

Svaha tersenyum. “Mungkin yang orisinal saja.”

“Konvensional. Oh, kita ini memang membosankan.” Gadis itu menggertutu, kali ini tanpa nada kecewa.

Sambil menuntun Cantra ke atas tempat tidur, Svaha memaki dirinya sendiri. Ia memaki kesadarannya. Memaki lemahnya konsentrasi yang ia miliki. Svaha memaki ketidak terbukaannya pada Cantra. “Kenapa tak kuakui saja dari tadi? Aku hanya tinggal minta maaf, menyalahkan minuman keras. Lalu pura-pura menyesal. Aku tinggal mencium kakinya dan bilang ‘aku cinta padamu’ paling tidak tiga kali,” ujarnya dalam hati.

“Tapi bagaimana jika Cantra tidak bisa memaafkanku, bagaimana jika dia meninggalkanku? Bisakah aku sendirian menghadapi ini? Menghadapi apa? Bukannya aku menyukainya? Aku tidak menolaknya. Aku menginginkannya. Dan aku juga tidak mendorong Arkana untuk memulainya.” Svaha masih terus berdebat dengan dirinya sendiri.

“Bagaimana jika Cantra memaafkanku, tapi ingin aku menyudahi pertemananku dengan Arkana? Apa yang akan kukatakan pada ibunya? Ibuku? Bagaimana jika mereka mencari tahu dan akhirnya ikut campur. Aku tidak ingin membayangkannya. Lalu, apa memutuskan bicara dengan Arkana nanti adalah tindakan bijak? Lalu apa? Lalu kami berdua akan menyimpannya di kotak rahasia kami dan tidak pernah membukannya? Membayangkan kerumitan yang belum terjadi membuat kepalaku pening.” Sementara Svaha tahu kalau waktu tidak mungkin berputar kembali dan ia juga tak sepenuhnya menyesali tindakannya.

Sekarang Svaha sedang tak punya pilihan lain. Ia harus segera menyelesaikan yang ini, baru setelahnya ia bertekad untuk menghukum diriku sendiri. Dengan gerakan yang konyol ia persilahkan kekasihnya naik ke tempat tidur. Lalu Svaha menyusul, berbaring di sebelah Cantra.

“Mari kita ulang sekali lagi.” Svaha menyemangati diri sendiri.

Svaha menghirup nafas panjang. Tapi sial sekali, bau parfum Arkana yang tertinggal di bantal menamparnya lagi. Svaha sempat berharap ada gempa bumi sehingga ia bisa melarikan diri dari penyiksaan ini—paling tidak untuk sekarang saja.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Cantra.

“Sva!” Cantra mendorong Svaha tiba-tiba.

“Apa? Ada gempa bumi?” Svaha sempat terpikir kalau dirinya sehebat itu.

“Hidungmu mimisan.”

Sekali lagi, Svaha memaki dirinya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status