Setelan jas warna hitam menempel di badan Rahman dengan pas. Seperti tidak ada celah. Tubuh kekarnya kelihatan bertambah gagah. Shelin menggoda Rahman dengan sindiran ringan.
“Are you happy going to see your girlfriend?”
Rahman hanya senyum saja. Candaan Shelin tidak mempan bagi Rahman. Sementara Ibu dan Ayahnya tampak tersenyum melihat dua anaknya itu masih seperti anak kecil saja.
Tiba-tiba Ayah Rahman memanggil Rahman ke ruang tamu. Ada obrolan yang ingin disampaikan untuk Rahman. Berita tentang Robi yang mengincar anak cabang resort baru sudah sampai ke telinga Ayah Rahman. Saham yang dimiliki Robi semakin hari semakin melonjak sangat cepat. Jika Rahman masih bersikap santai terharap rivalnya bisa-bisa Rahman akan kehilangan peluang untuk menjadi pe
Pesawat S-airline mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Rahman menjinjing tasnya menuju ke penjemputan. Pak Darto sudah stand bye di sana. Rahman langsung mengintruksikan Pak Darto untuk langsung ke kantor. Ada urusan penting yang harus dibicarakan langsung dengan Niken. Pak Darto pun mengiyakan. Siapa yang tidak tahu kalau jalanan di ibukota pasti macet. Rahman sesekali memandang jam tangannya. Pak Darto melirik dari kaca. Rahman mengeluarkan handphonenya dan menelepon rumah. Lama tidak ada yang mengangkat. “Apa Mbok Darsih tidak di rumah?” “Di rumah Tuan.” Jawab Pak Darto. Sebelum berangkat menjemput Rahman tadi, Mbok Darsih sedang membersihkan kamar tuan
Makan siang tersaji dengan komplit. Rahman duduk sambil memandang piring kosong di depannya. “Aisyah…” “Iya, Tuan.” “Temani aku makan.” “Baik Tuan, tapi saya tidak makan.” “Kenapa?” “Sunah, puasa Kamis.” Rahman menganggukkan kepalanya, l
Lampu di taman mala mini tampak lebih berbeda. Pancaran redupnya di bawah langit malam menambah kesahduan. Langit yang ditemani bintang-bintang kelihatan menghidupkan suasana malam.Rahman menuruni anak tangga dengan pakaian rapi dan bau wangi yang tidak terlupakan. Bahkan sepintas saja lewat, aroma parfum masih dapat tercium oleh hidung. Malam ini tidak ingin ada yang terlewatkan untuk menentukan pilihan.Awalnya Aisyah merasa bingung kenapa ada Niken malam ini di rumah Rahman. Apakah sebagai sekretaris pribadinya bisa sampai malam begini. Ternyata tidak enak menjadi seorang sekretaris pribadi.Niken menyiapkan dinner dengan cahaya lampu lilin merah di tengah meja. Bunga mawar juga tertata sangat cantik. Melihat Niken yang cantic membuat Aisyah menjadi berpikir yang tidak-tidak.Dengan langkah tegak Niken menghampiri Aisyah yang bersama Mbok Darsih sedari tadi mengintip. Melihat Niken yang berjalan ke arah mereka, dua orang itu lalu membuat kesibukkan ma
Percuma menangisi nasib. Tidak akan mengubah apa pun. Itulah prinsip yang akan Aisyah lakukan. Menyanggupi syarat sebelum menikah sama saja semakin merendahkan dirinya sebagai seorang perempuan. Hatinya sudah cukup lega untuk keluar kamar. Baru saja tangannya hendak membuka pintu, bersamaan dengan Rahman sehingga membuat merasa kaget. Namun dia tidak melihatkan perasaan bersedihnya. Rahman langsung mendorong tangan Aisyah masuk ke kamar lagi. “Mau apa kamu?” “Ada yang ingin aku bicarakan.” “Maaf, tidak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Kamu salah paham Aisyah.”&nb
Sepulangnya dari café Rahman melihat lampu dapur masih menyala. Dia mengira apakah Mbok Darsih atau Aisyah masih belum selesai pekerjaannya. Rahman menuju ke dapur dan melihat mereka berdua sedang asyik mengobrol kelihatannya. “Tuan sudah pulang?” Mbok Darsih langsung berdiri. Sementara Aisyah hanya diam tanpa suara. “Kalian belum tidur?” Eghh! Tiba-tiba Aisyah merasa kaget mendengar suara penuh kelembutan meluncur tanpa halangan dari mulut Rahman. “Eh, Non… hati-hati minumnya.” Mbok Darsih mengambil serbet dan mengelap muncratan minuman Aisyah.
Di dalam kamar Aisyah masih merasa bingung. Tidak mungkin menikah tanpa doa restu dari orang yang dianggapnya sangat penting sebagai pengganti orangtuanya. Bu Narsih, pengurus asrama yang tidak pernah bosan memberikan wejangan hidup untuk Aisyah. Bahkan sosok wanita paruh baya itu, sudah dianggap sebagai ibu sendiri. Sampai tidak sadar tercium aroma gosong. Penggorengan mengeluarkan asap sampai Mbok Darsih kaget dan berteriak histerius. “Non…,” “Astaghfirullahalaziim…” Aisyah segera mematikan kompor. Untung saja dapur menggunakan kompor listrik yang canggih langsung ada penyaring asap dan minyak, jadi tidak terlalu memenuhi ruangan.&nb
Pagi sekali Niken sudah sampai di rumah Rahman. Penampilannya membuat semua orang yang melihatnya merasa pangling. Niken yang biasa memakai baju casual tapi kali ini memakai gamis dan kerudung yang menyatu perpaduannya. “Mba Niken, Masya Allah cantiknya…” “Terima kasih Aisyah, bagaimana sudah siap, kita berangkat sekarang.” “Insya Allah siap…” Rahman menuruni anak tangga. Penampilannya juga sangat berbeda. Tiba-tiba Aisyah merasa bingung. “Semua sudah ready, ayok berangkat.” Ucap Rahman.
Meski rasa rindu di dalam hati masih menggebu. Namun Aisyah tidak bisa lama-lama mengenang masa lalunya saat berada di penjara suci. Dia harus kembali ke ibukota bersama Rahman dan Niken. Sepertinya baru kemarin menikmati atmosfir yang sangat segar menikmati pemandangan dan udara segar. Gunung menjulang tinggi menjadi daya tarik keindahan kala matahari terbit dan terbenam. “Aisyah, kita harus pergi sekarang…” ucap Niken kepada Aisyah yang berdiri di taman kecil. Terasa berat sekali untuk melangkah. Rahman berdiri dengan seorang pria paruh bayu, kelihatan mereka sedang mengobrol bahkan terlihat sangat akrab. Tidak mungkin Rahman mempunyai teman dekat di sini atau jangan-jangan Rahman sok kenal saja.