Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, sudah 30 menit berlalu. Di ruang loker wanita, Alisa hanya diam duduk terpaku memandangi Kartu Pelajarnya yang menunjukkan kalau usianya saat ini masih 16 tahun. Memang belum layak untuk bekerja. Sedangkan usia 17 tahunnya baru enam bulan lagi.
“Ternyata usiaku memang belum layak untuk bekerja.” Desahnya memendam sedih. “Lantas aku harus bagaimana? Kalau ketahuan bagaimana? Apa Tuan Malik akan melaporkanku pada Bos Besar? Tapi, Marlena sudah bilang ke Pak Riko kalau usia kami sama.” ucapnya resah tiada akhir. Membuatnya tak kunjung beranjak dari kursi loker. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.10 wib. Di ruang VIP karaoke, Tuan Ibnu Malik duduk resah, tidak sabar menunggu Alisa. “Kemana gadis itu.” Tangannya bergerak menelpon Riko. “Riko! Suruh segera kesini, si Lisa itu! Dia pamit ke loker untuk mengambil KTP hampir satu jam yang lalu.” Titah sekaligus lapornya pada bawahan. Riko terlonjak kaget dari kursinya, begitu mendengar laporan dari Bosnya tersebut. “Apa Bos? Dari tadi Bos sendirian disana gara-gara menunggunya? Astaga! Kenapa tidak menyuruh saya saja? HRD punya banyak kunci cadangan.” “Itu tidak etis, Riko! Bawa saja dia kesini! Sekarang!” perintah Tuan Malik dengan tidak sabar. “Siap, Bos!” Dengan terburu-buru, Riko bergerak menuju ke loker wanita yang ada di lantai bawah, untuk mencari Alisa. Begitu sampai disana, Riko jadi kelabakan. Ternyata ia menemukan, Alisa dan Marlena sudah berganti pakaian, dan bersiap untuk pulang. “Tunggu dulu kalian! Jangan pergi dulu!” Teriak Riko ketika mereka hampir keluar dari loker. Keduanya sontak menoleh ke arah datangnya suara. Wajah Alisa tampak pucat pasi begitu melihat kehadiran manajer operasional klub malam yang berjalan mendekat. Alisa menggamit tas kecil miliknya. Ia tahu, pasti Riko ingin meminta KTP-nya. Berdasar pada kecurigaan dari tamu member VIP-nya, Tuan Malik. “Ada apa Pak manajer? Apa tugas kami belum selesai?” Marlena berjalan mendekati Riko. Menuntut penjelasan darinya. “Tugasmu sudah selesai, Lena sayang! Tapi tugas temanmu itu yang belum.” Tunjuk Riko ke arah Alisa. Wajahnya seketika berubah galak. Cukup terkejut juga Marlena mendengar pengakuan dari Manajernya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Alisa. “Benarkah kamu belum selesai dengan tugasmu, Liz?” “Tugasku didepan lobby sebagai Frontline girl sebenarnya sudah selesai, Lena! Hanya saja ini tugas tambahan dari Pak Riko.” Jelas Alisa dengan jujur pada teman akrabnya. Ia tidak ingin terjadi kesalah-pahaman antara dirinya dengan sahabatnya. Kini Alisa menatap ke arah Riko dengan wajah gemas. “Bukankah sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya, Pak Riko! Bahwa saya diperbolehkan pulang pukul 10 malam.” Kata Alisa membela diri. “Benar sekali kamu diperbolehkan pulang jam 10 malam sesuai kesepakatan kita sebelumnya, Lisa! Masalahnya, kamu bahkan belum melaksanakan tugasmu dengan semestinya. Bagaimana bisa kamu menelantarkan tamu member VIP kami di ruangan VIP Karaoke selama satu jam? Kemana saja kamu selama itu?” Tanpa ragu Riko membeberkan perbuatan Alisa yang berani mangkir dari tugasnya, didepan Marlena. Bagai disambar petir di siang bolong, Marlena begitu shock mendengarnya. “Apa??? Kamu berani menelantarkan tamu member VIP Klub diruangan VIP karaoke? Bagaimana bisa kamu berbuat seperti itu, Liz?” Tanya Marlena dengan murkanya. “Kamu tadi ngotot-ngotot minta dicarikan kerja ditempat ini. Sekarang, giliran sudah diberi kerja, Kamu malah melarikan diri. Kamu benar-benar tidak bertanggung-jawab!” Tambah Marlena tidak percaya. Dia bahkan tidak ragu untuk memperingatkan sikap teman akrabnya tersebut, yang menurutnya sudah keterlaluan. Tatapan Riko terkesan mencemooh Alisa. Kini ia tidak perlu susah-susah memarahi Alisa, karena tugasnya itu sudah digantikan oleh Marlena. Alisa jadi serba salah dan merasa menyesal. Kalau tahu jadinya seperti ini, mending ditolak saja tawaran Riko tadi. “Bukan begitu, Lena. Ini tugas tambahan. Aku hanya dimintai tolong oleh Pak Riko untuk membantunya. Jadi wajar saja kalau aku...” “Sudahlah! Jangan bikin aku malu, Liz! Kamu sudah menyanggupi pekerjaan itu. Maka seharusnyalah kamu bertanggung-jawab dengan keputusanmu. Selesaikan dulu tugasmu! Baru kamu boleh pulang! Jangan pernah mangkir lagi!” Ungkap perasaan Marlena cukup emosional, sembari memberi peringatan. Harus bagaimana lagi Alisa menjelaskan pada teman akrabnya tersebut. Padahal sekarang sudah lewat jam 10 malam. Ia khawatir sang nenek akan mencarinya. “Ya sudah, Aku pergi dulu. Jangan khawatir soal nenekmu, aku akan bilang kalau kamu tidur di rumahku.” Marlena menambahkan. Seakan ia tahu apa yang ada didalam pikiran Alisa. Alisa diam tidak bereaksi. Ia menunduk pasrah. Marlena kemudian menatap ke arah Riko. “Titip temanku ya, Pak Manajer! Dan jangan lupa upah dia hari ini. Biar dia bisa pulang naik taksi.” Marlena mengingatkan kewajiban Riko. Senyum tipis diberikan Riko untuk Marlena. “Tentu saja, Marlena sayang!” “Tapi, Lena! Gimana kalau tugasku tidak kunjung selesai?” seru Alisa ke arah Marlena yang sudah mulai melangkah pergi. “Kalau begitu, Bersabarlah, Liz! Tidak ada pekerjaan yang tidak ada akhirnya. Semua tergantung kamu. Mau diselesaikan atau digantung.” jawab Marlena tidak perduli. Sambil memegang tas wanita yang tersampir di pundak, Marlena meninggalkan Alisa sendiri bersama Riko. “Maafkan aku, Liz! Aku hanya ingin mengenalkan padamu, bagaimana kerasnya dunia kerja di malam hari.” “Tenang aja! Kamu pasti akan tersenyum lebar setelah tahu berapa banyak penghasilanmu dalam semalam di tempat itu.” Sambil mengulum senyum, Marlena memacu kencang motor maticnya yang mewah dan mahal. Menembus kencangnya angin dan pekatnya malam. Riko melempar kasar tubuh Alisa ke dalam ruang VIP karaoke usai membuka pintunya. Kemudian menutupnya dengan cepat. “Selesaikan tugasmu, sana!” Alisa sampai jatuh nyungsep disambut lantai, saking kerasnya lemparan. “Mentang-mentang tubuhku kecil, semua orang pada seenaknya memperlakukanku.” Dengusnya dengan jengkel lalu berusaha bangkit. “Kemana saja kamu!” Suara bariton seorang laki-laki sangat dewasa menggema di ruangan. Nadanya tegas dan menuntut. Alisa pura-pura membersihkan debu pada dress yang digunakannya. Terusan selutut dengan kerah sabrina motif bunga-bunga yang sebelumnya ia pinjam dari Marlena. Rambut panjangnya yang hitam kemerahan karena paparan matahari, tergerai kusut menutupi bahunya yang terbuka. “Maafkan saya, Mister! Karena sudah membuat anda menunggu lama.” Dengan wajah tertunduk, Alisa meminta maaf pada tamu member VIP klub yang sengaja ditinggalkannya karena takut ditinggal Marlena pulang. “Tidak masalah, selama kamu kembali, saya tidak akan menuntut.” Cukup lega hati pria dewasa didepannya, saat mendengar untaian kata penyesalan yang meluncur dari bibir mungil Alisa. Tidak ingin membuang-buang waktu percuma, Alisa meraih remote televisi dan mulai menggulir lagu. “Tuan mau menyanyi lagu apa? Pop, dangdut, rock, slow rock, jazz, hip-hop rap atau tembang kenangan?” tawar Alisa tanpa menatap ke arah tamunya yang terus menatapnya. Ia jadi merasa canggung. “Kamu ganti baju?” Tanya Tuan Malik yang tidak menghiraukan pertanyaannya. Ia justru memperhatikan penampilan Alisa yang terlihat beda dari sebelumnya. Tidak seperti gadis SMP lagi. Melainkan lebih feminin, dewasa dan... cantik. Alisa mendengus kesal. “Ya. Itu karena saya tadi mau pulang bersama Marlena, Mister! Sudah jam 10 malam lebih. Besok saya harus sekolah. Pak Riko juga sudah berjanji pada saya. Apalagi kaki saya sedang sakit, terkilir saat jatuh di teras tadi. Ulah dua pengawal anda yang arogan itu!” tanpa rasa takut, Alisa menceritakan semua ganjalan di hatinya pada Tuan Malik. “Bukankah saya sudah meminta maaf tadi. Apa itu belum cukup?”Jawab Tuan Malik dengan santai, lalu menenggak air mineral dalam kemasan botol kaca yang sudah disediakan di meja sejak awal. “Belum cukup! Kalau hanya sekedar omongan saja, siapa yang nggak bisa. Saya perlu bukti atau kompensasi. Anda harus mengobati kaki saya yang terkilir ini sampai sembuh. Baru itu namanya impas."Pukul 7 malam, kendaraan yang mengantar Alisa, sudah tiba didepan lobby Sugar Babe Night Club. “Pak Hendro langsung saja balik ke rumah ya! Saya nanti pulang bareng temen!” Titah dan pesan Alisa pada supir pribadinya sebelum kakinya melangkah keluar dari pintu kendaraan. “Tapi, Non! Bagaimana kalau Tuan bertanya nanti? Saya harus jawab apa?” Ujar Pak Hendro yang tampak sedikit khawatir. Alisa yang sudah keluar dari pintu mobil pribadinya, cukup terkejut mendengar pertanyaan supir pribadinya itu yang terkesan takut. “Bagaimana Tuan Malik bisa bertanya, Pak? Dia khan sedang tidak ada di rumah, pergi keluar kota, ke Jakarta.” Jelas Alisa yang berusaha mengembalikan ingatan supir pribadinya itu, yang menurutnya kemungkinan lupa itu. Pak Hendro belum juga beranjak pergi dari lobby. “Saya tahu itu, Non! Akan tetapi... bagaimana kalau Tuan menelpon saya setelah ini?” Sebenarnya, Pak Hendro ingin memberitahu lebih detail pada Alisa, bahwa setiap kali dirinya usai mengantar Nona majikan
“Kamu tidak apa-apa, Dek!” Tanya Tamara setelah berada didepan Alisa, sembari memindai rahang Alisa dengan lebih teliti.“Jangan sok perhatian padaku, Kak Ketos! Pergi sana! Aku tidak butuh bantuanmu!”Cemooh Alisa yang dengan cepat melangkah pergi meninggalkan ketua OSIS sendiri disana.“Tunggu, Dek! Apa kamu masih marah padaku?” Tanya Tamara sembari melangkahkan kakinya dengan cepat mengejar Alisa.“Pikirlah sendiri, Kak!” Alisa menanggapinya dengan ketus.Langkahnya kini sedikit berlari menaiki tangga demi menghindari kejaran Tamara.“Kita harus bicara, Dek! Akan aku jelaskan semuanya padamu!” Pinta Tamara yang masih terus mengejar Alisa.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Kak! Jangan memaksaku! Pergi sana!” Hardik Alisa yang dengan terang-terangan menolak permintaan ketua OSIS.Berhubung Alisa sudah tiba dan memasuki kelasnya, dan tidak mungkin baginya untuk terus memaksakan kehendaknya didepan teman sekelasnya, terpaksalah Tamara berhenti mengejar. Ia berbalik arah dan menuju ke
"Buka pintumu, Lisa!”“Tok... Tok... Tok...”“Ijinkan aku masuk!”“Akan aku lepas pakaianmu, Lisa sayangku!”Tuan Malik tak henti-hentinya mengetuk pintu kamar Alisa. Ia tahu bila Alisa belum tidur. Akan tetapi, tIdak ada jawaban dari si penghuni kamar. Karena suara Tuan Malik dan ketukan pintu yang bersahut-sahutan itu, teredam oleh alunan lagu melankolis dari earphone yang menancap di telinganya.“Apakah kamu marah padaku, sayang?””Karena sudah membuatmu menunggu?”“Kalau begitu, maafkan aku!”Lelah berjuang dan berdiri lama didepan pintu kamar Alisa yang berada di lantai 3, Tuan Malik pun memutuskan untuk pergi dari sana. Ia sadar bila Alisa tidak mau membukakan pintu dan berbicara padanya karena marah. Marah karena telah membuatnya menunggu.“Aku ingin memelukmu, Lisa sayangku!” Gelisah Tuan Malik yang membolak-balik tubuhnya diatas ranjang. Malam ini ia tidak bisa tidur dengan tenang, karena tidak ada tubuh Alisa yang bisa ia peluk seperti malam-malam sebelumnya.Pagi hari, Al
“Aku benci kamu, Kak!” Hardik Alisa kesal meluapkan isi hatinya, lalu pergi meninggalkan Ketua OSIS itu begiti saja.“Tunggu dulu, Dek! Biar aku jelaskan dulu alasannya!” Kejar Tamara dan meraih tangan Alisa. Ia tidak ingin adik kelasnya itu salah paham atas tindakannya, apalagi berakhir membencinya.“Tidak perlu! Kamu dan Andika itu sama saja! Kalian semua mengesalkan! Pergi, Kak!” Alisa menghempas dengan kuat pegangan tangan Tamara darinya hingga terlepas.Kakinya terus berlari meninggalkan Kakak Ketua OSIS itu sendiri yang diam terpaku menatap kepergiannya.“Kenapa hari ini semua orang terbaikku begitu mengecewakan sih! Marlena dan Tamara. Padahal aku tidak pernah menyakiti hati mereka.” Gerutu Alisa dengan memendam rasa kecewa didalam dada.Mata pelajaran jam terakhir berjalan begitu cepat hingga tepat pukul 15.15 sore, terdengar...Ting... Ting... Ting...Lonceng terakhir pun berbunyi. Waktunya pulang sekolah.Alisa bergegas keluar dari kelasnya dan menuju ke toilet putri untuk
"Jadi itu hanya Hoax ya?”Hembusan nafas panjang dikeluarkan Kepala sekolah menanggapi pengakuan Andika.“Bu Retno, tolong nyalakan layar LCD Proyektor, karena saya ingin menampilkan beberapa gambar sebagai bukti.” Perintah Kepala sekolah yang meminta bantuan guru BK.Guru BK menurut. “Baik, Pak!” Ia bangkit dan segera menyalakan kotak mesin layar proyeksi yang terhubung langsung pada Laptop milik Kepala Sekolah.Semua seketika terperanjat begitu menyaksikan gambar-gambar yang ditampilkan oleh layar. Alisa bahkan menganga lalu menutup mulutnya rapat dengan telapak tangannya. Tidak menyangka gambar dirinya yang setengah telanjang, terpampang jelas di layar sana.“Astaga? Apa itu tubuhmu, hei penjual gorengan? Mulus juga. Tidak jerawatan dan panuan. Kulit eksotis yang alami. Meskipun tidak putih sih!” Komentar Andika dengan nada menyindir.“Jaga ucapanmu, Dika! Itu tidak sopan sama sekali!” Bentak bu Retno yang tidak suka dengan komentar Andika yang terlalu vulgar.Wajah Alisa seket
Mendengarnya, dahi Marlena berkerut curiga, “Ngapain Andika mencarimu lagi, Liz? Apa masalah kalian belum juga selesai?”“Aku gak tahu, Lena! Padahal teman-teman Andika juga sudah membuliku dengan menginjak-injak tubuhku, di hari saat kamu berhasil mengalahkan Andika adu balap motor di jalan jum’at lalu. Harusnya sudah impas. Atau mungkin karena...”“Apa? Kamu dibuli sama gengnya Andika?” Potong Marlena cepat. Wajahnya seketika merah padam begitu mendengar cerita Alisa. “Dengar ya, Liz! Aku gak mau kamu sampai melibatkan aku dalam masalahmu ya! Kalau sampai aku ikutan dibuli sama mereka, maka aku tidak akan menganggapmu sebagai temanku lagi. Hubungan pertemanan kita putus!” Ancam Marlena begitu murkanya.Tubuh Alisa semakin melorot hingga menyentuh lantai. “Kamu kok gitu sih sama aku, Lena?” Ucapnya kecewa. “Tapi tenang saja, Aku jamin, mereka tidak akan membulimu, Karena mereka semua tidak ada satupun yang mengenali wajahmu.”“Semoga saja kamu benar!” Harap Marlena yang hatinya masih