Home / Romansa / Dibalas Dengan Dusta / 6. Keanehan Suaminya

Share

6. Keanehan Suaminya

Author: nanderstory
last update Last Updated: 2025-03-30 12:50:00

“Mas?” Kinan menyambut kedatangan suaminya dua hari kemudian. Pria itu tampaknya mengambil satu hari cuti dadakan karena kejadian ini.

Kinan mengulurkan tangan dan mengecup lembut punggung tangan Raga yang tampak lebih diam dari biasanya. Tidak ada senyuman yang keluar dari bibir Raga. Wajah pria itu tampak berbeda dari biasanya.

Mungkin itu karena Mas Raga terlalu lelah karena insiden kemarin.’ Kinan menepis pikiran negatif yang sudah mulai menari-nari dalam benaknya.

Raga melangkahkan kakinya gontai menuju dalam rumah sederhana yang ia beli melalui proses KPR sebelum ia menikahi Kinan tiga tahun yang lalu. 

Kinan pikir, pria itu akan duduk di sofa tapi langkah kakinya masih berjalan mantap menuju dapur hingga membuka lemari pendingin dan mengambil satu botol air mineral dingin lalu meneguknya seperti orang yang kehausan atau seperti orang yang sedang ingin mendinginkan kepalanya yang panas? 

“Apa terjadi sesuatu, Mas?” Kinan tak kuasa menahan rasa penasarannya. 

Raga sontak terbatuk-batuk hingga membuat beberapa air menyembur dari mulutnya dan membasahi meja makan. 

Melihat itu, Kinan menepuk-nepuk punggung suaminya dan menunggu hingga batuknya perlahan berhenti. Sementara Raga masih dengan terbatuk-batuk mencoba untuk menggapai tissue dan berusaha untuk membersihkan sisa-sisa akibat ulahnya. 

“Sudah biarkan saja. Nanti aku beresin, Mas.” Kinan menahan tangan Raga yang yang masih kewalahan akibat terbatuk. 

Tapi Raga malah bergeming di tempatnya berdiri.

“Mas, jangan buat aku ketakutan. Apa ada sesuatu yang terjadi?” Kinan bertanya sekali lagi. Kali ini dengan nada memelas. 

“Kinan…,” panggil Raga seraya menatap matanya dalam. Sejurus kemudian, ia menarik tubuh mungil istrinya ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat dan menenggelamkan wajahnya ke dalam bahu kecil Kinan. 

“Demi apapun, Mas. Aku bisa mati penasaran,” ujar Kinan dengan suara parau. 

Barulah Raga melepaskan pelukannya lalu melangkah mundur. Membiarkan jarak yang cukup untuk saling bertatapan. Bisa ia lihat bagaimana sorot mata Kinan seperti menuntut penjelasan dan setengah frustasi. 

“Apa ada sesuatu yang terjadi? Bagaimana keadaan Nenek?” cecar Kinan lagi. 

“Nenek baik-baik saja, Kinan. Sudah kembali ke rumah.” 

Kinan mengerutkan kening. Matanya menyipit penuh selidik. “Lalu apa maksud dari sikap kamu barusan?” 

Raga menggelengkan kepalanya lemah. “Aku nggak kenapa-kenapa kok, cuma kelelahan saja.” 

“Apa Mas yakin? Tapi kenapa aku merasa nggak demikian ya.”

“Cuma kaget aja waktu Nenek terjatuh. Aku sempat merasa kehilangan Nenek sebentar.” Raga memberikan anggukan mantap. Tangannya membelai lembut punggung Kinan.

Perlahan kekhawatiran dan juga tanda tanya besar yang sempat bercokol di dalam hati Kinan memudar. Ia menatap sendu suaminya yang kini tertunduk dengan bahu terkulai lemas. 

“Semua akan baik-baik saja.” Kinan mendekati suaminya dan memeluknya. Kata orang, berpelukan dengan pasangan akan membantu meringankan beban pikiran dan perasaan. Maka hanya ini yang bisa ia lakukan untuk suaminya. 

“Kinan, maafin aku ya.” Raga berbisik di dalam pelukannya.

Meski terdengar aneh, tapi Kinan tidak memberikan respon. 

*** 

Bukan cuma sekali saja ia melihat Raga termenung tanpa melakukan apapun sejak hari itu, pria itu bersikap seolah sedang menghadapi beban yang sangat berat. Ketika Kinan mencoba untuk bertanya, pria itu langsung berkelit dan mengalihkan pembicaraan. 

Keanehan lainnya muncul, ketika Nenek Lasmi menghubunginya membuat Raga langsung menghindar dan menutup pintu hanya untuk menerima panggilan dari Sang Nenek. 

“Kenapa harus sembunyi-sembunyi gitu nerima telepon dari Nenek, Mas?” tanya Kinan pada suatu hari. 

“Nggak kok, aku cuma refleks aja.”

Jawaban yang aneh, menurut Kinan. Tapi semakin ia mencecar dengan pertanyaan lain, suaminya akan semakin bersikap defensif. 

Keanehan lainnya lagi terjadi pada minggu ketiga Raga tidak kunjung pulang ke rumah Nenek. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa Nenek habis terjatuh yang mengakibatkan kakinya cedera. Tapi kenapa Raga malah tidak mengunjungi neneknya? 

“Kamu nggak mau ngunjungin Nenek, Mas?” tanya Kinan lagi pada suatu Sabtu pagi. 

Raga yang sedari tadi hanya diam di depan televisi menonton siaran berita pagi hari itu bergeming sesaat sebelum menjawab. “Sepertinya sih nggak.” 

“Nenek sudah baik-baik saja?” 

“Mungkin.” Raga menjawab acuh tak acuh. Matanya tidak berpaling dari layar televisi. 

Melihat sikap aneh suaminya itu semakin membuat kening Kinan berkerut. Keanehan ini sudah menjadi batas paling maksimum yang bisa ia tolerir. Kinan pun langsung menghentikan aktivitasnya yang saat itu sedang menyiapkan bahan masakan untuk makan siang hari ini dan melihat jam dinding. 

“Masih belum terlalu siang untuk berangkat.” 

“Berangkat? Berangkat kemana maksudnya?” 

“Ke rumah Nenek.” Kinan melepas celemek dan menggantungkannya

“Ngapain ke rumah Nenek?” Raga mengerjapkan matanya, setengah terkejut dengan keputusan Kinan yang terlalu mendadak. 

“Aku kan belum nemuin Nenek secara langsung pasca kejadian itu. Aku nggak mau dianggap istri yang nggak sayang sama Nenek dari suaminya.” 

Kinan sudah siap melangkahkan kaki menuju kamar tapi dihalangi oleh Raga. 

“Jangan.” 

“Kenapa?” Kinan menoleh. Menatap Raga dengan sorot mata penuh tanda tanya besar. 

“Jangan hari ini,” ujarnya agak sedikit tergagap. 

“Iya tapi kenapa, Mas? Sejujurnya kamu itu terus-terusan bersikap aneh sejak kejadian Nenek jatuh. Aku udah bingung gimana menghadapinya.” Bahu Kinan terkulai lemas, seolah mengisyaratkan bahwa ia lelah menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. 

“Nenek sudah mengabari kalau dia baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Aku juga sudah bilang kalau kita mungkin nggak bisa sering-sering berkunjung. Maklum, ongkos bensin dan tol saja sudah cukup menguras dompet.” 

“Pakai tabunganku juga bisa sebenarnya, Mas.” Kinan memberikan solusi. 

“Itu uang kamu. Hak kamu. Jangan gunakan untuk keperluan kita.” Raga menggelengkan kepalanya keras. 

“Aku nggak keberatan kok.” 

“Aku yang keberatan.” 

“Tapi, Mas–,” 

“Sudah. Sudah. Kamu bukannya mau bikinin aku makanan kesukaanku hari ini? Mau aku bantuin?” Raga berusaha untuk mengalihkan pembicaraannya. Ia pun segera berbalik badan Melangkahkan kaki menuju dapur minimalis mereka. 

Melihat Raga seperti itu, membuat Kinan semakin bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebenarnya? 

Seperti ada yang hilang. Kepingan puzzle yang hilang. Tidak tepat. Tapi ia tidak tahu harus melakukan apa hingga membuatnya frustasi. 

Namun, lagi lagi, pada akhir pekan selanjutnya, Raga membatalkan janjinya kali ini dengan alasan harus menghadiri suatu seminar dari perusahaannya yang berada di luar kota. Yang membuatnya tak habis pikir, Raga harus membawa sendiri mobil pribadi bukannya akomodasi yang disediakan dari perusahaan. 

“Karena waktu itu aku nggak sempat ikut seminar yang barengan dari kantor, jadi aku harus sendirian ke kantor pusat,” tutur Raga memberikan penjelasan. 

Namun, Kinan tidak semerta-merta langsung mempercayainya. Tapi Kinan hanya berdiam tak memberikan respon apapun. 

Semoga kekhawatiranku ini tidak berdasar,’ ucap Kinan berkali-kali pada dirinya sendiri. Seperti mantra yang ia ulang terus dengan harapan bisa menenangkan dirinya. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalas Dengan Dusta    34. Kesepakatan

    “Adrian!” Seorang pria berusia pertengahan lima puluhan dengan rambut yang sudah hampir sepenuhnya memutih itu tampak antusias menyambut kedatangan Adrian pada pagi itu. “Hai, Pi.” Adrian mengangkat sebelah tangannya seraya melangkah masuk ke ruang kerja Papi dan menghempaskan bokongnya pada sofa. “Kamu terlihat tidak bersemangat bertemu Papi, Adrian?” “Bukan begitu … aku hanya sedikit kewalahan. Sebenarnya kalau bukan karena Mami, aku mungkin lupa kalau hari ini sudah waktunya kita bertemu.” Pria yang bernama Erwin Raharja itu sontak bangkit dari kursi kebesarannya untuk menghampiri anak sulungnya. “Mau minum apa?” tanya Erwin seraya mengangkat telepon yang ada di samping sebuah kursi kulit tempat biasa ia duduk untuk memulai sebuah perbincangan. “Kopi aja mungkin?” Adrian memberikan pilihan. Sejurus kemudian Erwin menghubungi sekretarisnya yang selalu siaga di depan ruangannya itu untuk menyiapkan minuman. “So … kamu lagi sibuk rupanya?” “Begitulah.” Adrian menganggukkan kep

  • Dibalas Dengan Dusta    33. Persepsi

    Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r

  • Dibalas Dengan Dusta    32. Terjebak Perasaan

    “Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak

  • Dibalas Dengan Dusta    31. Garis Singgung

    “Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya

  • Dibalas Dengan Dusta    30. Adrian Raharja

    “Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “

  • Dibalas Dengan Dusta    29. Pulang

    Sepuluh menit sudah berlalu, pasca Kinan menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya selama setengah jam penuh. Wajah Sang Ayah tampak mengeras. Pandangannya tak lagi menatap Kinan, putri semata wayangnya. Melainkan menunduk menatap meja kayu yang dilapisi taplak warna putih gading bermotif embos kembang. Kinan menahan napasnya. Ayahnya memang tipikal seorang ayah yang tidak banyak berbicara. Namun, kalau marah pria itu bisa terlihat cukup menyeramkan walaupun hanya dengan diamnya. Dan sekarang, ini bukanlah sesuatu yang baik. “Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini dari kami, Kinan?” Sang Ayah akhirnya membuka suaranya. “Itu karena ….” Kinan menunduk. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Karena kesehatan Ayah?” Kinan menggigit bibir bawahnya. “Mestinya kamu katakan yang sejujurnya pada Ayah. Apapun kondisinya.” “Kinan nggak mau Ayah drop lagi. Makanya saat itu Kinan putuskan untuk mengikuti keinginan Mas Raga yang juga sebenarnya tidak ingin berpisah.” Ayah Kinan

  • Dibalas Dengan Dusta    28. Tekad

    Kinan melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di atas pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Langkahnya agak tergesa, bulir keringat terlihat di pelipisnya. Ketika pintu lift terbuka tepat di lantai 20, sosok Adrian tepat muncul di depan lift. “Kinan?” tanyanya. Pria itu tampak terkejut. “Bukankah seharusnya kamu habis persidangan?” Kinan menarik napas panjang. “Maaf, Mas Adrian, bisa minta waktunya sebentar?” Adrian mengangguk singkat setelah menyadari raut wajah Kinan yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu kemudian menuntun jalan menuju ruang meeting tempat pertama kali mereka bertemu. “Ada apa? Apa yang terjadi, Kinan?” “Maaf sebelumnya, Mas. Aku sudah mengirimkan dua artikel melalui email untuk finalisasi untuk materi dua minggu depan. Boleh tolong di-cek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang bisa aku perbaiki sekarang.” Kinan tampak tergagap. Wanita itu bersusah payah mengeluarkan laptop dari totebag-nya. Namun, Adrian tampak menahannya. “Ki

  • Dibalas Dengan Dusta    27. Hanya Sebuah Status

    Setelah pertemuannya dengan Adrian, Kinan tidak menampik bahwa perkataan dari pria itu mengambil andil yang besar bagi cara pandangnya. “Apa kamu yakin dia hanya teman lamamu aja?” Pertanyaan Raras menyadarkannya dari lamunan. Saat ini, mereka sedang kembali bertemu di salah satu coffee shop yang tak jauh dari tempat tinggal Kinan. Raras bersikeras untuk menemui Kinan untuk melanjutkan pembicaraan mereka lewat telepon tempo hari yang lalu. “Yakin, Ras. Kami memang hanya beberapa kali bersinggungan semasa di kampus dulu.” Kinan menyeruput minumannya. Tapi tampaknya Raras tidak langsung mempercayainya. “Tapi kayaknya raut wajahmu agak menunjukkan hal yang lain?” Kinan mengibaskan tangannya. “Jangan mikir yang aneh-aneh, kita memang purely hanya teman.” “Oh. Kirain kalian dulunya pernah terlibat suatu rasa gitu ….” “Nggak lah, pikiran dari mana itu?” Kinan menggeleng kencang. Demi menutupi kegelisahannya, Kinan kembali menyeruput kopi dingin yang terbukti cocok diminum di siang

  • Dibalas Dengan Dusta    26. Teman Lama

    “Boleh?” Adrian bertanya lagi. Pintu lift masih terbuka lebar dengan tangan Adrian yang menahannya dari tombol di luar. Kinan mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Pria itu menyunggingkan senyum simpul. Dengan gerakan yang luwes, Adrian melangkah memasuki lift dan berdiri di samping Kinan setelah menekan tombol lantai dasar.Sementara Kinan sendiri masih mematung di tempatnya. “Don’t get me wrong. Aku ingin mengobrol denganmu karena kita sudah lama tidak bertemu. Sebagai teman di kampus, boleh dong?” ujar Adrian. Menolehkan kepalanya, menatap Kinan dengan sorot mata yang ramah. Kinan menoleh dan mata mereka saling bertemu. Dalam sekejap saja, ia bisa merasakan pipinya memerah karena menahan rasa malu. Bukan karena salah tingkah. Tapi Kinan mengakui bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak terhadap Adrian. “Tentu. Tentu saja boleh. Aku nggak mikir yang aneh-aneh kok.” Kinan terkekeh canggung. Pria itu hanya terkekeh pelan. Ingin

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status