Share

5

last update Last Updated: 2021-11-09 09:23:39

“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.

Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.

“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.

Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.

“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.

“Tidak ada.”

Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.

Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan. Di hari sabtu siang yang terik, saat tubuh kurus Svaha bersembunyi dan tampak serasi dengan tiang listrik di seberang restoran cepat saji. Rambutnya hitam-lurus di sisir ke belakang. Untung pada waktu itu Svaha menggunakan jeans hitam dan baju kaos putih. Ia jadi tidak tampak terlalu menyedihkan.

Dan ketika Arkana tanya kenapa bersembunyi di sana, jawabannya adalah penyangkalan. Svaha tidak mau makan siang dengan pacar baru ibunya.

Svaha terlalu peragu (yang dalam istilahnya sendiri adalah gemar menimbang masalah). Ia tidak berani mengambil sikap atau keputusan jika waktu berpikir yang diberikan terlalu sempit. Mungkin juga pemalu. Ia terlalu senang berlindung di belakang tembok perpustakaan, atau kamar, atau bahkan selimut, di antara ratusan halaman buku tebal yang ia baca. Yang sanggup membawanya kabur sesaat ke dunia antah berantah tanpa manusia berbentuk kongkrit jika harus menghadapi masalah atau hal baru.

Arkana lebih senang menyebutnya pengecut.

“Kalau memang begitu, sekarang kita harus bicara.” Arkana mendesak.

“Aku ada kelas, belum bikin tugas,” kata Svaha dengan nada cepat.

“Karena dua hari ini kamu tidak kuliah?”

“Aku kuliah. Cuma, agak terlambat.”

Arkana tidak setuju semudah itu. “Agak terlambat? Tentu saja. Sudah dua hari ini kamu tidak membukakan pintu kamar sewamu. Kamu matikan lampunya seolah-olah kamu tidak ada di sana.”

“Aku menginap di rumah Cantra.”

“Oke, lalu mana dia sekarang? Apa dia yang membuatmu terlambat kuliah?”

Svaha kelabakan. Ia menunduk sambil memperhatikan tangannya memutar-mutar gantungan kunci.

“Aku menunggumu setiap hari di depan kelas, Svaha. Dan jangan pikir aku akan menyerah begitu saja. Aku tahu kamu sedang menghindariku. Tapi kamu juga tahu kalau kita punya masalah serius yang harus dibicarakan.”

“Iya.” Svaha bergumam.

Hanya butuh sabar selama beberapa saat sampai lelaki itu cukup berani memandang wajah temannya lagi. Ekspresinya membuat Arkana merasa iba.

“Aku tidak akan menyalahkanmu atas semua yang terjadi. Aku hanya ingin dengar yang sebenarnya. Yang terjadi malam lalu. Aku mabuk, Sva. Ceritaku tidak sempurna. Dan kamu satu-satunya yang bisa menyempurnakan cerita itu. Ini demi persahabatan kita. Lalu, setelah kita sudah sama-sama tahu, kita bisa meninggalkan semuanya di belakang kalau kamu mau.” Arkana bicara panjang lebar, ia ingin menyakinkan Svaha bahwa dirinya bisa menjadi sangat suportif. Arkana berjanji dalam hati untuk tidak akan memojokkan Svaha secara verbal, apalagi menghakiminya.

Svaha menelan ludah sebanyak dua kali. Lalu berdeham. Lalu menarik nafas. Lalu Arkana merasa dirinya hampir saja kencing di celana karena tidak sabaran.

Dengan gerakan lambat Svaha menarik tangan lawan bicaranya, membagi dingin di ujung jarinya ke telapak tangan Arkana. “Maafkan aku. Aku membiarkanmu melakukan ‘itu’. Padaku.”

“Jadi, kita…” tanya Arkana sambil menggerak-gerakkan jari di udara. Seolah itu saja sudah cukup untuk menjabarkan perbendaharaan kata yang tidak etis yang terjadi di antara mereka jika dikemukakan.

“Iya. Tapi aku tidak bermaksud pasrah begitu saja. Aku sempat menolak. Demi apa pun. Aku tidak bermaksud menyembunyikan kebenaran. Aku hanya tidak mau merusak apa yang kita punya.”

“Justru kalau kamu tidak bilang, itu akan merusak semuanya.” Arkana berusaha menenangkan Svaha. Tapi tidak hatinya sendiri. Arkana masih tidak percaya kalau dialah yang memulai ini semua.

“Sejauh mana?”

Svaha menggigit bibirnya. Alisnya bertautan membentuk ekspresi yang janggal. Jarinya semakin kencang menyekap pergelangan tangan Arkana. Lalu ia melepasnya seketika.

“Selamat pagi, Laung.” Svaha menyapa kehadiran Laung yang tiba-tiba.

“Selamat pagi, semuanya. Ada gosip apa pagi ini?” Lelaki itu menyapa sambil memeluk Arkana dari samping. Nafasnya berbau pasta gigi mahal.

“Tidak ada gosip,” ujar kekasihnya.

“Tidak ada? Oh, berarti kalian melewatkan satu.” Laung berkobar-kobar seperti tukang servis kompor.

Svaha hanya mendengarkan. Sesekali melirik pada sahabatnya dengan bias merah di permukaan pipi yang kian lama kian menjadi.

Laung melepaskan pelukannya dari Arkana, ia menggamit ponsel. Lalu menunjukkan sebuah flyer pada dua orang itu.

Arkana dan Svaha menengok pada gambar bergaya noir dengan ilustrasi gelap yang menunjukkan dua siluet manusia dikelilingi pohon-pohon. Sebuah rumah berdiri megah di ujung belakang. Kata ‘buronan’ dicetak tebal menggunakan huruf kapital.

“Buronan.” Dua sahabat itu membacanya bersamaan. Setelahnya mereka saling memandang.

“Malam ini, di villa orang tuaku.” Laung berucap bangga.

“Aku tidak suka pesta,” kata Svaha.

“Ini sebuah permainan. Ya, memang akan ada pesta setelahnya. Tapi, ini akan sangat seru. Datanglah.” Laung menatap Arkana, seolah minta bantuan.

“Ya, datanglah. Karena aku akan datang.” Arkana tidak punya pilihan selain menuruti apa mau Laung.

Svaha nampak tidak setuju, “Aku, um… Aku dan Cantra ada acara malam ini. Lagi pula ini masih tengah minggu.”

“Ajak pacarmu!” paksa lelaki yang satu, “atau, aku akan mengirimkan undangan padanya sekarang.”

Ia mengirim undangan itu sebelum Svaha sempat menahannya.

“Cantra akan datang katanya.” Laung mengumumkan sambil melambaikan ponsel keluaran baru miliknya.

“Sejak kapan kamu punya nomor Cantra?” tanya Arkana.

Laung mengangkat bahu, “Dia lebih populer darimu, sayang.”

Svaha memutar bola matanya dengan jengkel. Benar, Cantra adalah perempuan yang cukup populer di kampus ini. Cantik, bertubuh atletis, ramah, kaya namun murah hati. Lelaki mana yang tidak suka? Tapi, Cantra memilih seorang Svaha. Itu yang masih jadi misteri ilahi. Setidaknya bagi Arkana.

Tanpa bermaksud untuk merendahkan sahabatnya sendiri. Arkana seringkali berpikir bahwa tampang Svaha itu tidaklah jelek. Svaha berwajah manis. Tubuhnya jangkung, seratus delapan puluh. Lebih lima belas centimeter dari dirinya. Rambut Svaha lebat dan hitam. Lurus dan selalu disisir ke belakang. Dadanya bidang, berotot alami seperti model majalah olahraga (bukan body builder). Kulitnya tan. Cokelat menuju terang. Tapi, fisik seperti itu kalah menonjol dibandingkan dengan sikapnya yang pendiam dan sifatnya yang pengecut. Sekali lagi. Arkana senang menekankan pada kata pengecut.

“Jadi, kamu akan ikut?” tanya Laung pada Svaha.

Svaha menatap gadis di sebelahnya. Arkana mengangkat bahu yang artinya, ‘Terserah kalian saja. Terserah’.

Svaha mendengus, “Biar kupikir dulu, sekarang jelaskan apa itu Buronan.”

“Permainan ini seru dan sederhana. Kita akan dibagi jadi dua kelompok. Polisi dan Buronan. Setelah titik A dan B ditentukan, maka Tim Buronan akan melarikan diri dari titik A ke titik B. Polisi akan mengejar dan menangkap Buronan, lalu Tim Polisi akan memenjarakan Tim Buronan di titik C. Kalau Burona bisa lolos dan sampai ke titik B tanpa tertangkap, dia menang.” Laung menjelaskan.

Svaha mengangguk-angguk. “Jadi, bagaimana kamu menentukan siapa yang jadi Buronan dan Polisi?”

“Gampang. Kita gunakan undian atau bir pong. Apa saja bisa.”

“Bagaimana kamu bisa mengingat semua Buronan itu atau sebaliknya?”

Laung terkesima dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Svaha. Lelaki itu melirik pada Arkana.

“Laung, lebih baik kalau,” Arkana ingin sekali menyelamatkan sahabatnya dari lelaki psikopat bernama Laung.

“Uhm, mungkin kita akan pakai gelang berwarna. Bagaimana?” Laung tidak suka ditolak. Arkana menyadari dan paham, ia sudah membuktikannya.

Svaha menatap Laung dengan tajam. Arkana tidak mengerti apa maksudnya.

“Baiklah,” kata Svaha, “sampai ketemu nanti malam.”

“Oke.” Laung menjabat tangan Svaha sebagai tanda kesepakatan.

“Aku harus masuk kelas. Sampai nanti?” Svaha bicara pada Arkana.

Arkana menganggukkan kepala. Kemudian seperti biasa, ia akan mencium pipi Svaha. Gadis tersebut maju selangkah, tapi ia urungkan niat itu. Entah kenapa.

Svaha menyadari kecanggungan sikap Arkana, ia berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Arkana melihatnya menjauh.

“Kalian agak aneh hari ini.” Laung berkomentar.

“Biasa saja.”

“Apa yang kalian bicarakan sebelum aku datang?”

“Tidak ada.”

Laung mengamati Arkana. Sementara Arkana berharap semoga Laung tidak menjadikan ini sebuah masalah bagi mereka.

“Aku rindu kamu.” Lelaki itu memeluk Arkana erat.

“Kita bertemu setiap malam, Laung.” Arkana mendengus.

“Tentu saja,” jawab Laung dengan nada penuh kemenangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diam-diam Cinta   74

    Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan

  • Diam-diam Cinta   73

    Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida

  • Diam-diam Cinta   72

    Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari

  • Diam-diam Cinta   71

    Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu

  • Diam-diam Cinta   70

    Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama

  • Diam-diam Cinta   69

    Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status