Share

Kembalinya Tiara

“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?”

Ayu tak menjawab hanya menatap wajahku.

“Kenapa Adek lebih milih diemin Abang? padahal bisa aja marah?”

“Adek takut mulut Adek nyakitin hati Abang.”

“Adek masih aja mikirin hal itu, padahal Abang udah nyakitin banget.”

“Apa ada jaminan kalau Adek marah, Abang bakal ninggalin perempuan itu?”

Aku tersenyum kecut ke arahnya, perkataan Ayu memang benar adanya.

“Justru diamnya Adek yang bikin Abang sadar. Apa Adek pernah berpikir buat ninggalin Abang?”

“Enggak pernah.”

“Kenapa?”

“Aku hanya berpikir setiap orang pernah salah dan semoga ke depannya Abang enggak akan pernah mengulanginya lagi.”

“Makasih ya, Adek udah mau kasih kesempatan buat Abang.” Ucapku.

“Adek cuma mencoba berdamai dengan diri sendiri, enggak semua hal bisa berjalan semau kita.”

“Bener, Dek.”

Aku mendekatkan kepala ke perut ayu, perutnya tampak sedikit membuncit terlihat begitu menggemaskan bagiku. Bagaimana tidak, ada benihku di dalamnya yang sebentar lagi akan jadi makhluk hidup yang bernyawa. Kuusap perlahan lalu kuciumi perutnya.

“Hai Sayang, lagi ngapain di dalam? Makasih ya, anak Papah, kamu hadir di saat yang tepat. Kalau enggak, mungkin mamah kamu bisa aja pergi,” ucapku sambil mengelus perut Ayu.

Tiba-tiba Ayu mengusap rambut dengan lembut, hingga membuatku merasakan ketenangan. Ayu memang selalu bisa membuat jiwaku merasa damai. Andai dulu kuturuti nafsu, mungkin hari tidak akan pernah bisa kurasakan kedamaian seperti ini lagi.

Aku mengubah posisi, kini kepalaku sudah berada di pangkuan Ayu. Entah kapan terakhir melakukan ini dengan Ayu? Posisi ini membuatku bisa menatap wajah ayu dengan jarak yang sangat dekat.

“Adek bahagia enggak sih nikah sama Abang?” tanyaku pada Ayu

“Kenapa tanya begitu, Bang?”

“Abang merasa lebih banyak bikin Adek susah dari pada bikin Adek senang.”

“Itu cuma perasaan Abang.”

Ayu mengatakannya sambil terus memainkan rambutku dengan lembut menggunakan jarinya.

“Waktu Abang tahu Adek hamil, Abang ngerasa ….”

Seketika aku mengingat semua kesalahan yang telah kulakukan padanya.

“Abang merasa enggak berguna jadi suami, dibandingkan Abang, Adek lebih banyak berkorban buat keluarga kita.”

Perasaanku benar-benar tak bisa terkontrol hatiku jadi mudah sekali tersentuh.

“Adek cuma bantu sedikit,” ucapnya enteng.

“Adek bilang sedikit? Adek masak sendiri, antar sendiri, habis itu Adek bolak-balik ke area parkir kantor Abang buat ambil kotak nasi, karena Adek enggak kuat buat gotong semuanya sekaligus. Padahal, Adek lagi hamil muda. Abang lihat semuanya, Dek.”

Tiba-tiba Ayu tersenyum.

“Abang lihat juga?”

“Abang bahkan lihat Adek muntah-muntah tiap kali masak makanan buat jualan, tapi Abang cuma diam aja, enggak pernah bantu Adek. Apa Abang masih pantas di sebut suami?”

Tanpa sadar air mata telah jatuh berderai. Belum juga kuusap, Ayu lebih dulu menyeka dengan jarinya.

“Abang kasih rumah ini buat Adek, itu udah cukup.

“Itu cuma rumah Dek, sedangkan buat kebutuhan sehari-hari Adek yang kerja buat nyukupin semuanya.”

“Adek ikhlas.”

Ucapan Ayu, seakan selama ini aku tak ikhlas menafkahi Ayu. Terlalu perhitungan soal nafkah, terlebih saat gajiku besar. Tak pernah sekali pun membaginya dengan Ayu, memilih menggunakannya untuk membeli barang-barang mewah yang tidak penting.

Hidup serba kekurangan yang kurasakan sejak kecil membuatku terobsesi untuk punya segalanya.

Aku memeluk tubuh wanita yang hampir 20 tahun terakhir mengarungi mahligai rumah tangga bersama. Rasanya sangat beruntung karena bisa menikahinya.

Setelah luka bekas cipratan minyak tadi diobati aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah, kebetulan letak kamar mandi persisi bersebelahan dengan dapur. Ternyata Reno ada di dapur, dia terlihat sedang membersihkan tempat itu, yang sudah porak poranda karena ulahku,

Dia tampak sibuk, mengelap keramik di samping wastafel. Keadaan Dapur sudah jauh lebih baik, tinggal beberapa yang masih harus di lap.

“Pintar bersih-bersih juga kamu, Ren,” ucapku sambil menuang air ke gelas

“Demi laptop, Pah,” ucapnya tanpa dosa.

UHUK UHUK!

Aku sampai tersedak air saat mendengar ucapannya.

“Sering-sering aja bikin cimol,” ucap Reno sambil cekikan.

“Kapok lah Ren, tahu bakal begini kejadiannya mending beli aja.”

“Lagian Papah sih pakai dimatikan videonya.”

“Mana Papah tahu cimolnya bakal meledak?”

“Hahahaha”

Reno terus saja menertawakan kebodohan kami saat di dapur. Aku benar-benar kapok mungkin bisa jadi aku trauma untuk memakan cimol. Membayangkan butiran-butiran cimol yang kumakan akan meledak di lambung, jadi ngeri sendiri.

“Makan apa kamu, Ren?” tanyaku.

Sedari tadi kuperhatikan mulutnya tak pernah berhenti mengunyah.

“Cimol, lumayan lah masih bisa di makan,” tuturnya sambil terus mengunyah.

“Kamu enggak takut meledak di perut Ren,” ucapku.

Reno memuntahkan cimol yang dikunyahnya. Sejurus kemudian, dia bergidik ngeri menyaksikan cimol yang tadi dia kunyah berserakan di lantai.

“Hahah, makan aja lagi Ren. Sampai habis kalau bisa.”

Aku hanya bisa tertawa melihat kelakuan si sulung.

~~

Seminggu setelah kejadian itu, aku baru menepati janji membelikan laptop untuk Reno karena sebelumnya kami sibuk mencarikan ART untuk bantu-bantu di rumah. Kemudian, melatihnya agar bisa menyesuaikan dengan keadaan rumah kami.

Mengingat Randi masih 1 tahunan dan Ayu tengah mengandung. Tak sampai hati membiarkannya mengerjakan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya. Aku mengajak keluarga kecilku ke pusat perbelanjaan di kota. Tujuanku sebenarnya hanya membeli laptop baru untuk Reno, tapi sekalian saja kuajak anak-anak jalan-jalan, di momen seperti ini.

Aku ingin lebih mendekatkan diri dengan mereka. Sadar, karena selama ini waktuku lebih banyak dihabiskan untuk perkerjaan. Sejak turun dari mobil, langsung saja kuraih pinggang Ayu lalu melingkarkan lenganku di sana hingga masuk ke pusat perbelanjaan.

Aku tak mau melepasnya sama sekali, rasanya bangga memiliki wanita sepertinya disisiku, sayangnya bisa kurasakan Ayu sedikit menghindar. Berkali-kali dia mencoba melepasnya mungkin benar kata orang perempuan bisa memaafkan tapi belum tentu melupakan. Tak seperti dulu saat aku merangkulnya ayu akan tersenyum ke arahku lalu wajahnya berseri-seri sepanjang jalan. Kali ini dia hanya diam.

“Ren.”

Aku menoleh ke belakang, memanggil Si Sulung yang tertinggal jauh. Dia terlihat senyum-senyum sendiri. Pandangannya tertuju pada seorang perempuan muda, sayang aku tak bisa melihat wajahnya karena membelakangiku.

“Ya, Pah.”

“Tangkap!”

Kulemparkan tas selempangku kepadanya.

“Hap, apa ni Pah?” Reno menangkapnya.

“Jangan cengengesan kayak orang ga waras, Ren!” ucapku.

“Hehe, waras kok, Pah.”

Reno masih saja cengengesan, normal untuk laki-laki seusianya mulai tertarik pada lawan jenis.

“Sana pilih laptopmu sendiri, di tas ada Kartu debit, pakai aja!”

“Hah? Serius, Pah?” Reno terlihat membuka resleting tasku,

“Oke, terima kasih Pah.”

Setelah memastikan isi tasnya dia langsung pergi begitu saja. Seingatku toko yang menjual produk digital ada di sebelah kiri tapi Reno malah berbelok ke kanan, mendekati gadis yang sedari tadi di tatapnya dari jauh.

Apakah sulungku sudah jatuh cinta? Berjuanglah Ren, sesama pejuang cinta Papah mendukungmu!

“Kenapa Bang kok senyum-senyum sendiri?” tanya Ayu tiba-tiba.

Aku tak sadar sedari tadi senyum sendiri seperti orang kurang waras karena membayangkan Reno yang jatuh cinta.

“Eh anu Dek, engak apa-apa kok.”

Aku gelagapan dibuatnya.

“Kita ke mana, Bang?”

“Kita cari dress ya, Adek cantik pakai dress yang kemarin.”

Ayu hanya tersenyum, sepertinya dia malu.

Kini Aku hanya berdua dengan Ayu. Sementara itu, Ilham dan Randi kutitipkan pada ART, mereka tengah bermain di Time Zone.

“Mas Andi!” teriak seorang wanita dari belakang.

Aku dan Ayu pun langsung menoleh.

“Ti-tiara?”

Ah, kenapa dia harus ada di sini.

“Mas huhuhu kamu ke mana aja? Kenapa nomor kamu enggak pernah aktif?”

Tiara tiba-tiba menarik lenganku membuat rangkulanku di pinggang ayu terlepas, kemudian dia menangis tergugu.

Ayu hanya diam menatap kami.

“Mbak memangnya enggak pernah bilang? Jangan egois dong!” bentaknya ke Ayu.

Aku tak mengerti maksud ucapannya.

“Aku ganti nomor Ra, mau apa lagi sih kamu?”

Kepalang kesal kulepaskan tangannya dari lenganku.

“Mas aku hamil, aku hamil anakmu mas.”

Dengan begitu tak tahu malu Tiara terlihat begitu berbinar mengatakan kalimat itu.

“Jangan bercanda kamu, aku tak pernah menyentuhmu!”

“Mas, lihat ini!”

Dia menunjukkan rekaman CCTV, di mana aku sedang dipapah tiara di lorong sebuah hotel. Seketika jantungku berpacu sangat cepat. Otakku berusaha keras mengingat tempat itu, Ah sialnya tempo hari aku memang pernah berkunjung ke tempat itu.

“Mbak coba pikir, apa yang akan dilakukan laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan? Mbak jangan terlalu naif!” Mata Tiara sampai mendelik, karena terlalu bersemangat.

“Ra, apa maksudmu?” Aku membentaknya tak peduli kalau kami akan jadi pusat perhatian di tempat ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
siti mutmainah
baru baikan pelakor datang lagi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status