Share

Live (bab 6)

last update Last Updated: 2025-08-27 13:28:50

Bab 6 – Mata yang Mengintai

“Apa maksudmu?” suaraku parau, lebih seperti bisikan putus asa. “Rafael… jangan main-main denganku. Ada kamera di kamar kita! Ada seseorang yang—”

“Astaga, Keira.” Rafael menyela dengan nada dingin, namun jemarinya tetap membelai pipiku, seakan ia ingin menenangkan sekaligus mengikatku. “Kau benar-benar senang membuat kepalaku pusing.”

Aku menepis tangannya dengan kasar. “Pusing? Aku hampir gila! Ada yang merekam kita—mere—” suaraku pecah, dadaku naik turun karena panik. “Itu bukan hal sepele!”

Sorot mata Rafael berubah. Ada kilatan tajam, tetapi di baliknya seperti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Perlahan ia mengambil ponsel hitam itu, menekannya hingga layar padam, lalu menyelipkannya ke saku kemejanya.

“Dengar aku baik-baik.” Suaranya berat, nyaris seperti perintah. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau usik. Kau istriku. Tugasmu hanya percaya padaku.”

Aku membeku. Kata-katanya terdengar seperti tamparan. Percaya? Bagaimana aku bisa percaya jika hidupku terasa seperti tontonan?

“Jadi benar?” aku menatapnya dengan mata berair. “Kau yang memasang kamera itu? Kau yang sengaja merekam semua ini? Untuk apa, Rafael? Untuk—untuk mempermalukan aku?”

Rahang Rafael mengeras. Dia melangkah maju hingga aku mundur, punggungku menabrak dinding dingin. Tubuhnya yang besar menjulang, menutup seluruh ruang gerakku. “Hati-hati dengan kata-katamu, sayang. Aku tidak suka dituduh.”

“Nyonya Ardian,” bisiknya di telingaku, “kau terlalu kecil untuk mengerti permainan seperti ini.”

Getaran tubuhku makin parah. Aku ingin menampar wajahnya, tapi jemariku lemah. Aku ingin lari, tapi kedua kakinya sudah memerangkapku.

“Kalau bukan kau…” suaraku bergetar, “…lalu siapa, Rafael? Siapa yang ingin melihat kita seperti ini?”

Rafael menunduk, keningnya hampir menyentuhku. Nafasnya panas, bercampur aroma kopi dan sisa aftershave yang maskulin. Membuat pipiku tak tahu malu memerah di saat seperti ini. Tatapan itu menusuk, ambigu—antara hasrat dan ancaman. “Serahkan itu semua padaku.”

Dadaku sesak. Kata-katanya bisa berarti dua hal: ia melindungiku… atau ia sendiri dalangnya, dan kini sedang memainkan peran licik untuk membuatku percaya.

Aku terengah, jantungku berdetak seperti hendak pecah. Kaki telanjangku menapak lantai marmer dingin balkon lantai dua, tapi keringat dingin justru membasahi punggungku. Tanganku mencengkeram pagar besi, menatap ke bawah.

Halaman rumah besar membentang sunyi. Tinggi balkon ini setidaknya dua ratus kali tubuhku. Kalau aku lompat… aku pasti akan langsung meninggal di saat itu juga. Aku belum siap mati, meskipun kehidupanku saat ini sudah membuat hatiku hancur tidak berbentuk.

“Tidak… tidak…” aku mondar-mandir di balkon, rambutku berantakan tertiup angin. Kepalaku panas, pikiranku bercabang-cabang. Aku menimbang: loncat atau tetap di sini bersama duda mesum itu? Kesempatan seperti ini jarang datang. Rafael sedang di ruang kerjanya. Tapi… apakah benar aku bisa kabur darinya begitu saja?

Kakiku melangkah lagi ke pagar. Aku menutup mata, menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Udara terik siang menampar kulitku, membuat kepalaku semakin pusing.

Entah bagaimana bisa dalam sepersekian detik tiba-tiba ada lengan kekar yang melilit pinggangku dari belakang.

Aku tersentak, mataku terbuka.

“Lepaskan!”

Pelukan itu kuat tapi bukan kasar. Tubuhnya menempel di punggungku. Jemarinya menekan perutku, menahan agar aku tak bergerak lebih jauh ke arah pagar.

“Apa yang kau lakukan di sini, hm?” bisiknya rendah, suaranya bergetar halus seperti bulu halus menggelitik telinga.

Tubuhku menegang. Aku ingin berteriak, ingin menepis lengannya, tapi… wajahku justru memanas. Sial. Sentuhan itu membuatku kehilangan kewarasan.

“Tolong jangan seperti ini,” kataku pelan, tapi suaraku terdengar lemah, lebih mirip bisikan memohon ketimbang perintah.

Rafael tidak bergeming. Justru pelukannya semakin erat. Aku bisa merasakan kerasnya dada bidang itu.

“Aku baru saja mulai bekerja,” ujarnya dengan nada akrab seakan kami sudah hidup bersama puluhan tahun. “Tapi melihat istriku berdiri di balkon, mondar-mandir sendirian, menatap ke bawah dengan wajah pucat. Bagaimana aku bisa fokus kerja kalau begitu?”

Aku menelan ludah. Dia pasti mengintaiku dari ruang kerjanya. Bahkan di saat sibuk pun matanya tidak lepas dariku.

Sial. Ujung telingaku panas. Aku menggigit bibir, berusaha keras agar tubuhku tak bergetar karena hal lain selain takut. Tapi nyatanya, jantungku berdegup kacau, bukan hanya karena rasa terjebak, tapi karena… sesuatu yang lebih aneh.

“Rafael…” aku memanggil namanya, ingin menegur, tapi suaraku tercekat saat ia menunduk, dagunya menyentuh puncak kepalaku.

“Kau wangi sekali,”

Suara itu berdesir di belakang telingaku, begitu dekat hingga napasku tercekat. Sebelum sempat mundur, jemarinya yang dingin sudah menyusup ke bawah kain jersey maroon yang kukenakan.

Aku menegang. Kain tebal itu terangkat perlahan, terasa kasar di kulitku, membuatku buru-buru menepis tangannya.

“Apa-apaan, Rafael—”

“Aneh sekali, hm?” Ia terkekeh rendah, nada cibirannya menusuk. “Hari sepanas ini, kau malah memakai baju setebal ini. Kau kira aku tidak tahu alasannya?”

Pipiku kembali memanas. Jari-jarinya yang keras masih bertahan, bahkan mulai berani memainkan dada kiriku. seolah menantang perlawanan. Aku meraih pergelangan tangannya, berusaha menjauhkan, tapi tubuhku tak sekuat miliknya.

“Lepas.” Suaraku terdengar lebih seperti bisikan ketakutan daripada perintah.

Alih-alih menurut, ia justru menunduk. Bibirnya menyapu kulit tipis di telingaku. Sentuhan lembab itu membuat lututku goyah, seluruh tubuhku tersentak oleh aliran panas yang tak terduga.

Aku berusaha menghirup udara, tapi yang keluar justru sebuah desah—lirih, terlepas tanpa bisa kutahan.

Ahn

Seketika aku menutup mulutku sendiri, terperangah pada suara yang lolos barusan.

Rafael tertawa kecil, rendah dan penuh kemenangan, seakan sengaja menunggu momen itu.

“Kau tidak lagi berusaha lompat dari sini kan?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya lembut tapi sarat makna.

Aku mendongak cepat, menoleh menatap wajah yang dihiasi jambang tipis itu. Mata hitamnya menatapku dalam, penuh keyakinan, seolah ia tahu persis apa yang ku rencanakan barusan.

Tanganku mencengkeram pagar semakin erat. “Bagaimana… bagaimana kau tahu aku…” suaraku parau, tercekat di tenggorokan.

Rafael hanya tersenyum samar, jemarinya mengusap pelan sisi pinggangku. “Bukan sesuatu yang sulit untuk bisa ku ketahui, kemarin kau juga merencanakan hal itu, kan?”

Jantungku berdegup keras, bukan lagi hanya malu, tapi ketakutan yang perlahan menelan. Sempat aku mengabaikan fakta bahwa dia selalu bisa memergoki aksiku.

Aku menggertakkan gigi, ingin melawan. Tapi tubuhku berkhianat—pelukannya terlalu hangat, terlalu dekat, terlalu membuatku kehilangan tenaga.

“Kenapa kau selalu mencoba lari dariku, hm?” Rafael menunduk, bibirnya hampir menyentuh leherku. “Padahal di sisiku… kau paling aman.”

Aku menutup mata, menahan getaran aneh yang merambat ke seluruh tubuh. Bagaimana mungkin aku bisa merasa takut sekaligus… terguncang dengan cara lain?

Aku pasti sudah gila, bisikku dalam hati.

Rafael memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. Tangannya kembali melingkar di pinggangku, membuatku tak bisa mundur. Ia menatapku lama, dalam, seolah berusaha membaca setiap rahasia dari wajahku.

“Lihat aku,” katanya pelan. “Kau hanya milikku. Dunia luar tidak pantas menyentuhmu.”

Aku menelan ludah, air mataku berdesakan, tapi wajahku memanas hingga telinga. Kenapa? Kenapa aku masih bisa merasakan ini padanya setelah semua yang terjadi? Pada pria yang merampas masa depanku ini?

Lalu, tepat saat aku ingin membantah ucapannya, terdengar bunyi klik samar dari dalam kamar.

Aku refleks menoleh. Pintu balkon masih terbuka, dan dari dalam kamar—di meja dekat sofa—lampu kecil laptop menyala. Layar menampilkan sesuatu… seolah rekaman video live.

Darahku membeku. Aku tahu apa itu.

Aku menatap Rafael dengan mata melebar. Dia mengikuti arah tatapanku, lalu kembali menoleh padaku, senyum miring menghiasi wajahnya.

“Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau lihat,” katanya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Live (bab 6)

    Bab 6 – Mata yang Mengintai“Apa maksudmu?” suaraku parau, lebih seperti bisikan putus asa. “Rafael… jangan main-main denganku. Ada kamera di kamar kita! Ada seseorang yang—”“Astaga, Keira.” Rafael menyela dengan nada dingin, namun jemarinya tetap membelai pipiku, seakan ia ingin menenangkan sekaligus mengikatku. “Kau benar-benar senang membuat kepalaku pusing.”Aku menepis tangannya dengan kasar. “Pusing? Aku hampir gila! Ada yang merekam kita—mere—” suaraku pecah, dadaku naik turun karena panik. “Itu bukan hal sepele!”Sorot mata Rafael berubah. Ada kilatan tajam, tetapi di baliknya seperti ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. Perlahan ia mengambil ponsel hitam itu, menekannya hingga layar padam, lalu menyelipkannya ke saku kemejanya.“Dengar aku baik-baik.” Suaranya berat, nyaris seperti perintah. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau usik. Kau istriku. Tugasmu hanya percaya padaku.”Aku membeku. Kata-katanya terdengar seperti tamparan. Percaya? Bagaimana aku bisa percaya jika

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Siapa yang merekam? (Bab 5)

    Brrr… brrr… brrr…Getaran itu menusuk telingaku, memaksa kesadaranku kembali dari tidur yang tak benar-benar lelap. Kelopak mataku berat, kepala terasa berdenyut, dan setiap sendi tubuhku seperti dipukul berulang kali. Rasa sakit merayap dari bahu hingga ke pinggang, mengingatkan malam panjang yang baru saja kulewati. Aku menggeliat sedikit, merintih pelan, tapi yang kudapat hanya rasa perih yang membuatku mengerutkan wajah.Suara bergetar itu belum berhenti. Ritmenya konstan, menyebalkan, datang dari arah nakas di samping ranjang. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku melirik sisi tempat tidur. Kosong. Rafael sudah tidak ada. Hanya sprei kusut, aroma maskulinnya yang masih tertinggal, dan keheningan yang terasa menyesakkan.Aku menarik napas panjang, menutup mata sejenak, berharap getaran itu berhenti sendiri. Tapi tidak. Getaran itu semakin lama semakin memaksa, seolah sengaja mengusik sisa-sisa tenang yang kupunya. Dengan desahan letih, aku memaksa tubuhku bangkit, menyibakkan

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam menyakitkan (bab 4)

    Brak!Aku terhempas di atas kasur, tubuhku memantul di permukaan empuk yang terasa seperti perangkap. Nafasku tercekat, kedua tangan refleks meraih selimut untuk menutupi diri. Tapi Rafael sudah di atasku, menahan kedua pergelangan tanganku di sisi kepala, tubuhnya menindih tanpa memberi jarak.“Rafael… lepaskan…” suaraku pecah, campuran takut dan marah. Aku meronta, tapi kekuatannya tak tergoyahkan.Dia menatapku lama, tajam, lalu mendengus pendek, seakan kesabarannya habis. “Tidak ada lelaki waras yang bisa menahan diri dengan istri sepertimu di rumah,” gumamnya serak. Tangannya berpindah, menyentuh rahangku kasar, lalu turun menyusuri leher hingga berhenti di dada. “Putih… terlalu besar... lembut… sempurna.” Jemarinya menekan perlahan di sana, membuatku terperangah, pipi panas terbakar malu.“Jangan…,” bisikku terputus-putus, air mata menetes di pelipis.Dia hanya mengangkat sebelah alis, bibirnya tersenyum miring tapi matanya tetap gelap. “Kau tidak tahu betapa aku menahan ini sej

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Mantan istri (bab3)

    "Keira."Suaranya tajam. Dalam. Membekukan udara yang semula tenang.Aku mematung di balik semak, kaki yang baru saja hendak mundur terasa membatu. Perlahan, aku menoleh. Rafael berdiri tegak, pandangannya menusuk segelap malam, tepat ke arahku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa melihatku di balik bayangan pohon itu, tapi sorot matanya... seakan aku tak punya tempat bersembunyi lagi."Kabur, hm?" Suara itu kembali menghantam, datar, dingin, tanpa nada marah—justru itu yang membuatku semakin takut.Bagaimana dia tahu rencanaku?Sebelum aku bisa bergerak, suara tawa kecil mengiris ketegangan itu.Wanita bergaun merah darah yang tadi memeluk Rafael kini berbalik, matanya menyapaku dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. Ia melangkah mendekat, hak tingginya mengetuk bebatuan dengan irama yang membuatku ingin mundur lebih jauh lagi."Jadi ini istrimu, Rafael?" katanya, senyumnya miring, menusuk. "Aku, Dinda. Mantan istri Rafael." Dia memperkenalkan diri dengan angkuh. Fakta ba

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Rencana kabur (bab2)

    “Kamu selalu menolak setiap kali aku sentuh, tapi sepertinya tubuhmu berkata sebaliknya.”Langkahku langsung terhenti di anak tangga terakhir.Suara itu—dalam, dingin, dan menohok—datang dari ujung ruang makan. Suara Rafael. Ada bara yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu. Mataku langsung menemuinya, duduk di kepala meja, satu tangan menopang dagu, dengan sorot yang membuat tengkukku panas.Tapi dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh tepat ke arah tubuhku.Aku langsung sadar kenapa.Gaun marun ketat ini terlalu menonjol. Mbok Narti yang menyodorkannya, katanya semua bajuku belum selesai dicuci. Aku tak sempat menolak. Tapi jelas, Rafael akan berpikir lain. Dan sekarang... aku merasa seperti sedang telanjang di hadapannya.Tanganku gemetar. Tapi aku berdiri diam di sana. Rahangku mengatup.Rafael bangkit perlahan. Langkahnya terdengar berat dan pasti, seperti dentang ancaman yang semakin mendekat. Aku ingin lari, tapi kakiku beku.Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri

  • Dibelenggu Duda: Istri Di balik Kontrak   Malam tak tersentuh (Bab1)

    "Kau milikku sekarang,” bisiknya pelan, sebelum ia menyentuh pipiku dengan jemari panjangnya yang dingin.Aku mematung.Ini bukan mimpi. Ini nyata.Aku… baru saja dinikahkan dengan Rafael Ardian, pria yang bahkan baru pertama kali ini aku lihat secara langsung.Nama itu sering disebut-sebut ayahku dengan nada hormat. Pengusaha sukses, dominan, dan terlalu tampan untuk dipercaya. Namanya sering berseliweran di berita, dan investor yang menyelamatkan bisnis kami—dengan syarat.Aku dijadikan syarat itu.Dan sekarang, kami berada di kamar pengantin. Hanya kami berdua.Kini, aku berdiri di kamar yang lebih besar dari rumahku sendiri.Gaun kebaya putihku masih melekat di tubuh. Tubuh yang kini terasa terlalu terbuka, terlalu rentan, terlalu… menggoda.Kutahu bentuk tubuhku tidak sederhana. Pinggangku ramping, bokongku bulat, dan dadaku… ya, sering jadi bahan lirikan sejak aku SMA. Tapi malam ini, aku ingin tubuh ini menghilang. Tertelan bumi. Disembunyikan dari tatapan pria yang kini berdir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status