Share

Diary Langit
Diary Langit
Penulis: Jiebon Swadjiwa

Prolog

Luna tersenyum sambil mengucapkan syukur dalam hatinya, dia kagum dengan perjuangan Arun yang melihat sebuah peluang akan kesembuhan sakitnya Arun. Dia juga sering memperhatikan bagaimana cara Arun menyibukkan dirinya dengan paduan suara dan sesi hipnoterapi dengan salah satu terapis yang baru-baru ini dikunjungnya dan itu membuat banyak kemajuan.

Gadis bermata abu ini mulai lihai menyusun kata demi kata dalam merangkum semua cerita yang dia tulis kata per kata dengan meleburkan semua rasa dan dituangkan dalam kertas putih, berharap rasa yang dia tuangkan lewat surat itu bisa sampai pada pria yang namanya tertera di bagian atas kertas itu. Sebuah rasa yang sangat menyenangkan yang dia dengar saat latihan paduan suara, dengan notasi yang lembut hingga membuat alunan irama yang terdengar cantik merdu dan dinyanyikan dengan penuh keyakinan.

Surat itu telah selesai dia tulis, dia melipatnya dengan rapi kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna pink, lalu menutupnya dengan rapat seperti tak ingin orang yang tak berhak membukanya. Diraihnya sebuah botol farpum bertulis bertuliskan Paris Hilton Heiris, dibuka tutupnya lalu menyemprotkan farpum favoritnya itu ke seluruh permukaan amplop.

Sebuah surat yang selalu dia tulis setiap malamnya dengan tak pernah bosan, walau dia tak pernah berusaha mencoba mengirimkannya. Bagi Luna menuliskan nama pria yang dipujanya sudah cukup membuatnya merasakan bahagia, walau kadang rasa sakit dan perihnya luka terus menjalari hatinya bertubi-tubi tanpa belas kasihan. Namun gadis berpiama pink itu punya alasan yang kuat kenapa dia tak mengirimkan surat-suratnya itu, meski keinginan itu selalu ada.

Gadis itu selalu berpikir sambil menatap kembali amplop berwarna pink itu, bisa saja surat itu dia kirim tapi jika jatuh pada orang yang tidak tepat, akan ada terlalu banyak resiko yang nanti akan dia dapati. Perasaannya begitu berharga dan dia tahu pria itu mengetahuinya, walau pria itu tak pernah membaca suratnya. Tapi pria itu selalu menginginkan dia untuk tidak terlalu bergantung pada dirinya.

Gawainya yang sedari tadi sunyi, kini berdering. Telepon masuk dari Asmi. Cepat-cepat Luna mengangkatnya.

“Lunaaaa... aku belum ngerjain soal UTS 5 nomor lagi. Bantuin dong...” teriakan Asmi cukup memekakan telinga.

Luna melirik jam yang menggantung di dinding, ahh Sudah lewat tengah malam. Seharusnya Luna sudah tidur. Namun dia sudah bertekad selalu ada untuk siapa pun yang membutuhkannya. Kapan saja dan dimana saja.

“Boleh ...., boleh. Bagian mana yang susah? Sini kasih tahu aku...” kata Luna.

Memang ada beberapa dosen di jurusannya yang membolehkan mahasiswa mengerjakan soal UTS secara take home. Dengan deadline-nya yang bervariasi.

Kamu udah selesai belum, Lun?” tanya Ismi setelah Luna selesai membantunya.

“Udah dong...!” jawab Luna dengan ringan

“Hebat kamu...oh iya, aku boleh curhat enggak?" Kata Ismi.

"Biasanya juga langsung nyeplos non gak pake ijin dulu kalau mau curhat," ledek Luna.

 "Hehehe...., iya deh. Kamu masih ingat kan, waktu kita sedang pemilihan Mojang Jajaka?”

“Iya, aku ingat, kenapa?” tanya Luna.

 “Kamu juga ingat sama Si Jajaka yang jadi pasangan aku?"

"Heeh.." kata Luna sambil terus mendengarkan.

 "Kau tahu Luna, dia deketin aku terus. Dia hampir tiap malam menelepon aku dan  Sering chat juga. Dia nanyain aku lagi apa, sama siapa dan sebagainya. Ya aku balas sih, tapi aku menganggap dia sebagai kakak aja. Terus banyak juga cowok yang deketin aku. Mereka sering kirimin aku bunga dan berbagai macam hadiah, tapi aku kadang bingung dengan apa yang mereka inginkan, yaa walau aku juga tak jarang untuk berkata tidak sama mereka, dan aku juga selalu jujur kalau aku sudah ada Yadi disamping, tapi kalau seperti itu apa ......” Ismi terus nyerocos bercerita.

Luna dengan sabar menjadi pendengarnya, setelah Ismi memberi jeda untuk tanggapan dari Luna. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum bicara.

“Berarti itu ujian buat kamu. Apa kamu akan tetap setia pada satu hati, atau mau berpindah ke lain hati. Cinta itu konsisten, Ismi. Kita bisa saja dekat dengan semua orang, tapi hati kita hanya milik satu orang. Yaitu seseorang yang sungguh-sungguh kita cintai, sekali pun orang itu tidak bisa bersama kita,” jawab Luna, seakan dia sedang berbicara untuk dirinya sendiri.

“Bener juga ya, Luna. Ini ujian buat aku. Aku harus tetap konsisten bersama Yadi. Nggak boleh berpindah hati kemana-mana lagi.” ujar Ismi mantap.

Mendengar jawaban Ismi, Luna Tersenyum. Dia sudah mengenal Ismi walau tak cukup baik, tapi dia akan selalu ada untuk Ismi.

“Bagus. Kamu harus bisa memilih. Semangat ya,” kata Luna. alu terdengar bunyi Klik telepon ditutup.

Luna menyandarkan ke kepalanya di ujung ranjang. Dia berpikir dan terus berpikir akan ucapannya sendiri, kalau Cinta itu konsisten, bisik hatinya berulang kali. Cinta yang tulus tidak mengharapkan balasan. Cinta yang tulus adalah mencintai apa adanya, mencintai tanpa perlu alasan, dan mencintai tanpa perlu ingin memiliki.

Helai kelopak bunga lily putih di atas meja mulai layu. Satu kelopak terjatuh ke lantai. Luna menatap sedih bunga kesukaannya. Dipungutinya kelopak bunga itu, diciumnya dan ia berkata. “Izinkan aku terus mencintaimu, Arun.”

***

Denting piano yang dimainkan mengalun begitu syahdu, semerdu perasaan yang dia salurkan melalui jemari ke setiap notasinya. Lagu Bunga Terakhir begitu menyiratkan rasa yang dia miliki di hatinya sekarang. Menggema ke setiap ruang yang meraung penuh kepedihan.

Arun mengakhiri permainan pianonya. Menurunkan jemarinya dari atas tuts piano. Hatinya terasa hancur, sehancur kelopak-kelopak lily putih yang kini berjatuhan ke bawah ranjang. Seharusnya bunga lily putih itu dia berikan pada Luna. Gadis yang selalu penuh pengertian dan perhatian pada dirinya. Namun dia sudah bertekad untuk menjauhi gadis itu. Demi tak mau menghancurkan hatinya lebih dalam lagi, seperti kelopak bunga lily yang ada dilantai kamarnya.

Pemuda berparas tampan itu lalu bangkit, perlahan dia memunguti kelopak bunga lily itu satu per satu. Wajahnya terlihat sangat muram, ada sesalnya tergambar di wajah tampannya. Sambil menatap kelopak bunga lilynya, dalam hatinya mersa seharusnya dia tak boleh menyesali keadaan ini, tapi jauh di sudut hati kecilnya berkata lain.

Jika saja Arun bukanlah seorang Frater, dan andai saja Limfoma tidak menggerogoti tubuhnya yang semakin rentan. Semuanya mungkin akan lebih mudah. Setetes darah terjatuh dari hidungnya membasahi kelopak bunga lily putih itu. Menodai warna putihnya dengan warna merah. Dengan tergesa pria tampan itu menyekanya. Tak ingin darahnya mengotori benda yang seharusnya dia berikan untuk gadis itu.

Malam begitu hening. Arun tak tahu apa yang harus dilakukannya? Dia hanya tak ingin membuat gadis itu terluka lebih dalam lagi. Keadaan yang memaksanya melukai Luna walau tanpa sengaja. Kenyataan yang sudah dia pilih bahwa dia adalah seorang Frater dan penyakit Limfoma yang bisa sewaktu-waktu membunuhnya, tanpa bisa diprediksi atau mungkin ditunda. Namun cinta yang ada dalam hatinya terus tumbuh dan hadir untuk saling memberi dan mengasihi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status