“Ini untukmu…!”
Cantika berkata, sembari memberikan sesuatu padaku yang aku tidak ketahui barang apa itu sebenarnya.
“Apa ini…..?”
Aku seketika berkata pada Cantika malam itu. Penasaran sekali menanyakan benda apa yang diberikan cantika padaku. Kami berjalan untuk menuju sebuah tempat dunia malam. Tepat di sebuah jalan dekat gedung pertunjukan kami berhenti saat itu, gedung yang jika siang hari digunakan untuk berbagai kepentingan umum. Tapi jika malam hari, tempat itu berubah sepi. Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas serta remang-remang cahaya lampu penerangan jalan, terlihat sudah rusak sebagian oleh tangan-tangan jahil.
“Bodoh sekali kau..!”
“Kau tak tahu itu apa……?"
“Astaga.....,Hahaha. Kemana saja hidupmu selama ini…….?”
Cantika hari itu tertawa dengan puasnya, tertawa dengan pertanyaan diriku yang dianggapnya sangat bodoh dan tak pantas untuk ditanyakan. Begitu polos dan belum terlalu mengenal dunia malam yang begitu asing bagiku.
“Itu namanya pengaman,”
“Satu lagi pelicin.”
“Kau paham sekarang?
Cantika berkata padaku saat itu juga.
“Ini kau pakai ketika ingin melakukan hal itu,”
“ supaya barang masuk keluar lancar, mengerti? Hahahah…..”
Cantika kembali menertawaiku saat malam itu. Teman yang aku kenal sudah lama di dunia kelam itu melanjutkan kembali kata-katanya.
“Kau hidup di zaman apa sih?
“Masa barang itu saja kau tidak tahu….,"
"Apa kau pura-pura bodoh?”
Malam itu dia kembali menertawakan aku. Bodoh dan sama sekali tidak mengenal barang apa yang diberikannya itu. Aku pun kembali menjawab pertanyaan yang dilontarkannya, berkata dengan apa adanya saat itu.
"Mana aku tahu dengan benda itu....!"
"Aku hanya gadis biasa berasal dari sebuah kampung kecil, jangankan melihatnya langsung, Memegang benda itu saja baru pertama kalinya di sana dan di tempat itu.
Aku yang mendengar kata-kata dari Cantika seolah jijik dengan kata-kata itu. Kata-kata tentang barang yang diberikannya padaku.
“Untuk apa….?
Tanyaku kemudian pada Cantika, begitu polos dan tololnya aku saat itu.
“Kau mau dirimu hamil…?”
"Mengalami penyakit tanpa memakai barang itu? kemudian mati perlahan….?
“Mau…?”
Saat itu dia bicara lagi padaku.
Aku merinding mendengar kata-kata cantika, seolah takut dengan apa yang dia katakan padaku baru saja itu. Memang, aku takut dengan semua kenyataan. Tapi harus bagaimana, nasib telah membawaku ke t jalan kelam dan penuh lumpur dosa, hanya yang bisa aku lakukan pasrah menjalani hidup yang makin jauh terperosok ke dalam lembah hitam. Sudahlah, Aku kemudian menyimpan barang itu ke dalam tas kecil yang aku bawa.
“Oh iya, heheheh…”
Aku menjawab seolah ikut tertawa saat itu. Tertawa seperti orang bodoh di depan cantika yang menertawaiku dengan sangat lucu, seolah tak mau berhenti saat itu.
Tidak lama kami berjalan dari arah kontarakan untuk menuju tempat dunia malam. Hanya berjarak beberapa meter saja, kami pun sampai di tempat itu. Tempat yang dikatakan orang adalah tempat maksiat. Aku lihat agak sepi tempat itu, hanya beberapa kerlip sinar lampu yang begitu minim pencahayaan.
Maklum, lampu jalan ada yang mati serta ada juga yang sudah rusak, tidak berfungsi dengan baik. Membuat jalan itu terlihat begitu seram. Tetapi, demi mencari sesuap nasi aku beranikan saja berada di tempat itu.
“Ayooo Mawar…..!”
“Mau sampai kapan kau duduk di sana….?”
Cantika yang memanggil namaku dari arah tepat di persimpangan jalan. Sementara, aku hanya duduk di bawah atap halte bus saja, belum berani melakukan pekerjaan hina itu. Memang, sudah lama aku duduk di dekat tembok di bawah atap bangunan halte bus usang termakan usia.
Cantika Memanggilku yang hanya dapat memeluk erat tubuh yang kedinginan, dingin karena pakaian yang aku kenakan begitu minim, ditambah malam itu cuaca begitu sangat ekstrim. Dinginnya angin semilir malam yang berhembus perlahan, seolah menyuruhku untuk pergi dan pulang saja dari tempat yang memang tak pantas aku singgahi itu. Mengenakan pakaian seksi yang baru pertama kali.
“Nanti saja, aku masih capek.”
Aku bicara pada cantika dengan alasan yang menurutku tidak jelas.
“Nanti kau tak dapat uang!”
“Bagaimana kau makan esok hari? kita butuh makan! Tak seperti orang kantoran di luar sana, hanya tinggal duduk di kursi santai menikmati hidup!”
Cantika saat itu membangunkan diriku dari rasa malas dan malu yang tentunya tetap bersarang dalam otak dan pikiran. Membangunkan aku dari rasa malas Saat berada lama di bawah atap halte yang sudah agak berkarat dimakan waktu.
Benar juga kata Cantika. Kalau aku tidak segera bekerja? bagaimana aku makan esok hari serta membayar uang kosan serta semua persoalan yang membuat pusing kepala itu.
Aku kesini! memang untuk tujuan itu. Aku berdiri lalu menyingkirkan rasa malu serta malasku. Sebenarnya saat itu masih malu melakukan pekerjaan yang tak dapat aku bayangkan, benar-benar tak ada harga diri.
Rasa Malu pada tuhan, pada keluarga, bahkan pada diriku sendiri.Tapi sekali lagi aku mencoba tetap kuat, aku melakukannya terpaksa di tengah kota
Aku mencoba berdiri bangkit dari halte tempat aku berteduh, menghampiri temanku Cantika yang aku lihat telah berdiri di pinggir jalan raya. Tempat itu masih terlihat kendaraan roda dua atau roda empat melintas. Terkadang, aku berpikir dalam hati tentang bahaya yang mengancam jiwa. Bisa saja kami terserempet kendaraan yang lalu lalang di jalanan itu yang tak ada etika mengebut dengan kecepatan tinggi, melihat peluang jalan yang begitu lenggang. Seolah, jalan raya umum adalah sirkuit balap bagi mereka. Terpikir dalam benak serta pikiranku. Tentang orang-orang jahat yang tak akan aku duga melintas di tempat itu, apalagi jika keadaan malam hari seperti saat ini, tingkat kejahatan tentunya semakin rawan mengingat orang-orang yang sekarang semakin sulit mendapatkan pekerjaan, menghalalkan segala cara hanya untuk mencari harta. Sering kali remaja berumur lewat di tempat kami menjalani pekerjaan kotor itu. Sekedar mampir atau menggoda, “Aku takut
Gedung pertunjukan itu berlantai dua dengan halaman luas yang telah di aspal kasar di bawahnya. Hanya terlihat dari jauh gedung itu, tepatnya sekitar sepuluh meter dari jalan raya tempat kami berdiri. Ada gerbang masuk yang memang tak terkunci, penjaga gedung mungkin sudah maklum dengan kami yang mencari nafkah di area saa. Terlihat cuek dan acuh dengan segala aktifitas malam kami. Mungkin, penjaga gedung itu hanya berpikir yang penting kami tidak mengganggunya. Jalan itu simpang tiga tepatnya, pada bagian tengah kami berdiri tepat di pinggir jalan raya. Ada tiga jalur terbagi. Bagian tengah jalan terdapat pembatas yang seolah membelah jalan yang terbagi menjadi dua arus. Arus balik kendaraan dan arus pergi kendaraan. Di tengahnya terdapat beberapa tanaman yang berdiri di atas trotoar, terlihat layu dalam jambangan. Di bawah trototar hanya terlihat remang-remang cahaya yang terkena sorot malam lampu penerangan jalan yang sudah sebagian rus
Disaat aku duduk di sana, aku lihat pria pemilik mobil itu membuka kaca mobilnya. Dari halte usang itu, aku lihat dia memanggilku. Disaat itu aku belum berani dan masih terlihat ragu dan takut. Sejenak hatiku berontak, aku mencoba berdiri untuk melawan rasa malu, aku memaksa langkah kakiku berjalan ke arah mobilnya demi untuk bertahan hidup. Benar juga kata cantika, mau sampai kapan aku duduk di halte ini. Bagaimana hidupku esok hari dan seterusnya, kalau aku masih bertahan dengan rasa malu dan ketakutan yang saat itu melanda. Tampilannya keren dengan sedikit brewok di dagu, bermata sipit bertubuh kekar sempurna, terlihat rapi dengan kemeja hitam. Ya, pria berumur, kira-kira umur empat puluh tahunan. “Ayo masuk…,” kata pria itu seraya membuka pintu mobil, menyuruhku masuk ke dalam mobil miliknya malam itu. Aku pun menurut saja perkataan pria itu yang lebih layak dipanggil Om. Daripada tak makan dan hanya membuang waktu di
“Om, udah yah. Ini udah jam setengah empat.” “Aku takut temanku akan mencariku nanti,” “Maklum, aku baru di sini,Aku tak mau temanku cemas dan marah padaku, kalau aku terlambat pulang…” Aku berkata pada pria yang bertubuh gempal serta berisi. Pria yang tentu saja masih memeluk erat diriku di atas tempat tidur empuk, tepat di dalam kamar hotel yang dia sewa malam itu. Terasa sangat erat pelukannya, seakan tak mau melepas dekapan hangat yang aku rasa semakin nyaman. Tetapi apa daya, aku tak mau membuat Cantika temanku khawatir. “Aduhhhh…, bagaimana ini?” pikirku saat malam itu. “Kalau aku tak segera pergi dari hotel ini? bagaimana cantika mau percaya padaku lagi. Cantika yang telah mengajarkanku bertahan di ibu kota yang kejam serta keras ini. Tak kuasa aku hari itu di dalam cengekraman pria ini. Aku rasa begitu kuat badan pria itu, semakin lama seakan mendekapku semakin erat, tak mau lepas lagi. “Kamu tuh hebat…!” Ka
Yang pesan taksi ya mbak? Supir taksi kendaraan online itu bertanya serta menghampiri diriku yang hari itu keluar dari room kamar hotel dan berdiri di dekat loby sembari memandang sedikit agak aneh. ‘Iya…,” Ucapku yang seolah tak mau bertele-tele pagi itu, sembari masih terlihat kesal dengan tamuku sewaktu berada di dalam kamar hotel tadi.Tak mau memang membuang waktu karena memang berpacu dengan waktum agar segera sampai di tempat Cantika, Aku pun masuk ke dalam mobil, berharap langsung pergi dari hotel. Tempat laki-laki tak punya hati itu. Sudah pasti ku duga, temanku Cantika pasti akan khawatir dengan keadaanku yang memang bersalah hari itu, tak memberi kabar dan pergi malam itu begitu saja. Di dalam Taksi Online itu, Aku kembali merenungi jalan hidup yang memang harus seperti ini. Sudahlah… ini memang takdir! pikirku saat itu, memang sudah jalannya seperti ini. Merasa hal itu tak penting lagi aku terlalu memikirkannya, hanya membuat
Aku mengetuk pintu kamar kosan cantika saat itu, sangat terburu-buru. Sedikit lama aku menunggu, mengulang beberapa kali ketukan pintu kamar. Mungkin dia sedang tertidur pikirku hari itu,aku masih menunggu. Setelah lama aku menunggu di depan pintu, dia pun sudah berdiri dan mempersilahkan aku masuk saat itu. Terasa kusam wajahnya, wajar mungkin dia lelah semalam. “Kamu ke-napa? “kemana aja kamu….? Cantika berkata padaku, seolah terlihat dia begitu khawatir padaku saat itu yang baru pulang dari kegiatan melayani laki-laki semalam yang begitu buruk memperlakukanku. “Tak a-pa, apa kok....” Jawabku gugup. Dia bertanya seolah penasaran dan terlihat begitu cemas hari itu. Perlu kalian tahu, persahabatan kami yang memang masih baru itu tak sedikit pun terlihat rasa ego atau mau menang sendiri. Semuanya saling melindungi. Tak seperti orang orang munafik di sekitar kami. “Aku sudah mencarimu kemana-mana semalam? “Aku begitu takut sesuat
Aku telah pulang dari kosan cantika siang itu, kembali ke kosanku yang sudah aku tunggu beberapa bulan ini tentunya. Semua peralatan dan bekal untuk makan serta menjalani hidupku sudah aku beli dan terasa cukup. Aku lihat di rantang berasku itu terisi penuh. Sebenarnya, ada rasa bersalah juga dengan uang yang aku gunakan untuk makan itu. Tetapi aku rasa tuhan tahu keluh kesahku, aku pun Cuma manusia biasa yang tidak luput dari dosa dan nista. Hanya bisa aku jalani, tetap meneruskan ibadahku meskipun tak tahu, tuhan menerima atau tidak? Semua kuserahkan padanya. Sisa uang yang aku dapatkan itu akan aku gunakan untuk aku tabung. Sebagai persiapan nanti jika terjadi sesuatu yang sama seperti kemarin di bulan berikutnya. Tak mau boros atau pun berfoya-foya saat itu, agar tak kelabakan seperti hari kemarin yang sudah membuat hatiku cemas serta selalu khawatir akan kehilangan tempat tinggal. Mau tidur di mana lagi diriku kalau aku diusir dari kontrakan ini pi
Ketukan Pintu itu semakin keras aku dengar dari dalam kamar, aku sedikit membuka gordeng pintu sedikit mengintip dengan rasa takut barangkali ada orang jahat di luar sana yang memang tak aku undang datang. Tak kulihat siapa-siapa. Terlihat seseorang sedikit bersembunyi di depan pintu. Aku masih baru di kota ini, berbuat jahat pada orang pun aku tak pernah, lantas siapa pikirku dalam hati. Kubuka gorden tirai itu dengan perlahan lagi. "HUffff....." syukur sedikit lega aku rasanya, ketika membuka tirai dalam bagian kamarku itu. Kulihat wajah yang tak asing lagi saat itu. Ya, itu perempuan pemilik kontrakan yang galak ternyata sudah berdiri di depan pintu. Mati aku! Pikirklu hari itu, aku sadar memang beberpa hari ini sudah menunggak uang kontrakan tepat tiga bulan. Tak apalah, kuhadapi saja. Ibu kota memang kejam begitu juga orang-orangnnya, sesuai dengan semboyan ada uang ya disayang tak ada uang ya ditendang. Aku pun membuk