Usai pemakaman, keluarga besar berkumpul. Bersama-sama bangkit dari kesedihan. Syukurlah mereka semua cepat melepaskan diri dari deraan kesedihan dan cepat mengikhlaskan. Mereka semua senang bercanda. Apa pun bisa mereka jadikan bahan candaan dan bisa membuat mereka tertawa.
Saat si kecil Zikri yang tampan dan adiknya yang cantik, Fitri, tiba di rumah, suasana hangat dan ceria makin terasa. Celotehan Fitri dan tingkah lucu Zikri amat menggemaskan.
“Zikri... sini Sayang, sini. Aduh, kamu ganteng banget sih. Aku peluk ya?” kata Luna ceria. Memeluk kanak-kanak berumur tiga tahun itu.
“Iya, senyumnya itu lho. Ya ampun... senyum lagi dong, Sayang,” Sukma dan Laras menimpali. Mengangkat gawai mereka, tanpa ragu memotret Zikri.
Zikri dan Fitri adalah anak Tuan Daus. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. Zikri tiga tahun, Fitri satu tahun. Keduanya sama-sama lahir di Bulan Januari. Uniknya, kedua kakak mereka, Kevin dan Alan juga lahir di bulan yang sama.
Di karpet, Zaki dan Lili tengah bermain dengan Fitri. Lucu sekali mendengar Fitri mengucapkan beberapa kata dan memanggil nama ayahnya.
“Fitri anak siapa sih?” Zaki menyeringai, menggoda sepupunya.
“Anak Ayah atau anak Ibu?” lanjut Lili.
“Anak Ayah!” jawab Fitri mantap, melirik Tuan Daus di ujung ruangan.
Tuan Daus, Kevin, dan Alan tertawa. Begitu pula yang lain. Sedangkan istrinya memasang ekspresi pura-pura marah.
“Oh, jadi Fitri bukan anak Ibu? Okey... nanti nggak dikasih boneka ya. Nanti Teddy Bear-nya buat Ibu ya.”
Tuan Lukman dan istrinya - Nyonya Melati - masuk ke ruang tamu. Mengalihkan perhatian mereka semua.
“Melati mau pulang,” kata Tuan Lukman.
“Lho, kenapa? Buru-buru banget,” Mama beranjak bangkit.
“Saya harus jaga Bagas. Dia lagi sakit. Cuma pengasuhnya yang ada di rumah,” sahut Nyonya Melati.
Bagas? Maurin refleks melepas pelukannya pada Zikri. Hatinya bergetar kuat. Sepotong nama itu mengingatkannya pada sosok yang sangat ia rindukan. Hati kecilnya membisikkan satu nama: Arun Bagaskara. Apakah anak tunggal Tuan Lukman dan Nyonya Melati itu setampan Arun? Meski anak angkat, Bagas tetaplah bagian dari keluarga besar itu. Tak ada yang membedakannya dengan anak-anak yang lain.
“Oh, Bagas lagi sakit? Semoga dia cepat sembuh ya,” ucap Luna. Suaranya sedikit bergetar.
“Iya. Makasih ya,” Nyonya Malati menyahut ramah. Meraih tas tangannya.
“Duluan semuanya.”
“Monggo...” jawab semua anggota keluarga besar.
Nyonya Melati melangkah pergi. Tuan Lukman menyusulnya. Putri ketiga Eyang Putri masih sempat menggoda sang kakak.
“Mas kenapa sedih terus? Kita-kita saja sudah gembira lagi kok... mikirin apa kamu, Mas?”
“Mikirin warisan,” sahut Tuan Lukman sekenanya. Ditingkahi tawa adik-adiknya.
Setelah Tuan Lukman dan Nyonya Melati pergi, Luna menghempaskan tubuhnya di karpet. Tepat di sisi Nyonya Ambarwatu. Ragu-ragu ia mengecek gawainya. Sejak semalam ia menonaktifkan benda elektronik itu. Sudah waktunya ia mengaktifkannya lagi. Ternyata ada telepon dari Indra. Pria 28 tahun itu pasti sudah tahu. Figur Indra dan keluarganya yang begitu baik serta perhatian takkan pernah dilupakan Luna. Segera saja ia mengetikkan chat pada pria tampan berpostur tinggi semampai itu. Meminta maaf. Mengharapkan kehadirannya secara implisit. Mencurahkan isi hatinya. Bila sosok kakak perempuan ia temukan dalam diri Lili dan Shinta, sosok kakak lelaki ia temukan pada diri Indra.
Selesai chat, Luna membuka daftar kontak di gawainya. Mendapati nama itu tertera di sana. My dearest Frater. Ingin sekali ia menelepon pemuda tampan yang berada jauh darinya itu. Menyandarkan hatinya yang rapuh padanya. Mengungkapkan rasa kehilangan. Tak bisa dipungkiri, Luna membutuhkan Arun. Ia rindu suara barithon itu. Ia rindu sikap lembutnya, cara Arun menenangkannya, bahkan rindu saat Arun menyanyikan lagu favoritnya. Sayangnya ia sedang memberi kesempatan bagi Arun untuk sendiri. Ia takkan mengganggu calon Imam Religius itu.
“Kamu mikirin apa, N’duk?” Nyonya Ambarwatumi berujar lembut. Mendekat, lalu mengepang rambut Luna.
“Hmmm... Uti pasti tahu. Aku memikirkan apa yang pernah kuceritakan sama Uti beberapa bulan lalu.”
“Oh iya iya... gimana dia? Kalian sudah bertemu?”
“Sudah, Uti.”
Sepasang mata wanita paruh baya yang masih cantik itu melebar. Gerakan tangannya sontak terhenti.
“Nanti kamu cerita sama Uti, okey?”
Luna mengangguk. Detik berikutnya, mereka disela kedatangan tamu. Masih banyak tamu yang berdatangan. Keluarga besar turun ke halaman. Menyambut mereka. Menyalami mereka. Beberapa pria dan wanita memeluk Luna. Mengusap-usap rambut dan pipi Luna. Tidak percaya jika Luna sudah duduk di bangku kuliah. Beberapa anggota keluarga besar tertawa mendengar ketidakpercayaan para tamu. Putri ketiga dan keempat tanpa ragu menceritakan cucu-cucu Eyang Putri satu per satu. Membanggakan mereka. Menyebutkan prestasi akademis dan non akademis mereka. Menjelaskan pekerjaan Lili, Shinta, Sukma, dan Laras. Bercerita tentang studi Luna, Ishak, Kevin, Zaki, dan Alan. Mereka selalu tahu, selalu memahami anak-anak itu dari kecil sampai dewasa. Mereka yang paling tahu perkembangan terbaru setiap anak. Apa yang diikuti, organisasi apa yang mereka masuki, event tempat mereka melibatkan diri, dan macam-macam lagi. Keluarga besar yang pertama kali tahu aktivitas, project, dan pekerjaan anak-anak di luar sana. Itulah sebabnya mereka sangat mengerti dan memahami cucu-cucu Eyang Putri.
Tamu terus berdatangan. Ada yang dikenal, ada pula yang tidak. Teman lama, tetangga, rekan kerja, sahabat masa kecil, kerabat, sampai mantan kekasih, semuanya datang. Tuan Daus berasumsi jika para tamu akan terus berdatangan sampai malam nanti.
Di sela-sela menerima tamu, Luna sempat berbincang akrab dengan Ishak. Sepupunya itu bertambah tinggi secara drastis. Ia makin tampan. Luna nyaris tak percaya jika Ishak sudah sebesar ini. Bukankah beberapa tahun lalu mereka masih sangat kecil?
“Nggak nyangka ya, kamu udah besar sekarang. Dulu kita masih suka main pesawat-pesawatan. Dulu suara kamu masih cempreng dan lucu...” Luna tertawa. Ishak ikut tertawa. Sesekali memainkan ponsel pintarnya.
“Iya. Dulu Mbak rambutnya masih pendek, sekarang sudah panjang. Masih siaran, Mbak? Masih suka nyanyi? Suka nulis novel?”
“Masih dong. Kamu sendiri? Gimana setelah jadi Ketua OSIS dan anggota paduan suara? Pasti sibuk banget.”
Ishak tersenyum kecil. Duduk di rerumputan. Luna ikut duduk di sisinya.
“Sibuk? Lumayan. Tapi fokus utamanya tetap target masuk perguruan tinggi negeri.” Ishak menjawab yakin.
“Good. Kamu pengen kemana memangnya? Kedokteran?” tebak Luna.
“Bukan Mbak, Teknik Kimia.”
Selanjutnya mereka bercerita banyak hal. Tentang jurusan kuliah, pelajaran, OSIS, paduan suara, dan novel. Ishak ternyata antusias dan tertarik menulis novel pula. Luna mendukung niatnya dengan senang hati.
“Bagus tuh. Mau nulis tentang apa?”
“Tentang sekolah, OSIS, paduan suara, dan...”
Sisa kalimat terakhir Ishak ditenggelamkan oleh suara mezosopran Laras dari ujung halaman.
“Ishak...! Ke sini bentar!”
Detik berikutnya, tangan Ishak dan Luna ditarik seseorang. Keduanya kebingungan namun mengikuti ajakan itu yang tidak lain datang dari Laras. Di ujung halaman, berdirilah Laras, Sukma, Lili, Shinta, Kevin, Alan, Zikri, Fitri, Zaki, Tuan Daus, dan para suami dari putri-putri Eyang. Mereka semua asyik berfoto dengan backdrop pepohonan dan kolam ikan.
“Kamu ikutan!” perintah Laras pada Ishak.
“Ikutan apa?”
“Ikutan kayak mereka...”
Sebagai jawaban, Laras menunjukkan foto-foto yang baru di-uploadnya ke group W******p keluarga. Terdapat caption di setiap foto: Wanted, bujangan kece badai. Melihat itu, Luna dan Ishak tertawa.
“Siapa itu?” tunjuk Ishak pada sebuah potret yang sebenarnya sangat ia kenal.
Alis Laras terangkat, “Ya bapakmu tho...”
Sejurus kemudian, Ishak ikut berfoto dengan para pria lainnya. Shinta bertindak di luar dugaan. Ia menarik lengan Zikri, bergabung dengan Ishak.
“Dan Zikri...” ujarnya.
“Bujangan kece badaiin the future.”
Halaman rumah itu sukses dipenuhi canda dan tawa. Dalam hati Luna mengagumi keluarga besarnya. Begitu cepat mereka bangkit dari kesedihan. Pertemuan hari ini justru berbalut keceriaan. Lebih mirip Lebaran, atau sekedar temu kangen di akhir tahun. Sungguh, nyaris tak ada yang berubah.
“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.“Mama mau kemana?” tanyanya.“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.“Iya...”“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.“Anakmu bersamaku.”Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Su
Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda.Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.“Lho, kenapa Mama tiba-tiba
Menjelang dini hari Luna terbangun, dia tak menemukan Shinta tidur di sampingnya. Dengan perasaan khawatir, dia pun mencari Shinta dan dia terkejut saat mendapati Shinta kakaknya tidur di kamar sebelah. Kamar tempat eyang putrinya di temukan meninggal. Shinta tergeletak tidur di sana dengan laptop yang masih menyala. Luna hanya menggelengkan kepalanya saat mendapati Shinta yang seperti itu.Rupanya Semalaman Shinta berkutat dengan pekerjaannya, Luna menarik napas dalam -dalam dengan tingkah kakaknya itu. Sudah jadi kebiasaan Shinta jika mengejar deadline pasti akan seperti itu. Shinta memang sudah sangat kental dengan sifat pekerja kerasnya, yang tentunya dia warisi dari Mama. Tapi bukan hanya Shinta yang seperti itu Luna dan Lili juga sudah tak biasa dielakkan lagi dan seluruh keluarga besarnya mengakui hal itu.Luna menyelimuti kakaknya yang tertidur pulas, dia tersenyum kecil melihat Shinta yang tak ada takut-takutnya tidur di kamar eyang putri sendiri
Hari ini Luna bersama Syifa sedang berada di rumah duka, Dewa pacar Syifa telah meninggal dunia. Dia terus menangisi kepergian pacarnya itu. "Luna, aku masih belum bisa mempercayai kalau Dewa sudah enggak ada, aku tak percaya ini.....," isak Syifa di pelukan Luna. Syifa gadis cantik berdarah sunda itu langsung Shock saat mendapat kabar kematian Dewa kekasihnya. Gadis supel yang berperasaan tajam dan penyabar. Sejak Luna mengenalnya, dia selalu memprioritaskan orang lain, jarang sekali Luna melihat Syifa mementingkan egonya sendiri. Selama mereka sekolah di SMAN Bunga Bangsa, Syifa aktif menjadi pengurus OSIS bahkan dia sampai menjabat selama 2 periode. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan rasa sosial dan pandai. Dia juga terkenal sangat ekspresif ketika mengikuti teater di sekolah. Setelah lulus Syifa menempuh S1 di Psikologi Linguistik dan menjadi salah satu pelatih teater di kampusnya. Dia juga salah satu alumni yang masih peduli dan masih ser
Syifa Amalia, gadis itu menyeka air matanya. Air mata duka tepatnya. Sepasang mata beningnya menatap sendu pada sepasang nama yang terukir indah di pelaminan. Atmosphere bahagia yang mengisi setiap sudut ballroom hotel ini bukanlah miliknya, musik romantis yang di mainkan pianis itu dengan jemarinya pun bukan untuknya. Begitu pun keluarga besar yang berkumpul, semua bukan keluarganya walau sesungguhnya sebagian besar dari mereka dia sudah mengenalnya.Pesta pernikahan Reno yang mau tak mau harus dia hadiri karena janjinya sendiri, ini perpisahannya untuk hatinya."Selamat berbahagia Reno dan selamat tinggal, aku melepasmu bukan berarti karena aku tak mencintaimu lagi....," kata Syifa dalam hati sambil menatap ke pelaminan.Pesta pernikahan yang sudah berhasil mematahkan hati gadis cantik berdarah sunda yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang perawat. Syifa Amalia melepas cinta pertamanya untuk wanita lain yang sudah dipilih.***Arun turun dari mobilnya, dia melangkah tertatih memasu
Menjelang tengah malam, Syifa kembali mengontrol ruang rawat. Dia terkejut saat menyadari kalau Arun masih berada di samping tempat tidur gadis yang tadi sore terluka di gendongannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, Arun harusnya beristirahat di ruangannya bukan menunggui gadis kecil ini."Hai, kamu kenapa masih di sini?" Kata Syifa dengan pelan menghampiri kasur di mana gadis kecil itu terbaring dan belum sadarkan diri."Iya, aku sudah janji pada gadis kecil ini untuk tidak meninggalkannya," jawab Arun."Tapi bukannya kamu harus istirahat juga. Ohh maaf aku sudah banyak tahu tentangmu dari dokter Tiara dan dokter Aris," jawab Syifa cepat sebelum Arun menanyakannya."Oh...., mereka sudah cerita banyak. Rupanya kita belum kenalan, siapa namamu?""Aku Syifa." Kata Syifa sambil mengulurkan tangannya."Sepertinya aku tak perlu menyebut namaku ya, hehe...," kata Arun sambil menyambut uluran tangan Syifa."Iya aku tahu, ta
Keesokan paginya Luna bangun, lingkaran hitam terlihat di keliling matanya. Setelah mengambil wudu lalu melaksanakan Shalat subuh, masih ada air mata yang mengalir di kedua matanya. Saat doa yang dia panjatkan untuk Arun, pemuda yang begitu melekat di hatinya.Matanya tertuju pada rekaman semalam, menurut para ahli terapi, musik salah satu sarana yang mampu menguatkan dan menghibur hati secara psikologis, apalagi musik instrumen. Musik juga mampu memulihkan kesehatan jiwa seseorang.Kepercayaan dari ilmu psikologi itu, yang membuat Luna yakin untuk mengirim rekaman musik dari permainan pianonya semalam untuk Arun. Sebenarnya dia tak sabar menunggu tanggapan Arun saat rekaman itu sudah terkirim, dia berharap rekaman itu mampu membantu Arun melewati semua kesulitan yang sedang dia hadapi dan rasa sakit dari penyakit yang selama ini belum tuntas proses penyembuhannya.Setiap hari dia menunggu kabar dari Arun dan seminggu kemudian, di pagi hari saat be
Luna dan Sherin berjalan melewati Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, fakultas teknik, perpustakaan dan cafetaria. Dari arah cafetaria, samar terdengar alunan sebuah lagu yang mengingatkan Luna pada pemuda yang dicintainya. Lirik lagu itu sering mereka berdua nyanyikan saat bermain piano berdua. Sherin yang tahu akan lirik lagu itu, buru-buru memecah kebisuan di antara mereka sejak keluar dari masjid tadi.“Bagaimana kalau kita masuk, Kamu mau makan dulu? Atau aku belikan pizza kesukaanmu ya?” tanya Sherin sambil menoleh pada Luna yang berjalan di sisinya.“Nggak usah kak, aku belum lapar kok,” jawab Luna.“Tapi Kamu harus makan..., nanti kamu sakit,” bujuk Sherin sambil memluk bahu Luna.Namun Luna tetap menolak, Sherin seakan kehabisan akal untuk membujuk Luna. Akhirnya yang dia bisa lakukan hanya tetap berada di samping Luna dan menguatkan hati gadis cantik ini. Luna sangat bersyukur dengan keberadaan Sher