Share

4

Penulis: Carolina Ajeng
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-09 09:23:14

Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha.

Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu.

Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi.

Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk.

Oh, tapi itu tidak boleh.

“Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri.

Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik, Svaha segera menanggalkannya. Lalu terbayang lagi rasanya ketika jari-jari kurus Arkana berada di atas tubuh telanjangnya. Lelaki itu menyandar, pandangannya terkonsentrasi pada luka cakar di atas pusarnya.

Ia menyentuhnya. Mengikuti tiap goresan, seperti pemahat pada hasil karyanya. Svaha mendesau, adegan malam tadi menyembul seperti hologram. Ia membelai bekas cakaran itu, dan garis merah tersebut membawa jari-jarinya terjun ke tempat lain. Yang menyamankan.

Svaha menyentuh dirinya sendiri. Kejadian semalam mengalir seperti air sungai yang jernih dan deras. Ingatan itu menyiramnya, memberikan sensasi dingin yang melegakan.

Dan balon endorphin dalam tubuhnya meledak tiba-tiba. Ia hampir saja berteriak.

Svaha minta ampun dalam hati, ia minta ampun pada persahabatan mereka karena telah membayangkan Arkana. Dan bayangan itu menjadikan apa yang mereka rawat menjadi kotor. Sambil mengatur ulang nafas, Svaha memakai baju dan mengeringkan tangannya sekalian.

Setelah merasa tenang, Svaha bangun dan segera mencari telepon genggamnya. Bunyi alarm membantunya menavigasi letak benda itu. Ia menyibak-nyibak bed cover yang kusut.

“Di bawah bantal rupanya,” omelnya. Memindahkan rasa kesal pada benda mati berbentuk persegi panjang dan pipih itu. Svaha segera menyambar ponselnya dan mematikan alarm.

Di layar ada enam panggilan yang tidak terjawab milik Cantra sejak semalam. Svaha mengusap layar itu, tanpa pikir panjang, ia menelepon kekasihnya.

“Sayang,” panggil lelaki itu sebelum suara di sana sempat mengumandangkan halo.

Svaha diam sebentar, lalu mengangguk dua kali meski tak ada yang melihat. “Iya, Arkana sudah pulang. Laung yang jemput tadi.”

***

Cantra sampai saat pintu kamar sewa dalam keadaan terbuka. Setelah malam yang membingungkan, Svaha memutuskan untuk membuka pintu lebar-lebar. Berharap sedikit feng-shui bisa merubah suasana hatinya yang hambar. Ia sempat bersih-bersih dan menyapa tukang angkut sampah. Dan, seperti tukang sampah yang kebingungan, Cantra memasang tampang aneh saat masuk.

“Ada musibah apa?” tanya Cantra sambil mendekati Svaha. Ia memusung rambutnya agar tengkuknya yang berkeringat cepat kering. Lalu ia berkacak pinggang.

“Aku bersih-bersih,” jawab Svaha, masih sambil menggosok bagian atas meja kopi di depan sofa. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh pada Cantra.

Dengusan Cantra terdengar sangat meremehkan. Ia mengambil jarak lebih dekat dengan Svaha, memeluk lelakinya dari belakang.

“Habis bikin dosa apa kalian semalam? Sampai kamu melakukan ritual eksorsisme di hari libur yang sangat jarang ini?”

Svaha yang tersentak dengan kalimat Cantra, menoleh pada perempuan itu tapi lupa mengontrol wajah. “Kentara sekali ya?” Ia bertanya. Setengah bercanda setengah waspada.

“Biasanya kamu sudah rebahan di sana sambil baca buku setebal empat ratus halaman.” Cantra menunjuk sofa.

Svaha mengangkat bahu dengan canggung. “Aku kehabisan bahan bacaan.”

“Kalau begitu…” Cantra menangkupkan tangannya di pipi Svaha. “Baca aku.”

Ya! Kalimat itu mengalun seperti dialog salah satu novel dewasa terjemahan karangan perempuan yang khusus ditulis untuk mengembangkan pengalaman emosional dan sisi liar kutu buku perempuan yang miskin bersosialisasi.

Svaha tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar kalimat yang tujuh puluh lima persennya adalah helaan nafas itu.

“Mau apa kamu, sayang?” suaranya melembut.

“Menggodamu.”

“Hanya menggodaku?”

Cantra mengangguk. Ia diam sedetik, mencium kekasihnya selama dua detik. Setelah paham kalau Svaha memikirkan hal yang sama cabul dengannya, Cantra merangkak menuju pintu depan. Ia mendorong pintu itu, menguncinya. Saat kembali ia mempreteli sepatunya.

“Sekarang aku akan memperkosamu,” ledeknya. Ia mendorong tubuh pacarnya sampai terlentang.

“Ih, amit-amit.” Svaha mengelak, “Minta baik-baik saja, tentu dengan senang hati kuserahkan semuahnyah.”

“Ih, amit-amit.” Cantra balik mencibir, “Sebaiknya kita tidak menggunakan kata-kata dengan konotasi sensitif seperti itu. Aku tidak sanggup mendengar itu.”

“Aku setuju. Lalu kita ganti dengan apa?”

“Mungkin, diganti dengan kata mengontrol atau mendominasi.”

Svaha tertawa, “Apa kita ulangi dari awal saja?”

Cantra menggeleng, bandul kalungnya tergelincir dari dalam baju dan menggantung seperti pendulum. Itu batu kecubung. Cantra ikut memerhatikan benda itu dan ia tidak berhenti. Jari-jarinya mulai merangkak naik ke dada Svaha, lalu bergantung di tulang selangkanya.

“Di sini?” Pandangan Svaha menyapu ruang tamu, lalu menggigit bibir.

Cantra mengangguk.

“Aku belum mandi, aku berkeringat, aku—”

Cantra menghentikan kalimat lelaki di depannya, membuat kata menguap jadi desau. Dan desau membaur dengan cuaca. Udara mendadak hangat di atas permukaan kulit mereka. Cantra merangkak seperti laba-laba.

(Flashback dalam pikiran Svaha)

Nafasnya menyapu wajah Svaha, bau alkohol menyeret oksigen—masuk ke dalam lubang hidung Svaha, sisanya membuat perih mata. Tapi tak seperti biasanya, si lelaki malah menghirup racun itu serakus yang ia bisa. Arkana, apa yang akan gadis itu ingat besok pagi?

Pori-pori Svaha tak ia biarkan tidur. Meski tak memiliki mata, jemari Cantra sudah hapal dengan tubuh Svaha. Cantra membimbing cacing gemuk dalam mulutnya, menjelajahi barisan tulang dalam baju Svaha. Svaha menutup mata, sebuah kesalahan besar. Karena bayangan Arkana semalam malah bergentayangan dengan bebas.

Svaha diam saja. Ia biarkan Arkana melakukan maunya. Sahabatnya sedang mabuk, ini bukan kesalahannya. “Biar kuteguk paksa alkohol itu nanti. Jadi, saat pagi datang, kami tak akan saling menyalahkan.” Svaha meyakinkan dirinya sendiri.

Lalu dalam kekinian waktu, gelombang suara dengan frekuensi aneh menggaruk gendang telinga lelaki itu tiba-tiba, membuat saraf-sarafnya berdenyut. Cantra perempuan yang pandai menghibur.

“Arkana perempuan yang pandai menyiksa. Tapi siksaan itu! Tidak mungkin! Aku menyukainya. Aku adalah seorang pembohong!” Svaha menyalahkan dirinya sendiri.

“Ar—Cantra, Cantra. Hentikan.” Svaha memeluk kekasihnya erat-erat. Khawatir akan menyakiti perasaan Cantra karena hampir ia salah bicara. Meski tak akan mungkin ia mengaku kalau bukan Cantra gadis yang sedang dia bayangkan. Hampir saja.

Cantra kembali dari buaian sihirnya, ia mencium Svaha. Dua kali.

“Apa tulangmu sakit? Sepertinya, lantai memang bukan pilihan baik.” Cantra mengeluhkan lututnya yang nyeri kemudian.

Svaha tersenyum. “Mungkin yang orisinal saja.”

“Konvensional. Oh, kita ini memang membosankan.” Gadis itu menggertutu, kali ini tanpa nada kecewa.

Sambil menuntun Cantra ke atas tempat tidur, Svaha memaki dirinya sendiri. Ia memaki kesadarannya. Memaki lemahnya konsentrasi yang ia miliki. Svaha memaki ketidak terbukaannya pada Cantra. “Kenapa tak kuakui saja dari tadi? Aku hanya tinggal minta maaf, menyalahkan minuman keras. Lalu pura-pura menyesal. Aku tinggal mencium kakinya dan bilang ‘aku cinta padamu’ paling tidak tiga kali,” ujarnya dalam hati.

“Tapi bagaimana jika Cantra tidak bisa memaafkanku, bagaimana jika dia meninggalkanku? Bisakah aku sendirian menghadapi ini? Menghadapi apa? Bukannya aku menyukainya? Aku tidak menolaknya. Aku menginginkannya. Dan aku juga tidak mendorong Arkana untuk memulainya.” Svaha masih terus berdebat dengan dirinya sendiri.

“Bagaimana jika Cantra memaafkanku, tapi ingin aku menyudahi pertemananku dengan Arkana? Apa yang akan kukatakan pada ibunya? Ibuku? Bagaimana jika mereka mencari tahu dan akhirnya ikut campur. Aku tidak ingin membayangkannya. Lalu, apa memutuskan bicara dengan Arkana nanti adalah tindakan bijak? Lalu apa? Lalu kami berdua akan menyimpannya di kotak rahasia kami dan tidak pernah membukannya? Membayangkan kerumitan yang belum terjadi membuat kepalaku pening.” Sementara Svaha tahu kalau waktu tidak mungkin berputar kembali dan ia juga tak sepenuhnya menyesali tindakannya.

Sekarang Svaha sedang tak punya pilihan lain. Ia harus segera menyelesaikan yang ini, baru setelahnya ia bertekad untuk menghukum diriku sendiri. Dengan gerakan yang konyol ia persilahkan kekasihnya naik ke tempat tidur. Lalu Svaha menyusul, berbaring di sebelah Cantra.

“Mari kita ulang sekali lagi.” Svaha menyemangati diri sendiri.

Svaha menghirup nafas panjang. Tapi sial sekali, bau parfum Arkana yang tertinggal di bantal menamparnya lagi. Svaha sempat berharap ada gempa bumi sehingga ia bisa melarikan diri dari penyiksaan ini—paling tidak untuk sekarang saja.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Cantra.

“Sva!” Cantra mendorong Svaha tiba-tiba.

“Apa? Ada gempa bumi?” Svaha sempat terpikir kalau dirinya sehebat itu.

“Hidungmu mimisan.”

Sekali lagi, Svaha memaki dirinya dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diam-diam Cinta   74

    Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan

  • Diam-diam Cinta   73

    Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida

  • Diam-diam Cinta   72

    Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari

  • Diam-diam Cinta   71

    Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu

  • Diam-diam Cinta   70

    Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama

  • Diam-diam Cinta   69

    Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status