"Keira."
Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.
Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi.
"Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.
Bagaimana dia tahu rencanaku?
Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.
Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi.
"Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta bahwa Rafael seorang duda baru ku ketahui hari ini. Aku tak sempat menanggapi karena dia sudah kembali berbicara. "Cantik, sih. Tubuhnya... jelas pria mana pun takkan menolak. Tapi..." ia mendekat, berbisik cukup keras agar aku mendengarnya, "seleramu jatuh terlalu rendah kali ini."
Pipi panas. Aku menggigit bibir, menunduk, tak ingin dia melihat kilat sakit yang muncul di mataku. Rencana kaburku hancur, dan kini aku berdiri di depan mereka berdua seperti pecundang.
Dinda menatapku seperti memandang barang diskonan. Lalu, dengan gerakan anggun yang dibuat-buat, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas. Bukan kertas biasa—foto USG. Ia mengulurkannya padaku.
"Lihat ini." Senyumnya menajam. "Aku hamil. Anak Rafael."
Tanganku otomatis meraihnya, meski hatiku berteriak jangan. Mata ini membaca bayangan abu-abu yang jelas tak terbantahkan: janin kecil. Tulisan nama rumah sakit dan tanggalnya membuat darah di wajahku surut.
Aku mendongak cepat, menatap Rafael, mencari penjelasan. Tapi yang kudapat hanya tatapan datar. Dingin. Tak ada rasa bersalah. Tak ada pembelaan. Hanya... kosong.
Perutku terlipat oleh rasa sakit yang tak terduga. Nafas tercekat di tenggorokan, dan sebelum aku bisa mengeluarkan kata, Dinda tertawa pelan, puas dengan dramanya sendiri.
"Sepertinya aku akan jadi bagian keluarga ini lagi, sayang," katanya, menepuk bahuku seakan aku hanya boneka yang berdiri di sana. "Tapi jangan khawatir. Meski wajahmu manis dan tubuhmu montok, Rafael selalu kembali padaku. Karena aku... setara dengannya. Kau tidak."
Aku menutup jemari di atas foto itu hingga kusut, tapi tak sanggup mengembalikannya. Ingin berteriak, ingin lari.
Rafael tiba-tiba melangkah maju, gerakannya cepat, memaksa udara di antara kami bergetar. Aku refleks mundur satu langkah, tapi ia lebih cepat. Tangannya yang besar menangkap pergelangan tanganku, menggenggamnya erat hingga aku hampir meringis kesakitan.
"Keira," suaranya rendah, tertekan, seperti ada badai yang menunggu pecah di dadanya. "Berhenti kabur dariku."
Aku ingin membalas, ingin melepaskan tanganku, tapi genggamannya membuatku tak berdaya. Dinda masih berdiri di sisi kami, senyumannya menipis namun matanya berkilat puas melihat aku tak bisa melarikan diri.
"Rafael..." suaraku nyaris tak terdengar, lebih seperti rintihan. "Apa… apa ini benar?" Tanganku yang lain mengangkat foto kusut itu, gemetar. "Dia… hamil anakmu?"
Rafael menoleh pada Dinda dengan pandangan yang menusuk, lalu kembali menatapku. "Itu tidak penting sekarang," katanya dingin, membuat dadaku semakin sesak. "Yang penting adalah kau… jangan pernah berpikir meninggalkanku."
Dinda menyeringai, mendekat dan menyentuh lengan Rafael dengan manja. "Oh, jadi ini hanya tentang menahannya di sisimu?" bisiknya, sengaja agar aku mendengar. "Kasihan sekali dia, Rafael. Kau bahkan tak mau menjelaskan kebenaran… atau memang kebenarannya menyakitkan?"
Aku menggigit bibir, rasa asin air mata mulai terasa di lidahku. Semua rasa marah, sakit, takut bercampur menjadi satu.
Rafael mengangkat tangan, menepuk bahu Dinda sekali, dingin, tanpa emosi. "Pergi."
Dinda hanya tersenyum lebih lebar, meninggalkan kami dengan langkah santai, dan ketika pintu gerbang menutup di belakangnya, aku masih berdiri di sana, dunia runtuh dalam diam.
Kamar itu dingin malam ini. Tapi api di dadaku membakar lebih panas dari udara luar. Aku duduk di ujung ranjang, punggung tegang, tangan mengepal di pangkuan. Rafael baru masuk setelah membuang puntung rokoknya. Ia menutup pintu, lalu berdiri bersandar di sana, diam, seperti sedang menunggu aku berbicara.
Dan pada akhirnya aku meledak juga.
"Aku ingin cerai," kataku, suara serak tapi tegas.
Alis Rafael hanya terangkat sedikit. "Cerai?" Ia mendecih pelan, seperti mendengar lelucon murahan. "Baru dua hari jadi nyonya Ardian dan sudah bicara omong kosong ini?"
Aku berdiri cepat, mendongak tinggi demi menatapnya dengan mata yang panas karena air mata tertahan. "Omong kosong? Kau biarkan wanita itu menghina aku, menunjukkan—" aku mengangkat foto yang masih kusimpan, bergetar di tanganku, "—ini! Anakmu, Rafael! Dan kau diam saja seolah aku tak ada di sana!"
Dia mendekat perlahan, langkahnya tenang tapi setiap hentakan membuatku mundur setapak. Hingga punggungku menempel ke dinding dan dia berdiri hanya sejengkal dariku.
"Pertama," katanya pelan, tapi suaranya seperti baja yang siap memotong, "aku tidak peduli apa yang Dinda katakan. Kedua..." ia menepuk foto itu hingga jatuh ke lantai, "aku bahkan tidak yakin itu anakku."
"Tapi kau tidak menyangkalnya!" seruku.
Dia menunduk, mata tajamnya mengurungku. "Dan kalau pun benar, apa itu urusanmu? Kau menikah denganku karena hutang keluargamu. Bukan karena kau ingin jadi satu-satunya wanita di hidupku. Jangan mulai bertingkah seolah ini pernikahan cinta, Keira."
Kata-katanya menampar lebih keras dari tangan mana pun. Nafasku memburu, ingin melawan tapi kata-kataku tercekat.
Rafael mendekat sedikit lagi, suaranya merendah, dingin tapi mematikan. "Cerai? Kau pikir aku akan melepasmu begitu saja? Setelah aku membayar harga untuk memiliki namamu di atas surat nikah itu?" Matanya menyala gelap. "Tidak semudah itu, sayang."
"Aku bukan milikmu!" suaraku pecah.
Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh telingaku saat ia berbisik, "Oh, tapi kau memang milikku. Kau hanya belum sadar." Nafasnya panas di kulitku. "Dan aku akan membuatmu sadar, sedikit demi sedikit, hingga kau tak bisa berpikir untuk meninggalkan aku lagi."
Tangannya terulur, menyentuh daguku, mengangkatnya agar aku menatapnya. "Sekarang berhenti bicara cerai. Atau aku benar-benar akan tunjukkan cara pria membuat istrinya diam."
Jantungku berdentum liar, ketakutan bercampur amarah. Tapi sebelum aku bisa mendorongnya, Rafael tidak memberi ruang untukku menjawab. Dalam satu gerakan cepat, rahangnya menegang, lalu bibirnya menubruk bibirku. Ciuman itu bukan kelembutan—ini serangan. Nafasnya panas, mendesak, menguasai seluruh mulutku tanpa ampun. Aku berteriak di dalam hati, tangan menekan dadanya, mencoba melepaskan diri. Tapi tubuhnya seperti tembok baja, tak bergeming.
"Gh… Rafael, lepaskan!" suaraku teredam di antara desakan bibirnya.
Tangan besarnya berpindah, mencengkeram pinggangku begitu keras hingga aku meringis. Cengkeraman itu bukan sekadar menahan, tapi seperti menancapkan peringatan: kau tidak akan lari kemana-mana. Ia menarikku lebih dekat, begitu dekat hingga aku bisa merasakan setiap hembusan marahnya, setiap detak jantungnya yang berat.
“Bibirmu ternyata tidak sepahit ucapanmu," bisiknya di antara ciuman kasar yang merobek sisa ketenanganku. “Bahkan wajahmu jauh lebih cantik di saat seperti ini.”
Air mata panas menggenang di pelupuk mataku. Aku mendorong, meronta, tapi dia tidak goyah. Bibirnya kembali menghantam bibirku, lebih dalam, lebih menuntut, dan aku hampir tak bisa bernapas.
Lalu sesuatu menangkap mataku. Di pojok kanan ruangan, tepat di atas lemari hias yang gelap, ada kilapan merah kecil. Berkedip pelan… berhenti… lalu menyala lagi.
Aku membeku sesaat di antara ciumannya, otakku berusaha mengenali benda itu. Kamera?
Panik yang baru menggantikan ketakutan lamaku. Aku ingin menoleh, ingin memastikan, tapi Rafael memaksa wajahku tetap menatapnya, mendekapku semakin erat. Aku merasakan jemarinya menggenggam bahuku, menancap keras seakan ingin meninggalkan bekas.
“Rafael, hentikan… tolong…” suaraku pecah, setengah terisak, tapi ia hanya menatapku dengan mata gelap yang tak memberi pilihan.
Aku meronta lebih keras, tapi pergerakanku justru membuat tubuh kami semakin rapat. Ciumannya masih liar, menelan semua bantahanku, sampai aku hampir kehabisan tenaga.
Di antara kabut takut dan amarah, pikiranku hanya menjerit satu hal: ada yang merekam ini. Setiap detik, setiap gerakan brutal Rafael… ada mata tak terlihat yang menonton.
Aku memejamkan mata, mencoba mengumpulkan sisa tenaga untuk menyingkirkan tubuhnya. Dan saat aku berhasil menoleh sedikit, aku melihatnya jelas: titik merah itu masih berkedip… merekam… menyaksikan…
Sebelum aku sempat bersuara, Rafael menangkap kedua pergelangan tanganku, membantingnya ke dinding di atas kepalaku, suaranya dingin membelah jarak:
“Sekali lagi kau bicara cerai… aku tidak segan-segan membuat keluargamu lebih menderita!"
Bab 6 – Mata yang Mengintai“Apa maksudmu?” suaraku parau, lebih seperti bisikan putus asa. “Rafael… jangan main-main denganku. Ada kamera di kamar kita! Ada seseorang yang—”“Astaga, Keira.” Rafael menyela dengan nada dingin, namun jemarinya tetap membelai pipiku, seakan ia ingin menenangkan sekaligus mengikatku. “Kau benar-benar senang membuat kepalaku pusing.”Aku menepis tangannya dengan kasar. “Pusing? Aku hampir gila! Ada yang merekam kita—mere—” suaraku pecah, dadaku naik turun karena panik. “Itu bukan hal sepele!”Sorot mata Rafael berubah. Ada kilatan tajam, tetapi di baliknya seperti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Perlahan ia mengambil ponsel hitam itu, menekannya hingga layar padam, lalu menyelipkannya ke saku kemejanya.“Dengar aku baik-baik.” Suaranya berat, nyaris seperti perintah. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau usik. Kau istriku. Tugasmu hanya percaya padaku.”Aku membeku. Kata-katanya terdengar seperti tamparan. Percaya? Bagaimana aku bisa percaya jika
Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan
Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej
"Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba
“Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri
"Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir