Rahman pulang dipapah oleh supir pribadinya yaitu Pak Darto. Bukan pertama kali Rahman pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan hampir setiap malam. Kondisi Rahman seperti itu sangat membahayakan posisinya sebagai CEO namun seolah dia tidak mau peduli. Pak Darto dan Mbok Darsih sering menasihati Rahman tapi selalu dianggap angin lalu.
Meskipun Pak Darto dan Mbok Darsih hanya pembantu dan supir pribadinya tapi Rahman masih menghormati mereka berdua karena sejak kecil sudah diasuh dengan baik. Orangtuanya tinggal di Singapura, bersama Adik perempuan Rahman yang sedang kuliah di NUS.
Perbaduan blesteran antara Jawa dan Amerika, itulah yang membuat paras Rahman mempunyai ciri khas. Pria yang berbadan six pack itu seakan tidak mempunyai kecacatan fisik. Namun entah kenapa, keluarga Cindy tiba-tiba membatalkan pernikahan yang sudah matang disiapkan. Malam itu saat Rahman berkunjung ke rumah Cindy, orangtua Cindy tiba-tiba meminta Rahman dan Cindy untuk test kesuburan terlebih dahulu sebelum menikah. Alasannya, orangtua Cindy tidak mau jika mempunyai menantu yang mandul, karena sama saja mematikan garis keturunan.
Rahman terpaksa harus menuruti permintaan orangtua Cindy. Mereka harus test kesuburan di klinik yang sudah ditunjuk oleh orangtua Cindy. Satu jam kemudian dokter memanggil mereka dan melihatkan hasil test kesuburan.
Dokter mengatakan kalau sperma Rahman kurang subur dan kemungkinan tidak bisa mempunyai anak. Cindy merasa kaget, terlebih lagi Ayahnya. Sejak itu, Ayah Cindy memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka. Remuk redam hati Rahman. Cindy tidak bisa berbuat apa-apa hanya patuh terhadap perintah orangtuanya.
Rahman langsung menjadi seperti orang gila dan mudah marah. Di kamar dia hanya bisa mengamuk, membanting dan menendang barang se-kenanya. Pecahan vase bunga dan meja kaca berserakan di lantai. Bahkan tangan Rahman mengeluarkan darah, namun dia tidak peduli, rasa sakit tidak dirasakan.
“Tuan, ada apa?” Mbok Darsih merasa bingung melihat Tuannya pulang-pulang sudah dipenuhi amarah.
Rahman tidak menjawab, dia naik ke atas. Darah menetes di antara anak tangga. Bunyi dentuman pintu tertutup membuat jantung Mbok Darsih merasa kaget. Pak Darto membantu istrinya untuk membersihkan pecahan beling di lantai. Jika suaminya belum bercerita Mbok Darsih pun tidak berani memulai bertanya.
Praknnnn!!!!
Terdengar bunyi pecahan. Pak Darto menahan tangan istrinya supaya tidak masuk ke kamar Rahman. Saat ini Rahman butuh waktu untuk sendiri.
Setelah puas melampiaskan amarahnya, Rahman terbaring lemas di atas kasur. Matanya pun tidak ingin melihat dunia, saat itu juga ingin dia mati saja.
***
Tubuh Rahman direbahkan ke atas kasur. Aisyah masih diam membisu. Padahal jika mau, dia bisa kabur saat itu juga. Pintu kamar terbuka dan dia bisa berlari sekencang mungkin, tidak peduli malam sudah sangat gelap.
“Mbok, dia kenapa?”
“Beginilah Non, setiap malam selalu pulang mabuk.”
“Mbok, saya…”
“Hei jangan pergi kamu!”
Tiba-tiba Rahman bangun sambil menunjukkan jari telunjuk membuat Aisyah merasa kaget dan mengurungkan niatnya untuk izin pergi. Rahman kembali ambruk di atas kasur.
“Non, mari ikut saya…”
Aisyah mengikuti Mbok Darsih, seharian ini dia juga belum mandi. Tubuhnya terasa lengket. Mbok Darsih membawa Aisyah ke kamar tamu. Di dalam sudah lengkap dengan kamar mandi.
“Non bisa mandi dulu. Maaf, untuk sementara pakai baju saya dulu yah, Non.”
“Mbok, jangan panggil saya Non, cukup panggil Aisyah saja.”
“Tidak apa-apa Non. Sebentar saya ambilkan bajunya.
Mbok Darsih pergi ke kamarnya. Dia mencari baju yang layak dipakai Aisyah. Meski tubuh Aisyah lebih kecil, tapi masih ada gamis yang muat untuk Aisyah walau kedodoran sedikit.
Aisyah melihat-lihat kamar tamu yang cukup besar juga. Kamar mandinya juga sangat bersih dan wangi. Shower yang tentunya sudah otomatis hangat bisa membersihkan tubuhnya, seharian belum mandi.
“Ini, Non… kebesaran sedikit nggak apa-apa yah.”
“Terima kasih yah, Mbok.”
Aisyah menyalakan shower dan mengetes airnya sudah hangat atau belum. Keluar dari penjara suci dan mencoba mengadu nasib ke ibukota, tidak disangka dia akan mengalami kejadian seperti ini. Berada di rumah istana namun bagaikan neraka.
***
Saat Rahman menuruni anak tangga, dia merasa bingung dengan penampilan Aisyah yang sedang menyiapkan sarapan. Bahkan Rahman seperti tidak ingat kepada dirinya.
“Kamu siapa?” tanay Rahman memastikan.
“Kamu pikun yah!”
“Hei, jaga ucapanmu yah!” gertak Rahman, hingga membuat Aisyah sadar kalau pria yang dihadapannya itu merupakan sosok aneh dan menyebalkan.
“Kamu yang bawa aku ke sini, sekarang tanya aku siapa?”
Rahman mencoba untuk mengingat kembali. Dia memukul-mukul pelan kepalanya, efek mabuk berat semalam mungkin sudah membuatnya amnesia. Barulah Rahman sadar dan tertawa.
“Dasar aneh!” gerutu Aisyah.
“Ha ha ha…” Rahman masih tertawa dan ingin menyentuh kepala Aisyah namun dia urungkan.
Aisyah melihat tangan Rahman yang diturunkan sendiri hanya bisa membatin.
“Punya malu juga tidak jadi menyentuhku.”
Rahman menarik kursi dan siap untuk sarapan. Aisyah membalikkan badan. Rahman langsung bersuara lantang. Dia meminta Aisyah untuk duduk di sebelahnya dan menemani sarapan. Siapa yang tidak sudi menemani pria aneh dan menyebalkan, Aisyah menolak dan tidak mau.
Prankkk!
Rahman membanting gelas yang sudah diisi air putih. Aisyah merasa kaget sampai dia merasa takut untuk membalikkan badan. Mbok Darsih berlari dari dapur.
“Tuan, kenapa, apa sarapannya tidak enak?”
Rahman berdiri dan merapikan jasnya. Aisyah masih merasa gemetar. Rahman menarik tangan Aisyah dan menyeretnya masuk ke kamarnya. Meski Aisyah meronta meminta untuk dilepaskan namun Rahman tidak mempedulikan.
Dhummm!
Suara pintu dibanting dengan kuat. Rahman berteriak hingga terdengar penghunia rumah. Bahkan Pak Darto yang sedang memanaskan mobil bisa mendengarnya.
“Jangan berikan dia makan, Mbok! Itu hukuman untuknya yang sudah berani melawanku!”
Rahman merapikan jasnya kembali dan turun menaiki anak tangga. Mbok Darsih masih mematung sambil memandang pecahan gelas.
“Jangan ada yang buka kamar saya.”
“Baik Tuan.”
Mbok Darsih selalu mematuhi perintah Tuannya, tapi tidak memberikan makan kepada Aisyah, hatinya juga tidak tega. Pak Darto membukakan pintu mobil. Dengan kharismanya sebagai CEO yang banyak saingannya, Rahman tidak peduli akan perangai sikapnya itu bisa digunakan lawan untuk menghancurkannya.
Aisyah memijat-mijat pergelangan tangannya. Amukan Rahman, sangat gila. Baru kali ini Aisyah diperlakukan seperti budak. Sejenak dia berpikir ke belakang. Jika saja dia mau menemani Rahman sarapan mungkin dia tidak akan dihukum di kamar ini.
Pak Darto melihat wajah Rahman yang masih menyisakan amarahnya. Membunuh jenuh di dalam mobil, Rahman membuka handphone dan melihat ada jadwal meeting siang ini di restoran.
“Tuan. Apa tidak kasihan dengan Non Aisyah?”
“Jangan ikut campur Pak Darto.”
“Kalau orangtua Aisyah mencarinya bagaimana Tuan, dan melaporkan ke polisi?”
“Sampai sekarang tidak ada polisi yang datang, kan?”
“Tapi Tuan…, kelihatannya Aisyah perempuan baik-baik.”
“Cuku Pak Darto.”
Rahman juga merasa gelisah. Bagaimana jika apa yang dikatakan Pak Darto itu benar. Sudah semalaman Aisyah tidak pulang. Orangtuanya pasti sangat khawatir. Pak Darto melirik wajah Rahman dari kaca, lalu tersenyum.
Sampai di kantor, Rahman meminta Pak Darto untuk segera pulang ke rumah saja dan mengecek keadaan Aisyah. Receptionis tersenyum dan menyapa Rahman. Baju yang dipakai membuat Rahman teringat akan Aisyah yang sangat berbeda. Belahan dada wanita itu kelihatan.
“Melisa.” Rahman membaca name tagnya.
“Iya, Pak.”
“Besok bajunya lebih sopan.”
Melisa pun merasa kaget, tiba-tiba bossnya mendadak menjadi aneh. Padahal Melisa sudah biasa memakai baju yang sering membentuk buah dadanya menonjol. Sebelum masuk ke ruang kerjanya, Rahman memperhatikan pegawai perempuan. Merasa ada yang aneh dengan sikap bossnya, Rahman pun menjadi bahan obrolan.
***
Niken mengetuk pintu. Rahman masih termenung dengan ucapan Pak Darto. Kehadiran Niken pun tak kalah dilewatkan oleh mata Rahman. Niken yang memakai rok di atas lutut dan baju hem yang ketat berbalut blazer. “Maaf Pak… meeting sebentar lagi.” “Bukankah siang ini?” “Jadwalnya diajukan Pak, sudah saya beritahu Pak Rahman kemarin.” “Oh yah.” Rahman mengangguk dan tidak begitu pusing memikirkannya. Niken memberikan berkas-berkas yang harus disiapkan untuk presentasi. Niken menjelaskan kalau Rahman tidak bertindak tegas dan cepat, bisa saja proyek cabang baru bisa jatuh ke tangan lawan. &n
Rahman melihat kamarnya masih terang. Dia tidak melihat Aisyah di kamarnya, hatinya langsung panik. Dia bergegas mencari Aisyah ke bawah. Menurut pengakuan Mbok Darsih, Aisyah tidur di kamar tamu. Pintu kamar yang tidak dikunci membuat Rahman dengan mudah masuk. Aisyah mengucapkan salam selesai salat tahajudnya. Dia langsung kaget melihat Rahman yang duduk di kasur. “Ngapain kamu ke sini?” Rahman masih diam sambil memandang wajah Aisyah yang tanpa niqam melihatkan bentuk hidung mancung Aisyah dan bibir mungilnya, sehingga membuat Rahman menelan salivanya. Melihat kecantikan Aisyah siapa yang tidak akan tertarik. Paras perempuan-perempuan penghibur di club malam, kalah dengan kecantikan Aisyah yang tanpa polesan make up. &nbs
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya. “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum. “Waalikumsalam…” “Ustazah Aisyah, darimana saja?” “Maafkan saya, Bu.” Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.  
Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah. “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas. “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya. “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah. Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman. “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit
Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah
Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara international Changi. Perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Indonesia. Rahman lolos dari pengecekan imigrasi. Dia bergegas menuju ke arah pengambilan koper. Sementara Antonio Lim sudah menunggu Rahman. Anton, begitulah orang-orang memanggil namanya supaya lebih gampang. Anton merupakan teman kuliah Rahman dulu di Singapura. Mereka tetap menjalin hubungan baik, meskipun jarak telah memisahkan. Selain menjalin hubungan bisnis, mereka juga menjalin persahabatan yang baik. Rahman melambaikan tangan melihat Anton sudah melambaikan tangan juga. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. “Welcome, Bro. How are you?” ucap Anton. “I
Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Ibu Reta memang memiliki hobby memasak. Sehingga setiap makan malam, selalu terhidang makanan yang lezat. Rahman dan Ayahnya masih sedikit canggung. Keduanya memang pernah terlibat perbedaan pendapat yang sempat membuat hubungan keduanya sedikit renggang. Namun seiring waktu Ayah Rahman dapat menerima setiap keputusan yang Rahman ambil. Perbedaan pendapat setelah gagalnya pernikahan Rahman dengan Cindy, menciptakan celah yang kurang baik. Untung saja semua itu tidak berlarut terlalu lama. “Take this.” Ayah Rahman mengambilkan sepotong shell yang diracik dengan taburan cabai merah dan peresan jeruk nipis. Rasanya sangat enak bagi yang menyukainya. “Thank Dad.”&n