“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.
Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.
“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.
Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.
“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.
“Tidak ada.”
Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.
Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan. Di hari sabtu siang yang terik, saat tubuh kurus Svaha bersembunyi dan tampak serasi dengan tiang listrik di seberang restoran cepat saji. Rambutnya hitam-lurus di sisir ke belakang. Untung pada waktu itu Svaha menggunakan jeans hitam dan baju kaos putih. Ia jadi tidak tampak terlalu menyedihkan.
Dan ketika Arkana tanya kenapa bersembunyi di sana, jawabannya adalah penyangkalan. Svaha tidak mau makan siang dengan pacar baru ibunya.
Svaha terlalu peragu (yang dalam istilahnya sendiri adalah gemar menimbang masalah). Ia tidak berani mengambil sikap atau keputusan jika waktu berpikir yang diberikan terlalu sempit. Mungkin juga pemalu. Ia terlalu senang berlindung di belakang tembok perpustakaan, atau kamar, atau bahkan selimut, di antara ratusan halaman buku tebal yang ia baca. Yang sanggup membawanya kabur sesaat ke dunia antah berantah tanpa manusia berbentuk kongkrit jika harus menghadapi masalah atau hal baru.
Arkana lebih senang menyebutnya pengecut.
“Kalau memang begitu, sekarang kita harus bicara.” Arkana mendesak.
“Aku ada kelas, belum bikin tugas,” kata Svaha dengan nada cepat.
“Karena dua hari ini kamu tidak kuliah?”
“Aku kuliah. Cuma, agak terlambat.”
Arkana tidak setuju semudah itu. “Agak terlambat? Tentu saja. Sudah dua hari ini kamu tidak membukakan pintu kamar sewamu. Kamu matikan lampunya seolah-olah kamu tidak ada di sana.”
“Aku menginap di rumah Cantra.”
“Oke, lalu mana dia sekarang? Apa dia yang membuatmu terlambat kuliah?”
Svaha kelabakan. Ia menunduk sambil memperhatikan tangannya memutar-mutar gantungan kunci.
“Aku menunggumu setiap hari di depan kelas, Svaha. Dan jangan pikir aku akan menyerah begitu saja. Aku tahu kamu sedang menghindariku. Tapi kamu juga tahu kalau kita punya masalah serius yang harus dibicarakan.”
“Iya.” Svaha bergumam.
Hanya butuh sabar selama beberapa saat sampai lelaki itu cukup berani memandang wajah temannya lagi. Ekspresinya membuat Arkana merasa iba.
“Aku tidak akan menyalahkanmu atas semua yang terjadi. Aku hanya ingin dengar yang sebenarnya. Yang terjadi malam lalu. Aku mabuk, Sva. Ceritaku tidak sempurna. Dan kamu satu-satunya yang bisa menyempurnakan cerita itu. Ini demi persahabatan kita. Lalu, setelah kita sudah sama-sama tahu, kita bisa meninggalkan semuanya di belakang kalau kamu mau.” Arkana bicara panjang lebar, ia ingin menyakinkan Svaha bahwa dirinya bisa menjadi sangat suportif. Arkana berjanji dalam hati untuk tidak akan memojokkan Svaha secara verbal, apalagi menghakiminya.
Svaha menelan ludah sebanyak dua kali. Lalu berdeham. Lalu menarik nafas. Lalu Arkana merasa dirinya hampir saja kencing di celana karena tidak sabaran.
Dengan gerakan lambat Svaha menarik tangan lawan bicaranya, membagi dingin di ujung jarinya ke telapak tangan Arkana. “Maafkan aku. Aku membiarkanmu melakukan ‘itu’. Padaku.”
“Jadi, kita…” tanya Arkana sambil menggerak-gerakkan jari di udara. Seolah itu saja sudah cukup untuk menjabarkan perbendaharaan kata yang tidak etis yang terjadi di antara mereka jika dikemukakan.
“Iya. Tapi aku tidak bermaksud pasrah begitu saja. Aku sempat menolak. Demi apa pun. Aku tidak bermaksud menyembunyikan kebenaran. Aku hanya tidak mau merusak apa yang kita punya.”
“Justru kalau kamu tidak bilang, itu akan merusak semuanya.” Arkana berusaha menenangkan Svaha. Tapi tidak hatinya sendiri. Arkana masih tidak percaya kalau dialah yang memulai ini semua.
“Sejauh mana?”
Svaha menggigit bibirnya. Alisnya bertautan membentuk ekspresi yang janggal. Jarinya semakin kencang menyekap pergelangan tangan Arkana. Lalu ia melepasnya seketika.
“Selamat pagi, Laung.” Svaha menyapa kehadiran Laung yang tiba-tiba.
“Selamat pagi, semuanya. Ada gosip apa pagi ini?” Lelaki itu menyapa sambil memeluk Arkana dari samping. Nafasnya berbau pasta gigi mahal.
“Tidak ada gosip,” ujar kekasihnya.
“Tidak ada? Oh, berarti kalian melewatkan satu.” Laung berkobar-kobar seperti tukang servis kompor.
Svaha hanya mendengarkan. Sesekali melirik pada sahabatnya dengan bias merah di permukaan pipi yang kian lama kian menjadi.
Laung melepaskan pelukannya dari Arkana, ia menggamit ponsel. Lalu menunjukkan sebuah flyer pada dua orang itu.
Arkana dan Svaha menengok pada gambar bergaya noir dengan ilustrasi gelap yang menunjukkan dua siluet manusia dikelilingi pohon-pohon. Sebuah rumah berdiri megah di ujung belakang. Kata ‘buronan’ dicetak tebal menggunakan huruf kapital.
“Buronan.” Dua sahabat itu membacanya bersamaan. Setelahnya mereka saling memandang.
“Malam ini, di villa orang tuaku.” Laung berucap bangga.
“Aku tidak suka pesta,” kata Svaha.
“Ini sebuah permainan. Ya, memang akan ada pesta setelahnya. Tapi, ini akan sangat seru. Datanglah.” Laung menatap Arkana, seolah minta bantuan.
“Ya, datanglah. Karena aku akan datang.” Arkana tidak punya pilihan selain menuruti apa mau Laung.
Svaha nampak tidak setuju, “Aku, um… Aku dan Cantra ada acara malam ini. Lagi pula ini masih tengah minggu.”
“Ajak pacarmu!” paksa lelaki yang satu, “atau, aku akan mengirimkan undangan padanya sekarang.”
Ia mengirim undangan itu sebelum Svaha sempat menahannya.
“Cantra akan datang katanya.” Laung mengumumkan sambil melambaikan ponsel keluaran baru miliknya.
“Sejak kapan kamu punya nomor Cantra?” tanya Arkana.
Laung mengangkat bahu, “Dia lebih populer darimu, sayang.”
Svaha memutar bola matanya dengan jengkel. Benar, Cantra adalah perempuan yang cukup populer di kampus ini. Cantik, bertubuh atletis, ramah, kaya namun murah hati. Lelaki mana yang tidak suka? Tapi, Cantra memilih seorang Svaha. Itu yang masih jadi misteri ilahi. Setidaknya bagi Arkana.
Tanpa bermaksud untuk merendahkan sahabatnya sendiri. Arkana seringkali berpikir bahwa tampang Svaha itu tidaklah jelek. Svaha berwajah manis. Tubuhnya jangkung, seratus delapan puluh. Lebih lima belas centimeter dari dirinya. Rambut Svaha lebat dan hitam. Lurus dan selalu disisir ke belakang. Dadanya bidang, berotot alami seperti model majalah olahraga (bukan body builder). Kulitnya tan. Cokelat menuju terang. Tapi, fisik seperti itu kalah menonjol dibandingkan dengan sikapnya yang pendiam dan sifatnya yang pengecut. Sekali lagi. Arkana senang menekankan pada kata pengecut.
“Jadi, kamu akan ikut?” tanya Laung pada Svaha.
Svaha menatap gadis di sebelahnya. Arkana mengangkat bahu yang artinya, ‘Terserah kalian saja. Terserah’.
Svaha mendengus, “Biar kupikir dulu, sekarang jelaskan apa itu Buronan.”
“Permainan ini seru dan sederhana. Kita akan dibagi jadi dua kelompok. Polisi dan Buronan. Setelah titik A dan B ditentukan, maka Tim Buronan akan melarikan diri dari titik A ke titik B. Polisi akan mengejar dan menangkap Buronan, lalu Tim Polisi akan memenjarakan Tim Buronan di titik C. Kalau Burona bisa lolos dan sampai ke titik B tanpa tertangkap, dia menang.” Laung menjelaskan.
Svaha mengangguk-angguk. “Jadi, bagaimana kamu menentukan siapa yang jadi Buronan dan Polisi?”
“Gampang. Kita gunakan undian atau bir pong. Apa saja bisa.”
“Bagaimana kamu bisa mengingat semua Buronan itu atau sebaliknya?”
Laung terkesima dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Svaha. Lelaki itu melirik pada Arkana.
“Laung, lebih baik kalau,” Arkana ingin sekali menyelamatkan sahabatnya dari lelaki psikopat bernama Laung.
“Uhm, mungkin kita akan pakai gelang berwarna. Bagaimana?” Laung tidak suka ditolak. Arkana menyadari dan paham, ia sudah membuktikannya.
Svaha menatap Laung dengan tajam. Arkana tidak mengerti apa maksudnya.
“Baiklah,” kata Svaha, “sampai ketemu nanti malam.”
“Oke.” Laung menjabat tangan Svaha sebagai tanda kesepakatan.
“Aku harus masuk kelas. Sampai nanti?” Svaha bicara pada Arkana.
Arkana menganggukkan kepala. Kemudian seperti biasa, ia akan mencium pipi Svaha. Gadis tersebut maju selangkah, tapi ia urungkan niat itu. Entah kenapa.
Svaha menyadari kecanggungan sikap Arkana, ia berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Arkana melihatnya menjauh.
“Kalian agak aneh hari ini.” Laung berkomentar.
“Biasa saja.”
“Apa yang kalian bicarakan sebelum aku datang?”
“Tidak ada.”
Laung mengamati Arkana. Sementara Arkana berharap semoga Laung tidak menjadikan ini sebuah masalah bagi mereka.
“Aku rindu kamu.” Lelaki itu memeluk Arkana erat.
“Kita bertemu setiap malam, Laung.” Arkana mendengus.
“Tentu saja,” jawab Laung dengan nada penuh kemenangan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar. Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini. Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya. Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a