Dengan hati-hati, Alisa melangkahkan kakinya berjalan menyusuri lorong sambil membawa nampan wekcome drink. Meskipun cahaya lampu begitu temaram, matanya tetap awas mencari dimana letak ruang VIP yang dimaksud.
“Akhirnya ketemu juga. Ini dia ruangannya!” Ucapnya sedikit bergembira karena berhasil menemukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Dengan jantung berdebar-debar Alisa mengetuk sebentar lalu masuk ke dalamnya. Matanya memandang takjub saat memasuki ruangan VIP tersebut. Ruangan itu tampak mewah dan udaranya dingin. Beragam lampu warna-warni menempel rapi di dinding. Desainnya artistik, seperti berada didalam galeri seni futuristik. Kakinya terus melangkah hati-hati sambil terus memperhatikan sekeliling. Ada sofa hitam berbentuk L yang terbuat dari kulit sintetis kualitas tinggi. Bisa menampung untuk 4-6 orang. Dan duduk disana seseorang yang saat terjadi insiden di teras lobby tadi hanya diam menatapnya dingin dan sinis. “Silahkan welcome drink anda, Mister Malik!” ucap Alisa berusaha ramah tapi sebenarnya hatinya begitu dongkol saat mengingat kejadian sebelumnya. Muncul niat buruk untuk membalas perbuatannya. Tangannya bergerak meletakkan nampan diatas meja. “Terimakasih. Apa kamu pemandu saya?” Tanpa basa-basi Tuan Malik langsung menuju ke inti tujuan. Menginterogasinya. Satu kaki ia silangkan diatas paha, berusaha santai. Kepala Alisa mengangguk malu sambil memegang jari jemarinya. Berharap minumannya benar. “Sebenarnya ini bukan tugas saya, Mister! Saya hanya diperbantukan disini. Tugas saya sebenarnya didepan lobby, mempromosikan....” “Cukup! Saya ingat kamu dan kejadian didepan tadi. Maafkan anak buah saya.” Ucapnya datar. Ia sengaja memotong penjelasan Alisa, sekaligus meminta maaf padanya. Demi apa pun, Alisa begitu terperanjat usai mendengar sebaris permintaan maaf untuknya. Ia langsung menatap wajah laki-laki didepannya. Hanya mata tajam dan hidung mancung keturunan daratan timur tengah yang bisa ia lihat jelas disana. Selebihnya tertutup rambut halus. Kumisnya bahkan tebal dan cukup panjang, hingga menutupi sedikit bibir atasnya. Wajah yang sangar, seperti penjahat. Untung Alisa tidak bergidik ngeri dan lari terbirit karenanya. “Um...” Alisa masih sedikit shock untuk menjawab. “Sekarang duduklah! Sebelum kita mulai, Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan padamu. Saya harap kamu berbicara jujur.” Tuan Malik meluruskan kakinya, hendak mengambil minumannya diatas meja. Namun, sebelum tangan kekar Tuan Malik berhasil menyentuh gelas welcome drink-nya, tangan Alisa sudah lebih dulu mengambil minuman tersebut dan menyerahkan kepadanya. “Biar saya saja, Mister!” BYUR Akan tetapi naas tak bisa dielak. Saking terburu-burunya, minuman itu justru tumpah mengenai jas abu-abu yang dikenakannya. “Aashh” decak Tuan Malik kesal. “Ups! Sorry, Mister! Tidak sengaja! Maafkan saya, Tuan!” Sesal Alisa sambil tangannya meraih tisu kering untuk mengeringkan jas pria didepannya yang basah. Tanpa permisi, tangan Alisa mengusap-usap dada bidang Tuan Malik yang masih terbalut jas abu-abu itu seenak jidadnya. Ingin secepatnya kering. Merasa tubuhnya digerayangi oleh gadis ingusan, dengan cepat tangan Tuan Malik terangkat untuk menghalangi. “Biar saya sendiri. Mundurlah! Saya tidak mau disentuh.” Tolaknya tegas. Ia merasa risih bila harus dipegang-pegang oleh gadis dibawah umur. Kening Alisa berkerut. “Baiklah, Mister! Maafkan saya!” Sambil melepas kancing jasnya, Tuan malik berjalan tergesa memasuki toilet yang ada di ruang karaoke. “Tau rasa kau, Tuan Malik! Siapa suruh berbuat dzalim padaku tadi. Meskipun anak buahmu yang berbuat, setidaknya kamu meminta maaf dan memarahi mereka saat itu. Bukan malah diem aja!” Bathin Alisa begitu kesal sekaligus lega karena bisa menumpahkan kekesalannya langsung pada pelakunya. Ternyata, Ia sengaja menumpahkan minuman beralkohol di pakaian Tamu member VIP, demi membalas sakit hati di dada dan nyeri di kakinya. Sambil menunggu, Alisa duduk manis dan melihat penampakan tiga monitor yang terpasang canggih disana. Melalui tombol remote, ia bisa mengetahui kalau satu monitor digunakan untuk memilih lagu, dan dua monitor lainnya sebagai layar karaoke. Saat sedang asyik mengutak-atik tombol remote, tampak olehnya Tuan Malik kembali duduk disebelahnya dengan wajah yang susah untuk dijelaskan. Yang pasti dia masih terlihat kesal dengan perbuatannya. “Sebenarnya umurmu berapa? Saya khawatir kamu belum layak untuk bekerja!” Tanya Tuan Malik to the pont, yang langsung menumpahkan kecurigaannya pada diri Alisa. DEG! Mendengar hal tersebut, wajah Alisa berubah drastis. Dari cerah berubah mendung. Kini guratan rasa takut menyelimuti pikirannya. “Tentu saja saya sudah layak bekerja, Mister! Saya bahkan punya pengalaman bekerja cukup lama selain disini.” Tegasnya percaya diri. “Pengalaman jualan gorengan di pasar dan di sekolah.” Bathinnya memendam malu dan miris di dada. “Oh begitu, baguslah! Sayangnya, saya tidak percaya kamu, sebelum kamu menunjukkan bukti konkrit yang bisa membuat saya percaya.” Ucap Tuan Malik yang kini hanya mengenakan kemeja putih saja. Dengan dua kancingnya terbuka, hingga menampakkan dada bidangnya yang berbulu. Namun tubuh Alisa tidak bergetar sedikit pun saat melihatnya. Jas abu-abunya tersampir sembarangan di sandaran sofa. “Bukti konkrit? Seperti apa itu, Mister?” tanya Alisa serius sampai mencondongkan tubuhnya mendekat. Tuan Malik menoleh kikuk. Ia mendorong kepala Alisa menjauh dengan telapak tangannya. “Tanda pengenalmu. Berikan pada saya!” Rincinya yang secara tidak langsung menyampaikan keinginannya. Alisa menelan salivanya, “Tanda Pengenal saya? Itu mm, saya simpan di loker, Tuan!” jawabnya kelimpungan. “Ya udah, buruan ambil sana! Saya tidak mau didampingi oleh gadis pemandu yang usianya dibawah umur.” Perintah Tuan Malik dengan tegas dan tatapan tajamnya mengintimidasi. “Mm, begitu ya! Baiklah, Mister Malik. Saya akan ambil sekarang. Permisi!” ucap Alisa menurut sambil beringsut dari VIP room. “Jangan lama-lama!” ucap Tuan Malik memperingatkan. "Cerewet amat sih mulutnya!" bathin Alisa jengkel “Iya, Tuan!” jawabnya menurut.Bullshit penghasilan besar! Bullshit jalur orang dalam. Dan Bullshit teman akrab. Ia sudah tidak tahan lagi menghadapi semua orang yang berhubungan dengan Klub malam itu. Mereka semua sepertinya sengaja bersekongkol untuk mempermainkan nasibnya malam ini. Sambil menahan nyeri di kaki, Alisa terus berlari menembus remangnya lampu trotoar dan pekatnya malam. Hari ini, kembali menjadi hari sialnya lagi. Di-dzalimi oleh orang kaya brengsek, di-exploitasi oleh manajer, dan di-benci teman akrab yang sudah dia anggap saudara sendiri. Dan Parahnya, dia malah pulang tidak membawa uang sepeser pun. Sia-sia sudah usahanya sejak petang tadi.Sementara itu, di tempatnya, Tuan Malik tertegun beberapa saat, menyesali perbuatannya. Ia sadar telah bersikap keterlaluan pada Alisa. Sungguh, dia tidak berniat melarang gadis yang sempat menjadi pemandunya tadi, untuk bekerja di tempatnya demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Hanya saja dia belum waktunya.Ia mengambil ponsel dan mulai melakukan pang
Alisa merasa begitu nelangsa. Tak sanggup bertahan, ia menjatuhkan tubuhnya hingga menyentuh tanah. Kakinya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang kembali dibuat shock. Padahal pikiran, hati bahkan tubuhnya begitu lelah menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Ia mengambil tas ranselnya lalu menutupkan ke mukanya. Setelah itu, dia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. “Apa salahku, ya Allah! Hingga Kamu terus menerus menimpakan kesialan padaku?” “Apa Engkau tidak sayang padaku?” “Padahal aku selalu berbuat baik pada semua orang.” “Tapi kenapa mereka semua membenciku?” “Terus aku harus bagaimana setelah ini?” “Aku harus bagaimana?” Huu... huu... huu... Protes Alisa pada Tuhannya. Tidak terima menerima semua kenyataan ini. Menyampaikan keluh kesahnya tanpa henti. Disaat sedang serius-seriusnya melampiaskan kesedihan didalam dada, sayup-sayup terdengar olehnya sekawanan kendaraan bermotor yang mendekat. Bunyinya begitu mengganggu pendengaran. Sangat b
Ditelusurinya koridor sekolah dengan gerak cepat, menaiki tiap anak tangga hingga sampai juga didepan kelasnya. Kelas XI-2.Tampak olehnya guru pelajaran jam pertama, Bu Warni tengah sibuk mengabsen teman-temannya. Alisa pun segera masuk dengan mode merintih memegang perut.“Maaf, Bu War! Saya habis dari toilet tadi. Biasa, lagi PMS, Buk!” ucap Alisa beralasan. Ia berjalan tertatih-tatih menuju bangkunya. Sungguh akting yang sempurna.Bu Warni hanya melengos tidak peduli mendengar alasan klise Alisa, kemudian lanjut mengabsen siswanya.Sambil menahan senyum lega di dada karena tidak ketahuan, Alisa pun duduk di kursinya dan menyiapkan bukunya, mulai serius menerima pelajaran.Walaupun ia mendapat beasiswa melalui jalur titipan panti milik Dinas Sosial, namun nilai akademik Alisa cukup bagus dibanding rata-rata kelas. Peringkat ke 3 kelas, sudah cukup membuktikan kalau otaknya lumayan encer.Ting... Ting...Lonceng istirahat ke satu berbunyi.“Liz, gorenganmu mana?”“Kamu gak jualan go
Hampir tengah malam. Alisa duduk memeluk tubuhnya di kursi halte bis. Udara dingin menusuk kulit dan hatinya yang terluka. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa semua orang bersikap begitu jahat padanya hari ini. Malam semakin larut. Sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi jam segini. Ingin memesan ojek online, tapi tidak ada paketan data. Ingin naik taksi juga tidak ada uang. Dimatikan segera daya ponsel karena kesal. Kesal pada situasi dan kondisi yang tidak mendukungnya sama sekali.Tak lama berselang, dari kejauhan tampak motor yang lampunya berpendar terang hingga menyilaukan matanya. Alisa pun menoleh ke arah jalan. Ternyata ada motor sport warna merah yang menepi, lalu memanggilnya dengan akrab, “Hei, anak baru! Butuh tumpangan gak?” teriak laki-laki berhelm teropong itu cukup keras.Begitu kaca gelap helm dibuka, tampaklah siluet wajah yang ia kenal. Melihat kedatangan sang dewa penolongnya, Alisa langsung bangkit dan menghambur dengan riangnya. “Tentu saja, Rel! Kenapa
Senyum tipis tersungging di bibir tamu VIP yang tertutup kumis itu.“Gokil juga gadis ini. Dia bahkan tidak takut sedang berhadapan dengan siapa.” Bathin Tuan Malik terheran-heran, tidak menyangka bila gadis didepannya itu begitu berani dan percaya diri. Ia meletakkan kembali minuman kemasan botol kaca premium diatas meja. Entah kenapa adrenalinnya seketika terpacu saat bersama gadis yang menurutnya masih dibawah umur itu. Keinginan untuk menaklukkan sikap angkuh dan keras kepalanya begitu kuat hingga menyesakkan dada.“Kamu sendiri bagaimana? Saya juga butuh bukti yang bisa menguatkan posisimu kalau kamu memang benar dan layak untuk bekerja di tempat ini. Dengan begitu, saya akan menerima tuntutanmu. Akan saya obati kakimu dan membayar dendamu. Itu kompensasi yang bisa saya tawarkan padamu.” Tatap tajam Tuan Malik ke arah Alisa.“Jadi, bisakah kamu menunjukkan pada saya KTP-mu?” Balas Tuan Malik dengan elegan membalik semua pertanyaan Alisa.DEG!Dengan cepat, Alisa menggamit tas ke
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, sudah 30 menit berlalu. Di ruang loker wanita, Alisa hanya diam duduk terpaku memandangi Kartu Pelajarnya yang menunjukkan kalau usianya saat ini masih 16 tahun. Memang belum layak untuk bekerja. Sedangkan usia 17 tahunnya baru enam bulan lagi. “Ternyata usiaku memang belum layak untuk bekerja.” Desahnya memendam sedih.“Lantas aku harus bagaimana? Kalau ketahuan bagaimana? Apa Tuan Malik akan melaporkanku pada Bos Besar? Tapi, Marlena sudah bilang ke Pak Riko kalau usia kami sama.” ucapnya resah tiada akhir. Membuatnya tak kunjung beranjak dari kursi loker.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.10 wib. Di ruang VIP karaoke, Tuan Ibnu Malik duduk resah, tidak sabar menunggu Alisa. “Kemana gadis itu.” Tangannya bergerak menelpon Riko. “Riko! Suruh segera kesini, si Lisa itu! Dia pamit ke loker untuk mengambil KTP hampir satu jam yang lalu.” Titah sekaligus lapornya pada bawahan.Riko terlonjak kaget dari kursinya, begitu mendengar laporan dari