Share

6

Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan.

Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas.

Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu dengan gerakan memutar yang bertolak belakang satu sama lain si lelaki mengusap wajahnya.

Sementara kekasihnya, gadis bernama Cantra lewat di luar kelas bersama dua kawannya. Pemandangan tersebut terlihat seperti film-film remaja pada umumnya; sudut pandang sejajar mata, lensa berdiafragma besar, enam puluh frame per second, grading keemasan. Ia mengenakan rok pendek di atas lutut dengan atasan berkerah warna senada. Otot betisnya yang mulus disokong sepasang sepatu boot bertumit tinggi berwarna gelap.

Cantra melambai untuk mencari perhatian sang kekasih. Menggumamkan kalimat tanya sambil menggerakkan ibu jarinya membentuk bahasa isyarat yang bermakna ‘apa kamu baik-baik?’. Bahasa yang mereka berdua pahami sedikit-sedikit karena kekhawatiran Svaha si kutu buku tentang mutasi genetik atau invasi mahluk asing yang mengharuskan manusia hidup tanpa suara. Svaha sudah lama terpapar radiasi film thriller dan genre misteri secara kronik. Tapi menurutnya, tak ada salahnya bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Apocalypse.

Svaha megangkat kepalan tangan lalu menganggukkannya dua kali seperti gerakan boneka kucing emas di depan toko atau restoran bernuansa oriental, yang berarti ‘ya’.

Lalu percakapan tanpa suara mereka berlanjut, berbatas jendela kelas agar terasa romantis.

“Aku pergi ke pesta Laung. Kamu?” tanya Cantra masih dalam bahasa isyarat.

“Aku juga,” jawab Svaha.

“Bertemu di sana?”

“Oke.” Svaha setuju.

Kemudian Cantra tersenyum, lesung pipinya membuat gemas. “Aku rindu kamu,” katanya lagi, dalam gerakan tangan. Tidak ia perdulikan dua temannya yang terbengong-bengong seperti monyet nonton tipuan sulap.

“Aku rindu lebih banyak.” Tangan Svaha menari di udara.

Lalu gadisnya tersipu malu. Svaha membasahi bibir bawahnya sebelum melontarkan senyum.

Svaha dan Cantra mulai pacaran tiga bulan lalu. Pertemuan mereka yang pertama terjadi di sebuah seminar yang membosankan sebulan sebelumnya.

Memang beberapa (sebenarnya sangat banyak) seminar diminati karena menjanjikan ilmu yang berguna bagi kami para mahasiswa. Namun, seringnya mahasiswa malah memanfaatkan seminar untuk mendapatkan kertas piagam saja. 

Waktu itu, keduanya duduk bersebelahan. Cantra menyapa lebih dahulu, mereka bertukar nama. Yang perempuan bertanya tentang jurusan, kelas dan semester. Sedang Svaha, si lelaki pemalu menjawab dengan kikuk. Cantra tertawa pada setiap lelucon satir-cerdas milik Svaha sepanjang seminar. Dan pada akhirnya mereka membuat seminar tersebut seperti sebuah ‘kencan buta di bioskop’.

Jangan tersinggung. Kencan buta di bioskop bisa bermakna ‘kami sudah salah beli tiket dan kami tidak perduli tentang apa filmnya, tapi kami cukup senang bisa lebih mengenal satu sama lain’ bagi Svaha.

Semuanya berjalan mulus di antara mereka sampai sebulan ke depan. Di suatu hari yang cerah Cantra dengan berani menyatakan perasaannya. Svaha mengiyakan setelah wawancara yang cukup panjang.

“Apakah kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Svaha sambil menimbang.

“Ya,” tegas Cantra.

“Kulihat kamu cukup populer dan teman-temanmu sepertinya…” Svaha merasa minder. Melihat siapa Cantra dan bagaimana kredibilitasnya di kampus ini, Svaha tidak punya keinginan untuk ‘menjerumuskan’ gadis itu ke dalam ‘lubang gelap kurang pergaulan’ miliknya. Atau mengurung kebebasan Cantra dalam ‘fase petualangan gadis populer versus lelaki menyedihkan’ ini. Svaha takut nantinya Cantra akan diejek teman-temannya.

“Keren? Jadi kalau teman-temanku terlihat keren aku harus memacari lelaki keren juga?”

“Bukan begitu. Tapi, apa kamu yakin tidak menjadikan ini sebagai batu loncatan petualangan seksual saja?” tanya Svaha.

“Aku tidak begitu. Uhm, seksualitas itu penting tapi bukan itu satu-satunya yang penting buatku.” Cantra berdecak.

“Kamu tidak memanfaatkanku?”

Cantra menaikkan kedua alisnya. Tidak menduga pertanyaan itu akan keluar dari lelaki seperti Svaha. “Secara akademik, tidak. Aku kakak tingkatmu. Mungkin kamu yang akan butuh bantuanku nanti. Secara personal, aku juga akan membantumu jadi populer. Kalau kamu menginginkannya. Aku percaya kamu bukan orang seperti itu. Uang? Aku yakin orang tuaku punya lebih banyak. Kenapa kita harus mendebatkan soal siapa yang diuntungkan?”

Kalimat-kalimat itu menyakiti ego Svaha telak. Tapi dalam konteks ini, dialah yang memulai. “Tapi, kamu seorang Cantra Bhuana. Banyak lelaki yang menginginkanmu. Dan kamu, memilih aku?”

“Tentu saja. Aku Cantra Bhuana. Aku populer, aku cantik, aku tidak terlalu payah soal pelajaran. Aku ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik, aku punya banyak piala yang berjajar di lorong rektorat yang dibersihkan seminggu sekali. Semua orang mengenalku. Semua laki-laki ingin jadi temanku juga teman tidurku. Perempuan membenciku kebanyakan, tapi aku tidak mengeluh. Puas? Sekarang, kamu Svaha Nirmala. Kamu mau pacaran denganku atau tidak? Atau kamu bertanya seperti ini untuk membuatku menyerah?”

Dan pernyataan-pernyataan itu malah memojokkan Svaha. Lelaki itu segera mencium kakak tingkatnya supaya diam. Dan Cantra membalas ciuman tersebut.

Anggap saja kejadian itu adalah sebuah kesepakatan. Mereka berpacaran, mereka berakhir dengan bolos kuliah keesokan harinya. Mari tidak memikirkan alasannya, karena sudah sangat jelas. Istilah biologi ini dikenal dengan nama mating. Oh, kalau saja dengan menjelaskan bagaimana pinggang dan pangkal paha Svaha seperti terbakar setelahnya cukup etis di sini. Ia masih ingat rasanya.

Tiga bulan berlalu, mengenalkan Cantra pada Arkana adalah yang paling sulit. Sudah pasti. Karena, saat dua lelaki bertemu mereka akan mengadu kekuatan dan saat dua perempuan bertemu kebanyakan dari mereka akan saling mengukur kecantikan (dan kepupoleran).

Arkana punya masalah dengan bersikap sopan. Dia adalah tokoh protagonis wanita dalam serial fantasi The Lost Girl, dia adalah Rihanna dalam film Ocean Eight. Dia Yelena dalam film Black Widow. Dia bertindak semaunya, sesukanya.

Sedang Cantra bersifat kebalikannya. Alasan itu yang membuat Svaha jarang mengumpulkan keduanya dalam satu tempat. Selebihnya, jika gadis tersebut bertemu, pastilah karena tidak sengaja. Dan, ketika ketidaksengajaan itu terjadi, Svaha yang pasif hanya bisa berjaga agar mereka tidak saling mencakar.

Di sisi lain, Svaha yang hidup dalam dualitas haruslah pandai membagi waktu. Lelaki itu tidak mungkin memilih satu dari yang lainnya, ia hanya bisa berharap kalau semua akan baik-baik saja. Svaha berharap agar dirinya baik-baik saja. Meski sekarang ujung kakinya malah memantul-mantul di lantai kelas. Antusias dan cemas.

***

Sudah pukul enam lebih lima belas menit ketika matahari terbenam. Selesai memilih pakaian yang pantas untuk datang ke acara bikinan Laung, Svaha menelepon pacarnya.

“Mau kujemput?” tanya lelaki itu ketika telepon tersambung.

“Aku sudah sampai. Katamu kita akan bertemu di sini,” jawab Cantra penuh penyesalan.

“Oh, baiklah. Sampai ketemu di sana kalau begitu.”

Lalu Svaha telepon sahabatnya, Arkana.

“Aku sudah di sini. Kamu jadi datang? Jangan dipaksakan kalau memang tidak ingin datang.”

Svaha mendengar suara nafas Arkana mempengaruhi denyut jantungnya.

“Aku berangkat. Tenang saja. Cantra sudah di sana.”

“Ya, dia sudah di sini. Oh, itu tadi bukan pertanyaan?” Suara ramai jadi latar belakang. Alasan yang paling masuk akal kalau Arkana mempertanyakan kepandaian Svaha mengumbar intonasi.

“Sampai ketemu kalau begitu.”

“Sebentar lagi permainannya mulai, aku ambilkan undian mau?”

“Boleh saja,” jawab Svaha sambil mengunci pintu kamar sewa, lalu berjalan menuju Civic busuk bekas pakai ibunya.

“Kamu jadi polisi.”

“Baiklah. Aku sudah di mobil. Ngobrol lagi nanti, ya.”

“Tangkap aku kalau bisa.” Arkana tertawa sebelum menutup telepon. Svaha membayangkan sahabatnya jadi Tim Buronan. Larinya pasti cepat sekali.

Sepanjang perjalanan Svaha mendistraksi diri dengan mendengarkan lagu. Satu-satunya hal yang tidak ketinggalan jaman dari mobil buluk ini hanyalah alat pemutar musik yang diganti ibunya ketika memberikan mobil tersebut di hari pertama kuliah. Jadi lebih tepat jika dia bilang, “Ibuku menghadiahiku alat pemutar musik sekalian mobilnya.”

Dua puluh menit perjalanan harus dilewatinya untuk sampai di pinggiran kota. Sampai di parkiran Svaha merasa harus menunggu setidaknya semenit sampai Jessie Reyez selesai menyanyikan lagu berjudul Before Love Came to Kill Us. Selera yang aneh untuk seorang lelaki, ia tahu. Ini selera Arkana. Awalnya Svaha mendengarkan hanya untuk menghargai, ia tak ingin disebut anti-feminis. Lama-kelamaan, ia jadi terbiasa. Ia menyukai penyanyi berambut keriting itu.

Ruang kosong parkiran sudah dipenuhi manusia. Mereka berdiri berkelompok-kelompok tapi memandang pada satu arah yang sama. Laung berdiri di atas salah satu mobil mewahnya. Tangannya menggenggam sebotol bir yang isinya tinggal seperempat.

Svaha keluar dari mobil dan berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun. Cantra datang menyambut. Dengan celana pendek bahan jeans dan atasan—atasannya hanya terdiri dari sehelai bikini.

“Sva!” Gadis itu melompat untuk memeluk Svaha.

Svaha merentangkan tangan untuk membalas pelukannya. Kulit Cantra dingin dan lembab seperti katak, gadis itu melengket di pelukan kekasihnya.

“Kamu sudah mulai minum?” tanya Svaha.

“Ya.” Dia tersenyum. Mengabaikan kekhawatiran Svaha. “Kita sudah akan mulai. Aku akan jadi Buronan. Kamu akan menangkapku.” Dia memang punya bakat untuk jadi penggoda. Svaha mencium kepalanya dua kali.

Svaha tersenyum sambil memindai lahan luas yang terbentang di depannya. Mirip dengan flyer yang ditunjukkan Laung tadi pagi. Area villa milik orang tua Laung dikelilingi hutan. Pohonnya besar-besar, suasananya mulai gelap dan lampu remang villa mulai kelihatan menonjol dari tempat mereka berdiri, di ujung sana. Keluarganya pasti mengeluarkan uang banyak untuk mengurus ijin pembangunan.

“Mohon perhatiannya!” Laung berkoar dengan megaphone di depan mulutnya menggantikan botol bir tadi. Tangan yang lain membawa pistol (Svaha benar-benar ingin tahu apa benda itu asli).

Ia dan Cantra mendekat, keduanya berpegangan tangan.

“Sudah mulai gelap, kita akan mulai permainannya.”

Di saat yang sama, Svaha baru sadar kalau Arkana berdiri di sebelah mobil yang dinaiki Laung. Ia minum langsung dari botol vodka. Svaha membayangkan aromanya dari tempatnya berdiri.

 “Beberapa dari kalian belum akrab dengan permainan ini.” Laung menyisir kerumunan dengan matanya. “Hai, Svaha! Terimakasih sudah datang!”

Svaha melambai dengan canggung, karena semua orang menoleh ke arahnya sekarang.

“Jadi, titik A adalah tempat kita berdiri. Titik B adalah Villa, Penjara ada di tepi danau sebelah barat. Tidak ada suaka atau tempat perlindungan hari ini. Buronan akan lari dua menit lebih awal. Polisi menyusul setelahnya. Buronan yang sampai di titik B duluan adalah pemenang. Polisi yang sampai di penjara bersama seorang Buronan adalah pemenang. Apa sudah cukup adil?”

Semua orang berteriak, “Ya!”

“Oke. Satu lagi, agar nampak jelas, semua Buronan tidak pakai baju.”

Pandangan Svaha tertuju pada Arkana yang spontan melepas baju diikuti yang lain. Sehelai bikini bermotif tribal menutup payudara sahabatnya. Membuat Svaha menggigit bibir tanpa ia sadari.

“DOR!”

Cantra mencium bibir Svaha sebelum pergi. Berbaur dengan semua yang bertelanjang dada, berlari memasuki hutan.

Laung meloncat dari mobilnya, mendekati Svaha. “Aku sangat menghargai usahamu untuk datang,” ujar lelaki itu dengan tulus pada lawan bicaranya, “sekarang kamu boleh melakukan apapun pada buronan-buronan itu.”

Sekali lagi suara pistol menendang gendang telinga Svaha. Ia bersiap lari menyusuri hutan, sementara polisi yang lain telah menyeruduk masuk seperti banteng.

***

Bulan purnama tergantung di langit. Daun-daun berwarna perak menuntun mata lelaki itu agar tak sampai tersandung atau menabrak batang pohon.

Permainan Buronan terjadi dengan kesunyian yang ganjil. Svaha mendengar suara orang berlari, tapi tak bisa menentukan jarak mereka. Bunyi tonggeret dan jangkrik membaur dengan gemerisik daun-daun kering. Svaha memutuskan bersandar pada sebuah pohon. Atmosfer seperti ini sungguh jarang terjadi di kota besar seperti Harsha. Ia teringat Eila. Kota kelahirannya.

Svaha menutup mata rapat-rapat, memikirkan desau angin yang bersilangan di antara batang-batang besar pohon hutan. Pohon muda. Langkah remaja saling berkejaran, lalu suara kaki yang lelah dan terseok.

Ia mengintip. Seorang buronan dengan punggung terbuka dan mengkilap berjalan mundur ke arahnya. Svaha menahan nafasnya sebelum meloncat, menangkap Buronan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status