Share

Rencana kabur (bab2)

last update Last Updated: 2025-05-24 06:45:35

“Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”

Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.

Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.

Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.

Aku langsung sadar kenapa.

Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.

Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.

Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.

Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri di depanku. Nafasnya terasa di wajahku. Dekat. Sangat dekat.

“Pagi-pagi sudah berpakaian seperti ini?” katanya pelan, suaranya dalam dan menghantam. “Kau tahu warna merah ini membuatmu terlihat seperti—”

Aku memalingkan wajah. “Aku tak punya pilihan lain.”

Ujung jarinya tiba-tiba menyentuh rambutku, memainkan helaian yang jatuh di bahuku. Sentuhannya lembut, tapi justru itu yang membuatku merinding.

“Selalu ada pilihan, Keira,” bisiknya. “Tapi kau memilih untuk menyiksa... bukan hanya aku, tapi juga dirimu sendiri.”

Aku ingin menamparnya saat itu juga, tapi tubuhku tak bergerak. Dan sebelum aku sempat bicara, bibirnya sudah menyambar.

Dia menciumku.

Bukan pelan. Bukan lembut. Tapi kasar, brutal, seolah ingin membakar semua batas yang pernah ku buat.

Aku terkejut. Tubuhku menegang. Tanganku langsung mendorong dadanya, tapi Rafael malah menarik pinggangku, mencengkeramku makin erat.

“Raf—lepaskan!” desisku.

Dia tak peduli. Bibirnya turun ke leherku, panas dan basah, menciptakan luka yang tak terlihat tapi terasa. Nafasku tercekat.

Aku bukan takut... aku muak.

Tanganku mengepal, dan tanpa pikir panjang, aku menampar wajahnya sekeras mungkin.

Plak!

Dia terdiam. Menoleh perlahan. Matanya seperti pisau yang siap menusuk, tapi dia menahan diri.

“Luar biasa,” ucapnya, suaranya serak, penuh ejekan dan amarah yang ditekan. “Sudah kubayar semua hutang keluargamu, tapi bahkan untuk menyentuhmu pun aku harus siap ditampar.”

Mataku membelalak. “Kau pikir aku barang yang bisa kau beli?!”

Dia mendekat lagi. Napasnya dingin, dan matanya lebih dingin lagi.

“Kau pikir siapa yang menyelamatkan nama besar Hariman sebelum hancur di pengadilan? Aku. Uangku. Dan sekarang kau berdiri di sini, dengan tubuh seperti itu... tapi seolah aku tak pantas menyentuhmu?”

Dadaku berdegup kencang. Nafasku pendek.

“Jangan pernah bicara soal harga, Rafael,” kataku, suaraku nyaris gemetar. “Aku menikahimu karena... karena aku tak punya pilihan.”

“Itulah masalahnya,” dia menyela tajam. “Kau menganggap dirimu martir. Padahal kau cuma terlalu pintar menjual diri dengan nama pengorbanan.”

Aku tak bisa berkata-kata. Ucapannya menusuk lebih dalam dari ciumannya.

Tanpa bicara lagi, Rafael berbalik. Langkahnya menghantam lantai, dan beberapa detik kemudian, pintu rumah dibanting keras.

Sunyi.

Aku berdiri kaku. Dunia di sekitarku seolah membeku. Lalu tubuhku jatuh pelan ke anak tangga. Kakiku lemas. Tanganku menutup wajah. Aku menahan isak, tapi air mataku tetap keluar.

Kepalaku terasa berat, dadaku sesak, dan tiba-tiba, kenangan buruk itu datang menghantam.


“Ayah mohon, Keira...”

Suara Ayahku masih membekas di telinga, seperti gema luka yang tak kunjung hilang. Wajahnya malam itu—kusut, penuh peluh, dan ketakutan—selalu menghantuiku.

“Rafael sudah mau bantu. Kalau kamu menikah dengannya, semuanya akan selesai. Tak akan ada yang masuk penjara. Ayah tak akan kehilangan perusahaan...”

Aku terlalu muda. Dua puluh satu tahun. Hidupku baru di mulai, dan aku masih percaya bahwa cinta adalah hal suci. Bahwa seseorang bisa memilih pasangan dengan hati, bukan dengan logika atau... hutang.

“Ayah, aku bahkan tidak mengenalnya…”

“Dia pria baik. Rekan bisnis Ayah. Tentunya Kaya raya. Berkuasa. Kau tak perlu mencintainya sekarang. Kau hanya perlu menyelamatkan keluarga ini. Kita bisa bangkit lagi kalau semua hutang lunas.”

Dan saat itu Rafael masuk, berdiri di ambang pintu ruang tengah, dengan jas hitam dan senyum tipis. Matanya seperti kaca. Tak ada cinta di sana, tapi juga tak ada paksaan. Hanya tawaran. Transaksi.

Dan aku... menandatangani takdirku dengan air mata yang tidak sempat jatuh.

Aku masih ingat saat tangannya pertama kali menggenggam tanganku di altar. Dingin. Tegas. Bukan untuk melindungi, tapi untuk mengikat. Itulah awalnya.


Tangga ini dingin. Tapi tubuhku tetap diam di sini. Pundakku naik-turun. Tubuhku gemetar, bukan karena udara, tapi karena seluruh luka yang meledak sekaligus.

“Ini bukan rumah,” gumamku, suaraku nyaris tak terdengar. “Ini penjara.”

Aku mendongak. Menatap koridor luas yang sunyi dan tak bernyawa. Dinding-dinding tinggi. Lampu-lampu kristal. Segalanya indah, mewah, tapi kosong. Seperti dada Rafael. Seperti ruang di dalam hatiku.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini, aku berkata dengan suara yang tak bisa kuabaikan:

“Aku harus keluar dari rumah ini…”

Aku menarik napas dalam. Perlahan, aku berdiri. Mataku menoleh kanan dan kiri, memastikan suasana rumah benar-benar senyap. Sepi. Semua pembantu sepertinya sudah masuk ke kamar masing-masing. Tak ada tanda-tanda Rafael di dalam rumah. Wajar saja, pria itu membanting pintu depan tadi begitu keras sebelum pergi. Dia marah. Sangat marah. Tapi justru itulah kesempatan terbaikku untuk keluar sebentar, diam-diam.

Dengan langkah ringan, aku berjalan menyusuri lorong menuju pintu belakang. Aku memilih jalan memutar, jauh dari kamar para asisten rumah tangga. Aku tak ingin ada yang mendengar langkahku. Sandalku kulepas. Telapak kakiku menyentuh marmer yang dingin, membuatku sedikit merinding. Aku mengendap-endap seperti pencuri di rumah yang seharusnya jadi rumahku sendiri. Jantungku berdegup cepat, tapi bukan karena takut ketahuan. Bukan juga karena rasa bersalah. Aku hanya ingin... sebentar saja menghirup udara bebas. Bahkan jika itu hanya beberapa menit di luar pagar rumah mencekam ini.

Tanganku memutar gagang pintu belakang perlahan. Suara klik terdengar samar, lalu pintu terbuka sedikit demi sedikit. Aku menyelinap ke lorong taman samping. Aku menapaki bebatuan taman dengan hati-hati, berusaha tak menimbulkan suara. Begitu mendekati gerbang utama, aku berhenti mendadak.

Rafael berdiri di sana.

Tubuhnya tegap, disandarkan santai pada pilar pagar. Satu tangannya berada di saku celana, tangan satunya menggenggam rokok yang ujungnya sudah hampir padam. Asap tipis mengepul di udara.

Tapi bukan keberadaannya yang membuatku terpaku di balik semak-semak.

Ada seorang perempuan bersamanya.

Cantik. Tinggi. Langsing. Gaun mewah warna merah darah menempel sempurna di tubuhnya. Dia berdiri sangat dekat, lalu tiba-tiba memeluk Rafael. Kedua lengannya melingkari leher pria itu dengan gerakan yang begitu... akrab. Seperti mereka sudah terbiasa melakukan itu. Seperti mereka punya sejarah yang aku tak pernah tahu.

Aku menahan napas. Ingin maju, tapi kakiku membeku. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Hanya gerakan bibir samar, dan suara angin yang menelan semua detail. Rafael tidak membalas pelukan itu, tapi juga tidak menolak. Tidak mengangkat tangan untuk mendorongnya. Tidak bergeming sedikit pun.

Kenapa dia membiarkan?

Siapa perempuan itu?

Dan kenapa hatiku seperti ditusuk saat melihatnya?

Aku menggigit bibir bawahku. Aku tak seharusnya peduli. Pernikahan ini tidak punya cinta. Aku hanya istri di atas kertas. Tapi panas menjalar di dadaku, rasa sakit yang tak bisa kusebut namanya.

Angin tiba-tiba berembus kencang. Daun kering di dekat kakiku bergeser pelan, menimbulkan suara samar.

Aku menahan napas.

Rafael sempat menoleh sekilas—atau aku hanya berhalusinasi? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Siapa yang merekam? (Bab 5)

    Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam menyakitkan (bab 4)

    Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Mantan istri (bab3)

    "Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Rencana kabur (bab2)

    “Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam tak tersentuh (Bab1)

    "Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status