Senja hadir menyapa semesta sebelum ditaklukan oleh malam. Bising kini mulai diam diganti merdu suara Adzan yang menggema, membawa damai bagi hati yang ingin berteduh.
Anak-anak berhenti bergurau bersama seutas tali yang membawa mereka melambung tinggi mengejar mimpi. Layang-layang kini pergi entah kemana, mencari tempat untuk melelapkan seharap cita. Di sebuah rumah minimalis yang dibangun menggunakan gaya arsitek neo klasik, dengan dihiasi ukiran-ukiran yang cukup memanjakan mata di setiap tiang penyangga yang berdiri tegak di depan teras dan juga atap rumah yang terdesain sempurna, begitu elok dipandang mata. Tepat di depan teras rumah ini ada seorang Wanita duduk di atas sebuah bangku kayu yang dihiasi oleh ukiran bunga khas Jepara. Di depan Wanita itu ada sebuah meja yang dibalut taplak bermotif tenun Jepara yang sama serasinya dengan kursi yang diduduki. Sedangkan di atas meja itu terletak sebuah pot bunga minimalis yang diisi indah oleh bunga melati. Tatapan Wanita itu terarah tetap pada sebuah ayunan tua yang terletak di tengah halaman rumah ini. Raut wajah wanita itu sendu dipoles luka yang dalam menggerogoti jiwa, seakan di atas ayunan itu terukir sebuah masa yang terus memberi ingatan. ‘Tujuh tahun yang lalu masih terngiang-ngiang. Saat dimana kita mengikat sumpah. Sehidup semati sampai maut memisah. Dari situlah aku mulai berkomitmen, bahwa hanya engkaulah sang bintang. Bintang yang diberikan oleh Yang Kuasa untuk aku. Dimana terangnya tak akan pernah sirna. Hingga untuk mengikhlaskan, aku tak kuasa kehilangan kamu. Aku Rindu akan candamu. Aku rindu sikapmu. Aku rindu ingin memeluk erat dirimu, hingga untuk melepaskan engkau tidak mampu melakukannya. Aku ingin melihat rona senyummu. Rona senyum pria membuat aku tergila-gila. Gila karena kamu. Karena kamu yang mampu membuatku bangkit di saat aku terjatuh, begitu pula ketika aku lengah dengan keputusasaan. Tapi sekarang semua telah terhapus oleh waktu. Disaat senja itu datang, kau pudar bersama sang waktu. Ketika mentari yang bersinar terang tenggelam, kau pergi, menutup rapat kening dan matamu. Hilang dan tidak peduli, menitipkan sepi yang terus memburu rindu. Hingga aku merana, menari sendu di atas selaksa keping kenangan. Dunia begitu kejam, seakan tidak mau melihat kita bersama, merajut bahagia sampai hari tua. Devia putri kita kini telah dewasa. Sikapnya tidak beda jauh darimu. Konyol... Ah, konyol sama seperti dirimu. Tiap malam dia selalu menanyakan tentangmu. Hari demi hari dia terus melangitkan doa untukmu. Karena aku menyembunyikan semua ini darinya, agar dia tidak terluka. Tapi lambat laun dia akan mengetahui semuanya…. Andai saja waktu itu aku tidak mengizinkan kamu pergi, mana mungkin aku merana seperti ini. Bukannya aku tidak mampu membimbing dia, membesarkan dia hingga dewasa. Tetapi tanpa kamu, aku benar-benar tidak berdaya,’ benak Wanita itu. Ia menunduk menatap jemarinya yang terus memainkan cincin di jari manis tangan kanannya, sebelum setetes air mata jatuh tanpa permisi di atas pergelangan tangan kirinya. "Kapan ayah pulang? Apa yang harus aku jawab," gumam Wanita mudah itu seakan hendak mencari sebuah jawaban atas tanyanya. Wanita itu tak lain adalah Suci Roswita, seorang janda asal Yogyakarta berumur 26 tahun yang sangat cantik dengan perawakan yang tinggi. Semenjak suaminya, almarhum Arttha Caustaria meninggal, Suci Roswita hidup menjanda bersama buah hatinya, Deviana Roswita dan ibu mertuanya, Helena Caustaria, kehidupannya menjadi lebih berwarna. Ditambah dengan kedua pembantunya yang selalu membawa tawa, membuat Suci Roswita sedikit terhibur dari ingatan yang sangat memilukan. Sepulang dari tempat kerja yang berada tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di pusat kota Yogyakarta, Suci Roswita langsung bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian kerjanya. Kaos oblong berwarna putih, jilbab hitam dan celana bahan berwarna hitam yang seharian ini dia kenakan sangat enak di padang. Dengan elegannya Suci Roswita berjalan menelusuri ruang tamu menuju ke depan teras rumah, sebelum menempatkan diri di atas bangku tua yang telah lapuk dimakan usia yang berada di pojok kanan. Tatapan Suci Roswita terus mengitari rangkaian bunga bermekaran yang tertanam rapi di depan halaman rumahnya sebelum tertuju pada sebuah ayunan yang berada di tengah-tengah taman. Tepat di atas ayunan itu terukir selaksa keping kenangan. Dimana di setiap dekapan waktu yang menjamu kerinduan dihabiskan Suci Roswita bersama suaminya, Arttha Caustaria, waktu lalu. Tapi kini tiada lagi, hamparan angin yang lalu, hari ini tak sama dengan saat itu. Bagaikan air yang mencari tempat yang luput, dimana hanya setetes percikan yang pastinya akan menyisakan uap di bawah terik matahari yang terus membakar. Seperti halnya sebuah kisah yang terukir indah, suatu saat akan terkikis senyap menyisahkan kenang. Perlahan Suci Roswita menundukkan kepala menatap jemarinya yang terus memainkan cincin di jari manis tangan kanannya, sebelum setetes air mata jatuh tanpa permisi di atas pergelangan tangan kirinya. Tumpukan rindu kembali mengusik Suci Roswita, saat dimana ingatan masa lalu hadir menyiksa hatinya. Lima tahun telah terlewatkan dalam suka tanpa ada sedikit kenangan yang menyapa, kini Suci Roswita dirundung pilu, saat dimana pertanyaan datang bergilir mengenai sosok suaminya, dari putri kecilnya. "Arttha," guman Suci Roswita setelah menggelengkan kepala pelan, seakan tak mampu menerima kenyataan pahit yang menyiksa hatinya. Dua tahun belakangan ini Suci Roswita benar-benar tertekan menerima kenyataan pahit yang menyiksa batinnya. Tidak seperti dulu, ketika pertama kali mendengar kabar kematian suaminya, Almarhum Arttha Caustsria. Hidupnya seakan dipenuhi dengan kepalsuan. Yang dijalani hanya sebuah keterpaksaan, bukan karena kemauan hati. Suci Riswita sulit untuk mengikhlaskan, apalagi membiarkan semuanya berlalu pedih ditelan sang waktu. "Bu, kapan Ayah pulang?" tanya salah seorang gadis dari balik pintu, yang membuat Suci Roswita terperanjat kaget. Segera Suci Roswita membasuh air matanya, sebelum memasangkan senyuman penuh makna menatap gadis kecil yang melangkah perlahan menghampirinya. Gadis kecill itu tak lain adalah Deviana Roswita, anaknya, yang kini telah berumur 7 tahun. "Bu, kapan Ayah pulang?" Rengek Deviana sebelum melemparkan tubuh mungilnya ke pangkuan Suci Roswita dengan tatapan penuh tanya berpola melengkapi tiap-tiap kedipan matanya, mewakili hati yang terus berprasangka terpancar penuh makna di raut wajah polosnya. "Nak, nanti juga Ayahmu pasti akan pulang," jawab Suci Roswita menatap manja putri semata wayangnya, setelah mencubit pipi Deviana dengan penuh kasih sayang, "Kamu tidur iya. Ibu akan menunggunya disini," sambungnya sembari membelai rambut anaknya. Jawaban yang kerap kali didengar membuat Deviana mendengus kesal. Dia menatap tajam Suci Roswita sebelum memalingkan muka, dengan kedua tangan yang terkepal erat, "Ibu bohong. Kapan Ayah pulang. Aku akan menunggu Ayah bersama Ibu di sini," cetus Deviana. "Nak, masuk ke dalam," ucap Suci Roswita setelah menyentil kening anaknya dengan tatapan yang sedikit tajam membuat putri semata wayangnya lengah dan mulai berlari menuju ke dalam rumah mereka. Menatap Deviana meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun membuatnya semakin bersalah. Sebagai Ibu tentunya tahu, suasana hati anaknya sedang tidak baik-baik saja. Apalagi jawaban yang diberikannya tidak dapat dibuktikan. Namun ada-ada saja alasan untuk menyangkal buah hatinya, baik di pagi maupun malam mencari sebuah kepastian. Sehingga muncullah kerinduan yang begitu dalam dari Deviana akan ayahnya. 'Suamiku, dosa apa yang telah aku buat? Jawaban apa lagi yang harus aku beri untuk mengobati luka hati Devia yang terus mencari sosokmu,' benak Suci Roswita sebelum memalingkan wajahnya untuk menyaksikan senja yang kini mulai ditaklukan oleh malam. Hampir dua tahun belakangan ini Deviana terus menanyakan keberadaan ayahnya kepada Suci Roswita. Namun ibunya tidak pernah memberikan sebuah kepastian, malah mencari beribu akal untuk mengelabui dia. Dari balik pintu masuk rumah mereka, Deviana berdiri seolah mengintip ibunya. Sesekali Deviana menatap ke arah jalan, berharap dibalik sunyi sana dia menemukan sosok yang dicarinya. Namun yang didapat Deviana hanyalah kerinduan yang selalu setia menemani sepi. "Akankah Ayah pulang," gerutu Deviana setelah menggelengkan kepala tanpa daya, sebelum bergegas menuju ke kamarnya.“Devi, cepat ganti pakaian, ya. Setelah itu langsung kemari untuk sarapan,” pinta Helena Caustaria kepada Deviana yang telah selesai mandi.“Iya, Oma,” jawab Deviana langsung bergegas menuju ke dalam kamarnya.Dia sangat mandiri, tidak seperti anak-anak pada umumnya yang segala keperluannya selalu mengharap pada orangtua mereka. Apa-apa dilakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.Dilain sisi Suci Roswita sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga jarang memiliki waktu luang untuk mengurusi anaknya. Ada pembantu, namun Deviana sendiri tidak mau diatur-atur oleh Siska Juleha.Walaupun semua hidangan telah disiapkan oleh Siska Juleha di atas meja makan, Helena Caustaria tidak lupa menunggu cucu kesayangannya untuk menyantap hidangan tersebut bersama.“Siska, Kamu juga langsung sarapan, ya,” ajak Helena Caustaria.“Nanti aja, Bu,” jawab Siska Juleha.“Iya sudahlah,” pinta Helena Caustaria sebelum mengambil piring, “Devi, sini,” sambungannya ketika melihat Deviana yang hendak menuju ke me
( Kring… Kring… Kring… ) Bunyi HandPhone Suci Roswita.“Ah, Siapa sih yang nelpon. Ada keperluan apa sih, masih pagi sudah telfon," gerutu Suci Roswita seraya merapikan tempat tidurnya.Setelah selesai merapikan tempat tidurnya, Suci Roswita langsung mengambil HandPhone yang di letakkannya di atas meja rias untuk melihat siapa yang menelponnya. Namun sebelum diambilnya, Handphonenya berdering lagi.“Ah, nomor baru. Biarkan saja,”cetus Suci Roswita yang tak mau menerima panggilan itu.( Kring… Kring… Kring… ) Lagi-lagi Handphone Suci Roswita berdering lagi. Karena terus saja di teflon, Suci Roswita akhirnya menyerah juga.°°°°°“Halo, ada keperluan apa, sih,” cetus Suci Roswita.“Selamat pagi, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu Ibu.” “Iya, tidak apa-apa. Ada keperluan apa, ya?“ tanya Suci Roswita.“Bu, saya Lini. Ini ada informasi penting dari pihak Perpajakan,” pinta Lini.Lini Sapta yang biasa disapa Lini adalah Sekretaris dari Suci Roswita.“Lini… Informasi apa?
“Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja.“Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.”“Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita.“Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini.“Iya, Bi,” jawab Arttha.“Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska.“Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha.“Mas, m
Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya."Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya.Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah
Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat.Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita."Hm..."Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya."Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian,"
kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa benca