“Dimanaaaa Om…?”
“Sudah Om transfer uangnya..?”
Sahutku pagi itu menyapa pria semalam yang berhasil mengencaniku. Sembari berucap manja. Membuat siapa saja laki-laki yang mendengar suara manjaku itu pasti akan seketika tertarik padaku dan akan menganggap aku adalah wanita cantik, seksi dan menawan.
“Sudah Mawar sayanggg."
"Jangan seperti itu dong…..”
“Om lagi kerja nih…”
Ucap laki-laki yang sudah beranak satu itu padaku. Menyuruh aku untuk berhenti bicara seperti itu lagi, melakukan hal yang menurutnya begitu menggoda karena kata-kata dan sikap manjaku itu.
“Oom….....!
“Tapi, aku mau shoppinggg”
Ucapku dengan nada lagi-lagi begitu mesra pada laki-laki itu.
“Sudah Om kirim kok sayangggg……”
“Jangan begitu ya,"
"Oom lagi di kantor, Nanti jika didengar orang bisa bahaya loh, heheee.....”
Laki-laki itu cengegesan, dia rupanya takut dan tak tahan dengan nalurinya sebagai seorang lelaki jantan yang sudah dia pendam. Mendengar aku berbicara dengan nada sedikit nakal serta begitu menggoda. Laki-laki itu hanya terlihat menahan keinginannya agar tetap fokus pada pekerjaan.
Mawar…, itu adalah nama pemberian kedua orang tuaku. Dengan harapan aku akan tumbuh cantik dan selalu indah dilihat. Tumbuh indah layaknya harapan keluarga. Tapi sayang, nama itu tak seindah kehidupan diriku yang sekarang tepat menginjak usia delapan belas tahun.
Sejak aku merantau ke Jakarta, bukan pekerjaan yang aku dapatkan, malah harus terjerumus ke dalam lembah hitam yang semakin lama semakin membuat diriku terbuai dengan nikmat dunia yang fana ini. Membawa diriku yang akhirnya harus masuk terlalu jauh ke dalam pusaran noda dan dosa.
Sebelum terjun bebas, Sudah berbagai cara dan usaha aku tempuh hanya untuk mencari pekerjaan di Ibu kota jakarta beberapa bulan belakangan ini. Bertaruh nasib mengandalkan ijazah sekolah dasar yang aku punya, tak ada satu pun diterima. Hanya karena Aku terlahir dari orang miskin, tak memiliki pendidikan tinggi.
Maklum, orang tuaku hanya mampu menyekolahkan diriku hingga ke tingkat pendidikan sekolah dasar saja. Itu pun mati-matian dan dengan usaha kerja keras sebagai buruh harian mereka lakukan, di ladang orang.
Ibu kota Jakarta terkenal kejam! sekejam Ibu tiri, bahkan lebih kejam lagi dari itu! Dengan keputus asaan dan kesulitan hidup yang aku jalani di kota besar ini. Suatu saat nasib membawa dan mempertemukan aku dengan seorang teman bernama Cantika yang berasal dari kampung yang sama denganku. Seorang perempuan yang sudah lama menetap di kota keras ini bernama jakarta.
Kami bertemu saat itu, aku tahu dia adalah seorang perempuan malam setelah mendengar desas desus mulut ke mulut orang-orang di kampungku nun jauh di sana. Tetapi ya sudahlah, apa yang dapat aku lakukan di kota besar ini? Aku tak mau berdiam diri pasrah dengan hanya bertahan, tanpa ada pemasukan uang di kota. Sementara, aku butuh uang untuk bertahan hidup, butuj makan layaknya mahluk dan juga bertahan di kota rumit ini. Sementara waktu itu, pekerjaan tak kunjung aku dapatkan juga. Hingga Cantika menawarkan sebuah pekerjaan yang aku jalani sampai saat ini,Ya pekerjaan Hina ini.
Bukan mauku seperti ini, keadaan dan nasiblah yang telah membawaku ke tempat terlarang dan kotor itu. Hingga akhirnya aku sudah terbiasa menjalani malam-malamku di tempat kotor ditemani beberapa penjajah cinta lainnya. Bergelut dengan diriku yang setiap malam, berpindah dari pelukan laki-laki satu ke pelukan laki-laki lainnya.Ya, hanya demi sesuap nasi, mengganjal perut melalui jalan hitam yang sudah aku putuskan.
Bukan hal mudah untuk memasuki kawasan terlarang itu. Pertama kali masuk di sana saja aku harus menghadapi para senior yang begitu sangat iri padaku. Kami sering Bertengkar hebat, mereka iri padaku yang masih muda yang tentunya lebih memikat para Laki-laki hidung belang, ketimbang mereka yang telah tua dan lama berada di sana.
Bukan hanya itu, Diriku kerap kali berkelahi dengan para preman jalanan yang semakin lama semakin biasa aku hadapi. Preman kelas teri yang hanya bisa memeras kaum lemah, seperti aku dan rekan-rekan penjajah cinta lainnya.
Belum lagi para Laki-laki yang tiba-tiba saja datang melakukan razia. Acap kali mengejar kami bagaikan seorang maling ataupun seorang pelaku kejahatan. Padahal, aku dan teman-temanku hanya mencari sesuap nasi dan secercah kehidupan di tempat itu, hanya untuk bertahan hidup di kota keras ini. Bukan menyalahkan, tapi inilah jeritan hati yang memang harus aku katakan.
Masih ingat Diriku, saat aku menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta. Dengan modal uang satu juta rupiah yang aku bawa dari kampung hasil menabung. Tekad bulat, Niat dan cita-cita besar untuk sukses di rantau orang, bekerja dengan jalan halal. Hal itu membuat hatiku saat itu begitu menggebu-gebu untuk segera pergi ke Ibu kota. Tentunya dengan harapan dan cita-cita yang kini sudah semu. Terlalu bodoh memang, membayangkan betapa indah kehidupan di Ibu kota, terbalik dengan kenyataan sekarang yang harus aku hadapi serta keadaan yang sangat terpaksa aku lakukan saat ini.
“Ibu…..”
“Biarkan aku merantau ke Jakarta! Mencari pengalaman dan bekerja di sana. Aku ingin merubah nasib seperti teman-temanku lainnya!”
Aku berkata pada Ibu yang saat itu sudah tua renta, pada Ayahku yang sudah berusia senja. Ya, Akhirnya dengan sangat terpaksa, sang Ibu dan Ayah mengizinkan anak gadisnya itu berangkat ke Jakarta juga. Ya..... Aku ingat sekali pesan mereka saat itu.
“Jangan nakal ya nak…!”
“Jangan mencuri….!”
"Kerja halal saja di sana..!”
Pesan Ibuku saat itu. Sementara Ayah, hanya bisa menuruti saja apa kata Ibu lalu ikut berpesan pada anak gadisnya ini, sama seperti pesan ibuku.
Terlihat butiran air bening jatuh menetes membasahi wajah Ibu dan ayah yang sudah tua, melepas kepergianku saat itu.
Maklum, aku begitu dekat dengan Ibu, tak pernah berpisah. Semenjak aku tumbuh dewasa, baru timbul niat untuk hidup mandiri dan jauh dari Ibu. Itupun berat bagi Ibu untuk melepaskan kepergianku.
Saat itu, Ibu belum mengizinkan aku pergi. Perempuan yang memang begitu berjasa melahirkanku ini takut terjadi apa-apa dengan anak gadisnya yang tak pernah pergi jauh.
“Di sini saja ya nak…., cari kerja di kampung!”
“Kenapa mesti jauh-jauh ke Jakarta…?”
Ibuku berucap. Terlihat sayu mata Ibu yang mulai rabun karena faktor bertambahnya usia.
“Ibu….,”
“Percaya denganku. Aku enggak bakalan macam-macam di sana! Cuma mau cari kerja, itu saja!”
Aku sedikit berbicara keras dengan Ibuku. Niatku yang begitu keras, mencoba kembali menenangkan hati Ibuku saat itu. Menahan rasa bersalah yang sudah lelah hidup susah. Dengan harapan, Ibu dapat segera mengizinkanku untuk pergi berangkat ke Jakarta. Dapat merubah takdir yang memang sudah digariskan miskin.
Aku berpikir, Kapan lagi aku akan mencari pengalaman dan merubah hidup, mumpung aku masih muda serta fisikku yang memang masih kuat.
Singkat cerita aku telah sampai di Jakarta. Saat itu, aku harus mengontrak di sebuah kontrakan sempit. Dengan berbekal ijazah Sekolah dasar yang aku bawa, aku mencoba melamar kerja di beberapa tempat usaha.
Semua lamaran yang aku buat sudah aku sebar ke setiap tempat, hampir semua tempat aku jajal.
Tetapi rupanya memang harapan dan nasib baik belum berpihak padaku saat itu. Aku harus bersaing dengan para pencari kerja yang sudah banyak pengalaman. Jakarta? memang lebih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan di kota keras itu. Hal itu membuat aku tak pelak kalah bersaing. Hanya bisa gigit jari dengan semua kenyataan yang ada.
Semakin lama, uang yang aku simpan sebagai bekal hidup di Ibu kota sudah hampir habis, diriku yang biasa makan tiga kali sehari terpaksa harus mencari siasat, menghemat dan menjatah uang makan yang biasa aku rasa cukup untuk mengganjal perut.
“Aaaa.. entahlah, begitu sulit hidup di kota keras ini, pikirku.”
Uang yang aku simpan saat itu mulai habis menipis. Semua simpanan uangku seolah hanya cukup beberapa hari lagi. Semua itu hanya untuk bertahan hidup beberapa hari saja di Ibu kota. Membayar uang kos bulanan yang memang sudah mernunggu, belum lagi segala macam ongkos untuk pergi ke sana kemari, Semua tak ada yang gratis di Ibu kota.
Waktu terus berjalan, pekerjaan tak kunjung aku dapatkan, akhirnya aku benar-benar kehabisan uang. Aku seharian hampir tak makan. Kembali aku tatap ember hitam tempat aku menaruh beras, hanya tinggal sisa-sisa.
"Siapa yang peduli?
"Tetangga di Ibu kota? jangan harap!
"INI IBU KOTA!
Itu semboyan dan kata bijak untuk orang-orang yang berada di sini, di Ibu kota Jakarta kejam. Begitu kejam Jakarta! semua diluar pemikiranku yang selama ini begitu berpikir Jakarta itu indah, dengan orang-orang yang bersahabat dan segala hiruk pikuknya.
Tak ada yang aku kenal di sini. Sanak saudara pun tak ada di sana, semua hanya modal nekad saja untuk pergi ke kota ini. Sekarang semua hanya penyesalan mendalam. Mau pulang ke kampung saat itu…? uang untuk ongkos saja sudah terpaksa aku pakai. Semua itu hanya sekedar untuk mengisi perut yang memang sudah kewajiban harus aku isi setiap hari, jika tak mau mati konyol.
Rasa malu pada Ibu dan Ayah belum lagi pada orang-orang kampung yang akan mencibir serta menertawakan diriku saat pulang tanpa hasil, membuat aku memutuskan saat itu untuk tetap bisa bertahan di kota yang bernama JAKARTA.
“Aku sagat berterimah kasih padamu atas pembelaan yang kau lakukan, aku tak tahu jika kau tak membelaku, mungkin saja aku telah dihakimi para warga waktu itu.” Aku mengucapkan hal itu lagi yang seharusnya telah melupakan hal buruk itu yang telah berlalu beberapa tahun. Sekarang, Ya sekarang aku telah menikah dengan Herman dan telah dikarunian seorang anak perempuan. Herman yang mendengar kata-kataku lalu hanya bisa tersenyum sembari bicara padaku. “Kau tak perlu menyesali semua perbuatan dan masa lalumu mawar,” “Sudahlah! “Yang telah terjadi biarkan saja terjadi, kau tak hidup di dunia itu lagi bukan? “Toh, aku juga menerima semua kekuranganmu dan masa lalumu yang kelam itu.” Herman tak lupa untuk selalu saja membela dan membenarkan masa laluku yang salah. Sungguh berhati mulia laki-laki ini yang mau menerimaku apa adanya dengan masa lalu yang mungkin laki-laki lain tak mau mengerti dengan keadaan dan masa laluku yang buruk. Tetapi Herman, laki-laki ini memang begitu tulus menci
“kemari kau!“Berikan penjelasan jika kau benar-benar bersungguh-sungguh mengakhiri kisah buruk ini!“Aku tak mau lagi mendengar banyak alasan darimu.”“Baron! kau benar-benar keterlaluan padaku!“Menduakan aku dengan wanita tak baik ini.”Kata-kata itu memang keluar dari mulut wanita itu yang memang berstatus resmi sebagai istri Om Baron yang kini datang lagi ke rumah ini. benar memang dugaan dan rasa takutku benar-benar terjadi. Kini, wanita itu dan Om Baron duduk di hadapan aku dan juga Herman yang terus saja menenangkan wanita itu agar tak menghakimiku dengan suaranya yang lantang dan begitu keras.Seolah memang apa yang dia katakan semuanya benar.“Ini bukan sepenuhnya salah mawar!“Baron!“Tolong bantu Mawar.Setidaknya kalian pernah bersama.”Herman yang memang ikut bicara kini terlihat ambil andil dalam rumitnya masalah yang kami hadapi ini. Sementar
Dui tengah kegundahan yang memang sedang melanda hatiku, aku mencoba untuk selalu tegar dan menghadapi cobaan yang sudah terjadi.“ Ya, apapun yang terjadi akan aku hadapi!“Langkahku tak akan berhenti untuk bisa merubah semua penyesalan yang terjadi.”Hanya itu kata-kata yang kini terbesit di pikiranku sembari melamun di depan laki-laki bernama Herman itu. Usianya memang belum terlalu tua, sekitar tiga puluh tahunan. Aku memang baru kali ini melihat laki-laki itu, tetapi ada rasa yang memang aku lihat dari ketulusan hatinya.“Jangan melamun, sudahlah tak baik memikirkan kejadian dan peristiwa yang telah terjadi,”“Toh masih ada kesempatan untuk dirimu merubah semua hidup ini.”laki-laki yang baru aku kenal dan lihat itu berbicara sembari terus memandangiku.Memandangiku denga penuh tatapan Iba dengan penampilanku yang telah kusut marut lantaran peristiwa hari ini yang begitu mengenaskan. Sudah diperm
“Sudahlah aku tahu posisimu saat ini.Kau tak perlu menyesali semua yang terjadi,”“Jika kau ingin hidupmu lebih baik, semua akan aku bantu sebisaku.”Herman yang memang berprofesi sebagai rukun warga itu pun menanyakan keadaanku yang memang telah tahu semua tentang diriku. Aku hanya bisa tertunduk malu di hadapan pria yang memang umurnya belum terlalu tua itu. Aku memang belum begitu dekatk mengenalnya, aku tak tahu siapa dia dan darimana dia berasal. Tetapi, entahlah aku pun berpikir heran kenapa laki-laki itu menaruh perhatian yang memang jika dipikirkan aku bukanlah siapa-siapa di sana, hanya pendatang yang hanya bisa buat kenyamanan warga dan tugasnya sebagai rukun warga seolah memang tak berguna.“Kenapa kau tak melapor padaku sebagai warga yang baik, kalau memang kau tinggal di sini?“Apakah kau malu?Tanya laki-laki itu yang menatapku dengan tatapan serius di saat kami sedang berada di ruang tamu rumah ini
“Kenapa kau menyalahkan aku?“Salahkan suamimu yang dengan sendirinya datang padaku?“Aku tak pernah merayunya atau membujuknya untuk menduakan kau!Aku yang memang tak tahan lagi dengan penyiksaan yang dilakukan wanita yang berstatus sebagai istri Baron itu seketika melakukan perlawanan dengan segera menangkis serangannya menjambak rambutku dengan begitu kasarnya. Tak bisa lagi aku tahan, memang harus aku melakukan perlawanan jika tak ingin mati perlahan di tangan wanita ini yang terus saja memukuliku tanpa ampun.“Kau bilang apa?“Kau bilang kau tak pernah merayu suamiku katamu!“Dengan mata kepalaku saja kalian itu sudah kepergok berduaan di dalam rumah ini?“Aku tahu itu!“Kau mau mengelak bagaimana lagi, Ha!“Dasar wanita kotor tak tahu diri, berani sekali kau mengelak dari tuduhanku!Wanita itu kembali marah-marah di dalam rumah yang memang telah berhasil
Belum lama aku bertengkar dengan laki-laki beristri ini, ternyata memang benar dugaan burukku seseorang datang mengetuk pintu rumah dengan begitu kerasnya. Om Baron yang memang saat itu sedang naik darah langsung panik dan khawatir sekali dengan suara khas itu. Ya, siapa lagi kalau bukan yang datang istri Om Baron.“Buka Pintunya!“Aku tahu kalian di dalam!“Buka!Teriakan perempuan yang memang benar dugaan burukku akan datang itu sudah berada di depan pintu dan sekarang berteriak dengan begitu keras. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, sementara saat itu aku lihat Om Baron panik sekali dengan teriakan yang memang dia kenal itu.“Gawat!“Sialan!“Dari mana istriku tahu alamat rumah ini, semua gara-gara kau….!Laki-laki itu marah dan panik sembari memakiku yang saat itu ku lihat dia sedang melangkahkan kaki ingin pergi terburu-buru mencari jalan keluar. Om Baron sepertinya memang tipe la
“OK ini jakarta!“Aku paham aku harus bertahan walau dalam keadaan apapun serta bagaimana pun!Aku kembali tertegun mencoba untuk bertahan walau dalam keadaan yang begitu merasa tertekan dan tak tahu memang harus apa yang aku lakukan. Disatu sisi aku merasa bahwa hidup ini memang tak adil seperti apa yang aku jalani, disatu sisi juga aku harus menerima tentang semua resiko merebut suami orang yang sudah aku lakukan dengan jalan yang memang tak seharusnya aku lakukan itu.“Aaaaa…begitu peliknya masalah ini?“Kenapa semua terjadi ketika aku berada di atas puncak kejayaan?“Aku memang hanya seorang perempuan malam , aku juga berhak untuk dapat kebahagian?“Tapi mengapa? Mengapa semua harus berakhir seperti ini…!Aku memang mengutuk keadaan yang memang tak beruntung ini, terus menyalakan waktu dan takdir yang memang telah berjalan dengan seiring waktu yang memang tak bisa aku hentikan.
“Barooonnn!“Baroon!”“keluar kau!“Aku tahu kau bersembunyi di dalam.”Sang perempuan istri dari Om Baron begitu kencang berteriak di depan pintu rumahku, sehingga bena-benar menimbulkan suara gaduh. Berbagai macam cacian serta makian keluar dari mulut perempuan itu yang memang terlihat marah sekali dengan Om Baron serta diriku.“Gawat itu suara istriku!“Aduh bagaimana ini?“Mau kemana aku lari dari perempuan itu!”Om Baron yang panik sekali dengan kedatangan istri yang memang tak disangka-sangkanya akan datang ke rumah itu dan juga mengetahui alamat rumah yang memang tidak aku ketahui dari mana dia mendapatkan alamat rumah ini.“Om berikan alamat rumah ini padanya?Aku seketika berbiara pada laki-laki itu untuk mencari tahu dari mana perempuan itu berhasil menemukan alamat rumah ini. Aku pun ikut merasakan kepanikan yang teramat sangat, mengetahu
“Jadi aku harus menghadapi masalah ini sendiri Om?“Andai saja Om Menceraikan Istri sah Om, Mungkin tidak akan begini ceritanya!”Aku yang memang tak sempat lagi berpikir jernih dengan masalah yang terjadi mencoba untuk berbicara pada laki-laki yang kini berdiri tepat di hadapanku.“Jadi kau mau aku menceraikan Istriku?“Lantas aku menikah denganmu Begitu!Laki-laki itu sedikit berbicara keras di depanku. Aku memang sebenarnya tak punya hak untuk mengatur hidupnya, memang semua keinginanku yang semula hanya ingin menggerogoti Harta dan Uang Om Baron sejenak berpikir tentang solusi yang aku anggap akan selesai dengan melakukan hal ini. Tetapi apakah semua akan selesai dengan melakukan hal itu?“Aaaa entahlah, aku memang berasa belum siap untuk melakukan hal ini!“Ini terlalu rumit bagiku.”Aku hanya masih ingin hidup bebas, sementara rasa trauma ku pada setiap laki-laki masih