Sayup-sayup Kinan mendengar dering ponsel dari dalam kamarnya. Buru-buru ia mematikan kompor dan setengah berlari mengambil ponsel yang layarnya tertera nama suaminya yang tengah memanggil.
Kondisi dirinya saat ini sudah cukup jauh lebih baik, berkat istirahatnya yang cukup dan juga obat yang sempat ditinggalkan Raga untuk dirinya. Maka ketika sore hari menjelang, ia buru-buru bangkit untuk menyiapkan makan malam untuk kepulangan suaminya.
“Halo, Mas Raga?”
“Kinan, apa kamu belum baca pesanku?” sahut Raga dari seberang panggilan. Tersirat kecemasan dari nada suaranya.
“Oh, maaf, Mas. Aku lagi di dapur tadi jadi nggak terdengar ada bunyi pesan masuk. Ada apa, Mas? Apa kamu sudah di jalan pulang?”
“Sepertinya aku tidak bisa pulang malam ini.” Pria itu mendesah berat.
Kinan mengerutkan keningnya. “Ada yang terjadi, Mas?”
“Tadi Nenek jatuh di dapur dan sekarang sedang ada di puskesmas.”
Kinan terkesiap. Matanya terbelalak saking terkejutnya. “Astaghfirullah. Bagaimana keadaan Nenek sekarang? Apa yang terluka?”
“Lutut dan kaki Nenek mengalami cedera, untungnya tidak ada benturan di tempat lain terutama di kepala. Nenek sempat memegang kusen pintu sebelum benar-benar terjatuh.”
“Bagaimana sampai bisa jatuh, Mas?”
“Sepertinya undakannya terlalu licin karena cipratan minyak.”
Kinan mendesah pelan. Meski dirinya tidak akrab dengan Sang Nenek yang belakangan ini sudah terlalu kentara menunjukkan rasa ketidaksukaannya, Kinan tidak memungkiri bahwa ia juga turut mengkhawatirkan wanita yang sudah lanjut usia itu.
“Kalau begitu, aku siap-siap segera kesana ya?” Kinan sudah setengah beranjak dari duduknya namun tertahan oleh suara suaminya.
“Lebih baik kamu tunggu di rumah saja.”
“Kenapa, Mas?”
“Sudah terlalu sore, kalau kamu paksain pergi sekarang akan sampai waktu malam. Aku yang khawatir kalau kamu kesini sendirian. Apalagi bisa dibilang kendaraannya juga belum memadai.”
Dalam hati Kinan membenarkan. Satu-satunya moda transportasi umum hanyalah bus tiga perempat dan hanya berhenti sampai di terminal kota. Untuk lanjut sampai ke pedesaan yang letaknya berada di pegunungan, Kinan harus lanjut menggunakan angkot yang mana hanya beroperasi hingga jam 8 malam saja.
‘Waktunya tidak cukup,” ujar Kinan dari dalam hatinya sembari menatap jam dinding yang sudah menunjukkan lewat maghrib.
“Tapi Nenek…”
“Aku lihat dulu perkembangan Nenek bagaimana sampai besok ya. Nanti kita bicarakan lagi bagaimana selanjutnya.”
“Baiklah. Kabarin aku secepatnya ya, Mas. Kalau aku perlu menemani Nenek selama disana, aku bersedia kok.” Kinan berkata lembut.
“Makasih ya, Sayang. Aku tutup dulu ya.”
Kinan menyungging senyumnya mendengar suara lembut dari suaminya setiap kali pria itu memanggilnya dengan panggilan sayang.
“Mas?” tanyanya kemudian dengan hati-hati setelah menyadari sesuatu.
“Iya, kenapa?”
“Apa… Apa hari ini Tari datang menemui Nenek?” Kinan menggigit bibir bawahnya sementara jantungnya berdegup semakin kencang.
“Tidak. Dia tidak datang,” jawab Raga setelah cukup lama terdiam.
Namun, anehnya mendengar jawaban dari suaminya tidak langsung membuat perasaanya menjadi lega.
***
Raga menatap layar ponsel selama semenit penuh setelah menutup sambungan teleponnya pada Kinan, istrinya.
Kenapa ia malah berbohong pada Kinan? Padahal jika ia berkata jujur, itu bukan jadi hal yang masalah karena sejak awal Kinan sudah tahu jika Tari kerap kali datang berkunjung ke rumah Nenek. Bahkan saat kedatangannya saja, sudah ada Tari yang ternyata menginap di rumah neneknya.
Ini adalah pertama kali Raga berkata bohong pada Kinan. Perlahan perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya.
Sempat terlintas di dalam benaknya untuk kembali menghubungi istrinya tapi belum sempat ia melakukannya, Ia dikejutkan dengan panggilan suster yang memintanya untuk menemui Sang Dokter.
Setengah jam kemudian, Nenek sudah dipindahkan ke bagian rawat inap yang terdiri dari tiga ranjang pasien, dua diantaranya terisi termasuk ranjang yang ditempati Nenek Lasmi yang terletak di sudut ruangan persis di sebelah jendela kecil.
“Raga…” panggil Nenek Lasmi dengan suara yang serak.
“Ya, Nek. Raga disini.” Raga mengulurkan tangan dan menggenggam tangan ringkih neneknya.
“Nenek mau pulang.” Wanita itu berusaha untuk bangkit dari tidurnya dengan susah payah.
“Nenek belum boleh pulang. Kata Dokter mau dilihat dulu kondisinya sampai besok.”
Nenek Lasmi menggelengkan kepalanya. “Nenek baik-baik saja.”
“Nggak mungkin baik-baik saja. Lutut dan kaki Nenek cedera. Kemungkinan Nenek akan pakai tongkat atau kursi roda.” Raga mencicit. Matanya menatap perban yang membelit kaki kanan Neneknya yang sudah ringkih itu.
Nenek Lasmi terdiam. Matanya mulai berlinang air mata. Setengah memaksa untuk dipulangkan.
“Besok pagi ya, Nek. Raga usahain agar bisa pulang setelah konsultasi sama Dokter.”
Nenek Lasmi lama menatap wajah cucu kesayangannya yang juga setengah memelas sebelum akhirnya setuju.
“Kamu mau nemenin Nenek disini?”
Raga memberikan anggukan mantap. Tangannya meremas pelan telapak tangan Nenek. “Raga disini, nemenin Nenek.”
“Istrimu bagaimana? Nggak apa-apa kamu nggak jadi pulang hari ini?”
“Dia sudah diberitahu, malahan dia mau kesini nengokin Nenek tapi Raga melarangnya karena akses kendaraan yang sulit.”
Nenek hanya memberikan anggukan singkat tanpa berminat untuk bertanya lebih lanjut.
“Nek, gimana kalau Nenek ikut tinggal sama Raga dan Kinan lagi?”
Sontak Nenek menoleh. Lama ia menatap Raga sebelum akhirnya ia menjawab pelan. “Nenek nggak betah di rumah kamu, lebih suka di rumah.”
“Nenek kan lagi sakit begini, siapa yang akan jagain Nenek?”
“Ada Esih, dan juga ada Tari…”
“Jangan ngerepotin Tari terus, Nek. Kalau Nenek nggak mau ikut ke Kota, aku minta Kinan buat nemenin Nenek di rumah yah.”
Nenek menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, Raga. Nenek lebih nyaman dengan Tari.”
“Memangnya kenapa dengan Kinan?”
“Raga, sewaktu Nenek jatuh tadi. Hanya ada satu yang Nenek khawatirkan yaitu Nenek belum sempat melihatmu menggendong momongan yang sudah lama kamu tunggu-tunggu,” jawab Nenek tanpa menyinggung-nyinggung tentang Kinan.
“Nenek jangan khawatirkan itu, semuanya pasti sudah diatur sama Allah. Yang penting sekarang itu adalah Nenek fokus sama diri Nenek sendiri untuk masa pemulihan.”
Wanita tua renta itu menggelengkan kepalanya lemah. “Tapi Nenek ingin melihat kamu punya anak. Anggaplah ini permintaan terakhir Nenek.
“Permintaan terakhir? Kok ngomongnya begitu?”
“Bagaimanapun, umur Nenek sudah sangat renta sekarang, Raga. Bisa aja Nenek meninggal besok, kan?”
Raga menahan napas. Wajahnya berubah menjadi pucat begitu mendengar penuturan Nenek. Selama ini Raga sebenarnya sudah menyadarinya, kian hari wajah Nenek berubah menjadi semakin layu. Semakin ia mencoba untuk mempersiapkan dimana hari ia akan kehilangan Nenek, semakin ia tidak kuat menghadapinya.
Raga meremas telapak tangan nenek dengan lembut, wajahnya tertunduk dalam.
“Kamu nggak mau yah nurutin permintaan Nenek?”
Raga menggelengkan kepalanya lemah. “Bukannya nggak mau, Nek. Raga hanya bingung. Semua ini bukan kuasa Raga.”
“Ada yang namanya usaha, Raga.” Nenek menyunggingkan senyumnya. “Tapi bukan usaha yang sudah kamu dan Kinan lakukan selama ini.”
“Maksudnya, Nek?” Raga mengerutkan kening. Sementara Nenek Lasmi menatapnya dengan sorot matanya yang sudah layu itu penuh dengan makna.
“Menikahlah dengan Astari.”
***
Nenek Lasmi membuka matanya yang sayu. Dilihatnya langit-langit kamar rumah sakit yang tampak familier satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang kosong. Bertanya-tanya apa yang membawanya sampai harus dilarikan ke rumah sakit?Perlahan sekelebat bayangan kejadian terakhir membuatnya sadar. Walaupun, wanita itu hanya mengingat bagian semuanya menjadi gelap setelah mendengar paling mengejutkan.Diliriknya ke samping, terdapat Raga tengah duduk dengan kepala tertunduk sambil memegang tangannya yang lemah.“Raga,” panggil Nenek dengan suaranya yang masih serak dan terdengar lemah.Sontak saja Raga mendongak. “Alhamdulillah, Nenek sudah sadar. Tunggu sebentar ya, Raga panggilin dokter dulu.”“Nenek sudah tidak apa-apa.” Nenek menggelengkan kepalanya.“Diperiksa sama Dokter dulu ya, Nek.” Pria itu pun segera bangkit. Namun, Nenek menggenggam tangan Raga di sisa tenaganya.“Nenek sudah baik-baik saja. Ceritakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?” Suaranya masih terdengar lemah.Sementar
Entah sudah berapa kali Kinan menghembuskan napas berat selagi menatap langit kelabu yang menggantung pada sore hari itu.“Seharusnya aku nggak terburu-buru membuka hati kalau ujungnya akan begini,” ujarnya lirih.Di belangannya, Raras ikut menghela napas. Tangannya terulur dan mengelus pelan punggung teman baiknya. Sudah dua hari setelah kejadian itu ia menolak untuk keluar dan bertemu dengan siapapun.Tadinya itu termasuk dengan Raras, tapi karena wanita itu paham betul dengan perubahan gelagat Kinan, maka disinilah sekarang. Tanpa perlu meminta izin, Raras sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Kinan dan menolak pergi sebelum wanita itu luluh.“Siapa yang menyangka kalau keluarga bisa bertindak sejauh itu.”Kinan pun menoleh. Hanya menatap tapi tanpa memberikan respon.“Katamu, kalian pernah bertemu waktu masih sama-sama kuliah? Apa saat itu kamu nggak tahu bagaimana latar belakang keluarga Adrian?” kata Raras kemudian.Kinan menggeleng lemas. “Waktu itu kami hanya saling liha
Adrian hanya mampu menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Apa status itu begitu penting bagi Mami?” “Tentu saja! Kamu harus tahu posisimu sebagai siapa? Kamu bukan hanya menikah untuk diri kamu tapi juga penyatuan dua keluarga. Yang paling penting lagi, kamu membawa nama keluarga Raharja. Maka keturunanmu juga akan menyandang nama keluarga itu. Maka anakmu tidak boleh berasal dari sembarang orang!” Sekali lagi, Adrian dibuat terpukau dengan perkataan Mami yang menggebu-gebu sejurus kemudian terlihat napasnya tersengal. “Nggak semua hal yang Mami pikir terbaik adalah yang terbaik,” ujarnya kemudian. Mami mengulas senyum miring. “Mungkin kamu melupakan sesuatu, kamu juga bilang itu saat kamu mempertahankan dia yang melemparkan kotoran di muka kita!” “Semua itu nggak akan terjadi kalau misalkan Mami lebih percaya sama dia.” Rahang Adrian mengeras dan tubuhnya sudah hampir bergetar lantaran menahan gejolak perasaan di dalam tubuhnya.Sementara wanita itu menatap anak
Beberapa jam yang lalu, Adrian sudah tidak sanggup lagi berada dalam ketidakpastian perubahan sikap Kinan yang terlalu drastis.Pesannya yang terakhir tak kunjung dibalas padahal sudah jelas-jelas dibaca oleh sang penerimanya; Kinan.“Ini nggak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”Ia tahu bahwa pasti sedang ada yang terjadi, tapi ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita. Maka Adrian memberikan ruang dan jarak untuknya.“Aku harus menemuinya.”Sejurus kemudian, Adrian sudah berada di kawasan menuju apartemen Kinan dengan membawa bingkisan makanan kesukaannya dengan harapan jika ia datang tanpa memberitahunya, wanita itu akan luluh dan mau menemuinya.Ketika Adrian membelokkan setir kemudi menuju lahan parkir tamu yang persis di depan pintu masuk menuju lobi, ia dikejutkan dengan seseorang yang terasa sangat ia kenal tampak baru keluar.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress sebatas betis berwarna hijau emerald lengkap dengan tas jinjing berwarna
Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Lasm
Sehari sebelumnya … Cukup lama Kinan memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat dari wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Kami berencana untuk membuat makan malam perpisahan melepas Liara kembali ke Melbourne. Kalau kamu tidak keberatan, Adrian pasti akan senang sekali melihat kehadiranmu. “Sebenarnya apa maksud dari ini semua?” gumamnya pelan. Tak mampu merespon pesan singkat itu, ia menaruh kembali ponsel ke atas meja nakas. Kinan menghembuskan napas berat. Pertemuannya yang tidak disengaja siang tadi masih membuatnya tak menyangka. Bahwa ia bertemu dengan Retno Wulandari? Mami-nya Adrian? Wanita itu mengatakan bahwa Adrian sudah bercerita cukup banyak tentang dirinya. “Bahkan kami saja belum mengobrol sampai pada tahap itu.” Kinan mengerutkan keningnya dalam. Kepalanya sedang berpikir keras, melawan gejolak hatinya yang merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa Mas Adrian tidak pernah cerita ya?” Kinan kembali menoleh ke ponsel yang sunyi senyap. Terakh